Peranan Tionghoa dimasa Pergerakan Nasional
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini, kata cina menjadi bahan diskusi yang
meluas di Indonesia. Sebagian orang terkagum dengan negara tiongkok yang
semakin memimpin perekonomian dunia dengan tingkat pertumbuhan yang luar biasa,
serta tingkat cengkraman perekonomiannya bagi Indonesia. Sebagian lagi merasa
was-was. Artinya, keberadaan negara tiongkok tak mungkin diabaikan. Tiongkok
telah menjadi negara dengan gurita ekonomi yang tak lagi bisa dehadapi dengan
cara gegabah.
Sementara
itu, orang yang ber-etnis Tionghoa yang sejak lama ada di Indonesia telah
menjadi bagian yang penting bukan hanya sebagai Entitas masyarakat dengan
budayanya yang berbeda dengan suku lainnya (jawa, Arab, Sunda, Bugis, Madura,
Papua, Batak dan lain-lain), melainkan juga sebagai entitas yang integral
menyau dalam kebangasaan Indonesia. Akan tetapi, status kewarganegaraan mereka
juga masih menimbulkan perdebatan. Tionghoa peranakan telah lama tinggal di Indonesia
dengan perannya di berbagai bidang. bahkan,
mereka juga punya jasa besar dalam sejarah Indonesia jauh-jauh hari sebelum Indonesia
merdeka. Mereka adalah pelopor budaya baca-tulis dan bahkan menyumbang bagi
meluasnya bahasa yang kelak menjadi bahasa persatuan, dilihat dari peran
Tionghoa peranakan di bidang pers dan terbitan yang mengantarkan bahasa melayu
(melayu rendah atau melayu pasar), yang menjadi cikal bakal sastra Indonesia
diluar dominasi balai pustaka yang didirikan unntuk kepentingan penjajahan
belanda.
Tak
heran jika Pramoedya Ananta Toer berkali-kali menyebut masa perkembangan
kesastraan melayu-tionghoa sebagai masa asimilasi, yaitu masa transisi dari
kesastraan lama ke kesastraan Indonesia modern. Bahkan, claudine salmon seorang
sejarawan perancis secara ilmiah menunjukan bahwa genre kesastraan yang
dikembangkan oleh tionghoa yang tinggal di Indonesia (peranakan) benar-benar
merupakan bagian tak terpisah dalam sastra Indonesia.
Menurut salmon dalam periode 1870-an hingga 1960an,
sastrawan tionghoa peranakan telah
menerbitkan lebih dari 3.000 udul karya
sastra dalam bahasa melayu dari berbagai bentuk;sandiwara,syair, terjemahan
karya-karya barat atau tiongkok, novel, dan cerpen.
Ironisnya,
hingga kini sastra melayu tionghoa masih belum sepenuhnya diakui sebagai
kesusastraan Indonesia modern. Buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia/SNI pun sama sekali tidak menyinggung
berbagai sumbangan tersebut.
Jadi
kami menekankan disini, amatlah bodoh jika menafikan peran positif warga
tionghoa dalam sejarah munculnya bangsa indonesia. Pada faktanya, mereka banyak
yang telah menjadi bagian dari bangsa indonesia karena nenek moyang orang
tionghoa indonesia sejak kedatangan langsung beradaptasi dengan masyarakat
setempat. Jadi anggapan negatif bahwa selama ini etnis tionghoa hanya berfungsi
sebagai kaum yang mendominasi perekonomian tampaknya terlalu berlebihan dan
akhirnya tak melihat sedikit pun nasionalisme mereka. Dengan mengabaikan
nasionalisme pada indonesia dari tionghoa, munculah stereotip bahwa tionghoa
hanyalah kaum opotunis yang tak pernah loyal pada indonesia. Cara pandang ini
dibesar-besarkan sejak orde baru mendiskreditkan tionghoa. Jika kita belajar
dari sejarah yang bukan hasil dominasi orde baru, kita akan tahu bagaimana
peran mereka dalam menyokong perjuangan nasionalisme indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis membatasi topik dengan dengan merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Peranan Tionghoa Dalam Pergerakan Nasional
2. Peranan Organisasi Tionghoa Dalam Pergerakan Nasional
Indonesia
C. Maksud dan Tujuan
Penulisan
Maksud dan Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
Mengetahui Peranan Organisasi Etnis Tionghoa Dalam Pergerakan Nasional
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Etnis
Tionghoa Dizaman Pergerakan
Memang sebagai entitas masyarakat, masyarakat tionghoa
adalah masyarakat yang hidup di wilayah yang dapat dikatakan sebagai
perantauan. Mereka ingin memaknai keberadaan mereka dengan sebagai perantauan.
