Makalah Budaya Organisasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sebuah organisasi mempunyai budaya
masing-masing. Ini menjadi salah satu pembeda antara satu organisasi dengan
organisasi lainnya. Budaya sebuah organisasi ada yang sesuai dengan anggota
atau karyawan baru, ada juga yang tidak sesuai sehingga seorang anggota baru
atau karyawan yang tidak sesuai dengan budaya organisasi tersebut harus dapat
menyesuaikan kalau dia ingin bertahan di organisasi tersebut.
Budaya organisasi ini dapat membuat
suatu organisasi menjadi terkenal dan bertahan lama. Yang jadi masalah tidak
semua budaya organisasi dapat menjadi pendukung organisasi itu. Ada budaya
organisasi yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Maksudnya tidak dapat
menyocokkan diri dengan lingkungannya, dan lebih ditakutkan lagi organisasi itu
tidak mau menyesuaikan budaya nya dengan perkembangan zaman karena dia merasa
paling benar.
Dalam keadaan inilah anggota tidak
akan mendapatkan kepuasan kerja. Memang banyak faktor lain yang menyebabkan
anggota tidak memperoleh kepuasan kerja, tapi faktor budaya organisasi
merupakan faktor yang utama.
Meski
telah disadari bahwa budaya organisasi bersifat dinamik dan pluralistic,
perdebatan tentang apakah budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan
masih terjadi. Pandangan pertama yang diwakili oleh Gagliardi menyatakan bahwa
budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan. Argumentasi yang digunakan
adalah bahwa budaya organisasi merupakan komponen illusive yang menyatu dalam
diri setiap orang pada dataran yang paling mendasar (alam bawah sadar),
sehingga untuk merubah budaya organisasi membutuhkan pengetahuan yang mendalam
tentang bagaimana alam bawah sadar terbentuk dan berfungsi serta memungkinkan
akan menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Pandangan
kedua menyatakan bahwa budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan.
Pandangan ini terpecah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu pendapat bahwa perubahan
budaya organisasi sangat bergantung kemauan para eksekutif dan pendapat yang
mengatakan bahwa perubahan hanya mungkin dilakukan jika memenuhi syarat-syarat
tertentu, misalnya kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan
budaya organisasi.
Sementara ada pandangan yang lebihmoderat dalam mensikapi terjadinya perdebatan ini, yaitu pandangan yang tidak mempertentangkan apakah budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan ataukah tidak, tetapi lebih menekankan tentang bagaimana, kapan dan dalam keadaan apa sebaiknya budaya organisasi dirubah. Diantara kondisi lingkungan yang memerlukan perubahan antara lain terjadinya krisis organisasi, pergantian kepemimpinan dan pembentukan organisasi baru.
Sementara ada pandangan yang lebihmoderat dalam mensikapi terjadinya perdebatan ini, yaitu pandangan yang tidak mempertentangkan apakah budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan ataukah tidak, tetapi lebih menekankan tentang bagaimana, kapan dan dalam keadaan apa sebaiknya budaya organisasi dirubah. Diantara kondisi lingkungan yang memerlukan perubahan antara lain terjadinya krisis organisasi, pergantian kepemimpinan dan pembentukan organisasi baru.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan budaya
organisasi ?
2. Bagaimana asal muasal budaya
organisasi ?
3. Apa saja karakteristik budaya
organisasi ?
4. Bagaimanakah menciptakan budaya
organisasi yang etis ?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui pengertian budaya
organisasi.
2. Menjelaskan asal muasal budaya
organisasi.
3. Mengetahui karakteristik budaya
organisasi.
4. Mengetahui bagaimana menciptakan
budaya organisasi yang etis.
D.
Manfaat
Penulisan
Makalah ini disusun dengan harapan
memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis
makalah ini berguna sebagai pengembangan konsep mata kuliah Interpersonal
Employee Relation khususnya materi “Budaya Organisasi” dan secara praktis
makalah ini diharapkan bermanfaat bagi :
1.
Penulis,
sebagai wahana meningkatkan pengetahuan dan konsep keilmuan, khususnya tentang
materi Budaya Organisasi.
2.
Pembaca, sebagai
media informasi mata kuliah Interpersonal Relation khususnya mengenai Budaya Organisasi.
