Makalah Pergerakan Indonesia zaman Pendudukan Jepang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Setelah Hindia Belanda
menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Indonesia, Jepang mulai menanamkan
system penjajahan menggantikan pemerintah Hindia Belanda. Penyerahan kekuasaan
ini menandakan lemahnya Hindia Belanda yang tidak lebih dari mencari keuntungan
saja didaerah jajahannya sedangkan pertahanannya sama sekali tidak
diperhatikan. Sehingga Hindia Belanda kalah dengan Jepang. Lajunya kemenangan
pasukan Jepang seperti badai yang mampu menyapu tempat-tempat pertahanan Hindia
Belanda.
Namun kemenangan Jepang itu tidak secara fisik saja karena keunggulan
militer dan teknologinya, tetapi dibalik itu sebenarnya terdapat dorongan
bangsa Indonesia sendiri yang bosan terhadap penjajahan Belanda, apalagi Jepang
menggunakan propaganda yang mampu menembus kebencian terhadap kolonialisme pada
umunya.
Pidato penguasa Jepang
mengana dihati bangsa Indonesia dan Jepang merasa bakal menjawab untuk
membebsakan bangsa Indonesia dari penjajahan Hindia Be;anda dan ikut dimasukkan
dalam kesemakmuran bersama Asia Timur Raya di bawah pimpinan Jepang sehingga
dengan cepatnya bangsa Indonesia menerima Jepang dalam memimpin pemrintahan
yang sebenarnya ingin menjajah Indonesia.
Dengan kepemimpinan bangsa
Jepang di Indonesia, pergerakan nasional mulai terjadi untuk membebaskan diri
dari penjajahan dan memerdekakan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan
merdeka. Pergerakan tersebut sangat diawasi oleh pemerintah Jepang. Maka dari
itu, makalah ini akan menjelaskan tentang pergerakan nasional masa pendudukan
Jepang.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :
a. Apa yang melatarbelakangi pendudukan Jepang di
Indonesia ?
b. Apa reaksi masyarakat Indonesia dan kaum
nasionalis kerita pendudukan Jepang berlangsung ?
c. Bagaimana pergerakan nasional masa pendudukan
Jepang ?
d. Apa langkah-langkah yang dilakukan Jepang dalam
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui latarbelakang pendudukan
Jepang di Indonesia
b. Untuk mengetahui reaksi masyarakat Indonesia
dan kaum nasionalis kerita pendudukan Jepang berlangsung
c. Untuk mengetahui pergerakan nasional masa
pendudukan Jepang
d. Untuk mengetahui langkah-langkah Jepang dalam memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia
BAB II
ISI
A.
Masuknya
Jepang ke Indonesia
Pada
tanggal 14 Februari 1942, Jepang menyerang Indonesia dan segera menguasai
Sumatra Selatan. Tanggal 1 Maret dini hari, mereka mendarat di Jawa dan dalam
waktu delapan hari, Letnan Jendral Ter Poorten, Panglima Tentara Hindia Belanda
(KNIL), Menyerah atas nama seluruh angkatan perang Sekutu di Jawa. Pendudukan
bangsa Jepang atas wilayah Indonesia sebagai negara imperialis, tidak jauh
berbeda dengan negara-negara imperialisme lainnya. Kedatangan bangsa Jepang ke
Indonesia berlatar belakang masalah ekonomi, yaitu mencari daerah-daerah
sebagai penghasil bahan mentah dan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan
industrinya dan mencari tempat pemasaran untuk hasil-hasil industrinya.
Sehingga aktivitas perekonomian bangsa Indonesia pada zaman Jepang sepenuhnya
dipegang oleh pemerintah Jepang.
Kedatangan Jepang pada umumnya diterima dengan
penuh semangat. Rakyat percaya bahwa Jepang datang untuk memerdekakan, dan
Jepang makin disenangi karena segera mengizinkan dikibarkannya bendera nasional
Indonesia merah putih, dan dikumandangkannya lagu kebangsaan Indonesia raya,
dua hal penting yang dulu dilarang oleh Belanda.
Alasan
penting kenapa penjajahan Jepang justru diterima oleh mayoritas kaum terpelajar
Indonesia adalah karena penguasa baru itu dapat lebih meningkatkan status
sosial ekonomi orang Indonesia, hanya dengan kelayakan saja, tanpa kekerasan.
Lebih-lebih lagi, dalam waktu enam bulan sejak kedatangannya, Jepang
memenjarakan semua penduduk Belanda, sebagian besar orang Indo, dan sejumlah
orang Kristen Indonesia yang dicurigai pro-Belanda kedalam kamp-kamp
konsentrasi. Jumlah personil pemerintah militer Jepang hanya sedikit, oleh
karena itu mereka terpaksa mengambil orang-orang Indonesia untuk mengisi lowongan
hampir semua jabatan tingkat menengah, atasan bidang administrasi dan teknisi
yang dulu diduduki orang Belanda atau Indo. Jadi, hampir semua personil
Indonesia dalam bidang pemerintahan, mendapat kenaikan pangkat satu, dan bahkan
sering dua atau tiga tingkat dalam hirarki tempat mereka bekerja. Dari situlah
Jepang mula-mula memenangkan dukungan dari rakyat Indonesia.
Karena
alasan ini dan karena mereka diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk,
Orang Jepang tampaknya tidak mendapat tantangan nyata apa pun sebelumnya dari
para pemimpin nasionalis. Mereka dapat dengan mudah mengambil sumber-sumber
kekayaan Indonesia demi tujuan kepentingan perang mereka, tanpa harus
mengadakan persetujuan dengan kaum nasionalis Indonesia. Berdasarkan keyakinan
ini, mereka membentuk pergerakan tiga A pada tanggal 29 April 1942. Pada saat
itu, Jepang memperkenalkan dan memprogandakan semboyan dan semangat Jepang,
yaitu “Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nippon cahaya Asia”.
Pergerakan itu bertujuan mengumpulkan dukungan untuk tujuan perang Jepang dan
kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Jepang terlalu dini untuk percaya bahwa
mereka tidak perlu menggarap nasionalisme Indonesia untuk mencapai
tujuan-tujuannya lebih lanjut, karena kenyataannya orang Indonesia yang mereka
pilih untuk memimpin pergerakan tersebut adalah Mr. Raden Samsoedin, jelas
bukan seoang pemimpin nasionalis eselon pertama.