Mereka ingin memaknai keberadaan mereka dengan perkembangan zaman yang terus
berubah. Tampak betapa heterogennya mereka dalam merespon perkembangan di
wilayah yang dijajah belanda, sementara di asal-usul tanah air nenek moyangnya
(tiongkok) telah pula terjadi perkembangan politik yang pesat. Heterogenitas
pemaknaan itu dapat dilihat dari munculnya ekspresi yang berbeda pada ranah
sosial, dengan munculnya organisasi-organisasi, seperti Tiong Hoa Hwee Koan
(THHK) sejak 1900, Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908). Dalam
perkembangannya pada tahun 1918, gerakan pan-cina (pan-chinese movement), terbagi menjadi dua kelompok; golongan atau
kelompok yang tetap berorientasi ke cina dan golongan yang berorientasi ke
Hindia Belanda.
Dizaman pergerakan yang mulai tumbuh sejak awal abad
ke-20, orang-orang tionghoa sebenarnya banyak memberikan peran. Mereka
mempengaruhi kebangkitan nasional, menjadi sahabat-sahabat tokoh-tokoh
pergerakan, hingga membantu secara material pertemuan-pertemuan dan
perkumpulan-perkumpulan yang diadakan oleh tokoh-tokoh organisasi yang sedang
tumbuh. Dr. Wahidin sudirohusodo, salah satu pendiri boedi oetomo yang konon
merupakan organisasi modern pertama yang didirikan oleh kaum ribumi, ternyata
menjalin persahabatan yang hangat dengan orang-orang tionghoa di yogyakarta.
Tempat praktiknya terletak ditengah-tengah daerah ketandan/pecinan yogyakarta
Dr. Wahidin juga dikenal sebagai seorang mediator urusan rumah tangga yang
baik.[1]
Tak heran pada saat terjadi kerusuhan akibat aksi anti-Tionghoa
di solo pada 1913 yang dilakukan SI di yogyakarta, keadaan tetap tenang.
Bahkan, sarekat islam cabang yogyakarta mementaskan suatu pertunjukan amal dengan perkumpulan drama
tionghoa, bok sie hwee, yang separuh hasilnya akan disumbangkan pada pengajaran
netral pribumi dan organisasi pribumi lainnya. Di batavia, deklarasi sarekat
islam setempat malah dilakukan di gedung THHK, dalam acara yang diorganisasi
oelh organisasi tionghoa. Dalam acara tersebut, masing-masing memberikan pidato
dan harapannya akan hubungan yang lebih baik antara indonesia-tionghoa dimasa
depan.
Hubungan Muhammadiyah dengan komunitas tionghoa di yogya
pada masa kolonial juga cukup baik. Muhammadiyah sering mendapatkan bantuan
dana dari tionghoa di ngabean, daerah tempat muhammadiyah bermarkas sesudah terjadinya
huru-hara di kudus (1918). Pada tahun selanjutnya, muhammadiyah merangkul
organisasi tionghoa di yogya dan insulinde (perkumpulan multi-ras dibawah
pimpinan Dr. Tjipto mangunkusumo) unutk membentuk suatu front bersama unutk
memajukan hubungann baik di antara ras yang berbeda. Pendiri perguruan taman
siswa, Ki Hadjar Dewantara, adalah sahabat dekat Dr. Yap Hong Tjoen (yang
kemudian terkenal dengan RS mata yap di yogyakarta). Sewaktu tinggal di
belanda, keduanya pernah bekerja sama dalam saatu majalah het indonesische
verbond van studeeren (perhimpunan pelajar indonesia) di tahun 1970-an, putra
Dr. Yap menyerahkan dokumentasi mengenai Ki Hadjar kepada museumtaman siswa di
yogyakarta sebagai tanda persahabatan orangtuanya. Jadi tidak benar bahwa orang
tionghoaadalah kalangan oportunis yang tak pernah punya rasa nasionalisme etnis
tionghoa di indonesia dipengaruhi oleh munculnya pemikiran modern di tiongkok,
tang dikenal dengan gerakan nasionalis di bawah pimpinan sun yat sen.
