Hukum Internasional
1. Hakikat
Hukum Internasional
Hukum
Internasional dalam hubungan internasioanl, berfungsi setidaknya untuk membatasi
perebutan kekuasaan di bidang Internasional. Sehingga, negar-negara yang
melakukan hubungan internasional dapat mengetahui; mana batas-batas wilayah
negara mereka didarat maupun dilaut. Mengetahui syarat-syarat yang bagaimana
suatu negara dapat memperoleh pemilikan sah atas wilayah yang tidak ada
pemiliknya sama sekali, atau wilayah aneksasi?.
Suatu negara juga harus
mengetahui kekuasaan yang bagaimana yang harus dimiliki terhadap warga negara
lain yang tinggal diwilayah negaranya, dan terhadap warga negara sendiri yang
tinggal di wilayah asing?. Juga mengatur hak-hak suatu negara terhadap kapal
asing yang masuk keperairannya. Bahkan mengetahui syarat-syarat suatu
perjanjian antara dua negara atau lebih
mengikat, dan syarat-syarat yang bagaimana suatu perjanjian kehilangan kekuatan
mengikatnya?. Persoalan diatas dan masih banyak masalah lainnya yang dengan
sendirinya timbul dalam hubungan internasional yang harus diatur dalam aturan
hukum internasional.
Pada
hakikatnya Hukum Internasional bersifat desentralisasi yang merupakan hasil
kekuatan sosial negara-negara konsensus. Dimana dalam kekuatan sosial
seharusnya memiliki perimbangan kekuasaan, agar mencegah suatu negara kuat
menjadi maha kuat dan mendominasi negara yang lemah. Walaupun dalam praktiknya
tak seperti itu.
Dalam
Hukum Internasional terdapat lembaga Legislatif dan Lembaga Pengadilan.
Masing-masing lembaga ini memiliki fungsi yang berbeda, dan aturannya terikat
oleh keputusan-keputusan resmi yang berlaku. (stare decisis).
1.1 Legislatif
dalam Hukum Internasional
Fungsi
Legislatif dalam Hukum Internasional serupa dengan apa yang ada di dalam suatu
negara yaitu membuat hukum atau undang-undang. Dalam lingkungan Internasional
hanya ada dua kekuatan yang mempengaruhi pembuatan hukum atau undang-undang
internasional yaitu; keperluan dan persetujuan bersama.
Tiap-tiap
bangsa hanya terikat oleh aturan-aturan Hukum Internasional yang telah mendapat
persetujuan, dan hanya untuk bangsa-bangsa yang menjadi pesrta perjanjian
internasioanl. Piagam PBB merupakan contoh hasil kerja lembaga legislatif hukum
internasional.
Kelemahan
karakter fungsi legislatif dalam Hukum Internasional yang terdesentralisasi ini
ialah; ketidakpastian yang berkenaan dengan apakah perjanjian internasional
yang sah ditandatangani dan diratifikasi, nyata-nyata mengandung sebagian atau
seluruhnya aturan- aturan sah internasional yang mengikat para
penandatangannya. Ketidakpastian ini berkenaan dengan eksistensi aturan
tertentu yang merupakan asas dasar, yang sah ditandatangani dan diratifikasi
oleh hampir semua anggota masyarakat internasional, yang menggoyahkan asas
dasar hukum internasional.
Contoh
yang peling menonjol dari hukum internasional jenis ini, Pakta Briand-Kollogg
tahun 1928. Dimana didalamnya hampir semua bangsa setuju untuk menolak perang
sebagai alat politik nasional dalam hubungan-hubungan mereka satu dengan
lainnya. Apakah sejak permulaan perjanjian ini merupakan suatu aturan hukum
internasional yang mengikat semua penandatangan, atau merupakan prinsip maral
belaka tanpa ada dampak-dampak hukumnya?. Yang penting untuk dicatat kelemahan
dari suatu sistem hukum yang tidak mampu memberi jawaban terhadap pertanyaan
yang demikian mendasar seperti apakah sistem tersebut melarang diadakannya tindakan
kekerasan kolektif untuk tujuan-tujuan tertentu.