Orang
Jepang segera menyadari kekeliruan perkiraan ini. Meskipun propagandanya hebat,
Pergerakan Tiga A sebenarnya sangat melempem (gagal). Ternyata kemakmuran
ekonomi Indonesia dinomorduakan dibawah kepentingan Jepang, tanpa suatu imbalan
yang memadai bagi Indonesia. Nusantara dikuras habis bahkan makanannya, minyak
dan kinanya, sementara barang-barang pokok yang sangat diperlukan seperti
barang sandang dan onderdil-onderdil tidak masuk lagi. Jepang mengawasi
kurikulum sekolah secara kasar dengan tangan besi. Mereka memaksakan bahasa
Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda di sekolah-sekolah menengah atas, dan
sebagai bahasa resmi dikalangan pemerintah. Ini semua menimbulkan reaksi-reaksi
negatif yang tajam.
Yang
lebih penting dan lebih meresap dihati hampir seluruh penduduk Indonesia dalah
antagonisme yang tajam yang diciptakan oleh kekerasan yang keterlaluan, serta
kekurangajaran yang sering ditunjukan oleh orang Jepang dalam pergaulan dengan
orang Indonesia. Dalam waktu beberapa bulan saja, Jepang mulai menyadari bahwa
mereka tidak lagi mendapat dukungan dari massa maupun mayoritas orang Indonesia
terpelajar. Suatu rasa tidak senang terhadap Jepang terus tumbuh di kalangan
rakyat mulai nyata dan ditunjukkan dengan mendadakan pemberontakan sebelum
tahun 1942 berakhir. Jepang mulai khawatir pada permusuhan yang jelas serta
perlawananan yang kadang oleh pelajar sekolah dan mamhasiswa. Mereka cemas
terutama setelah mengetahui bahwa dibentuk organisasi-oraganisasi bawah tanah
yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswa ini maupun para pemimpin politik. Mereka
mulai memahami bahwa pergerakan kebangsaan Indonesia adalah suatu kekuatan yang
nyata dan kuat, dengan apa harus dicapai suatu cara penyelesaian tertentu, jika
mereka menghendaki tercapainya tujuan-tujuan penjajahan yang minim sekalipun.
Menyadari hal ini, Jepang mengubah kebijakan politiknya secara radikal.
Pertama-tama mereka mengalihkan perhatian kepada para pemimpin nasionalis, yang
mereka yakini bahwa pemimpin tersbut benar-benar disukai rakyat.
B.
Perjuangaan
Kooperatif (Kerjasama)
Tidak
lama setelah masuk ke Indonesia, Jepang membebaskan Soekarno dari pembuangannya
di Bengkulu, dan mengizinkan dia langsung pulang ke Jawa. Disini Soekarmo
segera menghubungi Hatta dan Sjahrir, yang sebelumnya sudah mengadakan kontak
dengan gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Sjarifuddin dan Darmawan
Mangoenkuesoemo. Akhirnya diputuskan bahwa perjuangan nasionalis paling baik
dilaksanakan dengan dua cara, secara resmi di atas tanah (terang-terangan) dan
dibawah tanah (secara diam-diam). Soekarno dan Hatta harus bekerja secara resmi
dengan Jepang dan Sjahrir sambil tetap mengadakan kontak mereka yang akan
memimpin perlawanan di bawah tanah.
Pertemuan
antara Sjahrir, Soekarno dan Hatta merupakan tujuan-tujuan akhir untuk kemerdekaan
sendiri. Soekarno menganggap Jepang sebagai fasis murni, dan merasa bahwa
mereka harus memakai metode perlawanan paling halus untuk mendekati Jepang,
misalnya dengan menunjukkan penampilan mau bekerjasama. Baik Hatta maupun
Soekarno selanjutnya setuju melakukan segala sesuatu yang secara sah mungkin
dilakukan agar perjuangan kebangsaan memperoleh kekuasaan resmi yang lebih
luas, dan pada waktu yang bersamaan, secara rahasia mendukung perlawanan
revolusioner.
Pada 9 Maret 1943 dibentuklah Putra (Pusat Tenaga Rakyat). Ir. Sukarno,
Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur menduduki pimpinan Pusat
Tenaga Rakyat (Putera). Putra merupakan sebuah organisasi bertujuan menggerakan
rakyat Indonesia untuk mendukung peperangan Jepang menghadapi Sekutu.
Poetra
tidak hanya memperkuat tujuan perang jepang, tapi juga membentuk organisasi di
kalangan pemuda dimana jepang menanamkan mentalitas otoriter dan aliran anti
barat. Melalui Putera, para pemimpin Indonesia
dapat berhubungan dengan rakyat secara langsung, baik melalui rapat-rapat
maupun media massa milik Jepang. Tokoh-tokoh Putera memanfaatkan
organisasi-organisasi itu untuk menggembleng mental dan membangkitkan semangat
nasionalisme serta menumbuhkan rasa percaya diri serta harga diri sebagai
bangsa.
Selain melalui Putera, para pemimpin pergerakan juga berjuang melalui Badan
Pertimbangan Pusat atau Cou Sangi In yang dibentuk Jepang pada
5 September 1943. Badan ini beranggotakan 43 orang dan diketuai oleh Ir.
Soekarno. Dalam sidangnya pada 20 Oktober 1943, Cuo Sangi In menetapkan
bahwa agar Jepang menang dalam perang, perlu dikerahkan segala potensi dan
produksi dari rakyat Indoensia.
Dibawah
perlindungan poetra, dibentuk sejumlah organisasi ditunjukan untuk melumpuhkan
tujuan tujuan perang jepang. Organisasi pertama adalah hei ho, atau pekerja
romusha yg dikirim hingga burma untuk mengerjakan jalan jalan, benteng, dan
lain lain. Kemudian pada bulan september 1943 dibentuklah PETA (Pembela Tanah
Air) anggotanya sering disebut sukarelawan. Rata rata anggota PETA adalah
nasionalis yang kuat dan anti belanda dan jepang.