Engaruhnya dari modernisasi cina tampak sekali pada organisasi THHK atau
perkumpulan tionghoa di jakarta oleh orang-orang tionghoa berpendidikan barat.[2]
Garis Nasionalis Tionghoa dapat dilihat dari terbitan
tionghoa, Sin Po, yang secara jelas mendukung nasionalisme politik tionghoa.
Mereka mendesak mesyarakat masyarakat tionghoa di hindia belanda meninggalkan
kekawulaan belanda dan menarik diri dari institusi-institusi politik lokal,
tetapi secara aktif terlibat dalam politik tiongkok. Kalangan nasionalis sin po
tidak berhasrat bekerja sama dengan belanda. Mereka menginginkan kesetaraan
dengan belanda di depan hukum. Bahkan, setelah zaman dinasti tiongkok runtuhan,
orang-orang tionghoa nasionalis kian yakin bahwa republik adalah sistem
pemerintahan terbaik yang harus dijalankan di indonesia.[3] Meskipun
Sin Po yang mewakili kelompok kedua berhaluan nasionalisme Tionghoa tidak
berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Sin Po
senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional
Indonesia. Nasionalis Indonesia dan nasionalis Tionghoa pada masa itu belum
memikirkan adanya peluang pertentangan kedua nasionalisme tersebut setelah
Indonesia merdeka. Yang dipikirkan hanyalah bahwa mereka memiliki musuh yang
sama, pemerintah kolonial Belanda.[4]
Hubungan antara pers Cina dan nasionalisme Indonesia
dapat dilihat melalui fungsi utama pers, yaitu sebagai media komunikasi
massa. Pers Cina memberikan informasi yang jernih dan opini-opini
dari tokoh terkemuka sehingga pemikirannya dapat tersebar secara luas dan dapat
menjadi pegangan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah sosial yang ada.
Pers dalam hal ini menjadi barometer perasaan kolektif dan menjadi wakil dari
opini publik. Apa yang dirasakan masyarakat Cina peranakan yang tercermin
melalui surat kabar dan terbitan lainnya secara tidak langsung mempengaruhi
kesadaran bangsa Indonesia akan identitas bangsanya. Semua hal yang yang
dikatakan dan diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Cina terkemuka
seperti Tjou Bou San, Kwee Hing Tjiat, Kwee Tek Hoay, Liem Koen Hian, Kwee
Kek Beng memberikan manfaat secara tidak langsung bagi bangsa Indonesia
dalam memupuk kesadaran dan mendorong penemuan identitas dan martabat masyarakat
Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Sebenarnya peran Tionghoa nasionalis ini sudah dapat
dilihat sejak tahun 1930-an. Tahun 1932
didirikan PTI (partai tionghoa indonesia) yaitu golongan kaum peranakan
yang pro indonesia.[5]
Bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme di Eropa yang
melahirkan paham libelarisme dan mendorong lahirnya politik etis di hindia
belanda maka daratan tiongkok pun timbul
kesadaran akan perlunya perubahan.[6]
Pada tahun 1900, sementara kalangan pemerintahan hindia
belanda selaras dengan politik etis, tumbuh kesadaran baru dan akhirnya diambil
keputusan untuk menghapus pacht candu
dan pacht pegadaian. Kemudian, dilakukan sejumlah
percobaan mengadakan regie candu dan regie pegadaian yang dikuasai
pemerintahan dan menghapus pacht jagal
atau rumah pemotongan hewan. Keputusan ini dirasa sangat merugikan kepentingan
ekonomi para opsir tionghoa yang selama ini menikmati banyak keuntungan dari
usaha ini.
Sementara itu, di batavia, bogor, sukabumi dan kota-kota
lain muncul gerakan yang disebut “kaum muda” atau ”jong chineesche”. Anggota gerakan ini terdiri dari orang-orang
tionghoa muda dan tua yang berpikiran maju, berkenan menumbuhkan dan menanamkan
rasa Nasionalisme Tiongkok di kalangan orang Tionghoa di Hindia Belanda.
