Makalah Kasus Bank Century
1. 1 Latar Belakang
Sebuah bank mungkin akan mampu
bertahan selama seratusan tahun. Akan tetapi pendirinya tidak. Meski demikian
anak cucu dari founding father bank tersebut masih bisa menikmati
kepemilikannya dan melihat bank itu tetap beroperasi jika memang bank itu masih
bertahan. Akan tetapi skenario itu bisa saja tak berjalan jika regulator tidak
menginginkannya karena suatu hal.
Di
Indonesia, bank-bank yang didirikan oleh seseorang atau sebuah keluarga memang
terhitung masih banyak. Gelombang mendirikan bank-bank yang dimiliki oleh satu
keluarga yang menguasai bisnis sejatinya terjadi pada akhir 80-an setelah
pemerintah mengeluarkan paket deregulasi pada Oktober 1988 (yang dikenal dengan
pakto 88). Dengan ‘hanya’ bermodal Rp10 miliar, seseorang bisa dengan mudah
mendirikan bank.
Namun
sepuluh tahun berselang banyak di antara mereka yang kolaps bersamaan dengan
krisis ekonomi. Sebut saja, Bank Andromeda milik Bambang Trihatmodjo putra
Presiden Soeharto, atau Bank Pacific milik Ponco Sutowo. Selain itu, ada pula
Bank Jakarta milik pengusaha pribumi kondang Probosutedjo atau Bank Industri
milik Titiek Prabowo, putri Presiden Soeharto. Jangan lupakan pula Bank Nusa
Nasional milik keluarga Bakrie dan Bank Harapan Sentosa milik pengusaha Hendra
Rahardja.
‘Kematian’
bank keluarga malah sudah terjadi sejak tahun 1992 saat Bank Summa milik Edward
Soeryadjaya, anak sulung Williem Soeryadjaya, pendiri Astra dilikuidasi.
Akan
tetapi, setelah krisis ekonomi dinyatakan berlalu, minat para pemilik dana
kakap untuk mendirikan bank di Indonesia tumbuh lagi. Bahkan minat itu tak
surut meski Bank Indonesia memperketatnya dengan meningkatkan persyaratan modal
hingga Rp3 triliun.
Makalah ini berisikan informasi
tentang perjalanan kasus Bapindo,
Pengusutan Kasus Bapindo, Kebangkrutan Bank Summa dan Terakhir
Bank Century yang sejak awal berdirinya diselimuti kontroversi, instrumen
reksadana bodong yang dikeluarkan PT Anta Boga Delta Securitas dimana sebenarnya
perusaham ini tidak terdaftar sebagai agen penjual efek atau reksadana terpadu
di bursa pasar dan skandal pengucuran dana yang melibatkan pejabat.
1. 2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas,
maka dapat disimpulkan beberapa masalah diantaranya:
A.
Masa Akuisisi dan Merger (2001-2004)
B.
Investasi Bodong dan Masalah Likuiditas, Solvabilitas dan Profitabilitas pada
Bank Century.
C.
Kontroversi bantuan pendanaan yang diberikan Bank Indonesia.
D.
Pengusutan kasus Bank Century.
1. 3 Tujuan Penulisan
A.
Memaparkan Awal Berdirinya Bank Century.
B.
Mengungkap Permasalahan Yang Membelit Bank Century.
C.
Mengungkap Kejanggalan Pada Kegiatan Pendanaan Yang dilakukan Bank Century.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Bapindo
2.1.1
Awal Berdirinya Bapindo
Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) berawal dari Bank
Industri Negara (BIN), sebuah bank Indutri yang didirikan pada tahun 1951. Misi Bank Industri
negara adalah mendukung pengembangan sektor – sektor ekonomi tertentu,
khususnya perkebunan, industri, dan pertambangan. Bapindo dibentuk sebagai bank
milik negara pada tahun 1960 dan BIN kemudian digabung dengan Bank
Bapindo. Pada tahun 1970, Bapindo ditugaskan untuk membantu
pembangunan nasional melalui
pembiayaan jangka menengah dan jangka panjang pada sektor manufaktur, transportasi dan pariwisata.
Nama Bapindohilang ditelan oleh Bank Mandiri
akibat krisis perbankan yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Bapindo adalah
salah satu bank milik pemerintah yang khusus membiayai infrastruktur untuk
seluruh nasabahnya baik swasta maupun pemerintah. Bapindo memiliki expertise yang tidak dimiliki oleh
bank-bank lainnya.
Demikian pula dengan tiga bank milik pemerintah
lainnya yang telah dilebur jadi Bank Mandiri yakni Bank Dagang negara(BDN) untuk bidang komersial, Bank
Ekspor Impor Indonesia (Bank Eksim) untuk bidang ekspor impor , Bank Bumi Daya
(BBD) untuk bidang perkebunan dan agribisnis. Sedangkan untuk pengembangan
bidang usaha kecil, tani dan nelayan diserahkan kepada Bank Rakyat Indonesia
(BRI) yang tidak ikut dilebur kedalam Bank Mandiri. Bahkan, sekarang BRI telah
menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia yang tampaknya telah melupakan
missi awalnya. Sekarang usaha mikro,kecil dan menengah telah digarap oleh bank
swasta dan bank asing secara besar-besaran sehingga merenggut pangsa pasar BRI.
2.1.2
Latar
Belakang Terungkapnya Kasus Bapindo
Kasus
Bapindo merupakan salah satu kasus keuangan yang terbesar yang pernah ada dalam
sejarah pembangunan republik Indonesia. Kasus ini merupakan akibat dari
kesalahan para individu yang menyalurkan dana untuk sebuah proyek senilai Rp.
1,3 Triliun yang di transaksikan oleh pihak Bapindo dengan pihak Golden Key
Group. Pihak Bapindo merupakan pihak pemerintah yang bekerja memberikan dana
kepada Golden Key Group yang di pimpin oleh Eddy Tansil
Permohonan
kredit ini diajukan oleh Eddy Tansil untut PT. Graha Swakarsa Prima (GSP) No.
7/ GSP/89 tanggal 16 Juni 1989 kepada kantor besar Bapindo (KBB) untuk kredit
investasi dan Kredit Modal Kerja sejumlah US$ 125,5 Juta. [1]Permohonan
ini ditunda, karena sumber pembiayaan masih dalam proses pencarian. Menko
Polkam Sudomo kemudian mengirim surat ke dirut Bank Eksport dan Import Indonesia
dan Dirut Bank Dagang Negara, Isinya, atas nama Bapindo, Sudomo meminta agar
meminta kedua bank berpartisipasi dalam Proyek Golden Key Group dengan
bergabung ke dalam sindikasi kredit. Golden Key kemudian mengirim surat ke
Kantor besar Bapindo dengan isi meminta uang jaminan pembukaan L/C sebesar 25%
dari jumlah L/C yang ditiadakan. Tanggal 28 September 1989, kantor besar
Bapindo menyetujui PT. GSP membuka Ussance
L/C sebesar US$125 juta dengan syarat deposito US$ 2 juta.
Desember
1989, Direktur Bapindo, menemui wakil kepala Bapindo cabang Jakarta Utama,
Maman Suparman untuk menengur mengapa permbukaan L/C perusahaan Eddy Tansil
begitu lambat. PT GSP kemudian mengajukan permohonan perubahan Usance L/C menjadi Red Clause L/C di kantor cabang sejumlah US$ 12,4 juta dengan Bank
Aceptante tanpa persetujuan kantor besar dan tanpa membuat perjanjian kredit.
