Makalah Sosial Ekonomi Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
BAB
I
PENDAHULUAN
Á Latar Belakang Masalah
Sejak dahulu, ketangguhan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara
dikenal mampu menjadi suatu kemaharajaan yang dipandang tinggi oleh
negara-negara lain yang melakukan kontak kedalam nusantara itu sendiri, kemakmuran
ini tercapai tidak dapat terlepas dari kekuataan sosial dan perekonomian. Dari
Sumatera terbesit kemaharajaan Sriwijaya, dan dari Jawa terkuak kemaharajaan
Majapahit. Sriwijaya, sesuai dengan
filosofi namanya “kejayaan yang gemilang” mampu membentuk persepsi orang-orang
sekarang ini, jika mendengar Sriwijaya tentu yang tergambar adalah mengenai
kejayaan maritim yang mampu diperoleh Nusantara abad ke-7 hingga abad ke-13
ini.
Sriwijaya memang mampu menjadi suatu kerajaan maritim besar karena memahami bahwa laut bukanlah sebuah pemisah namun pemersatu, jalur perdagangan laut menjadi kekuatan kerajaan Sriwijaya. Jika dilihat melalui pendekatan sistemik seperti yang diungkapkan A.B.Lapian dalam pidato pengukuhan Sejarah Nusantara Sejarah Bahari , “dengan pendekatan sistemik melihat wilayah perairan sebagai kesatuan berbagai macam satuan bahari maka proses integrasi dapat dipahami berdasarkan sejarah masing-masing sistem itu yang kian berkembang menjadi kesatuan yang lebih besar”[1], maka Sriwijaya adalah yang pertama membentuk suatu sistem kerajaan yang besar dengan menguasai sistem jalur perdagangan laut yang sebelumnya telah terbentuk. kerajaan tersebut berkembang dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di selat Malaka, selat Sunda, laut Cina selatan, laut Jawa dan selat Karimata.
Sriwijaya memang mampu menjadi suatu kerajaan maritim besar karena memahami bahwa laut bukanlah sebuah pemisah namun pemersatu, jalur perdagangan laut menjadi kekuatan kerajaan Sriwijaya. Jika dilihat melalui pendekatan sistemik seperti yang diungkapkan A.B.Lapian dalam pidato pengukuhan Sejarah Nusantara Sejarah Bahari , “dengan pendekatan sistemik melihat wilayah perairan sebagai kesatuan berbagai macam satuan bahari maka proses integrasi dapat dipahami berdasarkan sejarah masing-masing sistem itu yang kian berkembang menjadi kesatuan yang lebih besar”[1], maka Sriwijaya adalah yang pertama membentuk suatu sistem kerajaan yang besar dengan menguasai sistem jalur perdagangan laut yang sebelumnya telah terbentuk. kerajaan tersebut berkembang dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di selat Malaka, selat Sunda, laut Cina selatan, laut Jawa dan selat Karimata.
Sedangkan Majapahit , juga mendulang kesuksesan manis yang
diperoleh perluasan dan kekuasaannya dapat disandingkan dengan Sriwijaya.
Majapahit bertumpu pada kegiatan agraris walaupun tak terlepas pula dengan
kegiatan maritimnya, tentunya hal ini ditunjang dengan hubungan luar nusantara
yang dijalin
oleh majapahit yang menghasilkan keuntungan bagi majapahit . Hasil
pertanian dari Majapahit dijual kepada Cina dan negara lainnya seperti Campa,
Khmer, Thailand, dll. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhannya Majapahit mengimpor
komoditi seperti keramik dari Cina, kain dari India dan dupa dari Arab.
Sesuai dengan perkuliahan Sejarah Sosial Ekonomi ini bahwa ekonomi
akan mempengaruhi kegiatan sosial dan begitu pula dengan interaksi sosial
menyebabkan aktifitas ekonomi terjalin. Kerajaan sriwijaya begitu mengandalkan
mata pencaharian berupa perdagangan karena kuatnya pelabuhan-pelabuhan sehingga
menjadi emporium di Asia Tenggara, dari sini tentunya akan mempengaruhi
aktifitas sosial antara pedalaman dan pesisir.
Sedangkan majapahit yang komoditasnya adalah beras sehingga
akan membuat daerah pelabuhan yang menjadi vasal-vasalnya tergantung akan
majapahit. Dari kedua masalah ini, tentunya Sosial ekonomi di kedua kerajaan
mempunyai karakteristiknya sendiri dan penyebab kedua hubungan tersebut.
Makalah ini dimaksudkan untuk mengkaji kausalitas antara sosial ekonomi dan apa
saja yang mendasarinya.
Á
Rumusan
Penulisan
-
Bagaimanakah keadaan sosial kerajaan Sriwijaya
-
Bagaimanakah keadaan sosial kerajaan Majapahit
-
Bagaimana keadaan ekonomi kerajaan Sriwijaya
-
Bagaimana keadaan ekonomi kerajaan Majapahit
-
Apakah hubungan interaksi sosial kemasyarakatan dalam
kegiatan ekonomi kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
Á
Tujuan
Penulisan
-
Mengetahui bagaimana keadaan sosial kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit
-
Mengetahui bagaimana keadaan ekonomi kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit
-
Mengetahui Apa hubungan interaksi sosial kemasyarakatan
dalam kegiatan ekonomi kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
BAB II
PEMBAHASAN
Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
a. Agama
Mari kita membicarakan keadaan sosial , yang
akan kita bahas secara berurutan dimulai dari kehidupan keagamaannya di
Sriwijaya. Sriwijaya dikenal
sebagai kerajaan bahari yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari pelayaran
dan perdagangan, dengan adanya hal ini pikiran kita otomatis tertuju pada
komoditas barang yang dihasilkan, namun ketenaran Sriwijaya bukan hanya
mengenai komoditas SDA saja namun juga kehidupan sosial SDM nya, Sriwijaya
menganut agama Buddha Mahayana, kendati demikian aktivitas keagamaan pada masyarakat di wilayah Śrīwijaya bukan hanya
agama Buddha Mahāyāna saja, agama lain juga berkesempatan untuk berkembang,
ini tentu berhubungan dengan pentingnya menjaga hubungan luar negeri
perdagangan dan pelayaran Sriwijaya sehingga tetap terbuka bagi agama-agama
lain.