E. Metode
Penulisan
Metode yang digunakan dalam
penulisan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini penulis menguraikan
permasalahan yang dibahas secara explanation
atau penjelasan yang komperhensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan
dengan menggunakan studi pustaka, artinya penulis mengambil data melalui media
pustaka dalam penyusunan makalah ini dan ditambah referensi dari media
internet. Penulis mencantumkan berbagai sumber untuk penulisan makalah ini,
selain itu juga penulis menggunakan metode kepustakaan untuk mendapatkan data
yang mendukung penyusunan makalah.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian Budaya Organisasi
Pengaruh
budaya organisasi terhadap perilaku organisasi sangat signifikan. Karena itu
menciptakan busaya organisasi yang sifatnya unik untuk setiap organisasi
amatlah penting. Untuk itu perlu dipahami apa budaya organisasi itu.
Budaya
organisasi memiliki makna yang luas. Walter R. Freytag mendefinisikan budaya organisasi
sebagai “a distint and shared set of conscious and unconscious
assumptions and values that binds organizational members together and
prescribes appropriate patters of behavior.” Freytag menitik beratkan pada asumsi-asumsi
dan nilai-nilai yang disadari atau tidak disadari yang mampu mengikat kepaduan
suatu organisasi. Asumsi dan nilai tersebut menentukan pola perilaku para
anggota di dalam organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa A.
Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi sebagai “the
sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and
expectations that organize and integrate a group of people who work together.”
Definisi Grunig et.al. ini
mirip dengan yang telah disampaikan Freytag sebelumnya, yaitu bahwa budaya
organisasi adalah totalitas nilai, simbol, makna, asumsi, dan harapan yang
mampu mengorganisasikan suatu kelompok orang yang bekerja secara bersama-sama.
Menurut
Lathans (1998), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang
mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota organisasi akan
berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya.
Sarplin (1995) mendefinisikan budaya organisasi merupakan suatu system nilai,
kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi
dengan struktur system formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku
organisasi. Sebagai suatu cognitive
framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan
harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Budaya organisasi
merupakan pola keyakinan dan nilai- nilai (value)
organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga
pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku
dalam organisasi.
Schein
(1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi
dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok
tertentu, dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi dan menanggulangi
masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal
yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada
anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan
merasakan berkanaan dengan masalah-masalah tersebut. Menurut Mondy dan Noe
(1996), budaya organisasi adalah system dari shared values, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu
organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk menciptakan
norma-norma perilaku.
Budaya
organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar- standar yang mengarahkan
perilaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan.
Sedangkan Hodge, Anthony dan Gales (1996) mendefinisikan budaya organisasi (corporate culture) sebagai konstruksi
dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level observable, budaya organisasi mencakup
beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam pola perilaku, peraturan,
legenda, mitos, bahasa, dan seremoni yang dilakukan perusahaan. Sedangkan pada
level unobservable budaya organisasi
mencakup shared values, norma-norma,
asumsi-asumsi, kepercayaan para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan
keadaan-keadaan disekitarnya. Budaya perusahaan juga dianggap sebagai alat
untuk menentukan arah organisasi, megarahkan apa yang boleh dilakukan, dan yang
tidak boleh dilakukan, serta bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola
sumber daya perusahaan, dan sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang
dari lingkungan.
Dari
sejumlah pengertian diatas, tampak bahwa budaya organisasi memiliki peran yang
sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan efektifitas kinerja
organisasi, khususnya kinerja manajemen dan kinerja ekonomi, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai alat untuk
menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya
organisasional, dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari
lingkungan internal dan eksternal.
Menurut Susanto, “Budaya organisasi
adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman sember daya manusia untuk menghadapi
permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan
sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada
dan bagaimana mereka harus bertingkah laku atau berperilaku.”
Menurut Robbins, “Budaya organisasi
adalah suatu system makna bersama yang dianut oelh anggota-anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan yang lain. “
Menurut Gareth R. Jones, “Budaya
organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota
organisasi, suatu system dari makna bersama.” Jadi budaya organisasi itu adalah
suatu budaya yang dianut oleh suatu organisasi dan itu menjadi pembeda antara
satu organisasi dengan organisasi yang lain.
