Teater Koma Orde Baru
BAB
II
ISI
2.1.
Kritik Terhadap Orde Baru:
Teater Koma
Sejarah Singkat Teater
Koma
Teater
Koma didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977, oleh 12 pekerja teater, N. Riantiarno,
Ratna Madjid, Rima Melati, Rudjito, Jajang Pamontjak, Titi Qadarsih, Syaeful
Anwar, Cini Goenarwan, Jimi B. Ardi, Otong Lenon, Zaenal Bungsu dan Agung
Dauhan, sebagai salah satu kelompok teater Indonesia yang memiliki reputasi
cukup bagus, dengan tokoh sentral N. Riantiarno.[1]
Teater Koma yang didirikan oleh N. Riantiarno atau Nano bukan muncul secara
tiba-tiba. Dia muncul dari sebuah lingkungan tertentu yang sedikit banyak
membuat Teater Koma memperoleh bentuknya seperti yang sekarang ini.
Secara
singkat, proses yang melahirkan teater ini pada mulanya di tahun 1960-an,
berkembang teater modern Indonesia di tiga kota, yaitu Jakarta oleh Teguh
Karya, Bandung oleh Jim Adilimas, dan Yogyakarta oleh W.S. Rendra. Di Jakarta,
teater modern dirintis oleh ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) yang
berorientasi pada teater Barat. Di Bandung, Jim Adilimas dengan STB-nya
(Stukdiklub Teater Bandung) merupakan tokoh yang berkembang melalui proses
belajar sendiri. Di Yogyakarta, W.S. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya.
Sedangkan, Teguh Karya merupakan produk ATNI.
N.
Riantiarno atau Nano, pendiri Teater Koma, dilahirkan melalui Teater Populer
Teguh Karya. Teater Populer sendiri merupakan reaksi terhadap lakon-lakon
serius yang dipentaskan oleh ATNI, yang biasanya merupakan terjemahan dari
lakon-lakon serius dari Barat.[2]
Berbeda dengan ATNI, Teater Populer merupakan teater yang mementaskan
lakon-lakon populer dan enak ditonton. Meskipun Nano dibesarkan oleh Teater
Populer, yaitu Teguh Karya (sang ayah) yang merupakan teatrawan yang setia
kepada bentuk teater Barat, tetapi Nano tidak sepenuhnya mengikuti Teguh. Nano
terpengaruh oleh Rendra yang kemudian juga mengadakan eksperimen-eksperimen
dalam penyajian bentuk teaternya. Namun, semangat dari Teater Populer tidak
pernah hilang dari dirinya, yaitu mencari lakon-lakon yang disajikan secara
populer dan enak ditonton. Berbeda dengan Teguh yang mencari naskah-naskah
dengan cerita yang menghibur, Nano justru menggabungkan teaternya dengan teater
rakyat, khususnya dengan lenong, teater rakyat betawi. Seperti juga lenong,
teaternya dicampur dengan tarian dan nyanyian untuk mengiringi ceritanya.[3]
Perjalanan Kreatif Teater Koma
Perjalanan
kreatif Teater Koma tidak selalu berjalan mulus. Meskipun sering dianggap klangenan alias pementasan untuk
menghibur yang tidak ada apa-apanya[4],
tetapi Nano membuktikan bahwa Teater Koma nya tidak hanya sekedar untuk
menghibur. Pementasan lakon RSJ (Rumah Sakit Jiwa) yang cukup serius dan
merupakan kritik terhadap kekuasaan, merupakan salah satu bukti dari segelintir
karyanya bahwa ia juga bisa bermain serius. Adapun lakon sandiwara yang lain,
yaitu Meretas Lewat Rumah Kertas, Maaf
Maaf Sekali Lagi Maaf, Bokek dan Lembek
si Doel Kotjek, Bersekutu dengan Bom Waktu, Hura-hura Ikan Asin Cap Opera, Bila
Salah Bersua Kaprah, Upaya Para Kecoa Hidup Bahagia, Wanita Parlemen dan Manajemen,
Sekali Julini Tetap Julini, Pekik Perang Para Binatang, Rona Pesona Sang
Primadona, Sampek Engtay yang Aduhai, Caci Maki Para Banci, Gado-gado Rasa
Figaro, Konglomerat Burisrawa, Pialang Segitiga Emas, dan Suksesi, Bertapa
untuk Kembali Menyapa, dll.
Analisis Sejumlah Lakon Sandiwara Teater Koma
Terkait Kritik Terhadap Pemerintahan Orde Baru
Teater
Koma merupakan kelompok teater yang independen dan bekerja lewat berbagai
pentas yang mengkritisi situasi kondisi sosial-politik di tanah air. Dan sebagai
akibat, harus menghadapi pelarangan pentas serta pencekalan dari pihak yang
berwenang akibat sejumlah lakon sandiwara mereka yang mengkritik pemerintah.
Adapun beberapa karya nya yang terkait kritik terhadap pemerintah yang akan di
bahas dalam bagian ini, yaitu Bersekutu dengan Bom Waktu, Hura-Hura Ikan Asin
Cap Opera, Upaya Para Kecoa Hidup Bahagia, Wanita Parlemen dan Manajemen, Pekik
Perang Para Binatang, dan Trilogi Itu Bikin Alergi (Konglomerat Burisrawa,
Pialang Segitiga Emas, dan Suksesi).