Mereka
selalu menekankan pentingnya persatuan, pentingnya memupuk terus menerus
semangat cinta tanah air, dan harus lebih memperhebat semangat
antiimperialisme- kolonialisme. Organisasi Putera mendapat sambutan yang hangat
dari seluruh rakyat. Namun, karena Putera jauh lebih mementingkan pergerakan
kebangsaan Indonesia, pemerintah Jepang akhirnya pada
tanggal 1 maret 1944, dan kemudian
poetra di gantikan oleh suatu organisasi baru yang lebih efektif oleh jepang,
yaitu Perhimpoenan kebangkitan Rakyat dengan nama jepang Djawa hokokaki.
Organisasi tersebut berkedudukan di bawah kekuasaan Gunseikan, badan pemerintah
militer jepang.
Untuk
memperoleh dukungan lain, Jepang berusaha memperoleh dengan jalan lain, yaitu
lewat agama. Para kyai pemimpin islam setempat yang kebanyakan guru dan ahli
agama islam, di beri perhatian khusus. Mereka mendapat kedudukan terhormat dan
penting, propaganda ini di maksudkan untuk meningkatkan perlawanan terhadap
sekutu dengan dalih membela islam melawan orang kafir yang memperbudak penduduk
muslim di indonesia.
C.
Gerakan
Bawan Tanah
Perjuangan
bawah tanah adalah perjuangan yang dilakukan secara tertutup dan rahasia.
Perjuang bawah tanah ini dilakukan oleh para tokoh nasionalis yang bekerja pasa
instansi-instansi pemerintahan buatan Jepang. Jadi, di balik kepatuhannya
terhadap Jepang, tersembunyi kegiatan-kegiatan yang bertujuan menghimpun dan
mempersatukan rakyat untuk meneruskan perjuang untuk mecapai Indonesia merdeka.
Perjuangan
bawah tanah ini tersebar di berbagai tempat: Jakarta, Semarang, Bandung,
Surabaya, serta Medan. Di Jakarta terdapat beberapa kelompok yang melakukan
perjuangan model ini. Antara kelompok perjuangan yang satu dengan kelompok
perjuangan yang lain, selalu terjadi kontak hubungan.
Kelompok kelompok perjuang tersebut,
antara lain:
a. Kelompok
Sukarni
Sukarni adalah
tokoh pergerakan pada zaman Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia
bekerja di Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang) bersama-sama
dengan Muhammad Yamin. Sukarni menghimpun
tokoh-tokoh pergerakan yang lain, antara lain: Adam Malik, Kusnaeni, Pandu Wiguna, dan Maruto Nitimiharjo. Gerakan yang
dilakukan kelompok Sukarni adalah menyebarluaskan cita-cita kemerdekaan,
menghimpun orang-orang yang berjiwa revolusioner, dan mengungkapkan
kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh Jepang.
Sebagai
pegawai Sendenbu, Sukarni bebas mengunjungi asrama Peta (Pembela
Tanah Air) yang tersebar di seluruh Jawa. Karena itu, Sukarni mengetahui
seberapa besar kekuatan revolusioner yang anti-Jepang. Untuk menutupi
gerakannya, kelompok Sukarni mendirikan asrama politik, yang diberi nama “Angkatan Baru Indonesia” yang
didukung Sendenbu. Di dalam asrama ini terkumpul para tokoh
pergerakan antara lain: Ir.
Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, dan Sunarya yang bertugas mendidik
para pemuda tantang masalah politik dan pengetahuan umum.
b. Kelompok
Ahmad Subarjo
Ahmad Subarjo pada masa pendudukan Jepang menjabat
sebagai Kepala Biro Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung
Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad Subarjo berusaha menghimpun tokoh-tokoh bangsa
Indonesia yang bekerja dalam Angkatan Laut Jepang. Atas dorongan dari kelompok
Ahmad Subarjo, Angkatan Laut berhasil mendirikan asrama pemuda yang bernama “Asrama Indonesia Merdeka”. Di asrama
Indonesia Merdeka inilah para pemimpin bangsa Indonesia memberikan
pelajaran-pelajaran guna menanamkan semangat nasionalisme kepada para pemuda
Indonesia.
c. Kelompok
Sutan Syahrir
Sutan Syahrir merupakan tokoh besar pergerakan
nasional, yang pada zaman Hindia Belanda tahun 1935 dibuang ke Boven Digul di
Irian Jaya, kemudian dipindahkan ke Banda Neira dan terakhir ke Sukabumi. Pada
masa pendudukan Jepang, Syahrir berjuang diam-diam dengan cara menghimpun
teman-teman sekolahnya dulu dan rekan-rekan seorganisasi pada zaman Hindia
Belanda. Terbentuklah satu kelompok rahasia, Kelompok Syahrir.
Dalam
perjuangannya, Syahrir juga menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin bangsa
yang terpaksa bekerja sama dengan Jepang. Di samping itu, hubungan kelompok
Syahrir dengan kelompok perjuangan yang lain berjalan cukup baik. Karena gerak
langkah Syahrir dicurigai Jepang, untuk menghilangkan kecurigaan pihak Jepang
Syahrir bersedia memberi pelajaran di Asrama Indonesia Merdeka milik Angkatan
Laut Jepang (Kaigun), bersama dengan Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad
Subarjo, dan Iwa Kusumasumantri.
d. Kelompok
Pemuda
Kelompok
Pemuda pada masa Jepang mendapat perhatian khusus dari pemerintah Jepang.
Jepang berusaha memengaruhi para pemuda Indonesia dengan propaganda yang
menarik. Dengan demikian, nantinya para pemuda Indonesia merupakan alat yang
ampuh guna menjalankan kepentingan Jepang. Jepang menanamkan pengaruhnya pada
para pemuda Indonesia melalui kursus-kursus dan lembaga-lembaga yang sudah ada
sejak zaman Hindia Belanda.
Jepang
mendukung berdirinya kursus-kursus yang diadakan dalam asrama-asrama, misalnya
di Asrama Angkatan Baru Indonesia yang terdapat Sendenbu dan
Asrama Indonesia Merdeka yang didirikan Angkatan Laut Jepang. Namun, pemuda
Indonesia baik pelajar maupun mahasiswa tidak gampang termakan oleh propaganda
Jepang. Mereka menyadari bahwa imperialisme yang dilakukan oleh Jepang pada
hakikatnya sama dengan imperialisme bangsa Barat.