Sebagai buktinya arkeologis
berupa arca batu yang mewakili agama Hindu dan Tantris, juga ditemukan di
wilayah Śrīwijaya. Di Palembang, selain ditemukan arca Buddha juga
ditemukan arca Hindu yang berupa arca Ganeśa (abad ke-9 Masehi)[2] dan arca Śiwa. Banyak pula biksu-biksu yang datang dari luar
daerah untuk belajar agama buddha di Sriwijaya sehingga ketenaran nya semakin
cemerlang, biksu dari luar daerah itu biasanya menetap untuk waktu yang lama.
Jika tadi Sriwijaya begitu terkenal dengan Buddha mahayana nya dan
berbagai aliran yang diperbolehkan berkembang maka , di Majapahit terdapat
tiga aliran yang hidup berdampingan di kerajaan majapahit, yaitu agama Siwa,
Wisnu dan Buddha Mahayana.[3]
Segala Upacara keagamaan berjalan secara berdampingan. Di kalangan atas, di
kalangan para ahli pikir terdapat proses sinkretisme yang membuat Siwa dan
Buddha sama nilainya. Sewaktu hidup raja dipandang sebagai titisan Wisnu,
tetapi setelah wafat raja dimakamkan sebagai Siwa. Majapahit juga tidak hanya
mematok satu aliran keagamaan saja karena Pedagang asing yang datang ke
Majapahit berasal dari Campa, Khmer, Tahiland, Burma, Srilangka, dan India.
Mereka tinggal di beberapa tempat di Jawa dan beberapa di antara mereka ditari
pajak oleh pemerintah kerajaan, jika terdapat larangan bagi aliran lain selain
buddha maka tentu akan mengurangi pemasukan Majapahit itu sendiri. Di samping itu, agama juga difungsikan sebagai sarana
legitimasi oleh para penguasa. Raja Jayanagara yang mengawali masa kejayaan
Majapahit, melegitimasi dirinya sebagai penjelmaan dewa Wisnu.
Di dalam beberapa prasasti yang sudah ditemukan, Jayanagara
menggunakan symbol (lancana) ikan/mina (matsya). Malaya atau ikan ini merupakan
salah satu awatara dewa Wisnu. Pelegitimasian yang dilakukan oleh Jayanagara
ini berhubungan dengan situasi politik pada waktu itu, terutama yang terkait
dengan usaha dan keberhasilan Jayanagara di dalam menghalau dan mengembalikan
takhta kerajaan, yang sebelumnya dipenuhi dengan serangkaian pemberontakan. Hal
yang sama juga dilakukan oleh raja Tribhuwanatunggadewi, yang juga menggunakan
nama Wisnu di dalam abhisekanama-nya. Raja Hayamwuruk, meskipun tidak
menggunakan unsur dewa dalam nama gelarnya, tetapi juga memanfaatkan agama di
dalam melegitimasi dirinya. Usaha Hayamwuruk dalam melegitimasi diri dilakukan
dengan cara memberikan penghormatan terhadap para leluhur, dan mengakui serta
mengakomodasi seluruh komponen agama yang ada dan berkembang pada masa
pemerintahannya. Upacara-upacara ritual, seperti upacara Sraddha, dan pembangunan
serta membangun kembali candi-candi tempat pendarmaan pendahulunya, merupakan
bentuk nyata dari raja Hayamwuruk yang memanfaatkan agama sebagai sarana
legitimasi.[4]
b. Struktur
Birokrasi
Srīwijaya adalah suatu kerajaan yang berbentuk Kadātuan (=
kelompok dātu), dan di dalam kadātuan itu terdapat suatu sistem
birokrasi. Dalam struktur birokrasi kadātuan ini telah tampak nafas
kebaharian dari Śrīwijaya, misalnya jabatan kapten bahari (pūhavam).[5]
Datu-datu yang diberikan regionalnya masing-masing ini harus mengabdi
kepada raja yang teratas , para penguasa Śrīwijaya harus menguasai
sumberdaya alam yang merupakan komoditi perdagangan, jalur-jalur perdagangan
darat dan air (sungai dan laut), dan pelabuhan-pelabuhan tempat barang komoditi
ditimbun sebelum dipasarkan. Penguasaan tempat-tempat tersebut dengan
sendirinya memerlukan pengawasan langsung dari penguasa. Oleh sebab itu tidak
heran kalau dātu Śrīwijaya harus sangat setia, meskipun hanya sedikit,
termasuk dari anaknya sendiri. Agar memudahkan pengawasan, para pejabat yang
mempunyai daerah kekuasaan harus tinggal di pusat pemerintahan. sriwijaya juga
banyak mengeluarkan prasati yang berisi mengenai kutukan bagi pengkhianat
walaupun itu saudara raja, hal ini dilakukan untuk menjaga keutuhan dari
strktur birokrasi yang berfungsi menjaga kestabilan ekonomi dalam kerajaan itu
sendiri.