“Pementasan Bom Waktu berkisah tentang
mereka yang tersingkir, hidup sebagai masyarakat kelas bawah yang nasibnya
sangat buruk. Mereka yang hanya bisa menatap bulan, memandang kemewahan dari
balik etalase tokoh. Mereka yang dianggap sebagai sumber maksiat dan tanpa
moral. Mereka yang bertanya tetapi tak pernah memperoleh jawaban. Mereka yang
selalu dilukai dan tidak sanggup membalas.”[5]
Jika
memahami rangkaian kalimat diatas, pementasan tersebut merupakan sebuah kritik
sosial terhadap potret masyarakat kelas bawah yang dilupakan ditengah-tengah
pembangunan yang mungkin berjalan dengan sukses. Diantara proses pembangunan,
tubuh mereka ikut terkubur menjadi fondamen. Mereka-lah yang dilupakan, yang
dihina, dan yang diperlakukan sewenang-wenang. Nano selaku sutradara dan
penulis naskah mencoba mengangkat kehidupan mereka yang serba tragis, merasa
bahwa kelas masyarakat bawah adalah kelas masyarakat yang dilupakan. Dalam pementasan
tersebut, kiranya Nano mencoba mengingatkan kepada para pengambil keputusan
(pemerintah), agar mereka jangan sampai dilupakan. Meskipun mereka kelas bawah
tetapi mereka bagian dari bangsa ini. Mereka bukan hanya sekedar kayu bakar
bagi pembangunan, tetapi seyogyanya mereka juga menikmati hasil dari
pembangunan.[6]
Penghimpunan
kekuatan orde baru dibentuk secara bersama-sama dan sekaligus pemecahan
kekuasaan berada ditangan masyarakat. Bentuk konkret pemecahan ini adalah tidak
mengikutsertakan masyarakat dalam kehidupan politik dan pemutusan hubungan
masyarakat dengan saluran-saluran partisipasi politik, baik formal (menyangkut
ketatanegaraan) maupun non-formal (lembaga kemasyarakatan). Hasil dari
keseluruhan proses itu adalah sebuah masyarakat yang terabaikan yang dicirikan
oleh keterasingan mereka dari politik dan kekuasaan.[7]
Hal
yang sama juga terdapat dalam pertunjukan “Upaya
Para Kecoa Hidup Bahagia” (27 Juli – 3 Agustus 1985) yang juga mengisahkan
tentang orang-orang kecil yang ingin hidup layak, namun mereka harus menghadapi
kenyataan keras tentang perjuangan hidup dengan hanya dua resiko, yaitu ada
atau tersingkir.[8]
Pemisahan
sosial yang ada di Indonesia pada masa orde baru jelas tidak pernah berubah
dari paham feodalistik Jawa dengan stratifikasi sosial yang begitu rumit. Selain
itu Soeharto menggunakan cara-cara yang ditempuh oleh raja Jawa dalam
melanggengkan kekuasaannya. Ia menganggap bahwa dirinyalah penguasa tunggal
dengan kekuasaan tanpa batas dalam praktiknya, selain itu rakyat tidak memiliki
pengaruh apa pun dalam pengambilan keputusan yang dianggap politis. Pengabaian
semacam itulah yang membuat rakyat merasa dalam posisi tertekan, terinjak
kemerdekaannya sebagai penguasa ide-ide demokrasi.
Lakon
sandiwara lainnya mengenai peran wanita sesungguhnya meskipun ia dapat mengubah
nasib dirinya, hadir melalui Pementasan yang berjudul “Wanita-wanita Parlemen” (20 April – 5 Mei 1986). Dalam pementasan tersebut,
Nano hendak mengingatkan bahwa wanita apapun ia adalah tetap seorang wanita. Sepintar-pintarnya,
seberkuasa-kuasanya ia, ia tetap wanita. Dan memang harus feminim bagaimanapun
juga.[9]
Dikisahkan dalam pementasan ini adalah bagaimana kaum wanita tiba-tiba
menguasai suatu negeri dan membuat peraturan-peraturan aneh, terutama tentang kebebasan.
Mereka yang ingin mengubah nasib dari “orang rumah” menjadi “penentu jalannya
pemerintahan”. Mereka yang berhasil mempengaruhi majelis untuk mengambil
keputusan agar wanita diberi mandat menjadi penguasa, yang ketika sedang
bersidang, mereka bertarung untuk memperebutkan dirinya sebagai calon pemimpin.
Jika kesempatan itu telah berada ditangan, kekisruhan berkecamuk. Mereka justru
memberikan citra “miring” terhadap peranan wanita. Kenyataan yang memang harus
diterima bahwa sepintar-pintarnya wanita, ia tetap wanita yang derajatnya
berada di bawah laki-laki.
Pada
masa Orde Baru, wanita-wanita yang memiliki wewenang dalam kebijakan merupakan
wanita-wanita kerabat presiden, pemilik modal-modal para kaum kapitalis, jika
rakyat biasa tidak akan didengar. Sebagai pengalihan isu, dibuatlah LSM yang mengurusi
para wanita itu. Hal tersebut digunakan sebagai alat masuknya wanita-wanita
kedalam pemerintahan secara terang-terangan. Perlu digaris bawahi bahwa hanya
wanita dari kalangan tertentu saja yang mendapatkan akses semacam ini. Organisasi-organisasi
wanita pun sudah mulai muncul pada masa Orde Baru. Organisasi wanita dalam hal
ini mempunyai sikap dan peran politik menolak kooperasi Orde Baru.[10]
Selain itu organisasi wanita juga membela dan membawa suara wanita yang tertekan
di masa Orde Baru. Organisasi-organisasi wanita yang bermunculan tersebut
mengangkat derajat kaum wanita yang sering terdiskriminasi. Keberadaan kaum
wanita menjadi lebih diperhitungkan.
Walaupun
pada awalnya organisasi-organisasi wanita tersebut difasilitasi LSM karena
peran wanita yang telah terdiskriminasi oleh negara, namun organisasi-organisasi
tersebut dikooperasikan untuk mendukung Golkar di masa Orde Baru, serta dibuat
sistem “ibuisme” oleh negara dalam memperlakukan perempuan Indonesia, dan
perempuan pada masa Orde Baru juga cenderung dipilih untuk menempati posisi
penting dalam politik Indonesia berdasarkan struktur ikatan sosial atau
kedekatan dengan pemimpin Golkar sehingga cenderung mengakibatkan kurang
terbukanya ruang partisipasi tersebut secara luas bagi perempuan.[11]
Walaupun begitu, partisipasi perempuan pada zaman orde baru sudah cukup
diperhatikan, meskipun memang mengalami ketidaksetaraan dengan politisi laki-laki
dalam parlemen Indonesia. Selain itu juga perempuan cenderung partisipasinya
tidak terbuka secara luas, melainkan hanya dalam internal Golkar sendiri dan
cenderung sedikit keterwakilannya dibandingkan dengan laki-laki.[12]
Lain
hal pada lakon sandiwara dengan judul “Pekik
Perang Para Binatang” (3 – 5 Oktober 1987) yang tampak berbeda dari
pementasan sebelumnya dengan mengangkat kalangan kelas bawah, kini menggunakan
peran binatang yang dalam pementasan ini diartikan sebagai pemerintah yang
mengambil alih kekuasaan dengan segala peraturan guna menjaga ketertiban umum.[13]
Namun kenyataannya peraturan yang dibuat berdasarkan hasil musyawarah mufakat
pun tidak mampu mewujudkan semangat menjalin “persatuan dan kesatuan”. Mereka
yang duduk di kursi pemerintahan sibuk bersaing merencanakan sesuatu demi
melanggengkan kekuasaannya. Disatu sisi ada yang merencakan program demi
kesejahteraan rakyat, namun ada juga yang melanggengkan kekuasaan dengan cara
menjalin kerja sama didalam negeri maupun luar negeri. Seseorang yang sangat
ingin melanggengkan kekuasaannya pun tentu menggunakan segala macam cara,
walaupun tak lagi menghormati hukum dan undang-undang guna menyingkirkan
seseorang yang menjadi pesaingnya. Alhasil, rakyat lagi-lagi menjadi objek
ketidakberdayaaan dan ketidakadilan dari orang-orang yang “gila” kekuasaan.