Pada saat seperti inilah, beberapa orang tokoh peranakan
tionghoa mempuyai ide untuk mendirikan sebuah organisasi baru yang lain dari
pada biasanya. Organisasi tersebut harus terbuka dan legal serta dikelola
secara modern. Organisasi yang akan didirikan ini harus berdasarkan peradaban
dan kebudayaan tionghoa dan terutama ajaran-ajaran konghuchu. Karna selama ini mayarakat tionghoa dianggap telah
melupakan tradisi dan budaya tionghoa terlebih-lebih ajaran konghuchu yang
selama lebih dari 2000 tahun menjadi pegangan orang tionghoa. Masyarakat
tionghoa lebih mementingkan menghambur-hamburkan uang dalam melakukan upacara
perkawinan dan kematian.[7]
Dimulai dengan jong chineesche beweging kemudian lahir
tionghoa hwe koan yang mendirikan sekolah-sekolah modern berbahasa tionghoa
(tionghoa hak tong) di seluruh hindia belanda. Tepatnya Pada tanggal 17 Maret
1900, bangsa Tionghoa di Hindia mendirikan perkumpulan Tiong Hwa Hwee Kwan,
dengan tujuan sebagai protes terhadap keputusan pemerintah tahun 1899 yang
memberikan kedudukan bangsa Jepang sama dengan bangsa Eropa. Organisasi ini
maju dengan pesatnya disertai dengan adanya dana yang penuh sehingga berhasil
memajukan masyarakat Tionghoa yang ada di Jawa.[8] Berdirinya
ratusan sekolah tionghoa yang juga mengajakan kembali nilai-nilai budaya
tionghoa dengan cepat membangkitkan semangat nasionalisme tiongkok dikalangan
masyarakat tionghoa. Ditambah lagi dengan terbitnya berbagai surat kabar melayu
tionghoa dan berkembangnnya pers tionghoa peranakan yang memainkan peranan yang
sangat penting dalam membakar semangat nasionalisme tiongkok tersebut.
Pada 1907-1908,
telah terbentuk Siang Hwee atau kamar dagang Tionghoa di berbagai kota di jawa.
Walaupun Siang Hwee dibentuk oleh gabungan golongan peranakan dan totok, tetapi
ternyata golongan totok berperan lebih besar dalam organisasi dagang ini. Juga
pada 1907, T’ung-Meng Hui (Perhimpunan yang
disumpah bersama, Partai Revolusioner Dr. Sun Yat Sen) membentuk cabang di
pintu kecil, batavia. Cabang ini lalau mengubah namanya menjadi chi-nan she
(perkumpulan pengembara nanyang) dan mendirikan taman-taman bacaan atau soe po
sia dengan ketua pertamanya wu wei-kang yang bertujuan untuk menyebarkan
doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran revolusioner Dr. Sun yat sen. Buku-buku yang
tersedia kebanyakan juga menggunakan bahasa akka atau hokkian, sehingga hanya
sedikit orang peranakan tionghooa yang turut berpartisipasi. Kalau T.H.H.K.
dipimpin oleh orang-orang peranakan tionghoa maka oraganisasi lainnya seperti
siang hwee soe po sia, Tung-Meng hui dipimpin oleh orang–orang tionghoa totok.[9]
Pada tahun 1910 di Seramang, didirikan Hak Boe Tjong Hwee yang mendapatkan
dukungan Tionghoa Hwe Koan di Batavia dan Surabaya. Tujuan Hak Boe Tjong Hwee adalah
untuk memajukan Pendidikan dikalangan Masyarakat Tionghoa dengan membuat Program
pendidikan bagi sekolah-sekolah T.H.H.K.
Dengan adanya sistem pendidikan yang baku dan buku-buku pelajaran yang
seragam maka apabila seorang murid pindah dari satu sekolah T.H.H.K. kesekolah
T.H.H.K. lainnnya tidak mengalami kesulitan. Juga perkumpulan ini bertujuan
menyediakan guru-guru bagi sekolah-sekolah yang membutuhkan, yang kalau perlu
didatangkan langsung dari tiongkok.[10]
Salah satu latar belakang berdirinya berbagai gerakan
pembaruan bagi orang tiongkok adalah timbulnya kesadaran dikalangan masyarakat
tionghoa akan perlunya pendidikan, persatuan, dan adanya organisasi yang dapat
mengangkat kehidupan mereka. Selain itu pengaruh nasionalisme tiongkok terutama
doktrin Pan Asia Dr. Sun Yat Sen yang sangat berpengaruh bagi masyarakat
tionghoa di perantauan.