Pada masa
itu, di Jakarta terdapat 2 kelompok pemuda yang aktif berjuang, yakni yang
terhimpun dalam asrama Ika Daikagu (Sekolah Tinggi Kedokteran)
dan kelompok pemuda yang terhimpun dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan
Pelajar Indonesia (Baperpri). Kelompok terpelajar tersebut mempunyai ikatan
organisasi yang bernama Persatuan Mahasiswa.
Organisasi-organisaasi
ini merupakan wadah untuk menyusun aksi-aksi terhadap penguasa Jepang dan
menyusun pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin bangsa. Dalam perjuangannya,
kelompok pemuda juga selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok yang lain,
yaitu kelompok Sukarni, kelompok Ahmad Subarjo, dan Kelompok Syahrir. Tokoh-tokoh
Kelompok Pemuda yang terkenal antara lain: Chaerul Saleh, Darwis. Johar Nur, Eri Sadewo, E.A. Ratulangi, dan Syarif Thayeb.
Tujuan
utama dari gerakan bawah tanah itu adalah merembers kedalam Peta dan ke dalam
organisasi-organisasi pemuda yang disponsori Jepang. Perembesan itu punya dua tujuan,
pertama sebanyak mungkin memegang kendali di dalam unit-unit semua organisasi
itu lewat para pemegang posisi kunci yang dapat dipercaya, dan kedua mengirim
anggotanya ke arah anti Jepang dan Pro Sekutu.
Sejak
masuknya kekuasaan Jepang di Indonesia, organisasi-organisasi politik tidak
dapat berkembang lagi. Bahkan pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan segala
bentuk kegiatan organisasi-organisasi, baik yang bersifat politik maupun yang
bersifat sosial, ekonomi, dan agama. Organisasi-organisasi itu dihapuskan dan
diganti dengan organisasi buatan Jepang, sehingga kehidupan politik pada masa
itu diatur oleh pemerintah Jepang, walaupun masih terdapat beberapa organisasi
politik yang terus berjuang menentang pendudukan Jepang di Indonesia.
Laksaman
Tadashi Maeda, panglima Angkatan Laut Jepang dan Jawa dan yang bertanggung
jawab atas Dinas Rahasia Angkatan Laut Jepang untuk Indonesia. Bersama stafnya,
dia mendirikan suatu sekolah di Jakarta untuk pemuda berusia 18 sampai 20 tahun
yang disebut Asrama Indonesia Merdeka, pada bulan Oktober. Maeda
menghubungi banyak pemimpin nasionalis terkemuka yang bukan komunis, minta agar
mereka memberi kuliah kepada para mahasiswa tentang nasionalisme, ekonomi,
politik, sosiologi, dan marxisme.
Bagi
Sjahrir dan Hatta, ini adalah suatu kesempatan untuk mempengaruhi para
mahasiswa bertalian dengan ide-ide baru mereka dan untuk sementara dapat banyak
mempengaruhi para mahasiswa tersebut. Maeda dan para perwira penyelidik
Angkatan Laut yang membantunya mengatur sekolah-sekolah itu, kemudian segera
memberi tekanan utama pada pelajaran komunisme.
Hingga
akhir bulan Juli 1945, sekolah-sekolah ini mengadakan kursus dua bulanan, dan
menghasilkan beberpa ratus tamatan. Mulai bulan Mei 1945, tamatan-tamatan itu
didekati Subardjo dan dibawah pimpinannya diminta masuk ke dalam gerakan bawah
tanahnya yang seolah-olah anti Jepang.
Organisasi
Subardjo menarik anggota yang jumlahnya makin mengesankan. Organisasi tersebut
ikut memasuki periode Republik, dan selam waktu yang singkat, merupakan suatu
kekuatan yang harus diperhitungkan dengan serius. Sejak itu, kebanyakan anggota
organisasi itu yang dulu mendaftarkan lewat salah satu sekolah yang disponsori
Jepang, bergabung dengan salah satu dari tiga kelompok.
Kenapa
Jepang mendirikan sekolah-sekolah itu, dan menjadi sponsor organisasi Subardjo?
Sjahrir misalnya, yakin bahwa tujuan utama Jepang adalah merembesi dan akhirnya
mengambil kendali gerakan-gerakan bawah tanah PKI lewat para pemuda yang
dilatih dalam sekolah-sekolah tersebut. Seorang pemimpin gerakan bawah tanah
Sjahrir cabang Surabaya yang juga diminta oleh Maeda untuk mengajar di
sekolah-sekolah, punya pendapat lain. Ia dapat meneriam pendapat bahwa
taktik-taktik Jepang bertujuan untuk merembes ke dalam gerakan bawah tanah PKI
melalui sekolah-sekolah tersebut. Namun demikian, ia yakin, bahwa tujuannya
hanya terbatas hingga memecah belah PKI saja.
Akan
tetapi, penjelasan-penjelasan ini menyebabkan sulit untuk dimengerti, mengapa
seorang pemipin gerakan bawah tanah yang bonafide seperti Wikana dipakai oleh
Jepang. Di lain pihak, sejumlah pemimpin nasionalis yang pandai, termasuk
seorang dengan keseimbangan kerja yang baik seperti Hatta, merasa yakin bahwa
Maeda dan banyak perwira angkatan laut di bawah Maeda, dengan setulus hati
menginginkan kemerdekaan Indonesia dan mereka menyelesaikan masalah-masalah
sosial dalam negeri maupun dunia dengan suatu “cara yang progresif”.
Beberapa
orang Indonesia mengira-ngira tentang kemungkinan hubungan antara perwira
tersebut dengan Tan Malaka. Mungkin dapat diperdebatkan bahwa orang Jepang
mungkin dengan senang hati bekerja bersama Tan Malaka karena bermaksud memecah
belah gerakan bawah tanah PKI dan menarik lebih banyak orang Indonesia ke
pihaknya untuk memerangi invasi Sekutu.
Para
pemimpin yang relatif paling obyektif, bahkan yang dengan gigih menentang Tan
Malaka, yakin bahwa Tan Malaka tidak pernah akan mengorbankan diri dalam suatu
peranan di mana kepentingan nasional Indonesia dinomorduakan setelah
kepentingan bangsa lain manapun, teramasuk Jepang dan Rusia.
Akan
tetapi, ada kenyataan-kenyataan lain yang memberi pandangan agak lain terhadap
kegiatan-kegiatan orang Jepang ini yang membingungkan ini. Mungkin sikap-sikap
dan kegiatan-kegiatan para perwira yang membingungkan ini, merupakan suatu
fenomena yang tidak terbatas di Indonesia saja.
