Makalah Dualisme Kepemimpinan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam kurun waktu 1966-1967 terjadi
dualisme dalam kepemimpinan nasional. Di satu pihak Presiden Soekarno yang
masih aktif, dan di pihak lain adanya tokoh Jenderal Soeharto yang memimpin
pemerintahan. Hal ini dikarenakan munculnya suatu dokumen yang hingga saat ini
masih kontroversial keberadaannya juga keasliannya. Dengan mengambil kata
kiasan semar, dewa badut yang paling tangguh dalam wayang jawa, dokumen ini
disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).[1]
Kelanjutan dari munculnya dokumen in,
maka dunia perpolitikan Indonesia memasuki era baru yang mana kita sebut
sekarang sebagai Orde Baru (Orba). suatu pemerintahan yang dipimpin oleh
Soeharto. Mantan Pangkokostrad yang dapat berkuasa hingga 32 tahun.
Sehubungan kondisi dualisme
kepemimpinan ini sangat penting, karena merupakan suatu transisi kekuasaan,
maka makalah ini akan menjelaskan mengenai awal terjadinya dulisme ini. Berawal
dari pembentukan kopkamtib sebagai langkah awal Soeharto menuju ke panggung keeksistensiannya
dan diakhiri dengan kebijakan-kebijakan awal ketika Soeharto dissahkan sebagai
Presiden.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
a. Apa latar belakang terbentuknya
kopkamtib?
b. Apa latar belakang lahirnya
Supersemar?
c. Bagaimana restrukturisasi cabinet dan
anggota DPRGR/MPRS?
d. Apa saja isi sidang umum MPRS yang
berkenaan pada masa dualisme?
e. Bagaimana penyelesaian krisis politik
dan kebijakan yang dikeluarkan masa dualism?
1.3.Tujuan Penulisan
Sesuai masalah di atas, penulisan
makalah ini untuk menjelaskan mengenai masa dualism kepemimpinan sebagai
transisi orde lama menuju orde baru. Selain itu juga untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah sejarah Indonesia Masa Orba - Reformasi
BAB II
ISI
2.1.Pembentukan Kopkamtib, Penyingkiran
Kelompok Pro Soekarno dan Lahirnya Supersemar
Akibat dari peristiwa suatu gerakan
yang menamai diri sebagai G 30 S. Maka ketika Presiden Soekarno masih berada di
Halim Perdanakusuma tanggal 1 Oktober 1965 ia mengeluarkan perintah yang
ditujukan kepada seluruh Angkatan bersenjata untuk mempertinggi kesiapsiagaan
dan untuk tetap di pos masing-masing dan hanya bergerak atas perintah.
Diumumkan pula bahwa pimpinan
Angkatan Darat untuk sementara waktu berada langsung dalam tangan Presiden /
Panglima Tertinggi ABRI, dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari ditunjuk
untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra. Perintah ini tidak segera
diketahui oleh anggota-anggota ABRI yang berada di luar daerah Halim karena
pada hari itu juga, sesuai dengan tata cara yang berlaku,
Mayor Jenderal
Soeharto menyatakan bahwa untuk sementara ia memegang pimpinan Angkatan Darat.
Untuk menyelesaikan kebingungan dua
komando ini, maka Presiden Soekarno pada tanggal 2 Oktober 1965 memanggil semua
panglima angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan itu, ia memutuskan bahwa
pimpinan AD langsung berada dibawahnya, aspek militer administratif diserahkan
kepada Mayor Jenderal Pranoto. Dan kepada Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas
untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan
peristiwa 30 September.
Keputusan ini diumumkan melalui RRI
Pusat pukul 01.30 tanggal 3 Oktober 1965. Ini adalah awal eksistensi Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). [2]
Setelahnya pada sidang paripurna
tanggal 6 oktober presiden soekarno mengeluarkan pernyataan yang berisi
mengutuk G 30 S dan semakin tersingkap fakta bahwa PKI mendalangi kudeta G 30
S. Bantahan PKI atas keterlibatannya dalam pembunuhan itu sama semakin tak dihiraukan.
Para pemuda antikomunis kini menguasai jalan-jalan, membakar markas besar PKI
di Jakarta pada 8 Oktober.
Menjelang akhir tahun 1965 operasi
penumpasan terhadap pemberontakan G 30 S
dapat dikatakan berakhir. Namun penyelesaian maslah politik terhadap peristiwa
tersebut belum terlihat adanya tanda-tanda akan dilaksanakan oleh Presiden
Soekarno sesuai dengan janjinya. Akibatnya terjadi erosi kepercayaan rakyat
kepada Presiden Soekarno.