Dari
semua pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi
merupakan nilai-nilai dan norma perilaku yang diterima dan dipahami bersama
oleh anggota organisasi sebagai dasar aturan perilaku di dalam organisasi
B.
Asal Muasal Budaya Organisasi
Kebiasaan, tradisi, dan cara
umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini
merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan seberapa
besar kesuksesan yang telah diraihnya di masa lalu. Hal ini
mengarah pada sumber tertinggi budaya sebuah organisasi: para pendirinya.
Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki
pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi
tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya.
Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan
pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota
organisasi. Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara: Pertama, pendiri
hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang
sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan
menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir,
perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan
untuk mengidentifikasi diri. Dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Apabila
organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor penentu
utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para
pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi.
C.
Karakteristik Budaya Organisasi
Adanya budaya organisasi sesungguhnya
tumbuh karna diciptakan dan dikembangkan oleh individu-individu yang bekerja
dalam suatu organisasi, dan diterima sebagai nilai-nilai yang harus
dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai pedoman
bagi setiap anggota selama mereka berada dalam lingkungan organisasi tersebut,
dan dapat dianggap sebagai Ciri khas yang membedakan sebuah organisasi dengan
organisasi lainnya.
Antonius dan Antonina mengatakan mengenai
karakteristik dan dimensi nilai yang terkandung dalam budaya organisasi yaitu :
1. Orientasi
Hasil.
2. Orientasi
Orang.
3. Orientasi
Tim.
4. Keagresifan.
5. Kemantapan/stabilitas,
6. Inovasi
dan keberanian mengambil resiko.
7. Perhatian
pada hal-hal yang lebi rinci.
Dalam teori diatas dijelaskan bahwa sebuah organisasi
dapat memiliki karakteristik yang terkandung dalam budaya organisasinya. Sejauh
mana organisasi berfokus kepada hasil, dan bukan hanya pada proses, melihat
sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil pada individu di
dalam organisasi itu. Kemudian sejauh mana kegiatan kerja di organisasikan
sekitar tim-tim, bukannya individu-individu, melihat sejauh mana karyawan itu
agresif dan kompetitif, bukannya santai-santai, sejauh mana kegiatan organisasi
menekankan dipertahankannya status quo
sebagai kontras dari pertumbuhan, lalu sejauh mana karyawan berani berinovasi
dan menghadapi resiko pekerjaan. Sampai pada akhirnya sejauh mana karyawan
mencermati pekerjaan lebih presisi dan memfokuskan pada hal-hal yang lebih
rinci.
Diperkuat dengan pendapat Robbins dan Judge bahwa Kultur
Organisasi mengacu kepada sebuah system makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi
tersebut dengan organisasi lainnya. System makna bersama ini, bila diceermati
secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung
tinggi oleh organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik
utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat kultur organisasi.
1. Innovation
and Risk Taking (Inovasi dan pengambilan resiko), suatu
tingkatan dimana pekerja didorong untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.
2. Attention
to Detail (Perhatian pada hal-hal detail), dimana pekerja
diharapkan menunjukkan ketepatan, analisis, dan perhatian pada hal detail.
3. Outcome
Orientation (Orientasi pada manfaat), dimana
menajemen memfokus pada hasil atau manfaat daripada sekadar pada teknik dan
proses yang dipergunakan untuk mendapatkan manfaat tersebut.
4. People
Orientation (Orientasi pada orang), di mana
keputusan manajemen mempertimbangkan pengaruh manfaatnya pada orang dalam
organisasi.
5. Team
Orientation (Orientasi pada tim), dimana aktivitas
kerja di organisasi berdasar tim daripada individual.
6. Aggresiveness
(Agresivitas), dimana orang cenderung lebih agresif dan kompetitif daripada easygoing.
7. Stability
(Stabilitas), dimana aktivitas organisasional menekankan pada menjaga status
quo sebagai lawan dari perkembangan.
Dari semua pendapat para ahli diatas dapat
disimpulkan bahwa terdapat beberapa karakteristik budaya organisasi, yaitu inovasi
dan pengambilan resiko, perhatian pada detail, orientasi hasil, orientasi
kepada para individu, orientasi kepada tim, keagresifan, serta stabilitas.
D.