Dengan
makin mendekatnya kekuatan Sekutu ke Indonesia, dan meningkatnya perasaan anti
Jepang, para penguasa militer Jepang di Jawa mulai mengambil langkah baru ke
arah pembentukan suatu pemerintah Indonesia merdeka. Pada tanggal 1 Maret 1945
, dibentuklah BPUPKI. Panitia tersebut menyelenggrakan dua sidang pleno , pada
tanggal 28 Mei - 2 Juni dan 10 - 17 Juli
, dan mencapai persetujuan dasar mengenai masalah perundang-undangan dan
masalah ekonomi.
Di
samping konsensi-konsensi yang dibuat oleh pemerintah Jepang dengan orang-orang
Indonesia di Jawa dan Madura , tuntutan untuk memiliki pemerintahan sendiri dan
Jepang makin didesak untuk memberi kemerdekaan.
Pada
tangal 7 Agustus, 1945, diperoleh izin dari markas besar Letjen. Terauchi di
Saigon untuk membentuk suatu panitia yang seluruhnya terdiri dari orang
Indonesia, dalam izin tersebut disebutkan bahwa panitia iti bertugas mengadakan
persiapan untuk mengambil alih kekuasaan pemerintah dari pemerintah militer
Jepang. Paniatia yang disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
beranggotakan 21 orang pilihan dari seluruh Indonesia. Mereka adalah; Ir.
Soekarno sebagai ketua; Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil ketua; KRT Radjiman
Wediodiningrat, R. Otto Iskandar Dinata, Ki Abdoel Wachid Hasjim, Ki Bgoes
Hardikoesomoe, RP Suroso, Prof. R. Soepomo dan R. Abdoel Kadir untuk Jawa; Dr.
Mohammad Amir untuk Sumatera; Mr. Abdoel Abas untuk Sumatera; Dr. GSSJ Ratu
Langie untuk Sulawesi; Andi Pangeran untuk Sulawesi; AA Hamidhan untuk
Kalimantan; Mr. I. Goesti Ketoet Poedja untuk Kepulauan Sunda Kecil; Mr. J.
Latuharhary untuk Maluku; dan Drs. Yap Tjuan Bing untuk Komunis Cina.
Pada tanggal 8 Agustus 1945, Soekarno,
Hatta dan Radjiman dipanggil oleh Jendral Terauchi ke Dalat di Indocina. Di
sana pada tanggal 11 Agustus, ia menjanjikan kepada mereka bahwa kemerdekaan
akan di anugrahkan kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus. Suatu majelis
perundangan-undangan akan diundang bersidang pada tanggal 19 Agustus dan Minggu
di antara dua tanggal tersebut akan digunakan untuk mengedarkan dan mensahkan
Undang-undang Dasar yang telah disusun oleh panitia-panitia yang dibentuk untuk
menyiapkan kemerdekaan. Ketiganya kembali pada tanggal 14 Agustus dan melihat
bahwa gerilyawan Indonesia menentang kemerdekaan Indonesia dalam bentuk apa
saja jika itu merupakan anugrah Jepang, dan sepenuhnya memustuskan untuk
merebut kemerdekaan tak bersyarat dari mereka dengan kekerasan. Gerakan-gerakan
bawah-tanah Jawaini. Dan jelas semua gerakan yang ada di Sumatera, mengingatkan
dan mengatur suatu kebangkitan melawan Jepang yang akan dilaksanakan
berbarengan dengan serangan Sekutu terhadap Jawa dan Sumatera sperti yang
diharapkan. Lebih-lebih lagi. Beberapa hari setelah kepulangan mereka, mereka
mendapatkan bantuan pemerintah militer Jepang, karena Jepang telah mengadakan
kapitulasi dengan Sekutu, untuk mempertahankan status quo politik. Beginilah
situasi yang mengawali revolusi Indonesia.
Akan tetapi, untuk lebih mengerti
tahap revolusioner pergerakan kebangsaan Indonesia dan ciri-ciri revolusi tersebut, kita harus berhenti
sejenak dan menilai dampak pendudukan Jepang terhadap mayarakat Indonesia. Perkembangan
menyolok selama pendudukan Jepang adalah peningkatan besar-besaran dalam
kesadaran nasional dan dibantu oleh keinginan untuk merdeka secara politik.
Pemerintahan Jepang yang kasar dan semena-mena itu mempengaruhi hampIr ke
seluruhan penduduk. Sebagai perbandingan pemerintahan Belanda dapat dikatakan
moderat dan dirasa tidak begitu berat oleh kebanyakan orang Indonesia.
Pemerintahan Jepang membangkitkan suatu kesadaran akan adanya penderitaan umum
terhadap Jepang, sangat memperkuat kesadaran kebangsaan yang sudah ada di
Indonesia.
Karakter hubungan antara
pemerintahan Jepang dengan kaum tani secara tidak langsung itu diganti dengan
campur tangan langsung dan keras oleh pemerintah militer Jepang yang hanya
sedikit diperingan oleh sebagian hubungan yang dilakukan lewat Peta dan Djawa Hokokai.
Seperti yang diamati Sjahrir:
Selama
tiga setengah tahun penjajahan Jepang, sendi-sendi mayarakat di desa
diobrak-abrik dan diruntuhkan dengan kerja paksa, dengan penculikan orang desa
dijadikan romusha jauh dari tempat tinggalnya, dijadikan serdadu, dengan
penyerahan hasil bumi secara paksa, dengan penanaman hsil bumi secara paksa,
dengan sewenang-wenang yang tiada batas.