Sukarno tetap berusaha memegang
panggung pusat, tetapi magis lamanya tidak mampu berfungsi lagi. Pada bulan
Januari 1966, dia berpidato di radio, menyerukan semua rakyat untuk
mengikutinya, sementara Subandrio menyerukan pembentukan Barisan Sukarno.
Soeharto mengimbangi seruan Subandrio dengan berikrar bahwa dia tetap setia
kepada Soekarno dan meminta kepada semua pendukung setia Presiden untuk
mendukung tentara. Walaupun Soeharto mungkin lebih suka melihat Soekarno
berfungsi sebagai tokoh yang memberi legitimasi bagi dominasi tentara, jelas
sudah bahwa presiden tua itu harus disingkirkan.
Pada bulan Februari 1966, Sukarno
melakukan usaha terakhirnya untuk menyelamatkan demokrasi terpimpin. Pada 21
Februari, dia merombak kabinetnya. Dia memberhentikan Nasution sebagai Menteri
Pertahanan dan menghapus jabatan kepala staf angkatan bersenjata; Nasution
tentu menolak pemecatannya. Omar Dhani dan Subandrio-dua orang yang diincar
tentara-dipertahankan sebagai menteri. Sukarno menunjuk Letkol Imam Sjafei
sebagai Menteri Negara Urusan Keamanan, bos para preman Jakarta. Preman-preman
anti-KAMI pun segera diorganisir.
Kebijakan Soeharto konon menyulut
kekerasan di Jakarta, yang pada akhirnya mendesak Sukarno menyerahkan
kekuasaannya pada Soeharto untuk memulihkan ketertiban. Para pemuda
pro-Soekarno dan anti-Soekarno berkelahi di jalan-jalan ibukota. Kedutaan
Amerika diserang oleh pendukung Sukarno pada 23 Februari. Sukarno lalu melarang
KAMI, tetapi para mahasiswa dan penasihat mereka dari kalangan tentara tidak
menghiraukannnya. Sukarno memerintahkan Universitas Indonesia ditutup pada 3
Maret, tetapi mahasiswa anti-sukarno menduduki kampus, sementara tentara sekutu
mereka menjaga garis luarnya. [3]
Tentara mendorong mahasiswa untuk
berdemonstrasi menuntut pelarangan PKI, membentuk kabinet baru dan reformasi
ekonomi. Ekonomi masih berjalan tak menentu, indeks biaya hidup pada bulan
Desember 1965-Januari 1966 meningkat 50%. Pada 5 Maret, Soeharto mengajukan
kepada Sukarno daftar menteri yang harus diberhentikan, yang kemudian ditolak
Sukarno.
Pada 11 Maret 1966, permainan manuver
halus antara Sukarno dan Soeharto- yang menghasilkan kekerasan berdarah di
ibukota berakhir dengan meyakinkan kemenangan Soeharto. Soekarno mengadakan
pertemuan kabinet di Jakarta, sementara para mahasiswa-demonstran memadati
jalan-jalan. Sukarno mendapat informasi bahwa pasukan tak dikenal tengah
mengepung istana. Maka, dia segera naik helikopter menuju Bogor, ditemani
Subandrio dan Chaerul Saleh. Malam itu, tiga jenderal yang bertindak sebagai
utusan Soeharto pergi ke Bogor dan membujuk Sukarno untuk menandatangani sebuah
dokumen yang memberi Soeharto kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban,
menjalankan pemerintahan, dan melindungi Presiden atas nama Revolusi. Dengan
mengambil kata kiasan Semar, dewa badut yang paling tangguh dalam wayang Jawa,
dokumen ini disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Dengan kekuasaan Supersemar yang
diperolehnya, Soeharto dan para pendukungnya kini menghancurkan sisa-sisa
demokrasi terpimpin di hadapan Sukarno yang marah tapi tak mampu berbuat
apa-apa. Pada 12 Maret, PKI dan semua organisasi masanya dilarang. Pada 18
Maret, Subandrio, Chaerul Saleh, Imam Syafei, dan sebelas menteri kabinet
lainnya ditahan; salah satu anggota kabinet yang menjadi sasaran tentara,
Surachman, lolos tetapi akhirnya terbunuh di Blitar Selatan pada tahun 1968.
Chaerul Saleh mati di penjara pada tahun 1967. Orang-orang yang beraliran
Sukarno moderat tidak ditahan; orang-orang seperti Idham Chalid, Leimena, dan
Roeslan Abdulgani tetap berada di kabinet baru yang dilantik pada 27 Maret.