Keputusan rapat Direksi Bapindo menyetujui UPP II untuk PT GSP dengan
memberikan kredit sebagai berikut , pagu kredit sebanyak Rp. 249,4 Milyar, dan
upaya pembiayan sindikasi dengan bank lain, serta ketentuan dan syarat sesuai
dengan laporan perkembangan proyek (LPP).
Lama-kelamaan,
karena proyek belum menunjukkan penanganan yang signifikan, banyak pihak yang
curiga akan adanya aksi korupsi di balik proyek ini. Mulai dari sinilah drama
pengungkapan kasus Bapindo dimulai. Kasus Bapindo berawal dari sebuah gugatan
yang diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia. Gubernur BI saat itu J. Soedrajad Djiwandono, di depan
Komisi VI DPR RI mengakui bahwa telah terjadi penyaluran kredit secara illegal
pada bank milik pemerintah. Namun, dia tidak mau menyebutkan nama bank tersebut
yang merupakan taggungjawab pengawasannya, dan berjanji akan mengadakan
pengawasan secara Yuridis. Pihak BI mengaku belum mendapatkan laporan terperinci
mengenai praktek penyaluran kredit bank pemerintah kepada pengusaha yang selama
ini disebut-sebut (Eddy Tansil).
Ahmad
Baramuli yang merupakan anggota komisi VII mempertanyakan penyaluran kredit
bank pemerintah kepada seorang pengusaha yang dinilai telah menyalahi prosedur,
bahkan mengatakan bahwa ia telah menerima laporan dengan bukti yang kuat bahwa
ada bank pemerintah yang menyalurkan kredit secara illegal[2].
Tetapi Bramuli tidak bersedia menyebut nama pengusaha yang mendapat kredit
illegal maupun bank pemerintah yang menyalurkan. Namun, secara tertulis, ia
hanya menyebutkan satu bank pemerintah dalam paket pertanyaan yang diajukan,
yaitu Bapindo. Sehingga komisi VI memutuskan akan mengadakan Rapat dengar
pendapat dengan Pihak Bapindo tanggal 9 Februari 1994.
Dalam
Raker tersebut, Baramuli menyebutkan bahwa praktik penyaluran kredit yang
dilakukan bank pemerintah itu hanya melibatkan seorang pengusaha dengan kredit
sekitar Rp.1,3 Trilyun atau US$ 650 juta. Prosedurnya, dilakukan melalui
pembukaan usance letter of Credit (L/C)
sebesar US$ 430 Juta yang kemudai diubah menjadi red Clause Letter of Credit (L/C). Dana itu kemudian dicairkan oleh
supplier di luar negeri. Baramuli juga mengungkapkan bahwa debitur dalam negeri
yang mengambil kredit mega tersebut tidak memberikan jaminan yang cukup , dan
barang- barang yang dibeli sampai saat ini belum tiba di Indonesia ( barang
tersebut dibeli 2 tahun sebelumnya).[3]
Menteri
Keuangan dan Gubernur BI menjelaskan persoalan dengan terperinci, DPR memita
agar otoritas moneter melakukan tindakan tegas terhadap semua pejabat bank yang
terbukti melakukan kolusi dengan menyarankan membentuk tim khusus yang bertugas
menyidik tindak pidana dalam kasus semacam itu.
Direktur utama Bapindo
ketika kredit mega Rp. 1,3 Trilyun disalurkan adalah Subekti Ismaun. Sementara
Towil Heryonto, saat kasus ini muncul, masih menjabat sebagai salah satu
direktur. Sebagai Drektur utama, Subekti mengakui bahwa telah terjadi perubahan
letter Of Credit (L/C) dan Usance menjadi red Clause, sehingga dalam perhitungannya Bapindo tidak akan banyak
mengeluarkan biaya (Cost).
Setelah komisi VII DPR
RI berhasil mengungkap penyaluran kredit secara illegal oleh Bapindo, menteri
keuangan Mar’ie Muhammad langsung memanggil Direktur utama Bapindo, Towil
Heryoto, Dirjen Lembaga Keuangan Bambang Subianto, Dirjen Pembinaan BUMN
Martiono Hadianto untuk datang ke kantornya di Lapangan Banteng. Mereka
membahasa tentang masalah penyaluran kredit Bapindo. Beberapa bank pemerintah
lainnya juga diperkirakan ikut berperan dalam masalah ini seperti BBD, BDN,
BNI, BRI, dan Bank Exim kecuali BTN.
Kasus kredit illegal
Rp. 1,3 Trilyun akhirnya terporos pada dua pihak : Bapindo sebagai penyalur
kredit dan Bos Golden Key Group, Eddy Tansil sebagai penerima kredit. Eddy
Tansil dan salah seorang komisarisnya , Koesnoe Achzan, kemudian resmi di cekal
oleh pemerintah. Eddy Tansil kemudian diperiksa oleh Tim Kejaksaan Agung
tentang jumlah asset yang dimiliki oleh Eddy Tansil, seperti pabrik yang
berlokasi di Cilegon dan Bekasi Jawa Barat. Sementara Koesnoe Achzan masih
ditetapkan sebagai saksi, tetapi tetap akan memiliki kemungkinan berubah status
sebagai tersangka karena statusnya sebagai direktur yang bertanggung jawab
kedalam maupun keluar perusahaan. Langkah ini belum membuahkan hasil yang
signifikan karean kondisi fisik Eddy Tansil yang dilaporkan kurang sehat, dan
pemberian izin dari kejaksaan Agung kepada Eddy Tansil untuk merayakan hari
raya Idul Fitri bersama keluarga.
Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad memanggil seluruh komisaris
bank-bank pemerintah untuk mempertegas kewenangan dewan komisaris bank-bank
pemerintah. Hal ini bertujuan untuk memfungsikan secara maksimal peran dan
tugas dewan komisaris, apalagi disertai dengan kasus Bapindo.
2.1.3
Proses
Pemeriksaan Pihak-pihak terkait dalam Kasus Bapindo
Kasus Golden Key yang
melibatkan katua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Sudomo, akhirnya dilaporkan kepada presiden Soeharto
sebagai orang yang bertanggung jawab dalam memberikan referensi. Sudomo ketika
masih menjabat sebagai Menko Polkam memberikan referensi kepada Eddy Tansil,
Mantan Menteri Keuangan juga mengatakan hal yang sama bahwa dia pernah menerima
surat dari Sudomo yang dibawa oleh Eddy Tansil. Tanggal 16 Februari 1994 pukul
18.00 WIB, Eddy Tansil ditahan setelah diperiksa oleh Kejaksaan Agung dengan
alasan indikasi tindak korupsi. Selain Tansil, Orang nomor satu di Bapindo,
Toeil Heryoto juga diperiksa hingga pukul 22.28 WIB. Ditempat terpisah, wakil
cabang utama Bapindo, Maman Suparman juga ditetapkan menjadi tersangka resmi
setelah terbukti pengotorisasi kredit Bapindo dan tuduhan korupsi dan ditahan
di Rutan Salemba Jakarta. Maman Suparman ditahan karena menyetujui perubahan Usance L/C menjadi red Clause L/C, ketika Eddy menerima kredit sebesar US$ 430 Juta,[4]
Maman Suparman menjabat sebagai wakil kepala cabang utama Bapindo Jakarta.