Dibanyak
wilayah, masyarakat-masyarat desa sangat direnggut dan dipaksa untuk menyusun
kembali srukturnya karena tuntutan-tuntutan berat untuk menyediakan tenaga
kerja oleh Jepang. Dipaksanya beribu-ribu pekerja desa yang paling terampil
untuk masuk HeiHo, Peta dan sebagainya, berarti bahwa pola-pola kerja
tradisional dan pembagian tanah harus diubah. Kekejaman Jepang, tuntutan-tuntutan
mereka yang semena-mena untuk tenaga kerja dan hasil bumi, dan upah yang
diterima begitu tidak berarti sehingga orang-orang hampir tidak dapat membeli
apa-apa untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, seperti baju, alat-alat
pertanian dan sebagainya, membangkitkan kebencian hebat terhadap Jepang
dikalangan petani. Adalah merupakan kenyataan, bahwa inflansi uang
besar-besaran yang berkembang selama dua tahub penduduk Jepang, hutang uang
yang meluas dari kaum tani, mengurangi perbandingan nilai tanah mereka. Akan
tetapi, akibat tidak disengaja dari pemerintahan Jepang tidak dapat dijadikan
kesempatan oleh kebanyakan petani karena paksaan Jepang yang keras itu tidak
membiarkan mereka memperbaiki hidupnya kecuali dengan membuat hutang baru
kepada sumber kredit mereka yang lama, yaitu para pengelana Cina yang menjadi
lintah darat. Dengan meningkatnya inflasi, maka menjelang tahun 1944, pada
umumnya para lintah darat tidak mau lagi menerima syarat pembayaran kredit
dalam bentuk barang. Sebagai gantinya, mereka setuju menerima pengembalian
kredit semacam itu dengan persentase tertentu dari hasil panenan petani. Dengan
demikian, keuntungan inflasi itu tidak dapat dinikmati kaum petani.
Sebagai
reaksi dengan tujuan melawan beratnya tuntutan Jepang, kaum tani menjadi jauh
lebih sadar secara politik dibandingkan sebelumnya. Hal ini, dan perasaan kaum
tani terhadap Jepang dapat dibuktikan dengan pemberontakan-pemberontakan kaum
tani setempat yang meluas dan sering terjadi, terutama selama tahun terakhir
pendudukan Jepang. Indoktrinasi yang diberikan oleh gerakan-gerakan bawah tanah
ditambah keahlian para pemimpin nasionalis dalam Poetra dan Hokokai, khususnya
Soekarno dan Hatta, yang oleh Jepang diperbolehkan mengadakan hubungan tak
terbatas dengan kaum tani lewat radio dan tampil secara pribadi, menyebabkan
kebangkitan politik dan keluhan-keluhan di baliknya terungkapkan kebangkitan
dalam suatu kesadaran politik dan keinginan untuk memperoleh kemerdekaan
nasional yang belum pernah dimiliki sebelumnya oleh petani. Secara khusus hal
ini disebabkan oleh pidato-pidato Soekarno yang disiarkan sebagaimana adanya ke
seluruh desa besar di Jawa dan Madura. Kemampuannya untuk mengadakan kontak
dengan petani memakai istilah-istilah dan konsep-konsep yang dapat dipahami
mereka, menyebabkan Soekarno dapat membuat hubungan semacam itu dengan mereka,
sehingga ketika revolusi pecah dialah yang pertama dianggap pemimpin oleh kaum
tani.
Propaganda
Jepang terus menerus berjuang mengembangkan dukungan populer untuk tujuan
perang mereka dan mengusir Sekutu, jelas meningkatkan kebangkitan politik yang
terhasut oleh aspek material dari pendudukan Jepang. Meskipun propaganda dengan
aksi Jepang cukup efektif untuk meningkatkan perasaan penduduk melawan Belanda,
usaha Jepang untuk membuat rakyat melawan negara Sekutu lainnya, terutama AS,
hanya sedikit berhasil. Orang Jepang hampir sepenuhnya gagal dalam usaha mereka
membuat orang Indonesia menyamakan kepentingan nasional Indonesia dengan
kepentingan nasional Jepang. Usaha gerakan-gerakan bawah tanah Indonesia yang
anti-Jepang untung menghalangi tujuan-tujuan Jepang ini dipermudah dan
terangsang oleh kemenangan-kemenangan Amerika atas Jepang dan sikap anti
penjajahan yang tampak menyertai orang Indonesia. Laporan laporan
kemenangan-kemenangan dan sikap ini diterima lewat radio oleh organisasi bawah
tanah dan disampaikan oleh mereka kepada rakyat, terutama kepada unit-unit Peta
dan organisasi pemuda. Tuntutan proklamasi yang ditambahkan oleh Amerika kepada
syarat-syarat Piagam Atlantik dan Piagam PBB dalam siaran-siaran
seberang-lautan oleh Amerika Serikat yang diterima di Indonesia sehubungan
dengan janji kemerdekaan yang diberikan kepada Filipina sesudah perang,
memperkuat keyakinan banyak orang Indonesia, bahwa pada umumnya Amerika
menentang Kolonialisme dan bahwa pertentangan ini meluas ke Indonesia.
Mungkin
kaum muda Indonesia memperoleh kesan yang paling mendalam, terutama yang
berusia antara 15 dan 21 tahun. Khususnya di kalangan mereka yang dulu
memperoleh pendidikan rendah, dan ini merupakan mayoritas besar, propaganda
Jepang yang dipaksakan dan terus menerus itu begitu membekas. Semua ini
mempersempit dan memperbesar perasaan kebangsaan mereka. Sedikit yang
memperkembangkan orientasi pro-Jepang, tetapi banyak mengembangkan nasionalisme
yang sangat militan bercampur dengan prangsangka anti-Barat yang kuat dan
emosional yang sering terwujud dalam kebencian yang mendalam dan sering
mengembang menjadi antipati terhadap orang Indo-Belanda dan orang Tionghoa.
Jumlah mereka yang nasionalismenya begitu sempit tidak perlu dibesar-besarkan.
Apa pun masalahnya, kebanyakan mereka membuktikan mau mengikuti bimbinan dan
teladan pemuda terpelajar dan para pemimpin nasionalis yang lebih matang dengan
faham yang jauh lebih terbuka. Namun demikian, masih ada suatu minoritas menyolok
yang pada awalnya revolusi tertarik untuk mendukung para pemimpin yang kurang
cerah karirnya.
Karena
peranan dominan yang harus dimainkan oleh mereka yang relatif berpendidikan,
terutama pelajar sekolah menengah dan mahasiswa, pada tahap pertama dan paling
kritis revolusi itu, perlu dimengerti secara khusus pengaruh pendidikan Jepang
atas mereka. Kebijakan Jepang memaksakan bahasanya kepada pelajar Indonesia
(sangat ditekankan selama tahun pertama pendudukan Jepang) dibarengi dengan
pengelolaan sekolah sekolah secara aristokratis dan keras, dengan sangat cepat
menimbulkan kebencian kaum pelajar itu. Banyak dari mereka yang lebih
bersemangat dipaksa keluar dari sekolah karena terang-terangan melawan pengurus
sekolah Jepang atau keluar dari sekolah sebagai protes. Sejumlah yang lain
tetap bersekolah hanya demi lebih menutupi kegiatan-kegiatan bawah-tanah
anti-Jepang yang paling banyak menyita waktu mereka.