Didalam perjalanannya sejak awal abad ke-20, pemerintah
kolonial belanda menegaskan kebijakan politik segregasi dan diskriminasi
melalui beberapa peraturan, misalnya diberlakukannya Staatsblad No.130 tahun
1917 tentang pencatatan sipil untuk golongan asia timur tionghoa; kemudian
disusul staatblad No. 75 tahun 1920 tentang pencatatan sipil untuk golongan
pribumi beragama islam. Staatblad No.75 tahun 1926 tentang pencatatan sipil
terhadap golongan pribumi beragama kristen; dan regelment no 75 th 1933 tentang
pencatatan sipil untuk golongan eropa.[11]
Pemisahan/penggolongan terhadap masyarakat hindia-belanda merupakan suatu politik
pecah belah, yang memudahkan pemerintah belanda melakukan kontrol terhadap penduduk,
mengalihkan isu penjajahan (fakta bahwa rakyat pribumi tertindas oleh
kolonialisme), dan menjadi isu rasial pada sewaktu-waktu apabila dibutuhkan.
Terbukti hal ini berhasil banyak orang pribumi sebagai kelas terjajah yang
kelak mengarahkan kebencian pada tionghoa dan lupa pada penjajahan belanda.
Sebagai contoh ketika terjadi kerusuhan dijalanan sarekat dagang islam/ SDI
yang dulu masih bernama rekso rumekso dengan
orang-orang tionghoa. Sentimen anti cina ini secara tidak sadar terus
dirasakan sampai sekarang ini.
Tionghoa memang merupakan kalangan yang lebih mampu
menangkap peluang di bidang perdagangan mengingat jaingan mereka yang luas.
Mereka banyak dibangkitkan pula oleh pendidikan untuk meningkatkan
keberadaannya. Pemmbentukan T.H.H.K. pada 1900 dan didirikannya sekolah-sekolah
THHK diberbagai kota, menjadikan kekuatan tionghoa tampak lebih siap untuk
bersaing dalam modernisasi hindia belanda.[12]
B. Pers Cina Peranakan Dan
Nasionalisme Indonesia
Ide pergerakan nasional muncul sebagai antitesa terhadap
politik kolonial Belanda. Keberadaan pers menjadi pendukung laju pergerakan
nasional di Indonesia. Kehidupannya terus berkembang meskipun keberadaannya
terus menerus diancam kebijakan pembredalan oleh pemerintah kolonial.
Ide pergerakan nasional muncul sebagai kekuatan historis
masyarakat pribumi yang juga berpengaruh terhadap pers Cina peranakan. Aspek
yang paling mudah dipertimbangkan dalam melihat hubungan pers Cina dengan
nasionalisme Indonesia adalah aspek politik. Pers Cina peranakan dipergunakan
oleh tokoh pergerakan untuk menyebarkan ide-ide perjuangan pergerakannya. Hal
itu dilakukan dengan pertimbangan keamanan dan efektivitas pers Cina.
Pers Cina dianggap relatif aman karena posisinya yang netral, sedangkan pers pribumi lebih mudah terdeteksi dan akhirnya dibredel dan pemimpin atau penyumbang pemikirannya ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah Belanda. Pandangan politis yang ditampilkan dalam pers Cina umumnya menunjukan pandangan para pemilik, staf redaksi dan pembaca langganan yang mendukung pers tersebut. Secara garis besar spektrum politis pers Cina terbagi atas tiga kelompok besar. Kelompok pertama Pers Cina tampil sebagai wakil pers yang menerima penuh ideologi nasionalisme Indonesia. Kelompok ini tidak diragukan lagi peranannya dalam menyebarkan ide nasionalisme Indonesia, terutama dalam masyarakat Cina peranakan. Kelompok pertama ini diwakili oleh Sin Tit Po, yang menjadi corong setengah resmi dari PTI (Partai Tionghoa Indonesia). Kelompok kedua dan ketiga, memilih netral dan tetap pada pendiriannya. Kelompok kedua memilih nasionalisme Cina daratan sebagai orientasi politik. Sementara kelompok ketiga bersikap konservatif mempertahankan identitas etniknya dan memilih berorientasi politik dengan lebih mendukung pemerintah kolonial Belanda. Kelompok kedua diwakili oleh surat kabar Sin Po yang menganut aliran nasionalisme Tionghoa. Kelompok ketiga diwakili oleh kabar Siang Po dan Pelita Tionghoa.
Meskipun Sin Po yang mewakili kelompok kedua berhaluan nasionalisme Tionghoa tidak berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Sin Po senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Nasionalis Indonesia dan nasionalis Tionghoa pada masa itu belum memikirkan adanya peluang pertentangan kedua nasionalisme tersebut setelah Indonesia merdeka. Yang dipikirkan hanyalah bahwa mereka memiliki musuh yang sama, pemerintah kolonial Belanda.