Mantan direktur utama Bapindo, Subekti Ismaun, juga diperiksa oleh kejaksaan
Agung untuk meminta kejelasan informasi aliran dana yang diberika kepada PT.
Golden Key Group.
Kejaksaan agung
kemudian membentuk tim khusus untuk mengatasi kredit bermasalah ini yang
diketuai oleh A. Soetomo. Rekening bank tersangka dan pihak-pihak yang terkait
dnegan kasus PT. Golden Key group diperiksa oleh tim khusus ini, beberapa nama
direksi yang ikut diperiksa adalah Mantan Dirut Bapindo, Towil Heryoto,
Sjahrizal yang menjabat sebagai Dirut BTN, dan Usman Bauti Staf ahli Bapindo.
Semua pemeriksaan tersebut dilakukan menurut persetujuan Menteri Keuangan.
Pemeriksaan terhadap
Eddy Tansil dilakukan secara bertahap, tetapi belum menemukan hasil yang pasti
bagi keputusan kejaksaan Agung. Menteri keuangan saat itu, Mar’ie Muhammad
menegaskan agar Bapindo harus tetap memenuhi kewajibannya di dalam dan luar
negeri, dan tidak perlu melakukan pergantian pihak pengurus. Jadi, sekalipun
sedang di dalam masalah dan gangguan, tetap diupayakan kinerja terhadap subjek
yang lain tetap fokus, dan mengupayakan hingga akhir pelita VI, bank-bank
pemerintah harus terus berkonsolidasi.
Setelah dilakukan
pemeriksaan tersangka, tim delapan kejaksaan agung bergerak kelapangan yang
dipimpin oleh A. Soetomo untuk menyita beberapa aset Golden Key. Dalam beberapa
kali pemeriksaan, ada dugaan bahwa Eddy Tansil memalsukan aset yang dijaminkan
kepada bank, luas tanah pabrik yang disodorkan olehh Eddy Tansil sebagai salah
satu jaminan menggaet kredit dari Bapindo tidak sesuai dengan kenyataan. L/C
yang dibuka oleh Bapindo untuk Eddy Tasil berjumlah US$ 430 juta, berarti ada
US$ 189 juta yang ditangani oleh orang lain. Dalam proses penyitaan, tim dari
kejaksaan Agung berhasil menyita beberapa dokumen penting Golden Key Group.
Dari hasil penyitaan ini dapat ditemukan proyek-proyek apa saja yang sedang
dikerjakan oleh Golden Key serta mencegah terjadinya pemindah tanganan
aset-aset yang penting.
Seluruh kekayaan PT.
Golden Key Group milik Addy Tansil akhirnya diblokir oleh pemerintah meliputi
rekening GKG pada 10 Bank di Jakarta dan berbagai tanah milik GKG. Hingga
kemudia, berbagai kalangan mulai mendesak agar kasus Golden Key Group milik
Eddy tansil secepatnya diselesaikan, mulai dari pihak mahasiswa, presiden
Soeharto, masyarakat umum, bahkan pihak keamanan.
Pemerintah kemudian
mengganti direktur Utama Bapindo Towil Heryoto dengan Drs. Achmad Marzuki, S.H,
salah seorang direktur Bapindo untuk sementara menggantikan fungsi yang selama
ini ditangani oleh Towil. Langkah ini ditempuh untuk memperlancar pemeriksaan
skandal kredit Rp. 1,3 trilyun yang melibatkan Eddy Tansil dan menjamin
kelancaran kegiatan operasional Bapindo sehari-hari.
2.1.4
Para
Tersangka yang Diringkus
1. Towil
Heryoto
Orang nomor satu di
Bapindo dinyatakan resmi sebagai tersangka dalam skandal kredit 1,3 Trilyun di
Bapindo yang dikuncurkan kepada Eddy Tansil dan ditangkap tanggal 17 maret 1994
oleh Kejaksaan Agung langsung dari kediamannya sendiri.
2. Subekti
Ismaun
Kejaksaan
Agung juga membuat surat perintah penangkapan mantan Direktur Utama
Bapindo,Subekti Ismaun. Surat penangkapan ditandangani langsung oleh Direktur
Tindak Pidana Korupsi, Ismudjoko. Penangkapan di lakukan oleh Jaksa Kataren,
dan Taslim Hasyim. Tetapi tidak ditemukan di tempat kediaman. Tim Kejaksaan
Tinggi Yogyakarta kemudian melacak keberadaan Subekti Ismaun di Yogyakarta. Tanggal 18 Maret Subekti resmi ditangkap dan
dimasukkan ke rumah Tahanan Kejaksaan Agung, satu ruangan dengan Towil Heryoto.
3. Eddy
Tansil
Aktor paling berperan
penting dalam kasus Bapindo, Eddy Tansil ditangkap lebih dahulu pada 16
Februari 1994. Eddy Tansil terbukti mengkorupsikan dana kredit 1,3 trilyun di
Kejaksaan Agung.
Dengan divonisnya Eddy Tansil, setidaknya
telah membuktikan bahwa pemerintah bisa menangani kasus korupsi meski
penangannya lambat. Kasus ini menjadi pintu pembuka untuk kasus lainnya karena
setelah kasus kredit 1,3 trilyun, kasus kredit di bank pemerintah juga
dikabarkan jumlahnya menggunung. Dampaknya adalah terhadap para pejabat
generasi kabinet berikutnya yang harus menanggung penyelesaian kasus kredit
yang besar tersebut sehingga terkesan lamban. Kesan lamban diakibatkan generasi
kabinet baru harus mencari sumber kasus yang akurat, menggali kerja sama
kembali dengan kejaksaan, terlibat
menjadi saksi, bahkan menjadi tersangka merupakan resiko yang ditanggung
mereka.
Terungkapnya kasus manipulasi kredit Bapindo
pada PT Golden Key Group (GK) dan jawaban pers Sudomo dan Sumarlin memberikan
dua indikasi. Yakni, rapuhnya kondisi ekonomi nasional dan citra negara kita
yang bak sebuah banana republic. Raibnya dokumen persetujuan Direksi Bapindo
atas perubahan L/C GK secara tiba-tiba kian membuat bank itu mencerminkan
buruknya moral personel maupun administrasinya. Menghilangkan dokumen bank
diancam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Rangkaian kejadian itu
memperkuat dugaan tentang meluasnya korupsi, kolusi, nepotisme, dan
penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kondisi sistem keuangan dan kualitas pimpinan
bank hingga tingkat lembaga tinggi negara seperti itu, sulit dibayangkan
Indonesia dapat lepas landas mulai 1 April 1994.
Pertumbuhan ekonomi, yang direncanakan
rata-rata 6,2% setahun selama Pelita VI, memerlukan investasi, dan investasi
memerlukan dana. Pembelanjaan investasi kian sulit karena secara teknis bank
negara bisa dikatakan sudah bangkrut. Bagaimana menghitung bahwa bank negara
bangkrut? Jumlah kredit macet yang dapat ditarik kembali diasumsikan hanya Rp
8,1 triliun, atau hanya 30% dari jumlah kredit bermasalah yang Rp 26,7 triliun
(US$ 13,3 miliar) itu, pada posisi September 1993. Rendahnya tingkat
pengembalian kredit merupakan akibat berbagai hal: tingginya komisi untuk
memperoleh kredit, mahalnya biaya pengurusan surat izin investasi proyek,
adanya penggunaan kredit bagi keperluan lain, dan mahalnya biaya penarikan
kembali kredit bermasalah.