Majapahit, Struktur pemerintahan Kerajaan Majapahit mencerminkan
kekuasaan yang bersifat teritorial dan disentralisasikan dengan birokrasi yang
terperinci sehingga basis kekuasaan sebagian besar berada di tangan birokrasi
sekuler, politik dan militer. Struktur tersebut ada karena terpengaruh
kepercayaan yang bersifat kosmologi yang telah menjadi dasar kerajaan-kerajaan
Hindu Buddha yang ada Asia Tenggara. Di dalam mekanismenya pemerintah menjamin
kehidupan ekonomi para birokrat, sehingga dapat mengeksploitasi pertanian
rakyat dan perdagangan.[6]
Dalam struktur birokrasi pemerintahan Majapahit, Raja
yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia memegang otoritas politik
tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan
pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan
kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra
mahkota sebelum menjadi raja biasanya diberi kedudukan sebagai raja muda
(pemerintahan Majapahit, Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia
memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan.
Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi.
Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan
birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya diberi kedudukan
sebagai raja muda (yuwaraja atau kumararaja). Putra-putra raja dari
pameswari biasanya memiliki sebuah daerah lungguh
(apanage).[7]
Pada zaman Majapahit kita mengenal pula kelompok yang
disebut Bhattara Saptaprabhu, yang
merupakan sebuah pohom narenda, yaitu
suatu lembaga yang merupakan ‘Dewan Pertimbangan Kerajaan’. Dewan ini bertugas
memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota-anggotanya adalah
para sanak saudara raja. Lembaga Bhattara
Saptaprabhu ini pertama kali diketahui dari prasasti Singasari yang berangka
tahun 1273 Saka (27 April 1351 M), yang dikeluarkan oleh Rakyran Mapatih Pu
Mada. Kemudian diketahui pula disebutkan di dalam kidung Sundayana dengan sebutan Saptaprabhu, dan di dalam kakawin
Nagarakrtagama dengan sebutan pohom narenda.[8]
Di bawah Raja Majapahit terdapat sejumlah raja-raja
daerah (paduka bhattara), yang masing-masing memerintah sebuah negara daerah.
Mereka ini biasanya merupakan saudara-saudara atau para kerabat dekat raja yang
memerintah. Dalam pelaksanaan tugas-tugas kerajaan mereka ini dibebani tugas
dan tanggung jawab untuk mengumpulkan penghasilan kerajaan dan penyerahan upeti
kepada perbendaharaan kerajaan, dan juga meliputi fungsi pemerintahan daerahnya
dibantu oleh sejumlah pejabat daerah, dengan struktur yang hampir sama dengan
yang ada di pusat kerajaan, tetapi dalam skala yang lebih kecil. Oleh karena
itu, mereka berhak pula mengangkat pejabat-pejabat birokrasi bawahannya.[9]
Perintah dari raja biasanya diturunkan kepada para
pejabat yang disebut Rakryan Mahamantri Katrini dan kemudian diteruskan kepada
pejabat-pejabat yang ada di bawahnya. Yaitu para Rakryan Mantri ri
Pakiran-kiran, para Dharmmadhyaksa dan para Dharmma-uppati.[10]
Rakryan Mahamantri Katrini terdiri dari tiga orang dan
diantara ketiga orang tersebut ada Rakryan Mahamantri I Hino yang agaknya
merupakan yang tertinggi dan dekat dengan raja, bahkan ia dapat pula
mengeluarkan piagam-piagam berupa prasasti.[11]
Rakryan Mantri ri Pakiran-kiran merupakan sebuah
“Dewan Mentri” yang berfungsi sebagai “Badan Pelaksana Pemerintah”. Terdiri
dari lima orang pejabat yang disebut Sang Panca Ring Wilwatikta. Diantara
kelimanya, Rakryan Mapatih menduduki posisi penting sebagai perdana mentri dan
mentri utama.[12]
Dharmmadhyaksa adalah pejabat tinggi yang berfungsi
menjalankan yuridiksi keagamaan. Dan pada zaman Hayam Wuruk terdiri dari tujuh
buah pejabat sehingga namanya adalah Dharmma-uppati.[13]
c.
Hubungan nusantara dan Internasional
Sriwijaya
terletak di Palembang, sumatera selatan, Hubungan dagang dengan India dan
Cina telah dilakukan oleh Sriwijaya untuk menopang ekonomi kerajaan. Namun
selain melakukan hubungan internasional dengan luar negeri, tentunya telah ada
pula hubungan antar nusa satu bangsa. Yang dimaksudkan di sini adalah hubungan
dengan kerajaan-kerajaan sekitar di wilayah Nusantara atau Indonesia sendiri,
terutama dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan di
Jawa paling tidak telah berlangsung sampai masa akhir Singasari.
Hubungan antar nusa itu bisa berupa hubungan damai maupun kontak
senjata dalam rangka ekspansi untuk meluaskan kekuasaan masing-masing. Hubungan
luar negeri Sriwijaya sudah ada diberita Cina abad V , karena Sriwijaya
(Kantoli) mengirimkan utusan ke negeri Cina. Berita Cina yang menyebutkan
kedatangan utusan dari Sumatera tang berikutnya berasal dari tahun 664 atau
awal 645 M. Hubungan yang erat antara Sriwijaya dan Cina sudah terlihat.
Hubungan luar negeri Sriwijaya tidak hanya dengan Cina tetapi juga dengan India
dengan bukti prasasti raja Dewapaladewa dari Benggala[14].
Majapahit
sama , menekankan perekonomian pada kehidupan pertanian, hasil nya berupa padi,
lada, garam, kain, dan burung kaka tua, semuanya merupakan barang ekspor utama[15]. Majapahit saat itu membuat sebuah jaringan perdagangan baik
tingkat lokal maupun regional. Mereka juga pergi ke pulau-pulau lain seperti:
Banda, Ternate, Ambon, Banjarmasin, Malaka, hingga kepulauan Filipina. Beberapa
daerah tersebut tercatat dalam Kitab Negarakertagama dan termasuk kategori
negeri yang menyerahkan upeti dalam sistem pertukaran Tributari (Barter). Dalam kehidupan sosialnya Majapahit menjalin
hubungan dengan Cina, keduanya
berhubungan baik. Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan dapat di
ketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif
maju[16].