Soekarno mengatakan pada Tjoe bahwa ia lebih menghargai orang Tionghoa yang menyokong pergerakan Indonesia tanpa menghiraukan bahaya, dibandingkan dengan mereka yang mau menjadi orang Indonesia akan tetapi semata-mata karena ingin mendapat keuntungan.
Hubungan antara pers Cina dan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi utama pers, yaitu sebagai media komunikasi massa. Pers Cina memberikan informasi yang jernih dan opini-opini dari tokoh terkemuka sehingga pemikirannya dapat tersebar secara luas dan dapat menjadi pegangan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah sosial yang ada.
Pers dalam hal ini menjadi barometer perasaan kolektif dan menjadi wakil dari opini publik. Apa yang dirasakan masyarakat Cina peranakan yang tercermin melalui surat kabar dan terbitan lainnya secara tidak langsung mempengaruhi kesadaran bangsa Indonesia akan identitas bangsanya. Semua hal yang yang dikatakan dan diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Cina terkemuka seperti Tjou Bou San, Kwee Hing Tjiat, Kwee Tek Hoay, Liem Koen Hian, Kwee Kek Beng memberikan manfaat secara tidak langsung bagi bangsa Indonesia dalam memupuk kesadaran dan mendorong penemuan identitas dan martabat masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Tulisan-tulisan dalam pers Cina peranakan yang mendapat pengaruh dari gerakan nasioanalisme Tionghoa juga memiliki imbas terhadap bagian-bagian dari reaksi bangsa Indonesia terhadap pemerintah kolonial.
Pers Cina dianggap relatif aman karena posisinya yang netral, sedangkan pers pribumi lebih mudah terdeteksi dan akhirnya dibredel dan pemimpin atau penyumbang pemikirannya ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah Belanda. Pandangan politis yang ditampilkan dalam pers Cina umumnya menunjukan pandangan para pemilik, staf redaksi dan pembaca langganan yang mendukung pers tersebut. Secara garis besar spektrum politis pers Cina terbagi atas tiga kelompok besar. Kelompok pertama Pers Cina tampil sebagai wakil pers yang menerima penuh ideologi nasionalisme Indonesia. Kelompok ini tidak diragukan lagi peranannya dalam menyebarkan ide nasionalisme Indonesia, terutama dalam masyarakat Cina peranakan. Kelompok pertama ini diwakili oleh Sin Tit Po, yang menjadi corong setengah resmi dari PTI (Partai Tionghoa Indonesia). Kelompok kedua dan ketiga, memilih netral dan tetap pada pendiriannya. Kelompok kedua memilih nasionalisme Cina daratan sebagai orientasi politik. Sementara kelompok ketiga bersikap konservatif mempertahankan identitas etniknya dan memilih berorientasi politik dengan lebih mendukung pemerintah kolonial Belanda. Kelompok kedua diwakili oleh surat kabar Sin Po yang menganut aliran nasionalisme Tionghoa. Kelompok ketiga diwakili oleh kabar Siang Po dan Pelita Tionghoa.
Meskipun Sin Po yang mewakili kelompok kedua berhaluan nasionalisme Tionghoa tidak berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Sin Po senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Nasionalis Indonesia dan nasionalis Tionghoa pada masa itu belum memikirkan adanya peluang pertentangan kedua nasionalisme tersebut setelah Indonesia merdeka. Yang dipikirkan hanyalah bahwa mereka memiliki musuh yang sama, pemerintah kolonial Belanda.
Soekarno mengatakan pada Tjoe bahwa ia lebih menghargai orang Tionghoa yang menyokong pergerakan Indonesia tanpa menghiraukan bahaya, dibandingkan dengan mereka yang mau menjadi orang Indonesia akan tetapi semata-mata karena ingin mendapat keuntungan.
Hubungan antara pers Cina dan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi utama pers, yaitu sebagai media komunikasi massa. Pers Cina memberikan informasi yang jernih dan opini-opini dari tokoh terkemuka sehingga pemikirannya dapat tersebar secara luas dan dapat menjadi pegangan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah sosial yang ada.