Bila diasumsikan rata-rata tiap bank negara
memiliki jumlah modal (modal disetor, cadangan, keuntungan, dan pinjaman
subordinasi) tahun 1993 sebesar Rp 1 triliun, jumlah modal kelompok bank negara
(Rp 7 triliun) kurang dari separuh jumlah potensi kerugian karena kredit
macetnya (Rp 18,6 triliun atau US$ 9,3 miliar). Secara makro, besarnya kredit
bermasalah bank negara itu merupakan beban amat berat bagi ekonomi nasional:
10% dari PDB 1993 atau 37% dari jumlah APBN 1994-'95.
Sementara itu, keadaan yang dihadapi ekonomi
nasional saat ini akibat bangkrutnya bank negara, situasinya agaknya lebih
sulit dari ketika terjadi krisis Pertamina (1975), maupun dampak yendaka tahun
1985-'87. Ketika pecah krisis Pertamina, harga migas masih cenderung naik, dan
dunia masih takut terhadap ancaman embargo dari negara produsen. Jepang, Bank
Pembangunan Asia, dan Bank Dunia waktu itu masih mampu mengurangi beban
pembayaran utang luar negeri Indonesia akibat yendaka dengan memberi pinjaman
khusus bersyarat lunak. Dewasa ini, prospek harga migas cenderung
turun,kemampuan negara donor untuk membantu Indonesia tak lagi sebesar dulu.
Ini tercermin dalam Sidang CGI di Paris, Juli 1993. Pemberian pinjaman kian
dikaitkan dengan faktor nonekonomis: tertib pemerintahan (governance),
demokratisasi, hak asasi manusia, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Di dalam
negeri, kebangkrutan bank negara menyebabkan stagnasi ekspansi kredit mereka.
Stagnasi itu bersifat regresif: lebih banyak mengurangi kredit pada pengusaha
menengah dan kecil. Ini akan memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan dan
kekayaan masyarakat. Di luar negeri, dunia enggan melakukan transaksi dengan bank
negara dan perusahaan nasional kita. Ini, antara lain, tercermin dari rendahnya
rating perekonomian Indonesia di pasar dunia, sulitnya mendapatkan kredit, dan
meningkatnya spread yang berlaku bagi perusahaan kita.
Diperlukan banyak uang, energi, dan waktu
untuk membangun kembali bank negara yang sudah keropos. Ini bukan sekadar
masalah suntikan dana. Tanpa adanya perubahan, orientasi, organisasi,
personalia, kultur perusahaan, dan cara kerja internal, suntikan dana tak akan
ada manfaatnya. Jika taksiran Menteri Mar'ie bisa terwujud, yakni krisis bank
negara dapat diselesaikan dalam masa Pelita VI, bolehlah kita syukuran potong
kambing. Selama ini bank negara menamakan dirinya sebagai "pelaku
pembangunan" -- dengan pengertian yang disalahgunakan. Yang mereka artikan
sebagai pelaku pembangunan saat ini tak banyak berbeda dari kegiatan kas
negara: menyalurkan dana negara pada sektor ekonomi, dan penerima yang telah
diidentifikasikan oleh Pemerintah dengan syarat yang ditentukan oleh Pemerintah
pula. Padahal, menurut pengertian sebenarnya, pelaku pembangunan harus
memberikan sumbangan positif dalam meningkatkan: (a) mobilisasi tabungan
nasional (dalam rupiah dan devisa) (b) efisiensi alokasi penggunaan faktor
produksi yang amat langka dan (c) penumbuhan kewiraswastaan. Kenyataannya, tak
satu pun bank negara yang telah memberikan sumbangan positif dalam ketiga aspek
tersebut. Orientasi dan kultur bank negara yang birokratis perlu diubah menjadi
orientasi dan kultur badan usaha komersial. Sesuai perubahan itu, standar
kriteria penilaiannya juga perlu diganti: diukur berdasarkan kriteria yang
berlaku bagi bank swasta, yakni berdasarkan patokan objektif yang dapat diukur
dalam satuan mata uang. Juga perlu ditelusuri sumber untung- rugi usaha itu.
Keuntungan yang bersumber dari kegiatan pemangsa rente, misalnya fee karena
menyalurkan uang negara, bukanlah keuntungan yang menggembirakan. Sebagaimana
dalam peperangan, cara menang atau kalah sama pentingnya dengan kemenangan atau
kekalahan itu sendiri. Walaupun kalah dalam pertempuran di Afrika Utara pada
Perang Dunia II, Jenderal Rommel tetap dihormati oleh kawan dan lawan. Adapun
tugas nonkomersial seyogianya juga dapat diukur dalam satuan mata uang.
Sementara perlunya perubahan struktur organisasi adalah untuk memotong kaitan
bank negara dari birokrasi pemerintahan.
Kasus kredit macet memberikan indikasi bahwa
perubahan status hukum bank negara menjadi PT, setelah berlakunya UU No. 7
Tahun 1992, baru mengubah kulit. Bank negara belum mandiri dalam arti yang
sebenarnya. Dalam keadaan seperti itu, dengan orientasi yang belum berubah,
memo Sudomo, yang diperkuat oleh Sumarlin, amatlah sakti dan ikut menyeleksi
nasabah di lingkungan bank negara. Sebab, direksi bank negara diangkat oleh
Menteri Keuangan, dan surat keterangan dari pihak sekuriti, seperti Menko
Polkam, sangat menentukan dalam pengangkatan tersebut. Boleh dianggap memo-memo
itu bak "jimat". Dewasa ini, pemilihan personel pimpinan komisaris
maupun eksekutif perusahaan dan bank negara mulai mengarah pada hal yang kurang
sehat. Orang mendapatkan pekerjaan lebih karena pertimbangan koneksi dan
kualifikasi politis daripada kemampuan profesional teknis. Perusahaan negara
dijadikan sumber penerimaan nonanggaran, setidaknya sebagai suplemen gaji, bagi
pejabat departemen teknis yang membawahkannya.
Menjawab pertanyaan pers, Sumarlin mengatakan
fungsinya sebagai Komisaris Utama Bapindo hanya terbatas pada pengawasan
pelaksanaan anggaran yang telah disetujui oleh Departemen Keuangan yang
dipimpinnya. Kalau memang hanya demikian, sopirnya pun sudah memenuhi
persyaratan untuk menjadi komisaris utama bank negara. Jawaban itu bertentangan
dengan tugas dan tanggung jawab komisaris bank yang disebut dalam UU No. 7
Tahun 1992, yang dikonsepnya sendiri.
Dari kasus GK, ternyata operasi Bapindo tak
banyak berbeda dari PT Bank Summa. Proses seleksi nasabah sangat lemah pada
kedua bank itu. Administrasi kredit dan agunannya serta pengawasan kreditnya
amburadul. Keterangan Tommy Soeharto memberikan indikasi bahwa nilai buku
proyek yang diagunkan oleh GK dua kali lipat dari harga pasar yang berlaku.