Selama
perjalanan Teater Koma yang hadir dalam berbagai pentas dengan lakon sandiwara
mereka yang mengandung unsur kritik terhadap situasi sosial-politik di tanah
air, rupanya tidak asing bagi mereka terhadap pelanggaran pentas bahkan sampai
pencekalan dari pihak yang berwenang. Seperti lakon sandiwara yang berjudul “Konglomerat Burisrawa” (23 Maret – 6 April
1990), “Pialang Segitiga Emas” (22
Juni 1990), dan “Suksesi” (28
September – 11 Oktober 1990) yang ketiga nya bertema seputar konglomerasi dan
sarat akan kritik sosial tersandung masalah ketika Teater Koma dibredel. Nano ingin menggelar pentas yang
lebih transparan, tetapi “pihak yang berwenang” juga memiliki ukuran sendiri
dalam menilai patut tidaknya sebuah pertunjukan. Suatu isi tertentu yang
dianggap hal biasa oleh seniman, bisa saja dianggap rawan dan meresahkan di
mata aparat keamanan, atau jalur yang lebih tinggi lagi, yaitu kekuasaan.
Dengan “Laporan Utama” yang ditulis Tempo, 20 Oktober 1990, dijelaskan hal-hal
mengenai pelanggaran yang di lakukan Teater Koma dengan sejumlah lakon
sandiwaranya.[14] Tentunya,
larangan itu berbau politis, meskipun pihak kepolisian menyebut dasar larangan
semata-mata untuk memelihara keamanan, ketertiban, dan ketentraman, tetapi
tampaknya kurang selaras dengan angin keterbukaan yang dihembuskan oleh
Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di depan DPR-RI, 16 Agustus 1990.
Hingga
di penghujung 1990, Teater Koma benar-benar menjadi pelanggan aksi pelarangan
dan dengan terpaksa Nano menghentikan kegiatan pentas hingga batas waktu yang
kelak dianggap tepat untuk pentas kembali. Ketidakjelasan karir Teater Koma ini
juga disuarakan Nano dalam konferensi pers yang digelarnya terkait pengumuman
perhentian sementara Teater Koma. Dalam konferensi pers yang digelarnya, Nano
hanya ingin kejelasan, ia ingin sebuah kriteria tentang mana yang boleh, mana
yang tidak. Sebuah penjelasan tentang pendekatan keamanan terhadap kesenian,
dan sebuah penjelasan mengapa kesenian di curigai.[15]
Munculnya
Teater Koma dalam perkembangan teater di tanah air memang membawa banyak hal
yang bisa menjadi bahan kajian penting. Soal penonton, soal politik dan
kesenian, soal hiburan dan munculnya masyarakat menengah baru akibat perkembangan
ekonomi yang membutuhkan pengenalan diri terhadap jiwa keseniannya sendiri.
Semua ini hampir tidak bisa dipisahkan sebagai sisi-sisi penting untuk melihat
Teater Koma.
2.2.
Kritik Terhadap Orde Baru: Bengkel Teater Rendra
W.S. Rendra yang lahir di Surakarta
tepatnya pada 7 November 1935, sering
melontarkan kritik terhadap pemerintah Orde Baru, sehingga ia mendapatkan larangan untuk melakukan pertunjukan
drama dan pembacaan puisi. Melalui esainya yang terkumpul dalam buku Penyair
dan Kritik Sosial (2001:19), Rendra menyatakan ”Bagi saya, membela kebudayaan
dan kemanusiaan berarti membela daya hidup, karena komitmen saya itulah yang
menyebabkan saya sering melontarkan kritik-kritik sosial melewati sajak-sajak
saya. Bukan karena ideologi politik”[16]. Pernyataan
tersebut menegaskan bahwa dalam menanggapi masalah-masalah politik Rendra
memakai paradigma kesenian dan kebudayaan.
Kritik
Rendra Melalui Drama
Drama merupakan salah satu genre sastra
yang memiliki karakteristik khusus yaitu memiliki dimensi sastra dan seni
pertunjukan. Drama memiliki dialog sebagai sarana primer. Unsur intrinsik dan
ekstrinsik drama diungkapkan pula melalui dialog (Hasanuddin, 2009:7). Dialog
memang menjadi bagian yang sangat penting tetapi ada bagian lain dari drama
yaitu teks samping yang dapat membantu pembaca dalam memahami isi drama. Teks
samping biasanya menjelaskan latar waktu dan suasana di dalam drama yang tidak
dapat disampaikan melalui dialog.
Selain melalui sajak-sajak nya, melalui
drama juga rendra melontarkan kritik-kritiknya secara “terselubung” namun tetap
terbaca oleh para penonton teater-nya. di bawah naungan bengkel teater yang di
ciptakannya di Yogyakarta pada tahun 1968, Rendra membuat drama-drama kehidupan
sosial masyarakat Indonesia di bawah pemerintahan Orde baru dengan judul yang
bermacam-macam dari menggunakan simbol nama hewan seperti Mastodon dan Burung
Kondor sampai penggunaan judul singkatan-singkatan seperti Sekda (Sekertaris
Daerah). Dari berbagai drama yang di ciptakan Rendra bersama Bengkel Teater-nya
yang akan di bahas dalam makalah ini adalah drama tetater Rendra yang menurut
kami kental dengan kritik-kritik di dalam permainan-nya yaitu Mastodon dan burung kondor, Lysistrata,
kisah perjuangan suku naga, sekda. Melalui bengkel teater-nya Rendra seolah
menjadi penyalur aspirasi pendapat masyarakat indonesia di tengah iklim
konservatif orde baru, terbukti dengan antusias-nya masyarakat yang hadir
menonton bengkel teater Rendra jika sedang berlangsung di kota-nya.
Pementasan
Bengkel Teater
Pentas pertama Bengkel Teater terjadi di
tahun 1968 lewat pementasan Teater Mini Kata bertajuk “Bip Bop”. Teater ini di
sebut mini kata karena sedikit sekali ada percakapan yang keluar dari mulut
para pemain-nya. yang terlihat adalah seorang manusia yang menyerupai robot dan
mengeluarkan suara seperti mesin yakni bip bop bip bop. Pementasan teater mini
ini lalu menuai banyak opini antara yang pro dan kontra. Ada yang bilang Rendra
lebih pantas menjadi penguin bangsal rehabilitasi sakit jiwa dan ada yeng
berkata bahwa Rendra membawa gaya baru pementasan teater di Indonesia. Menarik
pula komentar dari Fuad Hasan (yang kelak menjadi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI) yang dimuat di Kompas Juni 1968 : ” Rendra ingin
mendramatisasikan penghayatan konflik pada manusia di abad modern ini tanpa
elaborasi intelektual yang sadar; ia telah berhasil mengonstantir konflik yang
khas dalam abad modern ini yaitu individuasi versus massifikasi atau lebih
mendesak lagi humanisasi versus dehumanisasi.” Mungkin memang cara Rendra dalam
menggambarkan situasi masyarakat Indonesia pada saat itu tepat ada-nya seperti
yang terjadi pada teater mini kata/ bip bop. Masyarakat Indonesia di bawah
pemerintahan orde baru layaknya seperti robot, yang di atur sana-sini, di cekal
kebebasaanya, tidak bisa bergerak sesuai kehedaknya, cenderung kaku dan di
ambil sifat humanis-nya oleh rezim orde baru.