Pers dalam hal ini menjadi barometer perasaan kolektif dan menjadi wakil dari opini publik. Apa yang dirasakan masyarakat Cina peranakan yang tercermin melalui surat kabar dan terbitan lainnya secara tidak langsung mempengaruhi kesadaran bangsa Indonesia akan identitas bangsanya. Semua hal yang yang dikatakan dan diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Cina terkemuka seperti Tjou Bou San, Kwee Hing Tjiat, Kwee Tek Hoay, Liem Koen Hian, Kwee Kek Beng memberikan manfaat secara tidak langsung bagi bangsa Indonesia dalam memupuk kesadaran dan mendorong penemuan identitas dan martabat masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Tulisan-tulisan dalam pers Cina peranakan yang mendapat pengaruh dari gerakan nasioanalisme Tionghoa juga memiliki imbas terhadap bagian-bagian dari reaksi bangsa Indonesia terhadap pemerintah kolonial.
Pada masa pergerakan nasional, pers nasional (pers
pribumi) sering mengalami kesulitan yang disebabkan oleh pemerintah kolonial.
Kehidupan pers terus menerus diancam kebijakan pembredelan dan delik pers.
Seperti yang pernah dialami surat kabar pribumi Doenia Bergerak, tiga buah
artikel dalan DB yang bertemakan ketidakbenaran orde kolonial terkena
persdelict (delik pers), dan pemimpinnya Mas Marco Kartodikromo harus menjalani
hukuman penjara di kota Semarang selama 8 bulan. Dalam keadaan politik yang
mengancam, keberadaan surat kabar Cina yang relatif aman menjadi salah satu
sumber dan media penting dalam mengetahui dan mendorong laju pergerakan
nasional.
Beberapa pers pribumi baik itu surat kabar maupun majalah
pada awal perkembangannya menggunakan berbagai fasilitas yang dimiliki
orang-orang Cina dalam perusahaan penerbitannya, seperti percetakan,
permodalan,dan tenaga ahli editorial. Majalah Darmo Kondo milik Budi Utomo yang
terbit di Surakarta pada awalnya dimiliki dan dicetak oleh Tan Tjoe Kwan,
sedangkan redaksinya dipimpin oleh Tjhie Siang Ling yang mahir dalam kasustraan
Jawa. Beberapa surat kabar lain yang juga bekerja sama dengan modal Cina antara
lain surat kabar Kebangoenan yang diterbitkan di Jakarta dicetak dipercetakan
Siang Po dan memuat artikel-artikel bersamaan dengan Siang Po
sekurang-kurangnya pada periode awal.
Bentuk kerja sama lainnya adalah dipekerjakannya wartawan-wartawan Indonesia dibeberapa surat kabar Cina peranakan.Orang-orang seperti Saeroen, W.R Soepratman, D. Koesoemaningrat, Bintarti, Sudarjo Tjokrosisworo, dan J.D Syaranamual merupakan wartawan-wartawan Indonesia yang bekerja diberbagai surat kabar Cina peranakan. Disamping memperoleh imbalan ekonomis dari pekerjaannya, mereka juga mempelajari teknik pengelolaan surat kabar Cina yang kemudian mereka terapkan pada pers nasional atau pers pribumi. Kemampuan finansial tinggi pers Cina mampu membayar koresponden dan staf ahli yang tinggal di luar negeri. Perolehan berita-berita luar negeri baik menyangkut informasi mancanegara maupun tentang Indonesia sendiri kemudian dikutip kembali oleh surat kabar pribumi. Kerja sama seperti itu merupakan hal yang luar biasa pada masa itu mengingat biaya penggunaan jasa telekomunikasi sangat tinggi sehingga hanya surat kabar tertentu yang mampu menggunakan jasa informasi tersebut.[13]
Bentuk kerja sama lainnya adalah dipekerjakannya wartawan-wartawan Indonesia dibeberapa surat kabar Cina peranakan.Orang-orang seperti Saeroen, W.R Soepratman, D. Koesoemaningrat, Bintarti, Sudarjo Tjokrosisworo, dan J.D Syaranamual merupakan wartawan-wartawan Indonesia yang bekerja diberbagai surat kabar Cina peranakan. Disamping memperoleh imbalan ekonomis dari pekerjaannya, mereka juga mempelajari teknik pengelolaan surat kabar Cina yang kemudian mereka terapkan pada pers nasional atau pers pribumi. Kemampuan finansial tinggi pers Cina mampu membayar koresponden dan staf ahli yang tinggal di luar negeri. Perolehan berita-berita luar negeri baik menyangkut informasi mancanegara maupun tentang Indonesia sendiri kemudian dikutip kembali oleh surat kabar pribumi. Kerja sama seperti itu merupakan hal yang luar biasa pada masa itu mengingat biaya penggunaan jasa telekomunikasi sangat tinggi sehingga hanya surat kabar tertentu yang mampu menggunakan jasa informasi tersebut.[13]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulannya
Pers Cina dengan didukung oleh kelengkapan produksi yang memadai muncul sebagai
kekuatan penting dalam panggung kehidupan jurnalistik di Indonesia. Pers Cina
memiliki perusahaan percetakan sendiri,modal dan dukungan finansial yang kuat.