Kelemahan juga tercermin dari kemampuan Bapindo menagih kembali pokok dan bunga
kreditnya. Liberalisasi di sektor keuangan selama ini cuma menyangkut pembukaan
pintu masuk pasar, dan aturan yang menyangkut kegiatan lembaga keuangan. Di
pihak lain, aturan yang berhati- hati untuk memelihara kesehatan sistem
keuangan itu justru diperketat. Perangkat hukum dan akuntasi merupakan bagian
penting dari infrastuktur pasar. Pasar baru efisien dan mewujudkan pemerataan
jika ada infrastrukturnya yang memadai. Aturan yang makin ketat tak ada artinya
jika tak diimplementasikan. Implementasi aturan yang lemah dan sistem akuntansi
yang tak bisa dipercayai, menyebabkan lemahnya infrastruktur pasar. Dalam kaitan
ini diperlukan peningkatan kemampuan maupun ketegasan BI untuk
mengadministrasikan aturan itu. Rentetan kasus kebangkrutan bank, baik sebelum
maupun setelah deregulasi, menggambarkan rendahnya mutu pemeriksaan dan
pengawasan bank oleh BI. Hal terakhir yang diperlukan oleh bank negara untuk
memulihkan kegiatannya adalah menambah modal.
Sebagaimana diuraikan di atas, karena secara
teknis sudah bangkrut, bank negara tidak memenuhi syarat untuk menjual saham di
bursa efek. Karena itu, tambahan modal dari sumber lain perlu diupayakan. Di
bulan November 1992, Bank Dunia cuma bisa meminjami US$ 307 juta kepada
Pemerintah RI, guna memperkuat modal bank-bank negara. Jumlah ini jauh di bawah
modal sumbangan yang disuntikkan ke dalam PT Bank Duta sebesar US$ 350 juta,
September 1990. Barangkali baru Bank Duta satu-satunya bank dalam sejarah dunia
yang pernah mendapatkan modal sumbangan. Dewasa ini, inventarisasi dan
penyelesaian kredit bermasalah bank negara dilakukan sendiri oleh pimpinan
Departemen Keuangan dan BI, bersama direksi bank bersangkutan. Akibatnya,
sering mereka pulang ke rumah di waktu sahur. Hal seperti ini tidak sehat.
Seperti dalam bencana gabungan antara gempa dan kebakaran rumah, tugas seperti
itu hanya menginventarisasi kerugian, menyelamatkan yang masih dapat
diselamatkan, dan melihat apakah pertapakannya masih layak.
Tugas pokok Menkeu dan Gubernur BI adalah
menyiapkan pembangunan dalam menyongsong Pelita VI. Pimpinan bank negara harus
tetap melayani nasabah yang lain, mencari uang untuk menghasilkan laba, dan
mengendalikan banknya dalam menyongsong masa depan. Kian banyak waktu digunakan
untuk rapat dengan DPR, menjawab pertanyaan jaksa penyidik, dan menghindari
kejaran wartawan, kian sedikit waktu tersisa untuk berusaha. Padahal tugas
pengendalian ekonomi dan komersial tak bisa didelegasikan ataupun dikontrakkan
pada orang lain. Sebaiknya, tugas untuk menyelesaikan kredit bermasalah bank
negara diserahkan pada suatu badan khusus, swasta atau pemerintah, atau
campuran keduanya. Badan ini menginventarisasi kredit bermasalah, menagih, dan
memperkarakan, dan menjual agunannya. Sebab terbatasnya tenaga profesional,
anggaran, dan gaji, tugas penyelesaian kredit macet tidak cukup diserahkan
kepada BPULN dan penegak hukum saja.
Penyelesaian masalah itu memerlukan tenaga
hukum komersial yang piawai, akuntan yang terpercaya, ahli ilmu keuangan yang
cerdik, ahli penilai yang tajam, dan konsultan makro maupun sektoral yang
berpengalaman. Di Cili, badan khusus yang mengambil alih kredit bermasalah
dibelanjai dengan penjualan obligasi Pemerintah. Di Jepang, badan seperti itu
didirikan secara patungan oleh bank-bank swasta. Di negara lain, kredit
bermasalah diurus oleh bank yang bersangkutan itu sendiri. Penagihan kredit
macet bank negara akan berantai dampaknya dalam Pelita VI.
Pada gilirannya, ini akan menyebabkan resesi,
setidaknya di berbagai sektor ekonomi terkait. Sebagian barang agunan kredit
terpaksa dijual obral untuk mendapatkan uang tunai secepatnya, dan menghindari
kerugian lebih besar. Harga obral jelas di bawah harga pasar dan, tergantung
tingkat mark up, jauh di bawah harga buku. Salah satu korban yang sudah pasti
adalah perusahaan yang bergerak dalam industri pertanahan (perumahan,
perhotelan, bangunan komersial, kawasan industri, dan lapangan golf).
2.2 Bank Summa
2.2.1 Menyusul Sang Ayah
INGAT
likuidasi bankd, pasti teringat pada kasus likuidasi Bank Summa.
"Tragedi" berat yang menimpa bank milik keluarga Soeryadjaya itu
meninggalkan trauma mendalam bagi nasabah dan juga dunia perbankan. Kini, dunia
perbankan sedang berharap-harap cemas menunggu International Monetary Fund
(IMF) -- yang tengah berunding dengan pejabat moneter Indonesia di Jakarta --
yang diduga akan mensyaratkan likuidasi sejumlah bank, sebelum menyetujui
membantu krisis moneter Indonesia.
Kasus
Bank Summa adalah contoh paling baik dari sisi buruk deregulasi perbankan tahun
1988, yang kerap disebut Pakto 1988. Industri perbankan menjamur, dan itu
dibarengi penyaluran kredit dalam bilangan "raksasa", yang
kadang-kadang mengabaikan prinsip-prinsip bisnis yang sehat. Tak kurang pula
bank membiayai kelompok usahanya sendiri. Puncak semua itu tahun 1992, ketika
meledak kasus kredit macet Bank Summa sejumlah Rp 1,4 triliun.
Ketika
itu Edward Soeryadjaya, putra sulung Williem Soeryadjaya, pendiri Astra dan
orang nomor dua terkaya di Indonesia saat itu (1992), berniat
"membalap" sang ayah. Ia menggunakan jalur cepat. Edward mulai dengan
mendirikan Summa Internasional Bank Ltd. tahun 1979 di Port Vila, Vanuatu,
dengan modal 25 juta dollar AS. Setahun kemudian ia membidik HongKong, dan dari
sana Edward melanglang ke Jerman.
Tiga
tahun kemudian, Edward berpatungan dengan pengusaha HongKong melebarkan
sayapnya ke Indonesia, dengan mendirikan Summa International Finance Co. Ltd.
(kemudian menjadi Indover Summa Finance, usaha patungan dengan anak perusahaan
Bank Indonesia, Indover). Bisnis Edward maju pesat. Ia memborong saham sejumlah
perusahaan besar, seperti Bank Asia, yang kemudian namanya menjadi Bank Summa.
Selain itu, ia ikut memiliki Bandung Indah Plaza, Hotel Mirama (Surabaya),
Hotel Sabang (Jakarta), dan berbagai macam bisnis properti dan keuangan. Edward
juga dikenal "murah hati" karena memodali bisnis teman-temannya.
2.2.2 Memburuknya Kesehatan
Bank Summa
Darimana
dana Edward itu? Tak sulit ditebak: dari Bank Summa. Banyaknya tak diketahui
pasti. Tapi, yang jelas saat itu diketahui aset Bank Summa mencapai Rp 1,2
triliun.