Kemudian Bengkel Teater mulai menggeliat
dalam berbagai pentas teaternya. Dari 1968 hingga 2005, Rendra dan Bengkel
Teater telah mementaskan 23 naskah, yaitu 15 naskah asing atau adaptasi , 7
naskah sendiri dan sebuah naskah diluar dari karya Bengkel Teater.
Mastodon dan Burung Kondor
Karya drama Rendra yang terkenal dan di
cap “nakal” oleh masyarakat Orde Baru adalah Drama Mastodon dan Burung Kondor.
Bagaimana tidak, drama ini seperti membikin panas kuping pejabat-pejabat
pemerintahan Orde Baru yang merasa tersindir dengan alur cerita-nya yang sesuai
dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Dalam drama MdBK, ada tiga tokoh yang
berperan penting dalam peristiwa cerita dan memiliki pertentangan yang tidak
bisa disatukan. Pertentangan tersebut berupa pemikiran dan pandangan yang berbeda
tentang pembangunan. Ketiga tokoh tersebut adalah Jose Karosta sebagai seorang
penyair, Juan Frederico sebagai mahasiswa, dan Max Carlos sebagai pemimpin
negara yang diktator. Pertentangan ketiga tokoh tersebut diperlihatkan melalui
sikap masing-masing dalam menginginkan perubahan keadaan sosial politik dalam
masyarakat. Negara dengan rakyat yang menderita sudah menjadi realitas yang
pantas diubah dan diperjuangkan oleh mereka. Jose Karosta menjadi penyair yang
tidak segan melakukan ekspresi kesenian dengan membaca sajak-sajak berisi
kritik sosial. Kritik yang ditujukan kepada pemerintah itu, dibacakan di dalam
kampus yang sudah jelas dijaga ketertibannya oleh pihak universitas. Lalu, Juan
Frederico sebagai mahasiswa menjadi seseorang yang memiliki kesadaran bahwa
musuhnya adalah sistem dan aspirasi.
Universitas hanya menjadi tempat untuk
menghafalkan kebijaksanaan dan tidak boleh mempertanyakannya. Juan Frederico
berpikir bahwa penderitaan rakyat harus diubah dengan cara revolusi. Revolusi
dengan melakukan aksi dan menjatuhkan pemerintahan karena tanpa penyelesaian
politis tidak mungkin ada perbaikan. Di samping itu, Max Carlos pelaku dan
pelaksana kebijaksanaan pembangunan memastikan kesejahteraan kehidupan rakyat
dengan mengarahkan negara kepada pembangunan. Pembangunan memberikan kenaikan
pendapatan nasional dan akhirnya, menghasilkan ketertiban. Ketertiban yang
dimaksud adalah tidak adanya pihak-pihak yang melakukan kekacauan terhadap
kebijakan dan aturan pembangunan. Kritik bukannya ditiadakan tetapi harus
melalui saluran yang sengaja dibentuk oleh pemerintah sebagai cara untuk
menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
Jelas sekali Rendra menggunakan
peran-peran yang dimainkan dalam DMdBK yang seperti mewakili golongan
masyarakat Indonesia saat itu. Jose Krosta yang di ibaratkan mewakili golongan
seniman-seniman yang mengkritik pemerintah, Juan Frederico yang mewakili
golongan mahasiswa yang melalukan protes dan aksi-aksi menentang orde baru, dan
Max Carlos yang menggambarkan sosok Soeharto beserta kebijakan-kebijakan
pembangunan yang merugikan rakyat dan melakukan kontrol pers di dalam
masyarakat-nya.
Pada akhir cerita drama MdBK, Rendra tidak memberikan solusi dari permasalahan
sosial yang diangkatnya di dalam drama tersebut. Rendra hanya mengakhiri kisah
dengan kepergian Jose Karosta ke luar negeri, ia menjadi salah satu ”burung
kondor” yang harus pergi ke luar negeri. Ia tidak menghendakinya tetapi karena
keadaan sosial politik yang menyulitkan keadaannya, ia pun harus pergi. Dalam
hal ini, Rendra hanya ingin menunjukkan permasalahan-permasalahan sosial dan
memberikan solusinya melalui pemikiran pembaca sendiri. Ia menyajikan dalam
karya lalu pembacalah yang menentukan maksud dan perkiraan jalan yang harus
ditempuh jika permasalahan sosial politik tersebut terjadi dan sedang
berkembang di dalam masyarakat. Melalui
karyanya ini, Rendra menunjukkan diri sebagai seseorang yang kuat dan berani
dalam mengatakan benar dan salah. Permasalahan yang muncul dari dua hal
tersebut bukan lagi resiko baginya tetapi sebuah tantangan.
Lysistrata
Drama dari bengkel teater Rendra yang
juga bernada kritik terhadap orde baru yaitu Lysistrata. Drama ini cukup unik
dan menarik karena berlatar setting cerita mengenai wanita yang tidak suka jika
rakyatnya berperang dan cara untuk menghentikan perang nya yakni dengan “mogok
seks”. Vulgar dan menggelitik sekaligus kritik penuh mewarnai di dalam
pertunjukan drama ini. adapun dialog yang menyangkut soal rakyat, adalah bagian
kedua yang sama pentingnya dengan bagian yang pertama. Kenapa Lysitrata tak
menyukai perang, hal itu berhubungan rakyat juga tak suka perang.[17]
Perang bagaimanapun yang membayar adalah rakyat. Rakyat yang sudah miskin itu
karena pendapatan negara tak sampai kepada mereka, masih harus dibebani biaya
perang yang diputuskan oleh para pemimpin politik. Yang paling menjadi korban
dari perang adalah rakyat. Sebab itu, rakyat harus ikut bicara mengenai segala
soal yang menyangkut kehidupan mereka. Rakyat harus ikut menentukan jalannya
politik. Itulah sebabnya Lysistrata menduduki gedung bendahara negara, yakni
agar penggunaan uang rakyat bisa di kontrol, bisa lebih dipergunakan demi
kepentingan rakyat. Terjelas dari dialog ini Rendra berusaha untuk mengkritik
pemerintahan yang otoriter, yang mengambil keputusan tanpa melibatkan atau
mendengarkan pendapat rakyat.