Sebagian
besar tokoh pelajar datang dari luar kota besar, yang jumlahnya hanya sedikit
itu, dimana terdapat sekolah-sekolah menengah dan perguruan-perguruan tinggi.
Kebanyakan terpisah dari rumah mereka, dan bila mereka tidak menerima beasiswa
dari pengusus sekolah Jepang yang bagi kebanyakan mereka dianggap haram,
terpaksa mencari nafkah sendiri. Bagi kebanyakan mereka, keharusan menyongsong
diri sendiri merupakan suatu pengalaman yang sama sekali baru. Kekurangan
tenaga kerja yang relatif berpendidikan di bidang pemerintahan dan perdagangan
sebagai akibat dari dipenjarakannya penduduk Belanda, menyebabkan masalah ini
tidak sulit. Kemampuan menyokong diri sendiri memberikan suatu derajat
kepercayaan diri yang belum pernah mereka miliki sebelumnya. Banyak yang merasa
yakin, bahwa tanpa ini, mereka hampir tidak mampu memainkan peranan-peranan
revolusioner yang harus segera mereka tangani.
Lebih-lebih
lagi, mereka yang meninggalkan sekolah dan pulang kerumah, harus memanfaatkan
waktu mereka yang bebas itu sebaik-baiknya. Hingga suatu taraf yang lebih
rendah, masalah ini juga dialami oleh mereka yang sudah memperoleh pekerjaan
sehingga sore hari mereka tidak perlu menghabiskan waktunya untuk mengulang
pelajaran sekolah. Sejak permulaan, mereka menyaksikan peristiwa-peristiwa
politik yang tidak lazim itu dan kebencian mereka kepada Jepang merangsang
mereka untuk mempelajari pengetahuan sosial, yaitu mata pelajaran yang tidak
mereka suka karena sempitnya kurikulum sekolah Jepang maupun sekolah yang
diawasi Belanda. Banyak pelajar Indonesia mulai menggeluti tulisan para penulis
politik Barat selama masa pengangguran terpaksa itu dan banyak diantara mereka
yang sudah pernah membacanya punya kesempatan besar untuk menekuninya secara
lebih mendalam. Dengan dibubarkannya Poetera pada akhir tahun 1943, kebanyakan
pelajar sekolah menengah dan mahasiswa yang mendukungnya, membina kontak dengan
salah satu atau lebih gerakan bawah tanah bila sebelumnya mereka belum punya
kontak dengan gerakan semacam itu. Dalam gerakan-gerakan tersebut -- terutama
di bawah bimbingan Sjahrir dan anggota-anggota kelompoknya seperti Djohan
Sjaroezah, Roeslan Abdulani, Subadio, Dr. Subandrio dan Dr. Sudarsono -- mereka
melanjutkan belajar politik dan pada waktu bersamaan terlibat dalam usaha
gerakan bawah tanah itu. Akhirnya harus
diperhatikan bekas anti-Imperialis mendalam dan bekas perasaan anti-komunis
tertinggal pada pelajar-pelajar yang masuk Sekolah-sekolah Asrama.
Dikalangan
orang Indonesia terpelajar (sekitar 6-8 persen penduduk) perkembangan dan
penyebaran bahasa Indonesia selama masa pendudukan Jepang berarti memperkuat
kesadaran kebangsaan mereka dan membentuk kecenderungan keagamaan mereka yang
mungkin sebaliknya telang dirangsang karena pembagian indonesia ke dalam tiga
suasana pemerintahan itu. Semula, tujuan jangka panjang Jepang adalah mengganti
bahasa Belanda dengan bahasa mereka sendiri sebagai bahasa di bidang pemerintahan
dan bahasa pengantar di sekolah. Namun demikian, kelayakan jangka-pendek
memaksa mereka untuk tergantung pada suatu bahasa yang bukan bahasa Belanda
namun dikuasai oleh sejumlah sangat besar orang Indonesia diseluruh kepulauan
itu. Bahasa tersebut adalah bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia karena dialek
yang umum dipakai di seluruh Indonesia sudah cukup dikenal. Di bawah Jepang,
bahasa tersebut menjadi bahasa resmi dalam bidang pemerintahan dan semua bidang
pendidikan di atas kelas tiga. Orang-orang Indonesia yang menduduki posisinya
yang diizinkan bagi mereka selama pemerintahan Belanda dan yang asal saja omong
Belanda, tetapi sedikit bahasa Indonesia, ditantang untuk mempelajari bahasa
Indonesia dalam waktu singkat. Hal ini juga berlaku bagi guru-guru sekolah yang
sarana instruksinya adalah bahasa Belanda atau mungkin Jawa, Sunda atau Madura.
Menurut takdir Alisjahbana:
" Demi menggalang kekuatan seluruh penduduk Indonesia untuk
tujuan perangnya, orang Jepang menyusup masuk ke desa-desa yang terpencil di
Nusantara, sambil memakai bahasa Indonesia.