Akibatnya
pasti: kesulitan likuiditas. Tatkala pemerintah memberlakukan kebijakan uang
ketat (1990), makin tercekiklah Bank Summa. Tiga bulan kemudian dikabarkan
Summa benar-benar mengalami krisis keuangan yang hanya bisa diatasi dengan
suntikan dana segar. Tapi Williem Soeryadjaya tidak melakukannya. Dia
mengirimkan pasukan penyelamat dari Astra, perusahaan miliknya. Konon sampai
tiga kali ia gonta-ganti tim penyelamat, tapi Bank Summa tetap merana. Pada
Juni 1992, Williem mengambilalih 100 persen saham Bank Summa.
Toh
kesehatan Summa tetap memburuk. Kewajibannya ditaksir mencapai Rp 1,7 triliun.
Tak lama kemudian Williem pun menjaminkan seratus juta lembar saham Astra
Internasional senilai Rp 500 miliar kepada Bapindo, Bank Exim, dan Bank
Danamon, untuk menyuntik Summa. Jumlah itu masih ditambah Rp 380 milyar dari
BDN dan Bank Universal. Kabarnya Panin Bank juga menyuntikan sekitar Rp 250
miliar, meski pemilik Panin membantah kabar ini. Sebelum itu, Bank Indonesia
juga sudah memberi pinjaman discount window kepada Bank Summa sebesar
Rp 200 miliar lewat Indover.
Tetap
saja Summa "terjun ke jurang". Terpaksalah Willem meminta jasa Mu’min
Ali dari Bank Panin untuk memberikan konsultasi manajemen. Tapi, sinyal dari
pemerintah bahwa Bank Summa akan dilikuidasi makin jelas terdengar. Williem
masih berupaya mempertahankan dengan segala cara, temasuk menghimpun dana dari
aset-aset keluarga. Bahkan, Gubernur BI Adrianus Mooy waktu itu ikut turun
tangan. Langkah pengamanan lainnya: menyuntikkan lagi tambahan dana segar
sebesar Rp 500 miliar dari Chase Manhattan Bank. Om Williem – begitu pendiri
Astra itu dipanggil – juga meneken kontrak penyelamatan dengan 30 pengusaha
dari group Prasetya Mulya. Toh dana raksasa itu tetap amblas mengingat
banyaknya utang yang ditinggalkan Edward.
Vonis
pun jatuh pada tanggal 14 Desember 1992: Bank Summa dilikuidasi pemerintah
berdasarkan UU Perbankan 1992.
Itu
bukan akhir, tapi awal sebuah "bencana" baru bagi keluarga
Soeryadjaya. Nasabah yang sudah hilang kepercayaan menarik seluruh dana yang
mereka simpan, walau ada anjuran untuk meneruskan kegiatan di BCA atau Bank
Danamon. Repotnya, dana segar tak tersedia. Willem sudah menjaminkan 108 juta
lembar saham Astra. Dari situ diperoleh sekitar Rp 1 triliun. Separuhnya,
dipakai untuk menutup utang Summa kepada Bank Exim, Bapindo, Danamon. Sisanya
untuk mengembalikan uang para deposan.
Toh
urusan makin kusut. Deposan ramai-ramai menuntut haknya. Sementara itu, Prof.
Soemitro Djojohadikusumo yang bersedia menjadi "penengah" di Astra --
yang juga kena imbas kasus Summa itu -- akhirnya mengundurkan diri. Pak Cum,
pangggilan akrab Prof. Soemitro, yang menjabat Presiden komisaris Astra, merasa
ada yang tak beres di sana. Ia tak pernah diajak berunding sampai akhirnya
Prayogo Pangestu, pengusaha grup Barito itu, membeli saham mayoritas Astra.
Astra
yang menjadi andalan Willem untuk membayar kewajiban Summa, membuahkan demonstrasi
besar nasabah yang menuntut haknya. Belum lagi urusan PHK sekitar 2300 karyawan
Summa yang tentu membutuhkan dana tak kecil.
2.2.3 Upaya Menyelamatkan
Bank Summa
Dibentuklah
Tim Likuidasi Bank Summa. Dan tim itu menentukan prioritas mana dari kewajiban
Summa yang harus segera diselesaikan. Rupanya, pajak pemerintah menjadi
prioritas pertama. Baru kemudian pesangon karyawan dan para kreditur. Ternyata,
kreditur kecil yang punya uang di Summa sekitar Rp 10 juta, termasuk prioritas
paling bawah, padahal jumlah mereka sekitar 9000 orang. Itu pun masih pakai
syarat: jika aset Summa terjual hanya 50 persen, maka nasabah kecil itu hanya
akan dibayar 50 persen dari deposito atau tabungannya.
Banyak
pihak yang dikabarkan akan membeli aset Summa. Di antaranya penyanyi pop Rinto
Harahap yang "maju" dengan bendera grupnya Siti Hardijanti Rukmana
alias Mbak Tutut. Tapi Rinto belakangan urung membeli Summa. Berbagai pihak
yang juga mendekati Summa tak kunjung membuahkan hasil.
Itulah
yang memicu ketidakpuasan. Pada Mei 1993, lima bulan setelah likuidasi, nasabah
membentuk Tim Perwakilan Nasabah. Pada bulan itu juga Om Willem menulis surat.
Isinya, meminta nasabah sabar menunggu pelunasan dari Bank Summa. Sebagai
pelipur lara, nasabah tetap dijanjikan bunga – sesuatu yang tak kunjung terjadi
pada akhirnya.
Urusan
panjang itu sempat mengakibatkan rumah Om Willem didemonstrasi. Para nasabah
yang marah membawa peti mati dan meletakkannya tepat di pintu depan rumah
Willem. Urusan baru usai pada bulan Oktober 1993, itupun nasabah tak
mendapatkan uang simpanannya dengan utuh.
Kasus
bangkrutnya Bank Summa (1992), yang membuat keluarga Soeryadjaya harus
kehilangan Astra, menjadi pelajaran berharga baginya. Kisah Bank Summa dan
Astra, tampaknya, bukan hanya catatan sejarah saja bagi Edwin. Karena kasus
ini, konon, hubungan Edwin dan sang kakak Edward Soeryadjaya kurang harmonis.
Maklum saja, saat itu Bank Summa dikelola dan dikendalikan oleh Edward. Karena
pengelolaan bank yang tidak baik, seluruh keluarga Soeryadjaya harus menanggung
risikonya.
Saat
itu, menurut Edwin, keluarga Soeryadjaya merasa dihempaskan dari gedung
bertingkat yang sangat tinggi. “Saat itu kami mengira, kami sudah mati,”
katanya. Namun peristiwa itu tak membuat Edwin putus asa. Bersama Saratoga,
kini Edwin sukses berbisnis dalam berbagai bidang. Mulai dari pertambangan,
perkebunan, perdagangan, properti hingga manufaktur.
2.3
Bank Century
2.3.1
Masa
Akuisisi dan Merger Yang Janggal
Bank
Century adalah hasil merger tiga bank yaitu Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC.
Merger ketiga bank tersebut didahului dengan adanya akuisisi Chinkara Capital
Ltd (Chinkara) terhadap Bank Danpac dan Bank Pikko, serta kepemilikan saham
Bank CIC. Chinkara adalah sebuah perusahaan yang berdomisili di Kepulauan
Bahama. Pemegang saham mayoritas Chinkara adalah RAR.
Persetujuan
prinsip atas akuisisi diputuskan dalam RDG BI pada 27 November 2001.