1.2 Pengadilan
dalam Hukum Internasioanl
Meskipun
kekurangan-kekurangan akibat desentralisasi sifat fungsi legislatif, suatu
sistem hukum masih dapat mengekang aspirasi-aspirasi kekuasaan dari subjeknya,
asal saja ada organ-organ pengadilan yang mampu bicara dengan wewenang apabila
timbul perselisihan mengenai eksistensi, atau makna dari suatu aturan-aturan
hukum.
Oleh
karena tidak ada sistem hukum yang dengan efektif dapat membatasi
kegiatan-kegiatan subjeknya tanpa adanya yurisdiksi wajib untuk mengatasi
sengketa-sengketa suatu negara, maka kedua masalah mendasar lainnya dari
keputusan pengadilan organisasi organ-organ pengadilan dan dampak keputusan
masing-masing merupakan makna yang dinomor duakan. Didirikannya Mahkamah Tetap
Internasioanal dan kemudian penggantinya, yaitu Mahkamah Internasional,
merupakan suatu petanda langkah penting, mungkin yang paling penting dari
semuanya, kearah sentralisasi fungsi-fungsi dibidang hukum internasional.
Hambatan
utama bagi berdirinya Mahkamah Tetap Internasional yang benar-benar adalah
susunan pengadilannya. Bngsa-bangsa kuat sekali keinginannya untuk melestarikan
kebebasan bertindaknya dalam masalah pemilihan para hakim untuk setiap perkara
khusus seperti kuatnya keinginan mereka untuk melestarrikan kebebasan bertindak
mereka dalam menyerahkan setiap sengketa khusus untuk diadili.
Makamah
Internasional adalah satu-satunya pengadilan yang berpotensi memiliki
yurisdiksi di seluruh dunia. Mahkamah Internasional bukanlah dalam arti suatu
pengadilan tertinggi dunia yang dapat memutuskan dengan kewenangan yang
menentukan, naik banding terhadap keputusan-keputusan mimbar pengadilan
internasional lainnya. Mahkamah Internasional hanya salah satu pengadilan
internasional yang menonjol oleh karena tetapnya organisasinya, potensi
jangkauan yurisdiksinya dan pada umumnya tinggi nilai hukum
keputusan-keputusannya. Meskipun bukan arti secara hirarki lebih tinggi di atas
dari keputusan-keputusan pengadilan internasional lainnya. Keputusan-keputusan
Mahkamah Internasional, berkat mutu profesionalnya yang sangat baik, dapat
membekas pada keputusan-keputusan lain-lain pengadilan internasional, akan
tetapi oleh karena tidak terikat aturan stare decisis, maka lain-lain
pengadilan internasional, tidak lagi berdasarkan kewajiban hukum untuk membuat
keputusan-keputusan mereka sesuai dengan keputusan-keputusan Mahkamah
Internasional dan tidak pula ada kewajiban pada pengadilan-pengadilan tersebut
untuk menyesuaikan keputusan-keputusannya sendiri satu dengan lainnya.