Demikianlah maka bahasa itu
berkembang dan bagi kebanyakan penduduk mengihalmi suatu perasaan baru. Makin
mereka belajar memakai bahasa Indonesia dengan bebas, mereka makin menyadari
adanya suatu ikatan umum. Bahasa Indonesia menjadi suatu lambang kesatuan
kebangsaan yang berlawanan dengan usaha-usaha Jepang itu, sepenuhnya
menyuburkan bahasa dan kebudayaan mereka sendiri. Oleh karena itu, menjelang
Jepang menyerah, posisi bahasa indonesia sudah sangat baik, baik dalam
kekuatannya maupun martabatnya tidak hanya jika dibandingkan dengan bahasa
Belanda, tetapi juga dengan berbagai bahasa daerah dikepulauan itu yang tidak
punya kesempatan berkembang selama masa pendudukan Jepang. "
Konsekuensi lain dari zaman pendudukan Jepang
yang sangat penting dalam mengembangkan perasaan kebangsaan di kalangan orang
Indonesia dan khususnya kemauan mereka untuk merdeka secara politik, merupakan
akibat peningkatan besar-besaran dalam rasa percaya pada diri-sendiri orang
Indonesia pada umumnya, dan dalam rasa percaya diri-sendiri masing-masing
kebanyakan orang Indonesia terpelajar. Seperti sudah kita lihat, hal ini muncul
dari kebutuhan Jepang mempekerjakan orang-orang Indonesia dalam hampir semua
bidang pemerintahan dan teknis, yang dulunya diduduki orang-orang Eropa yang
sudah mereka singkirkan. Sistem perkeretaapian di bawah pengelolaan orang
Indonesia mungkin tidak berjalan seefisien di bawah Belanda dulu, tetapi tetap
berjalan. Tiba-tiba tampak jelas bahwa apa yang disebut ketrampilan esoterik,
hanya dimiliki oleh orang tertentu saja, dari "orang Belanda yang
superior" itu, tidak hanya dapat, tetapi dalam banyak hal juga sudah
dikuasai orang-orang Indonesia. Ini menimbulkan suatu kesan yang hebat pada
setiap orang. Bagi orang-orang Indonesia yang melaksanakan tugas-tugas ini, dan
bertalian dengan sejumlah aktivitas oleh masyarakat Indonesia secara
keseluruhan, hal ini sering tampak jika ada seorang Jepang mengambil alih salah
satu pekerjaan dalam bidang pemerintahan atau teknis, maka tingkat hasil
kerjanya jauh lebih rendah daripada yang dicapai oleh orang Indonesia. Menurut
pendapat banyak orang Indonesia, "memang, orang Jepang dengan mudah
menindas Belanda, dan kami dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan itu lebih baik
daripada orang Jepang. Oleh karena itu, jelas kami bukan rakyat yang
bermartabat lebih rendah. Kenapa kami harus dikuasai oleh orang lain dan tidak
oleh kami sendiri? "
Akan
tetapi, lepas dari ini menimbulkan rasa percaya diri sendiri yang kuat, penempatan
orang-orang Indonesia pada posisi-posisi yang dulunya diduduki orang Eropa,
dalam cara lain yang lebih penting,
telah memperkuat kemauan orang Indonesia untuk merdeka. Bagi banyak
orang Indonesia yang sudah merasakan keuntungan dari ini, pergerakan
sosial-ekonomi revolusioner yang meningkat punya cengkeraman yang kuat dalam
mempertahankan perubahan-perubahan ini. Bagi mereka itu berarti membendung
kembalinya pendudukan Belanda. Mereka yakin bahwa kembalinya Belanda dapat
berarti mereka akan turun ke pangkatnya yang dulu sebaliknya, kemerdekaan
dibayangkan sebagai suatu harapan kejenjang pangkat yang bahkan lebih tinggi
daripada yang sudah mereka capai. Pencapaian posisi mereka yang baru
belumlah memuaskan, tetapi rasa percaya
diri yang dipertinggi oleh kemampuan mereka menangani pekerjan-pekerjaan ini
hanyalah menambah nafsu untuk mencapai posisi lebih tinggi yang tetap dipegang
oleh seorang Jepang atau menduduki jabatan mereka yang baru itu sepenuhnya
tanpa pengawasan seorang "pengawas" bangsa Jepang.
Revolusi
sosial yang harus diciptakan Jepang sebagai sesuatu kelayakan, bahwa menguntungkan
orang-orang Indonesia yang dulu lebih diperhatikan oleh Belanda karena termasuk
golongan bangsawan asli kuno dan telah menduduki posisi-posisinya yang relatif
tinggi di bawah pemerintahan Belanda. Dalam hampir semua hal posisi-posisinya
ini sudah cukup tinggi untuk membuat mereka merasa berkepentingan membantu
mempertahankan quo penjajah Belanda. Namun demikiam, di bawah pemerintahan
Jepang, banyak orang semacam itu terpaksa menduduki posisi-posisi yang tidak
pernah mereka harapkan pada masa pemerintahan rezim lain. Dalam hal-hal ini,
juga lahir keyakinan bahwa mereka dapat menangani posisi-posisi yang lebih
tinggi daripada yang dibolehkan mendudukinya oleh Belanda dulu, bahwa mereka
berhak menduduki posisi-posisi semacam itu, dan bahwa ada jaminan mereka akan
memperolehnya dalam negara Indonesia yang merdeka. Demkianlah, maka rusaklah
beberapa alat pemerintahan Belanda yang paling efektif dan dapat diandalkan.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Ketika
jaman pendudukan Jepang, organisasi pergerakan nasional Indonesia mendapat
pembatasan agar mereka tidak mampu melepaskan diri dari Jepang. Baru setelah
pemerintah Jepang memberikan kesempatan para nasionalis diajak bekerjasama maka
mereka menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya guna menggalang kesatuan dan
semangat nasionalis. Pada pertengahan tahun 1942 Seokarno dibebaskan dari
penjara dan sudah barang tentu pemerintah Jepang akan menggunakan keppuleran
dan kepemimpinan Soekarno untuk tujuan propaganda yaitu agar seluruh bangsa
Indonesia dengan mudah dikerahkan untuk membantu perang yang sedang dihadapi
Jepang. Empat serangkai diberi kepercayaan untuk memimpin gerakan Pusat Tenaga
Rakyat (Putra) yang dibentuk 9 Maret 1943, atas usul Ir. Soekarno. Tujuan Putra
ialah mempersatukan rakyat Jawa untuk menghadapi serangan Sekutu yang semakin
dekat dengan Indonesia (Jawa). Tugas Putra menggerakan tenaga dan kekuatan
rakyat untuk memberi bantuan kepada usaha-usaha untuk mencapai kemenangan akhir
dalam perang Asia Timur Raya.
Daftar Pustaka
Anderson,
Ben. 1988. Revoloesi Pemoeda “Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa
1944-1946”. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Kahin,
George McTurnan. 1995. Refleksi
Pergumulan Lahirnya Republik “Nasionalisme
dan Revolusi di Indonesia”. Sebelas Maret University Press : Pustaka Sinar
Harapan.
http://ssbelajar.blogspot.com/2012/07/perjuangan-indonesia-pada-masa.html
(diakses tanggal 5 Juni 2013)
0 Response to "Makalah Pergerakan Indonesia zaman Pendudukan Jepang"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)