Dengan guyonan di ungkapkan lah keadaan
yang membosankan dari saling kecurigaan di kalangan para penentu politik. Para
penguasa tidak punya kemampuan untuk mendengar suara rakyat. Kritik dianggap
usaha untuk memusuhi. Di setiap tempat orang bertemu dengan wajah garang dan
tegang (yang di maksud oleh Rendra adalah angkatan militer). Kemana-mana orang
membawa senjata, dipasarpun begitu pula. Tak ada kebebasaan bicara, orang hidup
dalam kungkungan saling mencurigai. Rakyat hidup dalam suasana kecut dan takut.
Benar-benar lakon yang berani dari Rendra, lugas di jelaskan dan di tujukan
untuk pemerintah Orde Baru. Sebagaimana yang dulu juga sudah nampak dalam
pementasan kolosal-nya: Mastodon dan Burung Kondor. Ia menentang setiap
penyelesaian politik dengan cara adu otot dan polarisasi yang di maksud oleh
Rendra adalah penggunaan kekuataan militer terhadap rakyat. Hal semacam itu
dianggapnya sebagai penyelesaian yang kurang baik dan kurang mendalam. Sebab
yang terjadi hanyalah pergantian penguasa yang moral dan motifnya sama saja
dengan yang dulu, yaitu untuk sekedar berkuasa. Sasaran yang paling terkena
kritik tajam dalam Lysistrata adalah
pihak militer orde baru yang dinilai sangat keras terhadap dan dalam menangai
rakyat pada saat itu.
Kisah Perjuangan Suku Naga
Menyaksikan pementasan Rendra, orang
tidak lagi berbicara tentang bagus atau jeleknya pementasan itu. orang telah
terbius oleh keberanian Rendra dalam menyampaikan protes secara tuntas. Baik
dalam Mastodon maupun dalam Suku Naga, protes itu telah menguasai
seluruh panggung.[18]
Masyarakat sepertinya sudah menganggap Rendra sebagai icon dari “perlawanan”
rakyat terhadap penguasa orde baru melalui kritiknya di bidang seni. Drama
Perjuangan Suku Naga di sebut-sebut juga sudah membikin “panas” telinga
pejabat-pejabat pemerintah. Bagaimana tidak, di dalam drama bengkel sastra ini,
di ceritakan mengenai perjuangan kaum masyarakat tradisional yakni suku naga
melawan perencanaan pembangunan di daerah alam tempat tinggal-nya yang di usung
oleh pejabat pemerintah kota.
Suku Naga adalah olok-olok yang tajam ke
alamat para penguasa di sebuah negara yang bernama Astinam. Sang ratu yang di
dukung oleh Perdana Menteri Serta Menteri-Menteri lainnya yang berada pada
garis kebijaksanaan paduka, begitu gandrung kemajuan. Pembangunan di atas
segala-galanya. Pembangunan fisik yang tanpa di dasari dengan pembangunan
mental spiritual, yang dengan sendirinya mengabaikan kebudayaan. Kemajuan bagi
sang Ratu- serta bagi negaranya yang sedang berkembang: Astinam itu- adalah
gedung-gedung menjulang, pabrik-pabrik besar, yang tak segan-segan mengundang
pinjaman dari negara-negara raksasa. Bisa kita lihat lewat kisah Perjuangan
Suku Naga ini, Rendra hendak mengatakan bahwa pinjaman dari negeri-negeri dalam
bentuk apapun, tidaklah murni. Pinjaman itu adalah kata lain perdagangan. Dan
seperti lazimnya perdagangan, keuntungan adalah tujuan utama. Maka negara
penerima pinjama seperti Indonesia yang di ibaratkan dalam Perjuangan Suku Naga
ini adalah Negri Astinam, akan dengan sendirinya terjerat oleh pinjaman itu.
Astinam dan Suku Naga tidaklah anti
kemajuan. Tetapi kemajuan yang bagaimana itu soalnya. Mereka menolak bentuk
kemajuan yang diwujudkan dalam lewat
pembangunan dalam pengertian sempit. Bukankah pembangunan itu tidak selalu identik dengan “bangunan”? bukankah
“membangun” itu tidaklah hanya “mendirikan bangunan” semata-mata? Pesan itu
yang coba di ungkap Rendra dalam pertunjukan ini. pembangunan yang terjadi pada
masa orde baru semata-mata hanya membangun infrastruktur saja, meminjam uang dari
luar negeri sebanyak-sebanyaknya demi tercapai nya gedung-gedung perkantoran
dan pabrik-pabrik tanpa memikiran dampak panjang yang dihasilkan dari
peminjaman itu, tentu saja generasi masa sekarang yang merasakan “jebakan”
hutang ini.
Abisavam seorang tokoh dari Suku Naga
melepaskan putranya, Abivara untuk belajar di luar negeri. Abisavam membiarkan
puteranya bersahabat dengan orang asing melalui tokoh Carlos sang wartawan. Itu
adalah bukti bahwa Suku Naga tidak anti kemajuan setidak-tidaknya kemajuan dalam
pergaulan. Yang mereka tolak adalah kemajuan yang mengabaikan nilai-nilai
kebudayaan. Drama Kisah Perjuangan Suku
Naga cukup memberikan kesan kepada penonton maupun pembaca tentang hal ini
bagaimana keadaan pembangunan yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah sibuk mencari dana pinjaman sana-sini untuk melaksanakan
“pembangunan” yang megah dan banyak, di tambah dengan masuknya pabrik-pabrik ke
sumber daya alam sebagai wujud dari pembangunan itu sendiri. Selain itu belum
tentu pula proyek yang mewujudkan “pembangunan” itu ter realisasi semau dana
anggara-nya menjadi “pembangunan” belum lagi oknum-oknum yang mengebiri
dana-dana tersebut. Efek jangka panjang dari pinjaman pembangunan ini juga
tidak di pikirkan secara panjang oleh pemerintah. “pokoknya membangun saja,
yang penting berwujud bangunan, masa bodoh nantinya mau gimana” mungkin itu
yang ingin di sampaikan oleh Rendra mengenai perwujudan pembangunan yang
terjadi di dalam pemerintahan Orde Baru yang di kemas cantik di dalam drama Kisah Perjuangan Suku Naga besutan
Rendra dan bengkel Teater-nya.