Penduduk di pantai utara di kota-kota pelabuhan, seperti Gersik, Tuban,
Surabaya dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang . kota-kota pelabuhan tersebut
banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia
Tenggara, dan Cina.
a. komoditas
Selama
beberapa abad Sriwijaya berfungsi sebagai pelabuhan samudra pusat perdagangan
dan pusat kekuasaan yang menguasai pelayaran dan perdagangan dibagian Barat
Indonesia. Oleh Meilink Roclofsz digambarkan bahwa barang-barang yang
diperdangangkan di sana adalah tekstil, kapur barus, mutiara, kayu,
rempah-rempah, gading kain katun, perak, emas, sutera porselin, gula, dan
sebagainya[17]. Kapur
barus sangat terkenal masa itu, Kapur Barus (camphor) adalah
suatu produk alamiah dalam bentuk kristal yang dihasilkan oleh sejenis pohon
yang tumbuh di hutan tropis Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Tanah Melayu,
kapan perdagangan mengenai kapur barus memang belum terdapat dalam sumber
tertulis namun catatan tertua mengenai barang komoditi ini berasal dari masa
dinasti Tiongkok selatan (abad ke-6 Masehi). Catatan itu menyebutkan bahwa
salah satu produk dari Lang-ya-shiu
di wilayah semenanjung adalah parfun Po-lu.
Para pakar mengidentifikasikan Po-lu
sebagai terjemahan dari Barus, sebuah toponim terkenal yang lokasinya
terletak di pantai barat Sumatra Utara.[18]
Sebagai
pusat perdagangan Sriwijaya sering dikunjungi oleh para pedagang dari Persia,
Arab, dan Cina yang memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri
yang dilaluinya. Sedangkan para pedagang Jawa membelinya dan menjual
rempah-rempah. Kebijakan
ekonomi yang dilakukan raja – raja, dengan kontrak politiknya yang bersinambung
antara raja – raja, dan kaisar Cina serta beberapa penguasa yang kuat di India.
Barang – barang dagangan untuk dipertukarakan dengan produk Cina, dan diantara
barang dagangan Sumatra cula badak, disukai Cina karena dianggap punya kualitas
pengobatan dan yang paling berharga. Sementra produk dari Sriwijaya terdapat:
timah, emas, gading, rempah – rempah, kayu berharga dan kamper. [19]
Sedangkan
Majapahit, pada dasarnya ada enam jenis aktivitas perekonomian yang mendukung
Majapahit yaitu pertanian, perkebunan, pemanfaatan hutan, peternakan,
perburuan hewan, dan kerajinan. Bahan makanan yang dihasilkan pertanian di
Majapahit umumnya tidak jauh berbeda pada masa sekarang ini bahan makanan
tersebut adalah beras, umbi-umbian, cabe, labu, kacang-kacangan, rempah-rempah,
buah-buahan, dan jenis palem.
Namun yang
menjadi produksi utama pada masyarakat adalah produksi padi, hal tersebut
sesuai dengan kondisi makanan pokok masyarakat jawa kuno adalah beras. Beras
menjadi bahan kebutuhan pokok masyarakat jawa bahkan hingga kini beras masih
menjadi konsumsi utama masyarakat Indonesia, pada saat kerajaan majapahit beras
merupakan penentu perekonomian Majapahit. Beras tidak hanya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan setempat bahkan menjadi komoditas eksport, di masa Majapahit
beras digunakan juga untuk di barter dengan rempah-rempah yang berada di
Maluku, kemudian rempah-rempah tersebut menjadi bahan yang dapat dikonsumsi dan
diperjual belikan dengan pedagang yang berasal dari luar Nusantara. Pertanian
merupakan sumber pendapatan karena adanya pajak yang dikenakan pada petani.
Pajak pertanian tersebut menjadi pemasukan yang sangat besar bagi pihak
kerajaan.
b. ekspansi
Rantai-rantai
perdagangan dikuasai oleh Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan besar. Ekspansi
Sriwijaya ke Jawa dan semenanjung Malaya telah menjadikan kerajaan tersebut
sebagai pusat kontrol dari dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Dapunta Hiyaŋ meluaskan
kekuasaannya ke wilayah-wilayah jauh dari Palembang. Mungkin juga
wilayah-wilayah yang menjadi wilayah taklukan Śrīwijaya telah lebih dahulu
ditaklukan sebelum Dapunta Hiyaŋ membangun wanua Śrīwijaya.
Wilayah-wilayah yang menjadi taklukan Śrīwijaya adalah Karangberahi (daerah
hulu Batanghari), Kota Kapur (Pulau Bangka), Palas Pasemah dan Bungkuk
(Lampung).[20] Masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun
792 hingga 835 Masehi, penguasaan Sriwijaya di tanah Jawa makin diperkuat. Pada
masa tersebut candi Borobudur yang kini disebut sebagai warisan budaya dunia,
dibangun.[21]
Prasasti-prasasti yang
menginformasikan adanya hubungan politik melalui ekspansi ke tanah Jawa yaitu
Prasasti Kota Kapur (608 Ç), Prasasti Karang Berahi, Prasasti Palas Pasemah, Prasasti
Añjukladang (859 Ç / 937 M), dan Prasasti Citatih / Sang Hyang Tapak 10 30 M.