1.3 Pelaksanaan Hukum Internasional
Pada fungsi eksekutif,
desentralisasinya menyeluruh dan tidak memenuhi persyaratan. Hukum
Internasional tidak mempunyai organ dan peralatan tersendiri untuk mencapai
tujuan, tetapi menggunakan organ dan peralatan pemerintah nasional
masing-masing anggota untuk mencapai tujuan. Jika suatu Negara X melanggar hak
Negara Y, maka tidak ada organ pelaksanaan yang membantu Negara Y, hanya Negara
Y yang bisa menghadapi pelanggaran tersebut jika mampu. Sistem ini meyerahkan
pelaksanaan hukum kepada perubahan distribusi kekuasan antara pelanggar hokum
dengan korban pelanggaran. System ini mengakibatkan Negara yang kuat melakukan
pelanggaran semaunya terhadap Negara yang lemah tanpa takut terhadap sanksi
yang akan diterima. Sebaliknya Negara kecil tidak bisa berbuat banyak terhadap
Negara-negara besar, Negara kecil
berusaha mencari perlindungan terhadap bangsa besar agar nantinya ada Negara
yang menjadi backing ketika mempunyai suatu masalah dengan Negara lain. Contoh
kasus yang terjadi adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Jerman terhadap
Belgia pada tahun 1914, pelanggaran yang dilakukan oleh Korea Utara terhadap
Korea Selatan pada tahun 1950, AS dan sekutunya membantu Korea Selatan. AS
mendukung revolusi pada tahun 1903 yang mengakibatkan berdirinya Negara Panama dengan
melanggar hak-hak Kolombia. Disini, jelas terlihat, tidak ada perimbangan
kekuasaan yang mungkin dapat melindungi sebuah Negara terutama Negara yang
lemah.
Sebagian besar aturan hukum
internasional pada umunya ditaati oleh bangsa tanpa ada pasksaan yang nyata,
sebab menyangkut kepentingan semua bangsa yang bersangkutan untuk
menjunjung tinggi kewajiban mereka
berdasarkan hukum internasional. Maka suatu Negara tidak boleh sewenang-wenang
terhadap Negara lain karena kepentingan pribadi.
Kebanyakan aturan hukum
internasional merumuskan dalam istilah hokum kepentingan yang serupa atau
saling melengkapi. Hukum internasional tidak terpengaruh terhadap kelemahan
system pelaksanaanya, sebab semua anggota patuh secara sukarela untuk mencegah
munculnya permasalahan.
·
Upaya
dalam memperbaiki situasi dalam pelaksanaan Hukum Internasional
Perjanjian-perjanjian
Jaminan
Perjanjian Blois tahun 1505 antara
Prancis dan Aragon, dijamin oleh Inggris. Jaminan ini berarti bahwa Inggris
meletakkan kewajiban hokum pada dirinya untuk bertindak sebagai polisi mengenai
pelaksanaan perjanjian, dan mengusahakan kedua belah pihak memenuhi perjanjian
tersebut. Negara penjamin perjanjian biasanya Negara yang berpengaruh kuat dan
mempunyai kekuaran militer yang memadai. Persyaratan perjanjian Jaminan harus
memenuhi syarat yaitu harus efektif dan berjalan otomatis. Dalam hal
efektivitas, hambatan yang biasanya ditemukan adalah ketidakpastian
pelaksanaanya, banyak jalan keluar yang dipergunakan oleh si penjamin untuk
mengelakkkan pelaksanaan perjanjian tanpa mengelaknya.
Keamanan
Bersama
Keamanan bersama adalah usaha yang
paling besar pengaruhnya yang tercatat untuk mengatasi kekurangan system
pelaksanaan hokum yang serba desentralisasi yang dilakukan oleh masing-masing
Negara anggota. System keamanan bersama diatur dalam pasal 16 Perjanjian Liga
Bangsa-bangsa yang intinya : penggunaan perang bertentangan dengan ketentuan
tentang penyelesaian sengketa internasional secara damai, bangsa yang melanggar
hokum dianggap telah melakukan tindakan perang terdadap Negara lain dalam
keanggotaan LBB, para anggota LBB mempunyai kewajiban hokum untuk saling
membantu secara ekonomi dan militer di dalam pelaksanaan tindakan bersama.