Kabinet ini dipimpin oleh tiga serangkai, yaitu Soeharto, Sultan Hamengkubuwono
IX dan Adam Malik. Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik muncul sebagai
kalangan sipil paling terkemuka yang mendukung Orde Baru.
Pembersihan tentara dan birokrasi
kini dimulai. Sekitar 2.600 pasukan Divisi Diponegoro dibebastugaskan, diskors,
dipecat, atau ditertibkan, dan banyak yang lainnya ditahan. Sebagian perwira
tentara anti-PKI tetapi pro-Soekarno dipindahkan dari komando strategis pada
bulan Mei.[4]
2.2.Restrukturisasi Kabinet dan Anggota
DPRGR/MPRS
Pada
akhir Maret 1966 kabinet baru terbentuk yang dipimpin oleh tiga serangkai
Soeharto, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang memegang bidang ekonomi, dan Adam
Malik sebagai Menteri Luar Negeri , terdapat masalah yang harus diawasi dengan
hati-hati, yaitu dalam hal memperoleh persetujuan dari presiden Soekarno, yang masih diperlukan
karena ia sebagai presiden, sedangkan Soeharto ingin menghindari sengketa. Maka
tiga serangkai itu menyerahkan daftar nama anggota kabinet kepada Dewi (Istri
ketiga Soekarno) dan mendesaknya agar Soekarno menandatangani.[5]
Pasca berakhirnya tahun
1965 operasi militer penumpasan terhadap G-30-S dapat dikatakan sudah berakhir.
akan tetapi, penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum terlihat
adanya tanda-tanda akan dilaksanakan oleh Presiden Soekarno sesuai dengan
janjinya. dengan demikian krisis politik semakin mendalam.[6]
Bukan hanya itu, Pemerintah tidak terbukti mampu memulihkan turunnya ekspor
komoditas pertanian dengan semacam kapitalisme industry nasional. Sebab utama
ialah kegagalan dalam membangun modal yang diperlukan bagi investasi dalam
produksi industry serta penyediaan infrastruktur. Bersamaan dengan pengeluaran
pemerintah untuk mendanai BUMN, terbatasnya kapasitas pemungutan pajak, pemerintah
dipaksa menghadapinya dengan kebijakan inflasi guna membiayai proyek-proyek
pengemmbangan serta kebutuhan di bidang militer.[7]
pada
tanggal 21 Februari, Presiden melakukan reshuffle
cabinet yang disebut sebagai Dwikora yang disempurnakan, ternyata sangat
mengecewakan harapan rakyat. Hal ini dikarenakan disingkirkannya tokoh-tokoh
yang menentang G-30-S, seperti A. H. Nasution, sedangkan SOekarno mengangkat
sejumlah orang yang diindikasikan terlibat dalam G-30-S, seperti Surachman dan
Oei Tjoe Tat yang mengakibatkan saat pelantikan cabinet baru 24 Februari 1966
para demonstran melakukan aksi serentak yang mengakibatkan salah satu
demonstran yang terlibat bentrokan didepan Istana tertembak. insiden berdarah
itu menyebabkan krisis kepemimpinan nasional.[8]
setelah
penandatangan Surat perintah sebelas Maret 1966 yang ditandatangani oleh
presiden Soekarno melahirkan langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar[9];
1. Membubarkan PKI dan ormasnya pada 12 Maret
1966.
2. Mengamankan menteri-menteri dalam Kabinet
Dwikora yang terlibat dalam G-30-S yaitu, (1) Soebandrio, (2) Dr. Chaerul
Shaleh, (3) Ir. Setiadi Reksoprojo, (4) Sumarjo, (5) Oei Tju Tat,SH, (6)
Ir.Surachman, (7) Yusuf Muda Dalam, (8) Armunanto, (9) Sutomo Marto Pradata,
(10) A.Sastra Winata, SH., (11) Mayjen Achmadi, (12) Drs. Mochammad Achadi,
(13) Letkol. Syafei, (14) J.K. Tumakaka, (15) Mayjen Dr. Soemarno.
3. Pengemban Supersemar, pada 18 Maret 1966 menunjuk beberapa menteri ad interim guna mengisi pos-pos menteri yang kosong.
3. Pengemban Supersemar, pada 18 Maret 1966 menunjuk beberapa menteri ad interim guna mengisi pos-pos menteri yang kosong.
