Sejarah Administrasi Kepegawaian
Apabila
kita telusuri secara mendalam, tampak bahwa administrasi atau manajemen, apapun
bentuknya dan bagaimanapun strukturnya, sudah ada dalam setiap kebudayaan. Jadi
administrasi kepegawaian sudah ada sejak dulu, meskipun pada zaman dulu
sifatnya masih sangat konvensional dan cara kerjanya masih menurut tradisi.
Cara kerja anak mengikuti cara kerja orang tua dan nenek moyangnya.
Administrasi
sebagai seni telah dikenal sejak zaman prasejarah, sedangkan administrasi sebagai
ilmu mulai dikenal pada abad keduapuluh meskipun sudah dirintis oleh F.W.
Taylor, seorang manajer pada akhir abad ke-19. Manajemen kepegawaian yang
merupakan salah satu cabang manajemen ilmu mulai dikenal pada permulaan abad
ke-20.
Sebenarnya
administrasi kepegawaian telah dipraktekkann sejak adanya hubungan antara
pemimpin dengan yang dipimpin, meskipun bentuknya masih sangat sederhana.
Administrasi kepegawaian sederhana ini dikenal dalam masyarakat primitive.
Pimpinan masyarakat berfungsi sebagai atasan, sedangkan bawahan adalah anggota
masyarakat itu. Jadi dalam masyarakat serupa ini telah dipraktekan manajemen
kepegawaian dalam arti yang sempit.
Pada
umumnya, masyarakat yang masih primitive sangat mematuhi norma tradisional.
Baik pimpinan maupun anggota masyarakat selalu mengabdi kepada kepentingan
masyarakat yang sekaligus juga merupakan harga diri dari setiap anggota
masyarakat primitive itu sendiri. Oleh karena itu, tidak banyak persoalan yang
timbul dan menjadi beban mental bagi pimpinan.
Dalam
abad pertengahan, terjadi perubahan masyarakat. Setiap anggota masyarakat
diperlakukan sebagai objek untuk kepentingan pimpinan masyarakat, maka
muncullah hubungan budak dengan pemilik budak atau para tuan tanah. Untuk
mencapai suatu tujuan, tuan tanah dapat memperlakukan budak miliknya sekehendak
hatinya.
Budak
yang sudah mempunyai keahlian sebelum penghapusan perbudakan pada tahun 1927
membebaskan diri dengan memberikan ganti kerugian kepada tuan tanah. Budak yang
sudah bebas itu kemudian melahirkan suatu kelas baru dalam masyarkat yang
dikenal dengan karyawan atau pekerja merdeka. Akan tetapi, para budak yang
telah mempunyai status pekerja merdeka itu tetap bekerja pada tuan tanah dengan
upah yang sangat rendah. Keadaan yang tidak menguntungkan para pekerja lemah
itu berangsur-angsur mendorong mereka melepaskan diri dari tuan tanah dan
bekerja di rumah mereka sendiri sesuai dengan keahlian masing-masin dan menjual
hasil karya mereka ke masyarakat sekitar. Dalam perkembangan yang selanjutnya,
mereka menggaji pekerja yang lain. dengan demikian mereka menjadi pengusaha
embrio. Dalam usaha mengembangakn diri, timbullah dorongan pada para pengusaha
embrio untuk saling bekerja sama. Kerja sama inilah yang disebut dengan system Gilda. Sistem Gilda ini merupakan
organisasi para pengusaha yang menghasilkan barang sejenis, juga merupakan
organisasi para pedagang local yang berhimpun dengan maksud menentukan kualitas
yang dikehendaki untuk menghadapi saingan dari pihak yang lain. Bentuk kerja
sama serupa itu pada hakikatnya sama dengan koperasi.
System
Gilda yang merupakan himpunan para pekerja merdeka yang telah berkembang
sebagai pengusaha embrio itu mempunyai kedudukan sebagai penentu segala macam
peraturan yang berlaku bagi para pekerja merdeka yang membantunya. Para pekerja
merdeka yang pada hakikatnya berstatus sebagai buruh yang bekerja pada orang
lain, dala hal ini Gilda, karena keadaan ekonominya sangat lemah tidak dapat
berbuat lain kecuali menerima begitu saja segala ketentuan dan peraturan yang
mengikat diri mereka sekalipun peraturan itu terasa berat. Apabila Gilda atau
pimpinan Gilda memerlukan pembantu atau pekerja yang lebih banyak lagi, dialah
yang mengurus langsung kepada penguasa setempat.