Dua dari lima prasasti tersebut yang di temukan di Jawa yaitu Prasasti
Añjukladang (Jawa Timur) (Casparis, 1958) dan Prasasti Citatih /Sang Hyang
Tapak (Jawa Barat); sedangkan Prasasti Kota Kapur (608 Ç), Prasasti Karang
Berahi, dan Prasasti Palas Pasemah ditemukan di Sumatera (Palembang, Jambi,
Lampung). Prasasti. Ketiga prasasti ini menggunakan huruf pallawa dan bahasa
melayu kuna.(Utomo, 2007).[22]
Sekarang kita beralih membicarakan Majapahit, setelah
berhasil menyelamatkan Jayanegara dan menumpas pemberontakan Kuti dibawah
pimpinan Gajah Mada. Ia diberkahi gelar Patih di Kahuripan pada tahun 1321 M.
Pada tahun 1328, Jayanegara tewas dibunuh oleh Tabib Israna Ratanca, ia
didharmakan di dalam pura di Sila Petak dan Bubat. Jayanegara tidak mempunyai
putra, maka takhta kerajaan digantikan oleh adik perempuannya yang bernama
Tribhuanatunggadewi. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar
Tribhuanatunggadewi Jaya Wisnu Wardhani. Pada masa pemerintahannya, terjadi
pemberontakan Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Pemberontakan ini dapat
dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai penghargaan atas jasanya, Gajah Mada
diangkat menjadi mahapatih di Majapahit oleh Tribhuanatunggadewi.[23]
Di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, Gajah Mada
mengucapkan sumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa. Isi sumpahnya, ia
tidak akan Amukti Palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun,
Seran, Panjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.
Kemudian terjadi penaklukan
Bali dalam tahun 1343 M. Raja bali yang berkelakuan jahat dan berbudi rendah
dapat dibunuh beserta segenap keluarganya.[24]
Pada tahun 1350 M putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan
menjadi raja Majapahit. Ia bergelar Sri Rajasanagara, dan dikenal pula dengan
nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya, Tribhuanatunggadewi, masih
memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi raja muda (rajakumara) dan
mendapat daerah Jiwana sebagai daerah lungguh-nya. Dalam menjalankan
pemerintahannya Hayam Wuruk didampingin Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih
Hamangkubhumi. [25]
Dengan bantuan patih hamangkubhumi Gajah Mada raja Hayam
Wuruk berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Seperti halnya
raja Kertanagara yang mempunyai gagasan politik perluasan cakrawala mandala
yang meliputi seluruh dwipantara, Gajah mada ingin melaksanakan pula gagasan
politik nusantara yang telah dicetuskan sebagai sumpah palapa di hadapan raja
Tribhuanatunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit. Dalam rangka
menjalankan politik nusantaranya itu satu demi satu daerah-daerah yang belum
bernaung di bawah panji kekuasaan majapahit ditundukkan dan dipersatukan. Dari
pemberitaan Prapanca di dalam kakawin Nagarakrtagama kita mengetahui bahwa
daerah-daerah yang ada ini meliputi hampir seluas wilayah Indonesia sekarang,
meliputi daerah-daerah di Sumatra di bagian barat sampai ke daerah-daerah
Maluku dan Irian di bagian Timur bahkan pengaruh itu telah diluaskan pula sampai
ke beberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara. Agaknya politik nusantara
ini berakhir sampai tahun 1357 M, dengan terjadinya peristiwa di Bubat, yaitu
perang antara orang Sunda dan Majapahit.[26]
c. Perdagangan
Sumber-sumber tertulis
(sejarah) yang merupakan catatan harian dari orang-orang Tionghoa, Arab, India,
dan Persia menginformasikan pada kita bahwa tumbuh dan berkembangnya pelayaran
dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan Tiongkok sejak abad
ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah, disebabkan oleh dorongan pertumbuhan dan
perkembangan emporium-emporium besar di ujung barat dan ujung timur benua Asia.
Di ujung barat terdapat emporium muslim di bawah kekuasaan Khalifah Bani
Umayyah (660-749 Masehi) dan kemudian Bani Abbasiyah (750-870 Masehi), serta di ujung timur Asia terdapat kekaisaran
Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T’ang (618-907 Masehi). Bisa jadi kedua emporium itu yang mendo-rong
majunya pelayaran dan perdagangan Asia, namun tidak bisa dilupakan peranan
Śrīwijaya sebagai sebuah emporium yang menguasai Selat Melaka pada abad ke-7-11
Masehi. Śrīwijaya merupakan kerajaan maritim yang menitik beratkan pada
pengembangan pelayaran dan perdagangan.[27]
Hubungan pelayaran dan
perdagangan antara bangsa Arab, Persia, dan Śrīwijaya rupa-rupanya dibarengi
dengan hubungan persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di kawasan yang
berhubungan dagang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya beberapa surat
dari Mahārāja Śrīwijaya yang dikirim-kan melalui utusan kepada Khalifah Umar b.
̀ Abd Al-̀ Aziz (717-720 Masehi). Isi surat tersebut antara lain tentang
pemberian hadiah sebagai tanda persahabatan, juga permintaan agar mengirimkan
mubaligh untuk mengajarkan Islam ke Śrīwijaya. [28]
Bukti-bukti arkeologis yang
mengindikasikan kehadiran pedagang Po-sse di Nusantara (Śrīwijaya dan Mālayu)
adalah ditemukannya artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol, jambangan
dll di Situs Barus (pantai barat Sumatra Utara)
dan situs-situs di pantai timur Jambi (Muara Jambi, Muara Sabak,
Lambur). Barang-barang tersebut merupakan komoditi penting yang didatang¬kan
dari Persia atau Timur Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya antara lain Siraf,
Musqat, Basra, Kufah, Wasit, al-Ubulla, Kish, dan Oman. Dari Nusantara para pedagang
tersebut membawa hasil bumi dan hasil hutan. Hasil hutan yang sangat digemari
pada masa itu adalah kemenyan dan kapur barus.[29]
Hubungan pelayaran dan perdagangan yang
kemudian dilanjutkan dengan hubungan politik, pada masa yang kemudian
menimbulkan proses islamisasi. Dari proses islamisasi ini pada abad ke-13
Masehi kemudian muncul kerajaan Islam Samudera Pasai dengan sultannya yang
pertama adalah Malik as-Saleh yang mangkat pada tahun 1297 Masehi. Menurut
kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, dan catatan
harian Marco Polo yang singgah di Peurlak tahun 1292 Masehi, Samudera Pasai
bukan hanya kerajaan Islam pertama di Nusantara, tetapi juga di Asia Tenggara.