Persetujuan akuisisi diberikan Bank Indonesia meski Chinkara tidak memenuhi
persyaratan administratif berupa publikasi atas akuisisi oleh Chinkara, laporan
keuangan Chinkara untuk tiga tahun terakhir, dan rekomendasi pihak berwenang di
negara asal Chinkara. RDG BI juga mensyaratkan agar ketiga bank tersebut
melakukan merger, memperbaiki kondisi bank, mencegah terulangnya tindakan
melawan hukum, serta mencapai dan mempertahankan CAR 8%.
Izin akuisisi pada akhirnya diberikan pada 5 Juli 2002 meski dari hasil pemeriksaan BI terdapat indikasi adanya perbuatan melawan hukum yang melibatkan Chinkara pada Bank CIC. BI tetap melanjutkan proses merger atas ketiga bank tersebut meski berdasarkan hasil pemeriksaan BI periode tahun 2001 hingga 2003 ditemukan adanya pelanggaran signifikan oleh ketiga bank tersebut. Diantaranya adalah Pada Bank CIC, terdapat transaksi SSB fiktif senilai USD25 juta yang melibatkan Chinkara dan terdapat beberapa SSB yang berisiko tinggi sehingga bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang berakibat CAR menjadi negatif, serta pembayaran kewajiban general sales management 102 (GSM 102) dan penarikan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam jumlah besar yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas, serta pelanggaran PDN.
Selanjutnya pada Bank Pikko,terdapat kredit kepada Texmaco yang dikategorikan macet dan selanjutnya ditukarkan dengan medium term notes (MTN) Dresdner Bank yang tidak memiliki notes rating, sehingga bank wajib membentuk PPAP yang berakibat CAR menjadi negatif. Proses akuisisi seharusnya dapat dibatalkan jika mengacu pada persyaratan yang ditentukan oleh BI dalam persetujuan akuisisi tanggal 5 Juli 2002.
Izin akuisisi pada akhirnya diberikan pada 5 Juli 2002 meski dari hasil pemeriksaan BI terdapat indikasi adanya perbuatan melawan hukum yang melibatkan Chinkara pada Bank CIC. BI tetap melanjutkan proses merger atas ketiga bank tersebut meski berdasarkan hasil pemeriksaan BI periode tahun 2001 hingga 2003 ditemukan adanya pelanggaran signifikan oleh ketiga bank tersebut. Diantaranya adalah Pada Bank CIC, terdapat transaksi SSB fiktif senilai USD25 juta yang melibatkan Chinkara dan terdapat beberapa SSB yang berisiko tinggi sehingga bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang berakibat CAR menjadi negatif, serta pembayaran kewajiban general sales management 102 (GSM 102) dan penarikan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam jumlah besar yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas, serta pelanggaran PDN.
Selanjutnya pada Bank Pikko,terdapat kredit kepada Texmaco yang dikategorikan macet dan selanjutnya ditukarkan dengan medium term notes (MTN) Dresdner Bank yang tidak memiliki notes rating, sehingga bank wajib membentuk PPAP yang berakibat CAR menjadi negatif. Proses akuisisi seharusnya dapat dibatalkan jika mengacu pada persyaratan yang ditentukan oleh BI dalam persetujuan akuisisi tanggal 5 Juli 2002.
Persyaratan
tersebut antara lain, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Bank CIC
terbukti bahwa Chinkara sebagai pemegang saham bank melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan perundang- undangan atau dinyatakan “tidak lulus”dalam penilaian fit and propper test.[5]
Pada akhirnya tim pemeriksa Bank Indonesia ditarik ditengah pemeriksaan atas
CIC yang berada dalam pengawasan khusus. Diduga langkah ini dilakukan untuk
menutupi masalah CIC demi memuluskan proses merger. Akhirnya Bank Indonesia
menyetujui merger Pikko, Danpac dan CIC pada 6 Desember 2004 yang kemudian
menjadi Bank Century.[6]
2.3.2 Investasi Bodong dan Masalah Likuiditas,
Solvabilitas dan Profitabilitas.
Bermula dari para
nasabah PT. Bank Century yang menempatkan dana dalam bentuk deposito pada Bank Century dengan
jangka waktu 1-6 bulan. Kemudian ada penawaran dari Bank Century tentang produk
yang lebih menguntungkan berupa reksadana PT. Antaboga Delta Securitas yang
merupakan satu holding company dengan Bank Century. Iming-iming Bank
Century atas produk reksadana PT. Antaboga Delta Securitas tersebut dengan cara
meyakinkan nasabah bahwa bunga reksadana dimaksud jauh lebih tinggi dari bunga
deposito, pemilik PT.
Antaboga Delta Securitas adalah
pemegang saham Bank Century sehingga akan dijamin aman, produk reksadana
tersebut sudah dipasarkan dalam jangka waktu yang lama dan Bank Indonesia telah
mengetahuinya. Oleh karena iming-iming itulah, maka para nasabah Bank Century
tersebut beramai-ramai memindahkan dana mereka yang awalnya berupa deposito,
sekarang diinvestasikan di reksadana PT. Antaboga Delta Sekuritas. Namun,
ternyata pada saat jatuh tempo, dana para nasabah tersebut tidak dapat
dicairkan. Menurut Kepala Bapepam LK, Fuad Rahmany, terkait kasus PT. Antaboga
Deltasekuritas Indonesia yang mengalihkan dana nasabah Bank Century senilai
Rp.400.000.000.000,- (empat ratus milyard) ke dalam pengelolaan dana (discretionary
fund). Bapepam LK, tidak pernah mengeluarkan izin untuk produk reksadana
yang dikeluarkan PT. Antaboga. Kalaupun ada yang membeli produk tersebut,
berarti dia terkena aksi penipuan. Kasus ini oleh dianggap sebagai pelanggaran
terhadap ketentuan pasal 50 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan.[7]
29 Desember 2005 Bank Century
dinyatakan sebagai Bank dalam pengawasan Intensif karena SSB valuta asing dan
penyaluran kredit yang berpotensi menimbulkan masalah. Status ini bertahan
hingga 6 November 2008 dan Bank Century dinyatakan sebagai bank dalam
pengawasan khusus. 15 September, Lehman Brothers (bank investasi terbesar
ketiga di Amerika Serikat) bangkrut. Kepanikan besar terjadi di Wall Street dan
seluruh dunia, terutama para pemegang surat berharga di bursa efek. Mayoritas
pelaku bursa menjual sahamnya dengan diskon besar karena takut dikemudian hari
harganya lebih turun lagi. Untuk menekan dampak krisis global, pemerintah
menaikan penjaminan pemerintah atas tabungan masyarakat di perbankan dari 100
juta menjadi Rp. 2 miliar.