Dale
Yoder dalam bukunya Personnel Principles
and Policies mengemukakan bahwa masalah manajemen yang dihadapi Gilda pada
waktu itu ditandai dengan tiga karakteristik khusus yaitu:
1. Jumlah
produksi dan penjualan kecil
2. Pengusaha
dan pekerja saling bertemu dan berkomunikasi secara tatap muka
3. Para
pekerja merupakan benih atau embrio yang kelak menjadi produsen kecil
Pada abad
pertengahan, system Gilda yang memproduksi barang dagangan tangan mengalami
perubahan massal ketika terjadi revolusi industry. Proses industry tidak lagi
dikerjakan oleh tanga secara keseluruhan, tetapi sudah dibantu oleh mesin.
Sebagai akibat system produksi secara massal, didukung perbaikan dan perluasan
sarana pengangkutan yang dimungkinkan oleh perkembangan teknologi pasar pun
berkembang pesat dan perusahaan besarpun bermunculan.
Sementara itu
para pedagang local terdorong untuk mengadakan hubungan dagang dengan daerah
lain agar dapat memenuhi kebutuhan yang lain yang diperlukan oleh perusahaan
besar dan tidak dapat diperoleh dalam jumlah yang memadai di dalam suatu
wilayah. Pesatnya perkembangan perusahaan yang melahirkan para pedagang
antardaerah dan multinasional, akhirnya menimbulkan jajaran pemilik modal
dengan jangkauan operasi internasional. mereka dikenal sebagai kaum kapitalis.
Sementara itu
para pekerja merdeka yang bekerja sendiri dengan kemampuan dan keahlian yang
dimilihki akhirnya menjadi bangkrut Karena tidak mampu bersaing dengan harga
barang yang dihasilkan secara massal. Dalam keadaan serupa itu, sebagian besar
pekerja merdeka, seperti halnya pekerja merdeka yang mendahuluinya, juga harus
bekerja pada perusahaan besar dengan status yang dikenal sampai sekarang
sekarang yaitu pekerja.
Perusahaan
bersifat kapitalis intensif dan memproduksi barang secara massal, menempatkan
posisi pengusaha menjadi lebih kuat dan besar sehingga dapat menentukan segala
yang bertalian dengan faktor produksi termasuk faktor tenaga kerja. Sekalipun
pekerja bebasa menawarkan tenaga, karena secara ekonomis lemah dan sangat
memerlukan kesempatan kerja, praktis tingkat upah pekerja sangat tergantung
pada kemurahan hati pengusaha. Bahkan dapat dikatakan bahwa tenaga pekerja
hanyalah barang dagangan yang nialainya sangat tergantung pada pengusaha.
Apalagi pengusaha tidak memperhatikan masalah kesehatan, keselamatan dan
lingkungan para pekerja.
Keadaan ini
diperparah dengan timbulnya paham Laissez
Faire yang diperkenalkan Adam Smith dan para pendukungnya. Adam Smith
menganjurkan agar setiap orang berbuat sekehendak hatinya, karena dengan
demikian akan dapat menciptakan kemakmuran yang sebesar-besarnya. Sementara
itu, teori Malthus yang menakutkan menyatakan bahwa dunia akan kelebihan
penduduk dan kekurangan pangan. Teori ini justru menambah penderitaan pekerja
yang sangat tergantung pada pengusaha. Akibat lebih lanjut dari paham tersebut
ialah bahwa peraturan yang membatasi kewenangan pengusaha terhadap para pekerja
merupakan suatu hal yang tidak menguntungkan bagi masyarakat. Dengan kata lain,
tidak ada peraturan atau pengawasan dari pihak pemerintah yang berfungsi
memberikan perlindungan kepada pekerja. Kegiatan organisasi pekerja pun
dibatasi, bahkan dilarang sehingga sepenuhnya nasib pekerja pada waktu itu
tergantung pada kemurahan hati pihak pengusaha.
Keadaan serupa
itu baru berakhir di awal abad ke-20, yaitu setelah timbul perhatian yang lebih
besar terhadap masalah ketenagakerjaan. Pekerja tidak lagi dinilai sebagai
barang dagangan, melainkan sebagai manusia. Pekerja telah mendapatkan pengakuan
dari pemerintah, sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan keinginan yang
manusiawi. Pekerja tidak lagi dianggap sebagai barang danganagn yang dapat
diperjual belikan seenak hati, melainkan sebagai manusia yang harus
diperhatikan keingan-keinginannya agar dapat memperoleh prestasi dan
produktivitas kerja sebagaimana yang diharapkan.
Lain kali kalau buat blog cantumkan sumber rujukannya
BalasHapus