Kehadiran kerajaan Islam ini semakin mempererat hubungan antara Sumatra dan
negara-negara di Arab dan Persia. [30]
Pada pertengahan abad ke-14
Masehi Ibn Batuta singgah di Pasai yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan
Malik al-Zahir. Dalam catatan hariannya dise¬but¬kan bahwa Sultan adalah
seorang penganut Islam yang taat dan ia dikelilingi oleh para ulama dan dua
orang Persia yang terkenal, yaitu Qadi Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj
ad-Din dari Isfahan. Ahli-ahli tasawwuf atau kaum sufi yang datang ke Samudera
Pasai dan juga ke Melaka dimana para sultan menyukai ajaran “manusia sempurna/Insan
al-Kamil” mungkin sekali dari Persia.[31]
Makin eratnya hubungan
antara kerajaan di nusantara dengan Persia tidak menutup kemungkinan adanya
akulturasi dalam bidang keagamaan, misalnya saja dengan masuknya Syi’ah ke
nusantara, belum lagi pedagang-pedagang dari Persia yang menetap di nusantara
juga menambah kekayaan budaya nusantara.
Sekarang beralih ke
perdagangan di Majapahit, seperti yang sudah diketahui bahwa komoditas utama
majapahit adalah dalam bidang agraris yaitu beras namun tentunya tidak hanya
sampai disitu saja. Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan yang
berkunjung ke Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk, dapat
diketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu
relatif maju. Catatan Ma Huan menguraikan antara lain sebagai berikut : Di
Majapahit udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita (Cina),
panen padi 2 kali setahun, padinya kecil-kecil, berasnya berwarna putih. Di
sana juga ada buah jarak dan karapodang (kuning), tetapi tidak ada tanaman
gandum. Kerajaan itu menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah
pala, cabe merah panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang
sudah dimasak. Burungnya aneh-aneh, ada nuri sebesar ayam dengan aneka warna
merah, hijau, dan sebagainya. Beo yang semuanya dapat diajari berbicara seperti
orang,kakatua, merak, dan lainnya lagi. Hewan yang mengagumkan adalah kijang
dan kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai
dan angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima,
manggis, langsap, semangka, dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai.[32]
Penduduk di pantai utara di
kota-kota pelabuhan seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan
menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang
asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara, dan Cina. Ma Huan
memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan tersebut banyak orang Cina dan Arab
menetap, penduduk anak negeri datang ke kota-kota tersebut untuk berdagang.[33]
Para pedagang pribumi
umumnya sangat kaya, mereka suka membeli batu-batu perhiasan yang bermutu,
barang pecah belah dari porselin Cina dengan gambar bunga-bungaan berwarna
hijau. Mereka juga membeli minyak wangi,kain sutra, katun yang baik dengan
motif hiasan ataupun yang polos, mereka membayar dengan uang tembaga Majapahit,
uang tembaga Cina dari dinasti apapun laku di kerajaan Majapahit.[34]
Faktor-faktor yang mendasari
agraris Majapahit begitu ditingkatkan antara lain :
1.
Konsepsi keagamaan: baik ajaran Hinduisme menyatakan bahwa daratan
adalah tempat penting, tempat itu dinamakan Jambhudwipa, sebagai lokasi
bermukimnya manusia. Dengan demikian kerajaan-kerajaan yang bercorak Hinduisme
di Jawa lebih mementingkan inward looking dan tidak memperhatikan daerah-daerah
di luar Jambhudipa (Jawadwipa).
2.
Dalam konsep makro kosmos Hinduisme dinyatakan bahwa di tengah
Jambhudwipa terdapat Gunung Mahameru sebagai pusat alam semesta dan axis mundi
antara ketiga dunia (bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka). Di bagian kaki gunung
itu adalah tempat tinggal manusia, di lerengnyabermukim orang-orang suci dan
para pertapa, dan di bagian puncak gunungMahameru terdapat sorga atau kota-kota
tempat bersemayamnya para dewa dinamakan Sudarsana. Maka dari itu banyak
kerajaan yang bernafaskan Hinduisme selalu mendekatkan diri kepada gunung dan
dan dataran tinggi yang dipercaya sebagai jelmaan dari Gunung Mahameru pusat
alam semesta. Dalam konsep ini daerah tepian pantai, laut atau lautan dianggap
daerah yang nista dan kotor, tempat tinggal roh-roh jahat, para raksasa, dan
makhluk-makhluk rendah lainnya. Oleh karena itu perhatian kepada laut,
pelayaran dilaut dan menjelajah lautan bukan aktivitas yang disenangi oleh para
pemelukagama Hindu.
3.
Terdapat mitos Agastya yang menyatakan adanya larangan bagi para pendeta
Hindu untuk berlayar menyeberangi lautan. Oleh karena dalam mitologinya Agastya
dipercaya menghirup air laut sehingga kering (oleh karena itu dinamakan Rsi
Kumbhayoni, arcanya selalu digambarkan berperut buncit), barulah Agastya berjalan
kaki dari Jambhudwipa ke pulau-pulau lain di selatan India hingga ke Nusantara.