Selanjutnya, resolusi yang dikeluarkan oleh LBB dalam menangani masalah tidak
lepas dari peranan masing-masing anggota, setiap anggota boleh memutuskan
tindakan apa saja yang akan diambil untuk Negara yang melanggar hokum dengan
saling mendukung satu sama lain antar anggota yang tidak melanggar. Namun LLB kurang tegas, buktinya ketika Uni
Soviet berperang melawan Finlandia pada tahun 1939, Negara itu kemudian
dikeluarkan dari LBB atas dasar pasal 16 paragraf 4, namun LBB tidak
menjalankan tindakan pelaksanaan terhadap bersama terhadap Rusia. Penerapan
sanksi ini tidak berjalan dengan efektif sehingga hampir menjamin kegagalan
sanksi itu dan keberhasilan Negara yang keras kepala.
Bab VII Piagam
Perserikatan Bangsa-bangsa
Piagam PBB terdiri atas pasal 39-51
merupakan imbangan pasal 16 LBB sebagai usaha untuk mengatasi kelemahan system
terpencar pelaksanaan hokum internasional. Piagam PBB ini jauh melampaui apa
yang direncanakan oleh LBB atau ketentuan manapun dari hokum internasional. LBB
membiarkan masing-masing bangsa memutuskan ada tidaknya pelanggaran terhadap
perjanjian itu sedangkan dalam Piagam PBB menyatakan, “dewan keamanan harus
menentukan adanya setiap ancaman terhadap perdamaian, gangguan keamanan, atau
tindakan agresi dan harus memutuskan langkah apa yang harus diambil sesuai
dengan pasal 41 dan 42 untuk mempertahankan atau memulihkan keamanan dan
perdamaian internasional”. Jadi di dalam Piagam PBB, kebijakan masing-masing
Negara anggota tidak dipertimbangkan. Sanksi ekonomi diatur dalam pasal 41,
sanksi militer dalam pasal 42, 43, dan 45.
Faktor militer dari mekanisme hanya
dapat dilahirkan dan diberlakukan jika masing-masing Negara anggota menyetujui
unsure militer tersebut berlaku. Dewan keamanan berkuasa penuh dan kebebasan
bangsa yang mengadakan persetujuan berakhir, paling tidak di dalam batas aturan
dari piagam. Meski demikian, Negara anggota masih bisa menolak kebijakan dari
Dewan keamanan. Namun, hingga saat ini,
tidak ada persetujuan yang dibuat berdasarkan pasal 43, akibatkan pasal 106
piagam yang diterapkan. Pasal ini menentukan bahwa tidak ada persetujuan yang
demikian makan AS, Inggris Raya, Uni Soviet, Cina,dan Prancis harus
berkonsultasi lebih dahulu untuk tindakan perdamaian internasional.
Kualifikasi terhadap system
pelaksanaan bab VII piagam PBB ini tidak perlu bersifat oganik, sebab dengan
sendirinya akan menjadi tidak berarti jika dan apabila persetujuan yang
dimaksud pasal 43 ditandatangani. Pasal 51 “ tidak ada sesuatupun dalam piagam
yang akan mengurangi hak bawaan untuk mempertahankan diri secara sendirian atau
bersama-sama jika terjadi serangan bersenjata terhadap anggota PBB”. Jadi
setiap bangsa yang mendapat serangan dari serangan dari Negara lain yang, maka
PBB melalui dewan keamanan akan siap membantu.
Veto
Dalam pasal 27 paragraf 3 bab VII
menyatakan bahwa “ keputusan dewan keamanan harus diambil dengan pemilihan
suara dari Sembilan anggota termasuk suara dari anggota tetap”. Menurut pasal
23 anggota tetap adalah Cina, Prancis, Inggris Raya, Uni Soviet dan AS. Jika
satu anggota tidak setuju, maka misi tidak akan dilaksanakan. Setiap anggota
tetap mempunyai hak veto mengenai tindakan dalam melaksanakan apapun yang akan
diambil sesuai dengan Bab VII.
Hak veto dimasukkan ke dalam
pelaksanaan hokum PBB dengan bergantung pada kehendak setiap Negara anggota
tetap. akibat dari hak veto yang perlu diperhatikan :
1. Veto
menghapus kemungkinan apapun dari dikenakannya tindakan pelaksanaan hokum yang
terpusat terhadap anggota tetap.