Langkah yang dilakukan
Soeharto adalah mengadakan pembersihan ditubuh Kabinet Dwikora yang
disempurnakan, yaitu dengan mengadakan sidang DPR-GR yang dihadiri oleh ratusan
mahasiswa yang membacakan nota politiknya. Pada 17 Mei 1966 DPR-GR berhasil
menyusun kepengurusan DPR-GR dan berhasil membersihkan anggotanya dengan
memecat 65 anggota yang mewakili Partai Komunis Indonesia.
Sejak tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status keanggotaan DPR-GR yang mendukung G-30-S dibekukan. Kabinet Dwikora mengalami beberapa kali perombakan untuk menghilangkan pengaruh menteri yang diduga terlibat G-30-S. Namun tuntutan terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung, seperti aksi mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai reaksi tekanan berbagai pihak, Presiden Soekamo secara sukarela menyampaikan pidato pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966, pada saat pelantikan pimpinan MPRS. Namun pidato pertanggungjawaban yang berjudul "Nawaksara" itu tidak diterima MPRS.[10]
Sejak tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status keanggotaan DPR-GR yang mendukung G-30-S dibekukan. Kabinet Dwikora mengalami beberapa kali perombakan untuk menghilangkan pengaruh menteri yang diduga terlibat G-30-S. Namun tuntutan terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung, seperti aksi mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai reaksi tekanan berbagai pihak, Presiden Soekamo secara sukarela menyampaikan pidato pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966, pada saat pelantikan pimpinan MPRS. Namun pidato pertanggungjawaban yang berjudul "Nawaksara" itu tidak diterima MPRS.[10]
Sejak pertengahan
tahun 1966, perkembangan politik nasional semakin kompleks. Makalah ini
diciptakan oleh Jhon Miduk Sitorus. Melalui Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen
Soeharto ditugasi untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya dualisme
kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet Ampera dibentuk melalui Keppres
No. 163 tanggal 25 Juli 1966 yang ditandatangani Presiden Soekamo.[11]
Selanjutnya MPRS
mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno melaksanakan Ketetapan
MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet Dwikora.
Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu
(1) Pimpinan kabinet: Presiden Soekamo;
(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan
suatu presedium;
(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri.
Tugas pokok kabinet Ampera disebut "Dwi Dharma" yaitu :
(1) mewujudkan stabilitas politik
(2) menciptakan stabilitas ekonomi.
Kabinet Ampera
dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap Soekarno. Namun,
Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki
kekuasaan eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Melalui Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara berhasil merumuskan ketetapan Nomor : XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal sebagai berikut:
Melalui Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara berhasil merumuskan ketetapan Nomor : XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal sebagai berikut:
(1) Mencabut kekuasaan
pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno; (2) Menarik kembali mandat MPRS
dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945;(3)
Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang supersemar itu sebagai
pejabat presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum. Pada
akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan
diambil sumpah oleh Ketua MPRS Jenderal TNI Abdul Haris Nasution.
(2) Masyarakat luas yang
terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik, organisasi massa,
perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara kompak membentuk
kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung
G-30-S yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara dengan menuntut agar
ada penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan
pemberontakan tersebut. Kesatuan aksi ini kemudian terkenal dengan sebutan
angkatan 66 antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI),
Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan lain-lain.
2.3.Sidang MPRS
Selama masa dualism kepemimpinan
muncul sidang-sidang MPRS yang berkaitan dengan perubahan-perubahan kebijakan
yang berkenaan mengenai presiden. selain itu juga muncul suatu sidang istimewa
yang membahas mengenai pertanggungjawaban Presiden Soekarno. lebih detailnya
inilah beberapa sidang umum tersebut:
Sidang umum MPRS III / 1965
Sidang Umum
Ketiga MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 11 - 16 April 1965 . Sidang
Umum Ketiga MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu:
1.
Ketetapan
MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar
Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di atas Kaki Sendiri yang lebih
dikenal dengan "Berdikari" sebagai Penugasan Revolusi Indonesia
dalamBidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program
Perjuangan Rakyat Indonesia;
2.
Ketetapan
MPRS Nomor VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di atas Kaki Sendiri
di Bidang Ekonomi dan Pembangunan;
3.
Ketetapan
MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang "Gesuri", "TAVIP" (Tahun
Vivere Pericoloso), "The Fifth Freedom is Our Weapon" dan "The
Era of Confrontation" sebagai Pedoman-pedoman pelaksanakan Manifesto
Politik Republik Indonesia;
4.
Ketetapan
MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsp-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam
Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga
Permusyawaratan/Perwakilan.