Di Nusantara Agastya dipuja sebagai pendeta suci murid Siwa yang berjasa
menyebarkan Hindu-saiwa.
Bisa dilihat bahwa faktor agama yang paling menonjol
dalam kegiatan agraris begitu kuat di Majapahit. Faktor-faktor eksternal
lainnya antara lain adalah karena perdangan abad ke-7 hingga 12 masih belum
ramai, belum ditemukannya komoditas yang tepat terutama rempah-rempah dan
Bandar-bandar dagang yang masih belum massive.
Dalam Prasasti Gondosuli (OJO III) yang berangka tahun
769 Saka/847 M disebutkan adanya pejabat yang berjuluk dang puhawa(ng) Glis.
Istilah dang puhawang dalam masa kemudian di Jawa diucapkan dengan ”dampoawang”
yang artinya nakhoda kapal besar, saudagar kaya, atau pemimpin perjalanan
dengan kapal di laut. Dang sebenarnya setara dengan sang, yaitu kata sandang
bagi seseorang yang dihormati, adapun kata puhawang dari kata pu + hawan
memiliki kata dasar hawan atau hawang. Pu menunjuk kata sandang juga berarti ”dihormati,
dimuliakan” dan hawan artinya jalan, kendaraan, alat/cara untuk mencapai
sesuatu (Zoetmulder 1995, I : 345). Uraian Prasasti Gondosuli (ditemukan di
lereng utara Gunung Sumbing) yang menggunakan bahasa Melayu Kuno menyiratkan
adanya seorang saudagar kaya atau nakhoda besar dari daerah Malayu (Sumatra)
yang akhirnya mendarat dan bermukim di pedalaman Jawa bagian tengah.[35]
Dapat ditafsirkan bahwa dalam masa itu terjadi
hubungan laut antara Sumatra dengan Jawa. Inskripsi berbahasa Melayu Kuno
lainnya yang ditemukan di Jawa Tengah adalah Prasasti Sojomerto (sekitar tahun
700 M). Dengan adanya temuan tersebut penafsiran telah ada hubungan antara Jawa
dan Sumatra semakin menguat, dan dapat dipastikan hubungan itu terjadi melalui
jalur laut, artinya telah dikenal perahu-perahu. Jejak kapal besar dalam era
Syailendra abad ke-8 s.d 10 sudah banyak dikaji oleh para ahli lewat
penggambaran relief di Candi Borobudur. Kapal Borobudur tersebut bahkan telah
dibuat replikanya dan dilayarkan ke laut. Dengan demikian pelayaran di laut
lepas ketika pusat kerajaan di Jawa bagian tengah masih berdiri sudah barang
tentu telah dikenal, namun perhatian terhadap pengembangan perahu-perahu besar
untuk meluaskan pengaruh Kerajaan Mataram hingga luar Jawa belum ada buktinya,
kecuali interpretasi adanya hubungan antara Sriwijaya dan Mataram dalam abad
ke-9 M.[36]
Dalam masa yang sama sebagaimana disebutkan dalam
prasasti-prasasti Jawa Kuno dikenal pula kata hawan. Perkembangan selanjutnya
mengartikan kata hawan/ng sebagai kendaraan perahu. Uraian prasasti-prasasti
Jawa kuno menyebutkan kata hawan berarti perahu atau kapal. Misalnya dinyatakan
dalam Prasasti Kubu (827 Saka/905 M): ”mwaK ikanaK rama i kubu-kubu… an pinaka
hawan ing wai” (”kemudian rama di Kubukubu… bagaikan perahu di sungai”).Prasasti
lainnya yang menyebutkan hawan adalah Telang I (825 S/903 M): ”makamitana
ikanaK kamulan muaK prahu umantassakna sang mahawan pratidina” (”alasannya, di
sana [ada] kamulan dan perahu yang mendarat dan dikendarai setiap hari”) Dalam
Prasasti Mantyasih I (829 S/907 M) dinyatakan juga ”ikanaK patih rumaksa ikanaK
hawan” (”di sana patih memelihara perahu”).Hal itu menunjukkan bahwa perahu
sebagai kendaraan dikenal di pedalaman Jawa, namun prasasti-prasasti dan karya
sastra tidak memberitakan adanya ekspedisi ke luar Jawa dalam era
Syailendrawangsa. Sehingga dapat dikemukakan bahwa Kerajaan Mataram kuno belum
mengembangkan pengaruhnya hingga luar Jawa, artinya dunia maritim masih belum
diperhatikan dengan baik, keculai di masa mendatang ditemukan bukti-bukti baru.
Adalah Kerajaan Singhasari yang dapat ditafsirkan mulai memperluas wawasan
wilayahnya hingga ke luar Jawa. Interpretasi tersebut diperoleh berdasarkan
berita kitab Pararaton yang didukung oleh peninggalan arkeologis berupa arca
yang ditulisi prasasti (Prasasti Amoghapasa bertarikh 1208 Saka/1286 M) yang
dikeluarkan oleh Krtanagara. Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah
Singhasari, menurut berita Cina Krtanagara pernah didatangi Meng-chi utusan
dari Kublai Khan agar Jawa menghamba kepada kaisar dinasti Yuan tersebut.