2. Mengingat
pasal 27 paragraf 3, Dewan Keamanan mampu menggerakkan peralatan pelaksanaan
piagam, hal itu hanya berhasil terhadap Negara anggota kecild an sedang ( tidak
termasuk anggota Dewan keamanan).
Anggota tetap yang bersangkutan harus
tetap melawan apa yang dianggapnya sebagai kepentingan nasionalnya sendiri
untuk kepentingan bersama sebagai tim anggota tetap. Akhirnya, veto
menghapuskan segala fungsi praktisi dan kualifikasi yang diusahakan pasal 51
untuk mengsubordinasikan hak pertahanan diri bersama dibawah system tepusattt
pelaksanaan Bab VII.
Maka dari itu, gambaran yang dikesankan
Piagam PBB berbeda dari hokum Internasional pada umumnya mengenai potensi
hukumnya. Tugas hokum yang paling penting adalah memaksakan pengendalian yang
efektif terhadap perbutan kekuasaan. PBB tidak mampu melaksanakan tugas ini
terhadap Negara-negara besar karena pasal 27 menempatkan Negara besar di luar
jangkauang tindakan pelaksanaan yang diambil berdasarkan piagam.
Resolusi “ bersatu demi
perdamaian”
Pengalaman perang Korea menyadarkan
kebanyakan anggota PBB mengenai ketidakmampuan Dewan Keamanan untuk menghadapi
perang. Dimana ketika agresi Korea Utara terhadap Korea Selatan, RUsia sebagai
anggota Dewan keamanan tidak haris dalam penerapan penentuan piagam sehingga
tidak ada resolusi yang relevan. Setelah Rusia kembali ke Dewan Keamanan,
MajeliS umum diminta kembali meningkatkan bebankeorganisasian PBB. Pada bulan
Nov 1950, Majelis Umum mengesahkan Resolusi bersatu demi Perdamaian. Pokoknya
antara lain :
1. Majelis
Umum dapat bersidang dalam waktu 24 jam jika dewan keamanan dihalangi oleh veto
untuk melaksanakan tugasnya terhdap perdamaian dan keamaanan internasional.
2. Majelis
Umum dapat merekomendasikan kepada Negara-negara anggota tindakan bersama
termasuk penggunaan angkatan bersenjata.
3. Rekomendasi
agar setiap Negara anggota memelihara unsure did ala angkatan bersenjata
nasionalnya terhadap kemungkinan tugas kesatuan PBB.
4. Pendirian
Komisi Pengamat Perdamaian
5. Pendirian
Komite Tindakan Bersama sesuai dengan piagam PBB.
Komite
tindakan bersama telah melaporkan kepada majelis Umum secara berkala. Komite
Tindakan bersama mencurahkan perhatiannya pada Negara anggota, dukungan dengan
nasehat dab tindakan tamabhan dari badan khusus PBB.
Dengan demikian, makan mengingat
pembatasan konstitusional yang menentukan ruang lingkup tugasnya, Resolusi “
Bersatu demi Perdamaian” dan KOmite tindakan bersama tidak dapat berusaha
mengubah sifat desntralisasi tindakan pelaksanaan hokum yang dapat
direkomendasikan oleh Majelis Umum kepada Negara anggota. Hokum internasional
tetap sama terdesentralisasi dibawah piagam PBB dan Piagam LBB dan dibawah
hokum internasional hokum. Tidak ada
usaha terpadau untuk mengubah dungsi legislative hokum internasional, tetapi
usaha berturut-turut diadakan untuk mengubah fungsi pengadilan dan fungsi
eksekutif. Jadi desentralisasi itulah inti dari hokum internasional dengan
prinsip kedaulatan.
Sumber: Sitorus. Jhon Miduk. Pendidikan administrasi Perkantoran. Universitas Negeri Jakarta . 2014
0 Response to "Hukum Internasional"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)