Sidang umum MPRS IV / 1966
Sidang umum Keempat MPRS berlangsung
di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 21 Juni sampai dengan 5 Juli 1966 . Pada
Sidang Umum Keempat ini, MPRS menghasilkan 24 ketetapan, yaitu:
1.
Ketetapan
MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi /Mandataris
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
2.
Ketetapan
MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang kedudukan Semua Lembaga-lembaga Negara Tingkat
Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi Yang di Atur dalam Undang-undang Dasar
1945;
3.
Ketetapan
MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum;
4.
Ketetapan
MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan
Politik Luar Negeri Republik Indonesia;
5.
Ketetapan
MPR Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera;
6.
Ketetapan
MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad Hoc MPRS yang
bertugas melakukan penelitian Lembaga-lembaga Negara, Penyusunan Bagan
Pembagian Kekuasaan diantara Lembaga-lembaga Negara menurut Sistem
Undang-Undang Dasar 1945 dan Penyusunan Perincian Hak-hak Asasi Manusia;
7.
Ketetapan
MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/ Penunjukan Wakil Presiden dan Tata
Cara Pengangkatan Pejabat Presiden;
8.
Ketetapan
MPRS Nomor XVI/MPRS/1966 tentang pengertian Mandataris MPRS;
9.
Ketetapan
MPRS Nomor XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi;
10. Ketetapan MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966
tetang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS Nomor III/
11. Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966
tentang Peninjauan Kembali Produk produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS
yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
12. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peratutan Perundangan Republik Indonesia;
13. Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966
tentang Pemberian Otonomi Seluas luasnya Kepala Daerah;
14. Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966
tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan.
15. Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966
tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan;
16. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966
tentang Kebijakan dalam Bidang Pertahanan Keamanan;
17. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966
tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi
terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis
Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham
atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme;
18. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966
tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung
Karno;
19. Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966
tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan;
20. Ketetapan MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1966
tentang Kebijaksanaan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat;
21. Ketetapan MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966
tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera;
22. Ketetapan MPRS Nomor XXX/MPRS/1966
tentang Pencabutan Bintang "Maha Putera" Kelas III dari D.N. Aidit;
23. Ketetapan MPRS Nomor XXXI/MPRS/1966
tentang Penggantian Sebutan "Paduka Yang Mulia" (P.Y.M) dengan
sebutan "Bapak/Ibu" atau "Saudara/Saudari";
24. Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966
tentang Pembinaan Pers.
Sidang istimewa MPRS / 1968.
Pada saat Presiden RI/Mandataris MPRS
Soekarno menyampaikan pidato pertangungjawaban di depan Sidang Umum keempat
MPRS Tahun 1966, rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa
pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden
Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran
ekonomi dan akhlak. Namun pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang
diberi judul " Nawaksara " ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai
pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5
Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato
pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno
memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 Januari 1967 yang diberi
nama "Pelengkap Nawaksara", tetapi ternyata tidak juga memenuhi
harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS
berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah lalai dalam memenuhi kewajiban
Konstitusional.Sementara itu DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya tertanggal
9 Februari 1967 dalam menilai "Nawaksara" beserta pelengkapnya
berpendapat bahwa "Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional,
politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila"
.
Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta
kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno
dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal
Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS
Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk
mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum. Berdasarkan
permintaan dari DPR-GR, MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS di Istora
Senayan Jakarta pada tanggal 7 hingga 12 Maret 1967 .
Pada Sidang Istimewa ini MPRS
menghasilkan empat ketetapan, yaitu:
1.
Ketetapan
MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara
dari Presiden Soekarno;
2.
Ketetapan
MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960
tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan
Negara;
3.
Ketetapan
MPRS Nomor XXXV/MPRS/1967 tentang Pancabutan Ketetapan MPRS Nomor XVII/1966;
4.
Ketetapan
MPRS Nomor XXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS Nomor
XXVI/MPRS/1966.