Krtanagara tidak terima dan marah, lalu melukai wajah utusan Kubhilai Khan, dan
memerintahkan Meng-chi agar segera enyah dari Pulau Jawa. Krtanagara segera
mengirimkan sejumlah besar tentara Singhasari ke Suwarnabhumi dengan maksud
Suwarnabhumi mengakui kekuasaan Singhasari dan dapat membendung kekuasaan
Kubhilai Khan ke arah Selat Malaka dan kepulauan Asia Tenggara. Pamalayu
tersebut, demikian kitab Pararaton menyatakan berhasil dengan gemilang, raja
Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dihadiahi arca Amoghapasa oleh Krtanagara.[37]
Hal inilah yang menjadi indikasi awal maritim di Majapahit mulai
ditingkatkan dengan menginvasi daerah-daerah pelabuhan dan tentunya menggambil
alih monopoli perdagangan disana.
Hubungan Erat antara sosial dan
Ekonomi
Sriwijaya dan Majapahit
Kehidupan sosial selalu berkaitan dengan ekonomi
, dalam hal ini seperti kehidupan dua kerajaan besar nusantara, Sriwijaya dan
juga Majapahit . tindakan-tindakan dalam kehidupan bersosialisasi baik dengan
nusantara ataupun diluar nusantara sendiri dilatarbelakangi oleh kepentingan
ekonomi, dua kerajaan besar nusantara yang memiliki ciri perekonomian maritim
dan agraris-maritim melakukan interaksi sosial dengan negara tetangga maupun
kerajaan lain yang ada di nusantara, keuntungan dari interaksi tersebut adalah
kedua kerajaan ini dapat mengekspor atau menjual barang dagangan mereka, serta
dapat mengimpor barang yang dibutuhkan oleh kedua kerajaan ini.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Meski mempunyai karakteristik yang berbeda, kedua
kerajaan itu yaitu Sriwijaya dan Majapahit sangat mengandalkan komoditasnya
masing-masing. Kegiatan interaksi social yang diciptakan oleh dua kerajaan ini
diatur sedemikian rupa agar dapat mempermudah kegiatan ekonomi baik perdagangan
maupun pelayaran di wilayah masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
Bambang
Budi Utomo, Belajar dari Datu Sriwijaya :
Bangkitlah kembali bangsa bahari.
DT
Baskoro, dkk.Svarnadvida-Yavadvipa :
Antar Nusa Satu Bangsa. Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta.
(pdf)
Marwati Djoened,dkk . Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. (Jakarta : Balai Pustaka.
1993)
A.B Lapian,.Sejarah
Nusantara Sejarah Bahari.Jakarta : FIB UI.1992
Harun Hadiwijoyo, Agama
Hindu dan Buddha (Jakarta: Gunung Mulia,2005)
http://hurahura.wordpress.com/2011/01/12/majapahit-kerajaan-agraris-maritim-di-nusantara/ (diakses tanggal 25
Februari 2014 pada pukul 10.01 WIB )
http://wihara.com/forum/seputar-buddhisme/2749-aspek-sosial-masyarakat-majapahit.html. diakses pada 24/02/2014. 19.30 WIB.
Hery Santosa, Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa
kejayaan majapahit (abad
ke-14 masehi)
[2] Berdasarkan gaya seninya arca Ganeśa
ini berlanggam Jawa Tengah yang berkembang pada sekitar abad ke-9-10 Masehi.
Robert L. Brown mengemukakan pendapat bahwa arca Ganeśa ini kemungkinan besar dibuat pada sekitar abad ke-8 Masehi.
Mengenai asalnya, ada dua kemungkinan, yaitu 1) diimport langsung dari India,
dan 2) dibuat di “Palembang” oleh pemahat lokal yang dilatih di India atau oleh
pemahat asing yang didatangkan dari India. (Brown, Robert L., 1987, “A Note on
the Recently Discovered Ganesa
Image from Palembang, Sumatera”, dalam Indonesia 43, hlm. 95-100).
[3] Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Buddha
(Jakarta: Gunung Mulia,2005) hlm. 130
ke-14 masehi), hlm.3.
[5] Bambang Budi Utomo, Belajar dari Datu Sriwijaya : Bangkitlah kembali
bangsa bahari, hlm.15.
[6] http://wihara.com/forum/seputar-buddhisme/2749-aspek-sosial-masyarakat-majapahit.html. diakses pada 24/02/2014. 19.30 WIB.
[7] Marwati Djoened,dkk, Sejarah Nasional Indonesia
Jilid II, (Jakarta :Balai Pustaka, 2010) halaman 480
[14] Marwati
Djoened,dkk . Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. (Jakarta : Balai Pustaka.
1993) hlm, 74.
[16] Agus, Aris Munandar. Ibukota Majapahit, masa kejayaan dan penapaian.(
Jakarta : Komunitas Bambu.2008) hlm, 8.
[17]R.Z.Leirissa,
Ohorella, dan Yuda B Tangkilisan. Sejarah Perekonomian Indonesia. (Jakarta: Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan RI 1996) . hlm, 17.
[18]
Wolters, O.W., 1974, Early Indonesia
Commerce: A Study of the Origins of Śrivijaya, Ithaca & London: Cornell
University Press, hlm. 122
[19] Bernard H.M Vlekke.Nusantara Sejarah Indonesia . (Jakarta : PT
Gramedia 2008) . hlm, 43 – 45.
[20] Bambang Budi Utomo, op.cit., hlm.31.
[22] DT Baskoro, dkk.Svarnadvida-Yavadvipa :
Antar Nusa Satu Bangsa. Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta. (pdf), hlm.4.
[23] Marwati Djoened,dkk, Sejarah Nasional Indonesia
Jilid II, (Jakarta :Balai Pustaka, 2010) halaman 461.
[32] http://hurahura.wordpress.com/2011/01/12/majapahit-kerajaan-agraris-maritim-di-nusantara/ (diakses tanggal 25 Februari 2014 pada pukul
10.01 WIB )
0 Response to "Makalah Sosial Ekonomi Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)