Sekda (sekertaris daerah)
“Halo,
halllo, hallo, aloha. Haloo, hallo. Bengkel Teater Yogya siap mementaskan drama
sekda, karya Rendra dan sutradara
Rendra. Siapakah Rendra? Binatang seperti apakah dia itu? Nah, inilah dia maen
di Taman Ismail Marzuki, Jakarta yang didirikan oleh Ali Sadikin, orang yang
paling istimewa”[19]
begitulah sambutan Rendra dalam pembukaan pertunjukan drama Sekda pada malam
pertama yang di sambut dengan tepukan tangan hangat dari kurang lebih empat
ribu penonton yang memenuhi Teater Terbuka, TIM Juli 1977.
Tema pertunjukan adalah dagelan. Maka
seluruh cerita pun merupakan perumpaan. Mirip dengan dapukan dalam
dagelan-dagelan wayang kulit Jawa. Jadi tidak heran ciri khas dari drama
bengkel teater Rendra yang satu ini adalah “kalau saya jadi......”. siapa yang
di kritik? Semua dapat bagian. Pejabat pemerintah, tentara, muda-mudi, orang
tua, masyarakat, dan sebagainya. Tetapi yang paling banyak dapat kritik adalah
wartawan. Setelah itu, juga para seniman. Kritik Rendra kali ini sangat tajam.
Wartawan yang kena sogok, pejabat yang hanya memperkaya diri sendiri,
penjilatan kepada atasan, pelacuran intelektual, semua di gasak Rendra di dalam
Sekda ini. Cerita sekda ini bercerita tentang
kelompok manusia yang sedang merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus mengadakan
sebuah dagelan yang berjudul “bagaimana kalau kita jadi kemudian di jawab kalau
pula” antara lain: kalau saya jadi
tentara saya akan melotot, zaman sekarang merupakan bidang yang paling enak,
kalau saya jadi rektor, saya akan jadi tukang angkat telor, kalau saya jadi
dokter, saya akan senang dengan seminar-seminar. Kalau saya jadi wartawan, saya
akan patuh pada perjanjian yang membina “saling pengertian” dengan pejabat. Kalau
saya jadi... dan seterusnya.[20]
Dalam dagelan sekda ini, Rendra
menggunakan daya tariknya untuk mengekspersikan kepekaanya terhadap situasi
sosial yang sempat masuk di dalam penghayatan. Tentang kondisi masyarakat
Indonesia pada masa orde baru dimana penuh dengan jilat-menjilat, kongkalikong,
loby-loby, kerja sama, dan “saling pengertian”.
Sekda ini berakhir dengan tragedi. Elsye, hostess yang di caci maki,
dihina dan di kutuk masyarakatnya, mati diperkosa beramai-ramai oleh masyarakat
itu sendiri. Gubernur, Sekda, Raden Tumenggung, para pejabat lain, semua ikut
memperkosa secara bergantian, hingga hostess itu, mati seketika itu juga.
Dalam Sekda Rendra mengkritik semua
lapisan masyarakat. Rakyat, tentara, mahasiswa, rektor, penguasa, dan
seterusnya. Banyak mengomentari bahwa Rendra telah mengkritik secara adil,
karena di antarnya Rendra juga mengkritik dirinya sendiri. Pantas apabila drama
Bengkel Teater Rendra yang satu ini di sebut sebagai drama kritik teradil di
banding dengan drama-drama Bengkel Teater Rendra lainnya.
Dengan kemunculan Bengkel Teater ini
seperti menjadi wadah bagi masyarakat di masa Orde Baru yang gerah dan sumpek
melihat kondisi sosial politik Indonesia pada masa itu. masyarakat seolah
terpuaskan caci-maki nya terhadap penguasa jika menyaksikan teater yang di
selenggarakan Rendra dan Bengkel Sastra-nya. bentuk perlawanan baru terhadap
penguasa orde baru ketika pers dan jurnalisitik di bongkar dan di bredel
habis-habisan, Rendra dengan bengkel sastra nya muncul sebagai bentuk
perlawanan rakyat terhadap penguasa melalui jalur budaya yang di wujudkan
dengan teater.
2.3.
Kritik Terhadap Orde Baru: Puisi dan Prosa Rendra
Selain di dalam
dunia teater, Rendra juga melakukan aksi kritik terhadap pemerintahan melalui
sajak puisi dan prosa nya. penulisan puisi kritik nya di mulai ketika kesaksian
Rendra pada tahun 1967 mengenai transisi orde lama ke orde baru. Dalam hal ini, Rendra sebagai penyair dan
dramawan besar Indonesia membaca kehidupan sosial politik di negerinya dan
memberikan kesaksian melalui puisi tersebut. Persoalan-persoalan kehidupan itu
diserap dan dihayatinya kemudian diekspresikan melalui “Kesaksian Tahun 1967”
setelah mengalami proses pengendapan. Kata-kata yang digunakan Rendra sangat
khas; idiom yang digunakannya juga terbaca dalam puisi-puisinya yang lain. Puisi
ini mengisahkan keadaan Indonesia pada masa transisi antara orde lama ke orde
baru. Gejolak politik yan penuh intrik, fenomena sosial politik dan kejadian
besar lain pada waktu itu.
Puisi-puisi Rendra
kental dengan kritik untuk rezim kekuasaan, birokratisasi, kapitalisme,
globalisasi, dan praktik-praktik hidup membelenggu. Publik tentu masih ingat
dengan puisi-puisi kontroversial Rendra tentang protes terhadap
pembangunanisme, kebobrokan pendidikan, diskriminasi sosial, kuasa pasar dan
negara, komodifikasi tradisi, dan marginalisasi kaum lemah. Rendra dengan
lantang menuliskan puisi untuk menjadi kesaksian ulah rezim Orde Baru ketika
melakukan pelemahan dan penundukkan terhadap gairah hidup rakyat:
Aku mendengar suara
jerit hewan terluka.
Ada orang memanah
rembulan.
Ada anak burung
terjatuh dari sarangnya.
Orang-orang harus
dibangunkan.
Kesaksian harus diberikan.
Agar kehidupan bisa
terjaga.
Pada puisi
Rendra di atas menggambarkan tentang keresahan Rendra melihat kondisi sosial
masyarakat pada saat itu di bawah pemerintahan orde baru. Pada bait mengenai ada orang memanah rembulan, ada anak burung
terjatuh dari sangkarnya mengungkapkan kehidupan masyarakat di mana ada
segelintir orang yang hidup dengan penuh kemewahan yang di ibaratkan dengan
memanah bulan, tetapi sebagian besar ada pula rakyat yang harus kerja keras
banting tulang mempertahankan hidup nya yang di ibaratkan dengan ada anak burung terjatuh dari sarangnya.
Bait puisi di atas coba mengungkapkan tentang kepincangan sosial yang ada di
dalam masyarakat, dimana keadilan tidak merata, segelintir orang menguasai
orang lain, hak hak orang lain di rampas, dan mempentingkan golongan sendiri.