Menciptakan Budaya Organisasi yang
Etis
Isu dan
kekuatan suatu kultur mempengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku
etis para anggotanya. Kultur sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling
besar untuk membentuk standar etika tinggi adalah kultur yang tinggi
toleransinya terhadap risiko tinggi, rendah sampai sedang dalam hal
keagresifan, dan fokus pada sarana selain juga hasil. Para manajer dalam kultur
semacam ini didorong untuk mengambil resiko dan berani berinovasi, dilarang
terlibat dalam persaingan yang tak terkendali, dan akan memberikan perhatian
pada bagaimana tujuan dicapai dan juga pada tujuan apa yang akan dicapai.
Manajemen
yang dapat dilakukan untuk menciptakan kultur yang lebih etis dapat dilakukan
dengan praktik-praktik:
1. Menjadi
model peran yang visibel. Karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak
sebagai acuan standar untuk menentukan perilaku yang semestinya mereka ambil.
Ketika manajemen senior dianggap mengambil jalan yang etis, hal ini memberi
pesan positif bagi semua karyawan.
2. Mengkomunikasikan
harapan-harapan yang etis. Ambiguitas etika dapat diminimalkan dengan menciptakan
dan mengomunikasikan kode etik organisasi. Kode etik ini harus menyatakan
nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan etis yang diharapkan akan
dipatuhi para karyawan.
3. Memberikan
pelatihan etis. Selenggarakan seminar. Lokakarya, dan program-program pelatihan
etis. Gunakan sesi-sesi pelatihan ini untuk memperkuat standar tuntunan
organisasi, menjelaskan praktik-praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan
menangani dilema etika yang mungkin muncul.
4. Secara nyata
memberikan penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman terhadap tindakan
yang tidak etis. Penilaian kinerja terhadap para manajer harus mencakup
evaluasi hal demi hal mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup baik
menurut kode etik organisasi. Penilaian harus mencakup sarana yang dipakai
untuk mencapai sasaran dan juga pencapaian tujuan itu sendiri. Orang-orang yang
bertindak etis harus diberi penghargaan yang jelas atas perilaku mereka. Sama
pentingnya, tindakan tidak etis harus diganjar secara terbuka/nyata.
5. Memberikan
mekanisme perlindungan. Organisasi perlu memiliki mekanisme formal sehingga
karyawan dapat mendiskusikan dilema-dilema etika dan melaporkan perilaku tidak
etis tanpa takut. Cara ini bisa meliputi pembentukan konselor etis, badan
pengawas (ombudsmen), atau petugas etika.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Studi
Kasus
Sejalan dengan
makin meningkatnya merger dan akuisisi, membuktikan bahwa menggabungkan dua
budaya organisasi yang berbeda bukanlah pekerjaan yang mudah. Juga, banyak
keuntungan yang diharapkan dari merger tersebut tidak terealisasi karena budaya
organisasi dan Sumber Daya Manusia yang berbeda. Menurut suatu perkiraan secara
nasional, 70% dari semua kombinasi tidak mencapai sasaran keuangan yang telah
ditetapkan dan hanya 15% mencapai sasaran keuangan mereka.
Satu contoh
dari industri pelayanan kesehatan mengilustrasikan permasalahannya. Dua
organisasi pelayanan kesehatan yang besar, kedua-duanya berpusat di California
Selatan, telah terlibat dalam persaingan yang ketat. Homedco dan Abbey
Healthcare Group memutuskan, daripada meneruskan persaingan, lebih baik mereka
memperkuat posisi pasar mereka dengan penggabungan untuk menciptakan sebuah
perusahaan besar menjadi Apria Healthcare Group. Bersama-sama mereka
merencanakan untuk memperluas pelayanan kesehatan mereka sebagai pengaruh dari
perluasan pelayanan yang telah dikelola.
Tiga tahun
kemudian nilai persediaan dari Apria telah merosot sebesar 25%, dan penghasilan
menurun. Sejauh mana kemerosotan Apria merupakan bukti yang cepat ; ketika
usaha mulai mencari perusahaan lain untuk mengambil –alih
perusahaan, hanya beberapa pembeli tampak tertarik. Apa yang terjadi ini
terutama karena oleh masalah operasional yang disebabkan oleh merger. Masalah
masalah tersebut tidak dapat diselesaikan karena konflik internal yang terjadi
antara bekas eksekutif dan tenaga kerja Homedco dan Abbey Healthcare.