Pada 15 Oktober 2008 Presiden
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) no. 4 Tahun 2008
tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Perpu JPSK ini menjadi dasar
hukum pembentukan Komisi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang kemudian
menyatakan Bank Century sebagai Bank gagal berdampak sistemik dan menyerahkan
penanganannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan.[8]
Kalau dilihat lebih
lanjut, memang biasanya terungkap apa saja yang menjadikan modal bank tersebut
menjadi negative, yaitu faktor utamanya adalah besarnya kredit macet dan ini
mungkin menyangkut kredit kapada grupnya, mungkin juga tidak. Apabila ada bank
yang posisi networthnya sudah negative, Bank Indonesia sudah harus memberikan
warning yang sangat keras dan melakukan pengawasan yang sangat ketat, karena
setiap bank yang sudah sampai pada posisi negative, bank tersebut akan selalu
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Penutupan bank yang sudah
posisi networthnya negative lebih cepat sangat lebih baik, karena jika diulur
waktu akan semakin memberatkan keadaan bank yang bersangkutan, dan akan
memberikan kepada pengelola dan pemilik bank untuk menyelamatkan kepentingan
mereka bukan lagi menyelamatkan bank tersebut, karena pasti sudah sulit mereka
lakukan.[9]
2.3.3 Kontoversi
Pendanaan Dalam Penyelamatan Bank Century
Menurut data yang kami
himpun dari berbagai sumber, skandal sudah tercium sejak 13 November 2008,
dimana saat itu Bank Century mengalami gagal wiring. Kemudiansaham BCIC
disuspen oleh otoritas Bursa. Dan pada tanggal 24 November 2008, BCIC kemudian
di takeover oleh pemerintah melalui LPS. Dalam proses penyelamatan tersebut,
diperkirakan ada sekitar empat kali suntikan dana dari LPS ke Bank Century.
Pertama, pada tanggal 23 November
2008 senilai Rp. 2, 776 Triliun (modal yang digunakan untuk mengembalikan rasio
kecukupan modal/CAR Bank Century dari Negative 3,53% menjadi 8%). Kedua, pada 5
Desember 2008 senilai Rp 2,201 triliun. Ketiga pada 3 Februari 2009 sebesar Rp
1,155 triliun untuk menutupi kekurangan CAR berdasarkan hasil perhitungan BI.
Keempat, pada 21 Juli 2009 senilai Rp 630 miliar.
Dengan demikian, total suntikan dana
yang dikucurkan LPS mencapai Rp 6, 762 triliun. Dengan total dana yang sudah
dikucurkan tersebut, terdapat potensi kerugian besar Rp 4,72 triliun hingga Rp
5,22 triliun. Nilai kerugian ini dimungkinkan karena harga jual saham Bank
century saat didivestasi tahun 2011 diperkirakan Rp 1,5-2 triliun.
Dalam situasi ekonomi yang sedang
berbenah, serta masalah rentetan manipulasi di tingkat kelembagaan, masyarakat
kemudian banyak mempertanyakan soal penting atau tidaknya menggelontorkan dana
talangan, dengan alasan teknis dan dampak sistemik yang akan ditimbulkan bila
bank ini tidak diselamatkan. Masalah ini menjadi bola panas, hingga menyeret
pemerintah karena mau tak mau tetap bertaut erat dengan kasus ini, terutama
pihak Bank Indonesia, serta lembaga lain yang terkait didalamnya. Sehingga bola
panas ini kian menggelinding liar.[10]
Ada
dugaan, pada 14 November 2008, ketika Bank Indonesia menguncurkan fasilitas pendanaan
jangka pendek senilai Rp 689,4 miliar kepada Century yang likuiditasnya sedang
ambruk, dana terseut justru mengalir kesejumlah rekening yang berkaitan dengan
keluarga Tntular. Dengan modus penggunaan “rekening tidur” nasabah lewat
pemalsuan data simpanan agar dapat dicairkan oleh pemilik bank. Atau, dengan
cara memecah rekening beberapa perusahaan yang berhubungan dengan Robert
Tantular agar dana bisa dicairkan.
Hal
lain yang patut dicermati adalah pengucuran dana Century diduga terkait pemilu
2009. Ada semacam konspirasi diantara pejabat pemerintahan untuk memanfaatkan
dana talangan Bank Century untuk belanja politik. Jika dilihat dari kronologi
kejadiannya, sangat mungkin benar. Waktu dana talangan dikucurkan, antara
November 2008-Juli 2009, partai-partai politik tengah berada dipuncak
aktivitas: Pemilu legislatif (April 2009) dan Pemilu Presiden (Juni 2009), dua
pesta demokrasi yang membutuhkan dana besar.
Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan, dari enam periode
penarikan dana talangan, paling besar terjadi pada periode kelima (antara 4
Februari-23Juli 2009), yakni sebesar Rp 5 triliun. Kembali saat persiapan dan
pelaksanaan pemilu, bail legislatif maupun presiden. Komisi Pemilihan Umum
(KPU) juga memiliki data yang berisi catatan seorang nasabah Bank Century yang
mendapat kemudahan pencairan dana dalam jumlah besar ternyata menjadi
penyumbang terbesar salah satu pasangan capres-cawapres.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melihat
ke belakang, kronologi kejatuhan Bank Century yang teridentifikasi di media
adalah sebagai berikut:
-
Tanggal 13 November
2008, Bank Century mengalami gagal kliring, yang kemudian dilanjutkan dengan
disuspennya saham bank tersebut oleh otoritas bursa. Dalam hal kegagalan
kliring ini, Gubernur Bank Indonesia saat itu bahwa kegagalan Kliring tersebut
adalah disebabkan oleh faktor teknis
berupa keterlambatan penyetoran prefund. Yang selanjutnya disebutkan bahwa
kondisi perbankan saat itu adalah mantap dan stabil serta mampu memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
-
Tanggal 14 November
2008, Bank Century sudah bisa mengikuti kliring kembali.
-
Tanggal 24 November
2009, Bank Century ditake-over oleh pemerintah melalui LPS.
DAFTAR PUSTAKA
Megawati, Sri. Kronologi Kasus Bank Century. Artikel yang diterbitkan pada selasa
23 Februari 2010.
Maeswara, Garda. Opera Van Century: Kunci Rahasia di Balik Skandal Bank Century.
Yogyakarta: Media Pressindo, 2010.
Sudiman Sidabukke. Kasus Bank Century Dalam Konstruksi Hukum Perdata. Halaman 3. Jurnal yang diterbitkan pada 29 Maret 2011
Aloysius Soni BL de Rosari. Centurygate: Mengurai Konspirasi
Penguasa-Pengusaha.(Jakarta: Kompas, 2010)
Sahrasad, Herdi. Centurygate: Refleksi Ekonomi-Politik Skandal Bank Century.
(Tanpa Kota: LKIS, 2009)
Majidi, Nasyith. Mega Skandal Drama Pembobolan dan Kolusi Bapindo (Bandung :
Penerbit Mizan, 1994).
http//www.Jhonmiduk8.blogspot.com
[1] Nasyith Majidi. Mega Skandal Drama Pembobolan dan Kolusi Bapindo
(Bandung : Penerbit Mizan, 1994), hal 21.
[2] Ibid, hal 31
[3] Ibid, hal 32
[4] Ibid, hal 62
[5] Sri Megawati. Kronologi Kasus
Bank Century. Artikel yang diterbitkan pada Selasa 23 Februari 2010.
[6] Garda Maeswara. Opera Van Century: Kunci Rahasia di Balik Skandal Bank
Century (Yogyakarta: Media Pressindo, 2010) Hlm. 71
[7] Sudiman Sidabukke. Kasus Bank
Century Dalam Konstruksi Hukum Perdata. Halaman 3. Jurnal yang diterbitkan pada 29 Maret 2011
[8] Aloysius Soni BL de Rosari. Centurygate:
Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha.(Jakarta: Kompas, 2010) Hlm. 325
[9] Herdi Sahrasad. Centurygate: Refleksi Ekonomi-Politik Skandal Bank
Century(Tanpa Kota: LKIS, 2009) Hlm.65
[10] Herdi Sahrasad, Op.Cit., hlm 54
0 Response to "Makalah Kasus Bank Century"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)