Selain puisi di
atas di bawah ini ada beberapa cuplikan puisi Rendra mengenai kritiknya
terhadap pemerintahan orde baru.
Cuplikan 1--tentang pemerintah yang antikritik
Aku tulis pamflet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam
kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan,
menjadi peng - iya -an
........................................
Apabila kritik hanya boleh lewat
saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur
tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak
mengandung pertanyaan
Tidak mengandung perdebatan
dan akhirnya menjadi monopoli
kekuasaan
di dalam cuplikan puisi di atas menggambarkan bagaimana pemerintah yang
bersikap sangat otoriter sehingga menimbulkan sikap anti kritik di dalam tubuh
pemerintahan. Orang-orang di kekang haknya untuk berpendapat di depan umum,
jika pun berpendapat di depan umum sudah harus melewati “sensor” terlebih
dahulu sehingga pendapat yang muncul adalah pendapat yang “di iya kan” oleh
pemerintah yang berkuasa. Orang-orang hanya mampu berpendapat dan berbicara
secara diam-diam, kehidupan seperti tidak bergerak dan tidak hidup hidup, dan
semua itu akhirnya memunculkan apa yang di sebut Rendra di dalam puisi ini
adalah monopoli kekuasaan.
Cuplikan 2--tentang intel yang merekayasa peristiwa
Di dalam pandangan yang kabur,
semua orang marah-marah
Rakyat marah, pemerintah marah,
semua marah lantaran tidak punya
mata.
Semua mata sudah disabotir
Mata yang bebas beredar hanyalah
mata-mata.
Cuplikan bait puisi Rendra di atas menggambarkan mengenai banyaknya
mata-mata atau intlegen pemerintah di dalam masyarakat. Mata-mata ini bertugas
mengawasi gerak-gerak rakyat yang sekiranya mengancam pemerintahan orde
baru. Semua orang di awasi oleh
mata-mata ini, semua peristiwa dan kejadian di catat oleh mata-mata ini. Semua
kehidupan masyarakat seperti berada di dalam rumah kaca yang selalu mampu
terpantau dengan baik dan jelas. Dan yang terjadi adalah pembuatan
cerita-cerita palsu di dalam masyarakat, pemutar balikan yang benar menjadi
salah dan salah menjadi benar, semua kegiatan ini hanya mampu di lakukan oleh
intel atau mata mata pemerintah pada saat itu.
Cuplikan 3--tentang kepincangan sosial dan
kezaliman
Jangan kamu bilang negara ini kaya
kerna orang-orang miskin
berkembang di kota dan di desa
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai
kucingnya
Lambang negara ini mestinya
terompah dan blacu
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu
berdasi seperti Belanda
dan tentara di jalan jangan bebas
memukul mahasiswa
Cuplikan puisi Rendra di
atas menggambarkan kehidupan sosial masyarakat di dalam pemerintahan Orde Baru.
Kehidupan penuh dengan ketidak adilan, kesewenang-wenangan pemerintah mengatur
masyarakat, ke egosian kelompok masyarakat golongan atas terhadap golongan
bawah. Menggambarkan dengan jelas bagaimana di tahun 80-an tersebut
golongan-golongan penguasa memperkaya dirinya sendiri dengan mengorbankan
rakyat banyak. Mahasiswa di ambil hak nya untuk mengeluarkan pendapat melawan
kesewenang-wenangan pemerintah di dalam menjalankan kebijakan. Banyak mahasiswa
yang melakukan demonstrasi di jalan mendapat perlakuan kasar dengan di tending
oleh sepatu-sepatu militer yang berkuasa.
Rendra tidak sungkan
memasuki ranah sosial dan politik dengan puisi. Kuasa kata adalah senjata untuk
menghadikran kebebasan dan daulat rakyat di hadapan kekuasaan. Idiom-idiom
Rendra kerap jadi anutan pada masa itu dalam pelbagai gerakan sosial, seni, dan
kultural. Puisi sanggup membuat orang sadar dengan hak dan berani melawan
tirani. Rendra menjelma ikon untuk gairah hidup di Indonesia tanpa takut dengan
penjara dan kematian. Puisi adalah ruh hidup dalam rumusan kata dan makna atas
nama kebebasan manusia. Puisi adalah bahasa perjuangan. Otoritas Rendra dalam
puisi membuat Sapardi Djoko Damono (1999) perlu memberi label bahwa perpuisiasn
Indonesia telah menerima sihir Rendra dengan dialektika estetika dan kekuasaan.
2.4. Kritik
Terhadap Orde Baru: Seni Musik
Musik
merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui musik, manusia mengekspresikan
perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita. Melalui musik pula, manusia dapat
merepresentasikan pandangan hidup dan semangat zamannya. Oleh karena itu,
melalui musik, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatan
zaman yang bersangkutan. Indonesia adalah negeri yang kaya dengan berbagai
karya seni, khususnya seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat
zamannya. Salah satu era yang penting dalam perjalanan bangsa ini adalah Orde Baru
yang dimulai dengan naiknya Soeharto ke tampuk pimpinan pemerintahan pada
penghujung 1960-an sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada
penghujung 1990-an.
Salah
satu grup musik yang sempat mewarnai era Orde Baru adalah Swami, dengan Iwan
Fals sebagai ikonnya. Mereka telah menghasilkan sejumlah album. Salah satu yang
paling hits adalah album Swami I. Lirik-lirik lagu dalam album Swami I ini
mewakili pandangan hidup mereka, sekaligus mengekspresikan semangat zamannya.
Swami adalah grup musik yang dibentuk oleh Setiawan Djodi, Iwan Fals, Sawung
Jabo, Innisisri, Naniel, dan Nanoe pada tahun 1989. Swami dijadikan nama grup,
atas usul Sawung Jabo yang berasal dari plesetan “suami” karena semua
anggotanya berstatus suami. Kesepakatan awal para anggota Swami adalah
membentuk grup untuk jangka waktu tiga tahun. Oleh karena itu, Swami
membubarkan diri pada 1991.[21]
Hampir
semua lagu di album Swami I ini menjadi hits, tetapi yang dikategorikan sebagai
hits besar Swami adalah lagu “Bento” dan “Bongkar”. Sebentar saja lagu “Bento”
menjadi trade mark Iwan Fals.[22]
Faktor utama yang menyebabkan popularitas lagu-lagu Iwan Fals dan kelompok
musik Swami adalah tema musik yang mengambil inspirasinya dari kehidupan
sehari-hari sehingga meninggalkan kesan pada masyarakat, serta kritik sosialnya
yang dinilai berani. Lagu “Bongkar”, misalnya, gagasan lagu tersebut berasal
dari beberapa kasus penggusuran yang terjadi pada saat Orde Baru, seperti kasus
Kedung Ombo, Kaca Piring, dan Way Jepara. Sementara “Bento” mengusung metafora
penguasa yang dikritik di dalam “Bongkar”.[23]
Jika
dilihat dari permukaan, nampaknya dua lirik lagu tersebut ditandai dengan
kritikan terhadap penguasa dan penindasan yang mereka lakukan kepada masyarakat
miskin. Kedua lirik lagu mengangkat dua kelas sosial yang saling berseberangan,
yaitu kelas bawah yang tertindas dan kelas atas yang menindas. Kelas bawah
diwakili oleh lirik lagu “Bongkar”, sementara kelas atas diwakili oleh lirik
lagu “Bento”. Kelas bawah dalam kedua lirik ini digambarkan sebagai kelompok
orang yang tertindas oleh kemiskinan, kesewenangan, dan keserakahan penguasa.