Puncaknya, BOD, yang bahkan terpisah dapat menerima keputusan untuk mengganti
Timothy Aitken, yang semula adalah CEO Abbey Healthcare, dengan Jeremy Jones
dari Homedco untuk menjabat sebagai CEO.
Tampak nyata
dari semula bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki budaya organisasi yang
sangat berbeda. Homedco memiliki struktur yang lebih formal dengan pembuatan
keputusan yang lebih terpusat, sedangkan Abbey Healthcare pembuatan keputusan
bersifat sangat desentralisasi dan manajer cabang mempunyai wewenang yang
sangat besar. Juga, penggabungan sistem komputer dan penagihan dengan
menggunakan sistem Abbey Healthcare berarti bahwa tenaga kerja yang berasal
dari Homedco harus mendapatkan pelatihan, dimana hal ini tidak dapat terjadi
begitu cepat. Sebagai akibatnya, banyak sekali kesalahan dalam penagihan yang
menimbulkan keluhan dan telepon dari pelanggan yang tidak puas yang diterima
oleh departemen pelayanan pelanggan Apria.
Untuk
menghemat biaya dan menghilangkan duplikasi tugas, lebih kurang 14% dari tenaga
kerja pada
perusahaan yang digabungkan tersebut kehilangan pekerjaan. Akan tetapi, jumlah
terbesar dari mereka adalah tenaga kerja yang sebelumnya merupakan tenaga kerja
Abbey. Untuk mereka yang masih tinggal di perusahaan, tampak bahwa kebanyakan
manajer Homedco tidak terpengaruh dibandingkan dengan yang dialami manajer
Abbey Healthcare. Sebagai contoh, hanya ada 6 dari 21 manajer
regional yang sebelumnya mereka bekerja untuk Abbey Healthcare, di mana dalam
hal ini mengakibatkan
kebanyakan perwakilan penjualan Abbey yang mempunyai kinerja yang baik memilih keluar dari
perusahaan. Bahkan perubahan beberapa peraturan dasar Sumber Daya Manusia telah
menimbulkan masalah.
Contohnya,
ketika peraturan Sumber Daya Manusia Homedco digunakan di kantor Abbey, kode
yang baru dan prosedur penyimpanan data mengganggu beberapa tenaga kerja yang
merupakan tenaga kerja Abbey sebelumnya. Sehingga mengakibatkan banyak sekali
dari mereka yang meninggalkan perusahaan pada tahun pertama penggabungan.
Karena tingkat konflik yang sangat hebat
menyebabkan tenaga kerja dari satu perusahaan menganggap mereka yang berasal
dari perusahaan
lain adalah “orang bodoh” dan menolak untuk membalas menelepon kembali tenaga
kerja dari
perusahaan lain. Akhirnya, baik Aitken maupun Jones meninggalkan perusahaan,
dan tim eksekutif yang baru berjuang untuk membangun kembali Apria. Bukannya menjadi
merger yang sehat, malahan menciptakan “merger dari neraka”.
Sayangnya,
situasi ini bukanlah hal yang tabu, budaya konflik serupa juga telah
melenyapkan keefektivan merger oleh perusahaan dalam bidang industri yang lain.
Salah satu contoh adalah merger antara dua lembaga keuangan yaitu Society Corp.
dan Key Corporation (Key Corp.). Sejak merger, perusahaan yang di gabungkan
tersebut telah mengalami pertumbuhan hanya separuh dari pertumbuhan bank yang
lain dalam ukuran perusahaan yang sama dan telah mengurangi tenaga kerja sebanyak
5.000 orang. Pada kasus ini, sama seperti kasus Apria, membuktikan bahwa
masalah ketidakharmonisan Sumber Daya Manusia dan budaya organisasi dapat
menghancurkan nilai suatu merger yang tampak logis dari perspektif bisnis strategi
yang luas.
B. Analisis
Kasus
Melihat
dari masalah yang terjadi di atas, salah satunya adalah mengenai penggabungan
dari 2 budaya organisasi yang berbeda. Masalah tersebut sering terjadi kepada
perusahaan-perusahaan yang melakukan penggabungan atau merger perusahaan.