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki tersebut, pers Cina mampu memberikan
warna tersendiri bagi dinamika perekembangan jurnalisme di Indonesia. Keberadaan
pers Cina tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat dan sejarah
pers Indonesia. Pertumbuhan pers Cina yang bersamaan dengan bangkitnya semangat
nasionalisme Indonesia memiliki titik persinggungan dalam beberapa tempat.
Keberadaan pers Cina memberikan nilai positif bagi perkembangan nasionalisme di
Indonesia. Pers Cina banyak berperan sebagai partner bagi tokoh pergerakan
dalam menyebarkan ide-ide, pemikiran serta informasi.
Hubungan pers Cina dan gerakan nasionalisme Indonesia setidaknya dapat dilacak dalam tiga aspek, yakni relasi sosial-politik, relasi psiko kultural dan relasi ekonomis. Relasi sosial-politik terutama dilihat dari peran Pers Cina dalam hubungannya dengan tokoh pergerakan. Pers Cina berperan sebagai mitra perjuangan, yakni sebagai media alternatif bagi pergerakan nasional. Hubungan psiko-kultural diperlihatkan dengan fungsi pers sebagai media komunikasi massa. Pers Cina melalui pemberitaannya tentang berbagai peristiwa di Indonesia secara tidak langsung menyadarkan masyarakat Indonesia akan identitas sebagai bangsa Dari segi ekonomi, pers Cina dengan dukungan permodalan yang memadai membantu terpeliharanya eksistensi beberapa pers pribumi.
Hubungan pers Cina dan gerakan nasionalisme Indonesia setidaknya dapat dilacak dalam tiga aspek, yakni relasi sosial-politik, relasi psiko kultural dan relasi ekonomis. Relasi sosial-politik terutama dilihat dari peran Pers Cina dalam hubungannya dengan tokoh pergerakan. Pers Cina berperan sebagai mitra perjuangan, yakni sebagai media alternatif bagi pergerakan nasional. Hubungan psiko-kultural diperlihatkan dengan fungsi pers sebagai media komunikasi massa. Pers Cina melalui pemberitaannya tentang berbagai peristiwa di Indonesia secara tidak langsung menyadarkan masyarakat Indonesia akan identitas sebagai bangsa Dari segi ekonomi, pers Cina dengan dukungan permodalan yang memadai membantu terpeliharanya eksistensi beberapa pers pribumi.
Selain itu organipsasi-organisasi nasionalis tionghoa
merupakan organisasi yang secara tidak langsung membantu dalam pergerakan
nasional indonesia dalam melawan kekuatan belanda.
DAFTAR
PUSTAKA
2.
Soyomukti, Nurani.2012. Soekarno
dan Cina. Jogjakarta: Garasi
3.
Setiono, Benny G.2008. Tionghoa
Dalam Pusaran Politik.Jakarta: Trans Media
4.
Leo Suryadinata, 1991,
“Tjoe Bou San : Nasionalisme Tionghoa yang Mati Muda”, Prisma
No 5 Tahun 1991, Jakarta:LP3ES
[2] Ibid hal 142-143
[3] Ibid hal 144
[4] Leo
Suryadinata, 1991, “Tjoe Bou San : Nasionalisme Tionghoa yang Mati
Muda”, Prisma No 5 Tahun 1991, Jakarta:LP3ES, hlm.82
[6] Setiono, Benny G.2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik.Jakarta: Trans
Media hal 299
[8]http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=peranan%20tionghoa%20dalam%20pergerakan%20nasional%20Indonesia&source=web&cd=4&cad=rja&ved=0CEUQFjAD&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F25984%2F1%2FPERANAN_STOVIA_DALAM_PERGERAKAN_NASIONAL_DI_INDONESIA-Siti_Maziah.pdf&ei=my9kUZOGAcSPrgf13oDgBA&usg=AFQjCNEINZI1phWgAV-JZVrL4XDcW_uOAw&bvm=bv.44990110,d.bmk pukul 22.33
wib 9/4/2O13 pdf
[12] Ibid hal196
0 Response to "Peranan Tionghoa dimasa Pergerakan Nasional"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)