Pada
masa Orde Baru, lagu-lagu Iwan Fals yang bernada kritik terhadap pemerintah
maupun orang-orang tertentu yang ada di dalam pemerintahan, banyak yang dicekal
karena dianggap dapat memancing kerusuhan dan mengganggu stabilitas keamanan. Berikut
beberapa lagu yang bernada kritik terhadap hegemoni era Orde Baru, yaitu:
1.
Sarjana
Muda Sarjana Muda (1981), kritik terhadap menyempitnya lapangan kerja.
2.
Galang
Rambu Anarki (1982), kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak
pada rakyat.
3.
Wakil
Rakyat Wakil Rakyat (1987), kritik terhadap anggota dewan yang tidak
memperjuangkan hak-hak rakyat.
4.
Bongkar
(1989), kritik terhadap penguasa yang otoriter.
5.
Bento(1989),
kritik terhadap pejabat-pejabat yang menggunakan kedudukan untuk memperkaya
dirinya.
Tidak
hanya Swami dan Iwan Fals, masih banyak bermunculan karya-karya musisi di era
Orde Baru yang membuat kuping Soeharto, presiden RI waktu itu, memerah. Sebut
saja “Tante Sun” (Bimbo) yang mengritik dominasi ibu negara (Tien Soeharto),
atau “Pak Tua” (El Pamas) yang menyindir Soeharto atas masa kekuasaannya di
negeri ini. Beruntung, dua lagu itu lolos dari larangan. Tetapi sekitar tahun
1978, Mogi Darusman mengenalkan Indonesia dengan lagu “Rayap-Rayap” nya.
Liriknya terang-terangan mengkritik koruptor, sehingga pada waktu itu jaksa
agung, atas perintah Soeharto, melarang lagu ini beredar.[24]
Kritik-kritik
para musisi diatas tidak lain sebagai reaksi terhadap kondisi sosial pada waktu
itu, yang telah menjadi inspirasi bagi perubahan sosial dalam masyarakat. Hal
ini sejalan dengan tujuan karya seni yaitu sebagai motivator ke arah aksi
sosial yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat
mengangkat situasi dan kondisi alam semesta.
Inilah
gambaran riil dari kuatnya negara pada waktu Orde Baru. Orde Baru merupakan suatu
rezim yang telah memberikan berbagai catatan sejarah panjang dari kekuasaan
otoriter yang menghegemoni masyarakat. Kekuasaan negara yang begitu kuat
membelenggu sendi-sendi kehidupan setiap warga negara. Kenyamanan dan
keserasian yang diciptakan dengan bingkai represif, penggunaan aparat negara
dalam penciptaan tatanan tersebut ternyata menjadi bara dalam sekam (bahaya
laten), yang akhirnya meledak menjadi benturan keras antara rakyat dan negara
hingga jatuhnya rezim orde baru di tangan rakyat dan kelas menengah pada tahun
1998. Sebelum terjadinya gelombang perlawanan besar-besaran hingga tergulingnya
Orde Baru pada Tahun 1998.
[1] http://www.teaterkoma.org/index.php?option=com_content&view=article&id=45&Itemid=62
[Diakses Pada 14 Maret 2014]
[2] Herry Gendut Janarto, op.cit.,
Hlm. 425.
[3] Ibid., Hlm. 426-427.
[4] Ibid., Hlm. 428
[5] Ibid., Hlm. 127. Rangkaian
kalimat tertuang di lembar leaflet pementasan Bom Waktu, produksi ke-16 Teater
Koma (24 – 30 September 1982).
[6] Ibid., Hlm. 161.
[7] Eep Saefulah Fatah, Konflik,
Manipulasi, dan Kebangkrutan Orde Baru: Manajemen Konflik Malari, Petisi 50 dan
Tanjung Priok (Jakarta: Burung Merak Press, 2010), Hlm. 109.
[8] Herry Gendut Janarto, op.cit.,
Hlm. 161.
[9] Ibid., Hlm. 175.
[10] Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita, “Sekelumit Sejarah LSM dan Ormas
Perempuan” (http://www.ppsw.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=100&Itemid=1),
Diakses Pada 14 Maret 2014.
[11] Ruth Indiah, Deploitasi Gerakan
Perempuan di Indonesia. dalam Tim ASPPUK., “Handout untuk Ornop, Gender,
dan Politik” (Jakarta: YASPPUK, 1999).
[12] Ade Suerani, “Perempuan Parlemen Sultra” (http:// politik.kompasiana.com/2010/02/19/perempuan-parlemen-sultra/),
Diakses Pada 14 Maret 2014.
[13] Herry Gendut Janarto, op.cit.,
Hlm. 207.
[14] Ibid., Hlm. 274.
[15] Ibid., Hlm. 282.
[16] W.S Rendra, 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta: Penerbit
KEPEL Press. Hal 29
[17] Edi Haryono, menonton bengkel
teater rendra. Yogyakarta: penerbit kepel press, hal.934
[18] Yayat Hendayana dalam Surat pembaca harian pikiran rakyat: 10
September 1975
[19] Edi Haryono, menonton bengkel
teater rendra. Yogyakarta: penerbit kepel press, hal. 1264
[20] Ibid, hal 1265
[21] http://wikipedia.org/wiki/SWAMI
[Diakses Pada 15 Maret 2014]
[22] http://iwanfals.net/karir-iwan-fals/profil-iwan-fals/ [Diakses Pada 15
Maret 2014]
[23] Bima Agung Sanjaya. “Makna Kritik Sosial Dalam Lirik Lagu “Bento”
Karya Iwan Fals” (Sebuah journal, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu-Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, 2013, Hlm. 184.)
[24] http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/bicara_fakta/2011/01/21/24/Andai-Aku-Gayus-dan-Sejarah-Lagu-Protes-di-Indonesia
[Diakses Pada 15 Maret 2014]
0 Response to "Teater Koma Orde Baru"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)