2.4.Penyelesaian Krisi Politik dan
Kebijakan Awal
Kecaman dan sindiran Soekarno jelas
mempersulit tiga serangkai Soekarno jelas mempersulit tiga serangkai Soeharto,
Sultan Yogyakarta, dan Adam Malik, yang hampir saja dalam suatu kesempatan
berniat mundur. namun cara Soeharto memperlakukan Soekarno memang jitu, tidak
berniat membawanya ke pengadilan atau tidak membuatnya menjadi martir dengan
cara mencelanya. Sebaliknya ia membiarkan Soekarno mencela dirinya sendiri
dengan sikap dan banyaknya petunjuk mengenai apa yang diketahuinya sebelum PKI
melancarkan kup serta keterlibatan di dalamnya.[12]
Dengan surat perintah
11 Maret 1966 Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak menentu dan sulit
terkendali sebagai dampak peristiwa G-30-S negara dilanda instabilitas politik
akibat tidak tegasnya kepemimpinan Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan
atas peristiwa tersebut. Sementara partai-partai politik terpecah belah dalam
kelompok-kelompok yang saling bertentangan, antara penentang dan pendukung
kebijakan Presiden Soekarno. Akan tetapi, setidaknya dengan bekal Supersemar,
Soeharto membubarkan PKI untuk mengisolasi Presiden Soekarno.[13]
Sukarno tidak dapat
menahan arus perkembangan yang terus menerus meningkat. PKI sudah lumpuh dan
tentara bertekad menjalankan caranya sendiri. Soekarno menyadari bahwa
ucapan-ucapannya tentang PKI dan lain-lain sudah tidak dipedulikan. Ia masih
dapat mempertahankan kepemimpinannya dalam penampilan, tetapi kekuasaan telah
lolos dari tangannya. Ia tidak dapat lagi menekankan pengaruh pribadinya kepada
orang lain. Jalan Soeharto ke kursi presiden terbentang lebar ketika MPRS
melalui Sidang Umum MPRS 20 Juni-5 Juli 1966, dalam sidang yang dipimpin oleh
ketua MPRS A. H. Nasution, serta wakil ketua MPRS Osa Maliki, HM Subchan ZE,
dan Mashudi, MPRS menyetujui dan memperkuat Surat Perintah Sebelas Maret 1966
menjadi ketetapan MPRS nomor IX/MPRS/1966.[14]
Saran-saran untuk perbaikan politik dalam negeri juga
diajukan oleh UI dalam kerjasama dengan KAMI dan KASI pada symposium kebangkitan semangat’ 66 Menjelajah Trace
Baru yang diselenggarakan pada tanggal 6 – 9 Mei 1966. Khusus mengenai
bidang politik dalam negeri dengan tema “Indonesia Negara Hukum”, antara lain
diingatkan bahwa pada waktu yang lampau banyak sekali terjadi penyimpangan dari
asas-asas serta norma-norma yang berlaku dalam suatu negara hokum. Peraturan
hokum dan pelaksanaannya tidak mencerminkan jiwa Pancasila.[15]
Kondisi politik negara sudah mulai kondusif namun demikian
kristalisasi Orde Baru belum selesai maka diperlukan penataan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam kerangka Orde Baru. Dengan demikian langkah awal
diperlukan stabilitas nasional yang dinamis untuk mendukung kehidupan politik
yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian dibuatlah suatu pengertian
bahwa Orde Baru adalah tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara
yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 atau sebagai
koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dimasa lampau.[16]
Usaha
merintis jalan menuju kepada iklim politik yang stabil berlangsung setelah
keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menghasilkan 24 ketetapan MPRS dan
satu keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.[17]
Perjuangan
rakyat seperti yang dikemukan para pelajar dan mahasiswa dalam demonstrasi pada
8 Januari 1966 menuju gedung sekretariat negara dan dilajutkan pada 12 Januari
1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
berdemonstrasoi di depan gedung DPR-GR yang menuntut penyelesaian stabilitas
negara pasca peristiwa G-30-S yang dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat
(Tritura) yaitu: (1) pembubaran PKI beserta organisasi massanya (2) pembersihan
Kabinet Dwi Kora (3) Penurunan harga-harga barang.[18]
Pada
hakekatnya tuntutan rakyat tersebut merupakan keinginan rakyat yang mendalam
untuk melaksanakan kehidupan bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan dalam
situasi yang kongret. Kemudian direspon oleh MPRS dengan membuat keputusan
sebagai berikut: (1) Pengukuhan tindakan pengemban surat perintah sebelas maret
yang membubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, dengan ketetapan nomor
IV/MPRS/1966 dan nomor IX/MPRS/1966 (2) pelarangan faham dan ajaran Komunisme,
Marxisme, Leninsme di Indonesia, dengan ketetapan nomor XXV/MPRS/1966; (3)
pelurusan kembali tertib konstitusional berdasarkan Pancasila dan tertib hukum
dengan ketetapan nomor XX/MPRS/1966. [19]
Pada 20 Pebruari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan
kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto yang kemudian dikukuhkan di dalam Sidang
Istimewa MPRS dalam ketetapan nomor XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan
pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai
pejabat presiden Republik Indonesia. Adanya ketetapan ini maka situasi konflik
yang merupakan sumber instabilitas politik nasional telah berakhir secara
konstitusional.