Perbedaan 2 budaya menjadi satu tersebut malah membuat perusahaan memiliki
penurunan dalam pasar. Oleh karena itu, seharusnya perusahaan tersebut harus
menciptakan kembali suatu budaya organisasi yang etis agar perusahaan tersebut
dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut harus dimulai dari pimpinan (CEO)
perusahaan tersebut.
Pemimpin
seharusnya dapat menjadi model peran yang visible yang baik, dan tidak memihak
kepada perusahaannya terdahulu sebelum di merger tersebut, pimpinan harus dapat
menjadi penengah dan memberikan peran yang baik di depan para karyawannya,
sehinga hal tersebut dapat memberikan pesan positif bagi semua karyawannya.
Kemudian pimpinan mengkomunikasikan kembali harapan harapan yang etis yaitu
berupa kode etik organisasi. Kode etik tersebut tentu saja harus menyatakan
nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan yang baru yang dapat dipatuhi
oleh para karyawan.
Pemimpin
juga dapat memberikan beberapa pelatihan etis seperti seminar, loka karya dan
yang lain-lain yang nantinya dapat memperkuat standar tuntutan organisasi, mana
yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan di dalam
organisasi. Setelah itu, pemimpin dapat secara nyata memberikan penghargaaan
kepada karyawan yang menjunjung tinggi kode etik tersebut, dan memberikan
hukuman kepada karyawan yang melanggar, dengan begitu akan membuat karyawan
untuk selalu menjunjung tinggi kode etik dari budaya organisasi tersebut.
Terakhir pemimpin dapat mengadakan mekanisme formal di dalam organisasi yang dapat
mengurusi perihal kode etik tersebut. Sehingga karyawan dapat melaporkan
hal-hal yang terjadi dalam perusahaan yang melanggar kode etik tersebut dan
ditindaklanjuti.
Dengan
beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh pemimpin tersebut dalam menciptakan
kembali budaya organisasi, dapat membuat perusahaan tersebut berjalan kembali
dengan lancar dan tidak ada lagi kesalahpahaman yang terjadi diantara kedua
perusahaan yang telah di merger tersebut.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
dari pembahasan teori-teori di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Budaya
organisasi merupakan nilai-nilai dan norma perilaku yang diterima dan dipahami
bersama oleh anggota organisasi sebagai dasar aturan perilaku di dalam
organisasi.
2. Proses
penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara: Pertama, pendiri hanya merekrut dan
mempertahankan karyawan yang
sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan
menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir,
perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan
untuk mengidentifikasi diri.
3. Terdapat
7 karakteristik dalam organisasi, yaitu: orientasi hasil, orientasi orang,
orientasi tim, keagresifan, kemantapan/stabilitas, inovasi dan keberanian
mengambil resiko, dan perhatian pada hal-hal yang lebi rinci.
4.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang
pemimpin untuk menciptakan budaya organisasi yang etis, yaitu menjadi model
peran yang visible, mengkomunikasikan harapan-harapan yang etis kepada
karyawan, memberikan pelatihan etis, memberikan penghargaan atas tindakan etis dan
hukuman terhadap tindakan yang tidak etis secara nyata, dan memberikan
mekanisme perlindungan.
B.
Saran- Saran
Saran
yang penulis berikan dalam kajian budaya organisasi adalah bahwa budaya dalam
organisasi seharusnya dapat dijunjung tinggi dan dijaga di dalam suatu
organisasi. Sebab tanpa adanya budaya organisasi yang baik, suatu organisasi
akan banyak memiliki suatu kesalahpahaman sehingga kegiatan organisasi tersebut
akan berjalan kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Wahab, Abdul Azis. 2011. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan (Telaah Terhadap
Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan). Bandung : Alfabeta
Wibowo. 2010. Budaya Organisasi. (Sebuah Kebutuhan
untuk Meningkatkan Kinerja Jangka Panjang). Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Larissa A.
Grunig, James E. Grunig, Dkk. 2002. Excellent Public Relations and Effective
Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries. New
Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers
Antonius Atoshoki Gea dan Antonina Panca Yuni
Wulandari. 2006. Character Building IV :Relasi
dengan Dunia. Jakarta: Elex Media Komputindo)
Robbins, Stephen P.;
Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi Buku 2. Jakarta: Salemba
Empat.
makalah nya bagus
BalasHapus