Pada
awal Maret 1967, sidang istimewa MPRS selama lima hari, yang dipimpin Jenderal
Nasution, menerima laporan resmi dari komite bentukan MPRS mengenai peranan
Soekarno dalam peristiwa Gestapu. Dengan Suara bulat, Sukarno dilepaskan dari
semua kekuasaannya, dan Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden. Dengan
demikian berakhirlah masa delapan belas bulan dualism dalam pemerintahan. Kemudian, ketika keterlibatan Sukarno dalam
peristiwa Gestapu kelihatan melalui kesaksian (para terpidana) di depan Mahmilub
(Makhamah Militer Luar Biasa), ia diperbolehkan tinggal di Bogor di dalam
tahanan rumah. Selanjutnya sampai meninggalnya di tahun 1970 pada usia 69
tahun, hidupnya ditempat penyucian (purgatory)
tidak dapat diketahui secara jelas,
kecuali bahwa ia tinggal bersama seorang istri, Hartini, yang dulu berkumpul
bersamanya pada akhir minggu.[20]
Politik
Usaha
penataan kembali kehidupan politik pada awal 1968 dengan penyegaran anggota
DPR-Gotong Royong yang bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan mencerminkan
kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat.[21]
Komposisi anggota DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan
karya. Kemudian dilanjutkan pada tahap penyederhanaan kehidupan kepartaian,
keormasan, dan kekaryaan dengan cara pengelompokan partai-partai politik dan
golongan karya. Usaha ini dimulai tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian
konsultasi dengan pimpinan partai-partai politik. Hasil konsultasi itu maka
muncullah tiga kelompok di DPR yaitu: (1) Kelompok Demokrasi Pembangunan yang
terdiri dari partai politik PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba; (2)
Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai politik Partai NU,
Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Perti; (3) Kelompok organisasi profesi
seperti organisasi buruh, organisasi pemuda, organisasi petani dan nelayan,
organisasi seniman, dan lain-lain yang tergabung dalam kelompok Golongan Karya.
Ada
tiga masalah nasional selama tahun terakhir masa transisi (1 Januari – 26 Maret
1968)[22];
1. memperkuat sistem
konstitusional, menegakkan hokum, dan menumbuhkan kehidupan demokrasi yang
sehat sebagai syarat mewujudkan stabilisasi politik
2. melaksanakan
pembangunan lima tahun yang pertama sebagai usaha untuk member isi kepada
kemerdekaan
3. tetap waspada dan
sekaligus memberantas sisa-sisas kekuatan laten PKI.
bidang hokum sebagai jaminan objektif untuk
normalisasi keadaan mendapat perhatian. kekuasaan kehakiman serta badan-bdan
pengadilan mulai leluasa bergerak sebagai kekuasaan yang bebas. masih dalam
rangka usaha pemurnian dan penertiban hokum yang berlaku sesuai dengan
ketetapan MPRS, telah berhasil dibentuk undang-undang yang menghapuskan semua
produk. demokrasi Terpimpin yang tidak sesuai dengan Pancsila dan UUD 1945,
baik yang berbentuk penetapan presdien maupun perturan presdien. sebagian
dicabut dan sebagian lagi yang materi hukumnya tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 diperlukan sebagai UU atau bahan guna membuat UU baru
atau peraturan perundang-undangan yang lain. [23]
Memasuki
tahun 1971, suasana politik lebih banyak dicurahkan kepada kegiatan kampanye
menghadapi pemilihan umum yang kedua dalam sejarah RI yang berarti pemilihan
umum pertama pada zaman Orba. pemilihan umum kedua yng dialngsungkan pada
taggal 3 Juli 1971 menghasilkan perhitungan kursi di DPR RI dengan urutan
sebagai berikut, Golkar sebagai pemenang pertama memperoleh 227 kursi, NU 56
kursi, dan PNI 20 kursi.[24]
Ekonomi
Stabilisasi berarti
pengendalian inflasi, supaya harga-harga tidak melonjak terus secara cepat,
sedangkan rehabilitasi meliputi rehabilitasi secara fisik prasarana,
rehabilitasi ekspor, srta rehabilitasi alat-alat produksi yang banyak mengalami
kerusakan. dengan melaksanakan rehabilitasi bukan berarti pemerintah membuat
jalan-jalan baru, melainkan perbaikan jalan-jalan yang sudah ada dan bukan pula
berarti membuat pabrik baru sebelum pabrik yang ada dimanfaatkan sepenuhnya. [25]
Demkian pula
rehabilitasi dib dang ekspor. dalam tahun 1950 ekspor di luar minyak umi adalah
sekitar 500 juta dollar sampai 1 miliar dolar. ekspor tahun 1966 adalah kurang
dari 500 juta dolar tanpa minyak bumi. adanya kemersotan ekspor terus menerus
memerlukan rehabilitasi mengingat bertambahnya penduduk dan kebutuhan impor. [26]
Program di bidang
keuangan / moneter adalah menekan inflasi dan peningkatan nilai rupiah. di
bidang produksi ditetapkan prioritas peningkatan produksi sandang pangan
terutama Sembilan bahan kebutuhan pokok dan produksi ekspor serta perbaikan
prasarana produksi. di bidang distribusi ditetapkan program untuk memperlancar
distribusi dengan jalan menertibkan pengawasan dan penguasaan Sembilan bahan
kebutuhan pokok, peningkatan keampuan angkatan darat, laut, dan udara, serta
memperlancar komunkasi baik dalam nehgeri maupun luar negeri. [27]
Guna membulatkan usaha
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta mempersiap landasan pembangunan,
pemerintah mengesahkan Rencana Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RUU AAPBN 1968) menjadi UU No. 13 Tahun 1967. UU APBN ini disahkan
sebelum tahun anggaran dimulai. hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumny.
perbedaan lainnya pada tahun-tahun yang lalu digunakan sistem deicit spending
dalam penerimaan dan pengeluaran negara, sedangkan dalam APBN 1967digunakan
prinsip anggaran berimbang atau balanced budget. prinsip ini berarti bahwa
besarnya belanja negara berimbang dengan besarnya pendapatan negara. [28]
Sosial Budaya
Persoalan
lain yang muncul selama fase ini adalah soal pribumi dan nonpribumi. masalah
ini sebenrnya merupakan warisan masa lampau dan pemerintahan mencoba
memecahkannya secara bertahap dengan menjauhkan kemungkinan timbulnya emosi dan
kecenderungan rasial. tantangan lain yang dihadapi pemerintah memasuki tahap
pembangunan ini ialah masalah terbatasnya lapangan pekerjaan. meskipun
penanaman modal asing mulai direalisasi dengan berdirinya pabrik-pabrik yang
telah menyerap tenaga kerja, masalah kesempatan kerja masih merupakan masalah
nasional yang dominan. [29]
Ideologi
Bidang lain yang mendapat perhatian MPRS ialah
masalah pembinaan kesatuan bangsa. melalui resolusi MPRS No. III/ Res/MPRS/1966
ditetapkan dalam pasal-pasalnya mengenai penerapan sistem pendidikan pancasila
dengan cara-cra:
1. Mengintensifkan
pendidikan agama sebagai unsure mutlak untuk nasional dan character building di
semua sekolah dan lembga pendidikan dengan memberikan kesempatan yang seimbang
2. Melaeang usaha
penumbuhan dan pengembangan doktrin-dotrin yang bertentangan dengan Pancasila,
antara lain Marxisme – Leninisme (Komunisme)[30]
[1] M. C.
Rickles, Sejarah Indonesia Modern 1200 –
2004, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 568
[2] SNI 489
[3]
Ricklef 567
[4]
Ricklef 569
[5]
Marshal Green, Dari Soekarno ke Soeharto,
(Jakarta: Grafiti, 1990), 87-88
[6]
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka,
2010), 543
[7]
Richard Robinson, Soeharto dan Bangkitnya
Kapitalisme Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), 60
[8]
Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid
VI, 546-547
[9]
Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid
VI, 551
[10]
Marwati Djoened Poesponegoro, SNI JIlid
VI, 554
[11]
Ginanjar Kartasasmita dkk, 30 Tahun
Indonesia Merdeka Jilid III, (Jakarta:
PT Tira Pustaka, 1981)
[12]
Green, Dari Soekarno ke Soeharto, 99
[13]
Peter Kasenda, Hari-hari terakhir
Soekarno, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), 16
[14]
Kasenda, Soekarno, 17
[15]
Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid
VI, 552
[16]
Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid
VI, 553
[17]
Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid
VI, 554
[18]
Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid
VI, 545
[19]
Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid
VI, 556
[20]
Green, Dari Soekarno ke Soeharto, 99-100
[21]
Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid
VI, 556
[22]
Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid
VI, 558
[23]
562-563
[24] 564
[25] ibid
565
[26] 566
[27]
567-568
[28] 569
[29] 564
[30] 556
0 Response to "Makalah Dualisme Kepemimpinan"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)