Makalah Kedu

Latar Belakang
Pemerintah kolonial menjadikan daerah karesidenan Kedu sebagai daerah perahan utamanya, dipilih didasarkan pada kekhasan kondisinya sebagai pertanian sawah yang subur. Selain  kesuburan tanah, ada juga faktor kepadatan penduduk dan perkembangan pertaniannya, Kedu juga merupakan wilayah inti ekonomis daerah ini telah agak berkembang dengan adanya perdagangan dan peredaran uang yang didorong oleh sistem pajak.
PEMBAHASAN
2.1 KERJA WAJIB
Secara etimologis kerja wajib atau krigaji berarti segala pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama (kerig) untuk kepentingan raja (aji). Jadi pada hakikatnya kerja wajib adalah bagian dari pajak natura yang diperhitungkan dalam jumlah pajak keseluruhan. Oleh sebab itu, kerja wajib dapat diganti oleh sejumlah uang. Misalnya, krigaji di Kedu, seperti juga wilayah nagaragung pada umumnya, selalu dibayar dengan uang yaitu 50% dari pajak pekarangan dan rumah (pacumpleng), sekitar 32-240 sen per jung. Separuh dari wang krigaji digunakan untuk menggaji para gunung, yaitu pejabat daerah yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan prasarana, sedang separuh sisanya untuk membiayai perbaikan jalan dan jembatan.
Apabila disuatu tempat terjadi kerusakan jembatan, maka petani setempat harus mengerjakannya, dengan imbalan pengurangan pembayaran wang krigaji. [1]
Kerja wajib sebagai sistem pengganti pajak dan bentuk eksploitasi ekonomis yang dilakukan dalam masyarakat Tradisional Mataram, yang dimanfaatkan dan diperluas oleh pemerintah kolonial Belanda, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang sangat meningkat demi pelaksanaan tanam paksa dan pembangunan prasarana pendukungnya. Peningkatan tenaga kerja yang melebihi ruang lingkup desa mengakibatkan berbagai perubahan dalam masyarakat pedesaan. Perubahan ini merupakan bagian dari keseluruahan transformasi struktural yang terjadi sebagai akibat penetrasi kolonial dan kapitalisme barat. Hal ini membawa dampak yang sangat luas pada kehidupan rakyat petani di pedesaan, baik menyangkut aspek ekonomis, yaitu kemakmuran, pemanfaatan sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, maupun kelembagaan seperti penguasaan tanah, kepemimpinan, pelapisan masyarakatdan hubungan-hubungan antar kelas sosial.

Kekuasaan kolonial dan kapitalisme mulai memasuki dan menyeruak ke pedalaman desa-desa khususnya di Jawa, dan bagaimana kekuasaan kolonial menanamkan kekuasaan politiknya, dan mulai mengintensifkan eksploitasi ekonominya kepada masyarakat tersebut. Dalam buku ini secara khusus di paparkan mengenai laporan-laporan tanam paksa yang sangat kaya akan data ekonomi dan sosial yang sangat rinci mengenai pedesaan di Jawa, tempat proyek tanam paksa itu dilaksanakan.
Dari laporan-laporan data sejarah dalam arsib-arsib yang baru inilah penulis mengungkapkan wujud eksploitasi kolonial yang lebih realistis serta dampaknya kepada masyarakat desa, khususnya para petani yang menjadi pelaksana sistem yang disebut tanam paksa. Penulis menggambarkan wajah eksploitasi kolonial tidak lagi hitam putih yang dapat melahirkan stereotip baik dan buruk yang telah lebih dahulu dilekatkan pada kekuasaan kolonial atau bukan kolonial.
Dengan menarik garis antara penjajah dipihak sana dengan stereotip bahwa segala perbuatannya serba hitam dan buruk, dan bangsa sendiri di pihak sini yang serba bersih penuh derita akibat ulah penjajah. Tetapi penulis juga mengunkap tanam paksa secara berimbang dan seluk beluknya baik segi positif maupun dari segi negatif dari sistem tanam paksa. Karena sesungguhnya realitas kehidupan sangat kompleks untuk disederhanakan hanya dalam warna hitam dan putih dengan garis pemisah yang tajam. Realitas Sejarah lebih cenderung banyak yang abu-abu yang tidak simpel. Sehingga disinilah Ketelitian sejarawan dalam menganalisis peristiwa sejarah itu sendiri.
Selain itu penulis juga mengungkapkan bahwa tanam paksa memang mendatangkan keuntungan yang luar biasa besar kepada pihak kolonial dan negeri Belanda. Namun belanda tetap memanfaatkan struktur feodal Jawa yaitu penguasaan tanah dan tenaga kerja oleh penguasa supra desa. Dan menambahkan unsur moderen barat seperti modal, manajemen produksi dan pemasaran tetap di tangan birokrasi kolonial.
Disamping eksploitasi tanah dan tenaga kerja petani, yang disingkap dalam buku ini adalah adanya upah tanam (Plantloon) setiap tahun untuk petani yang cukup besar, melebihi jumlah pembayaran pajak tanah (Lanrente). Tahun 1840 plantloon itu berjumlah sepuluh juta gulden, sedang pembayaran pajak tanah hanya sekitar tujuh juta gulden, bahkan tahun 1860 keuntungan para petani setelah dipotong pajak tanah adalah empat juta gulden. Meskipun uang itu tak seberapa jika dibagikan per petani, namun masuknya uang setiap tahun ke pedesaan telah mendorong monetisasi yang sedikit meningkatkan kemakmuran petani. Tetapi hal ini malah menimbulkan kesenjangan yang semakin besar dalam strata masyarakat desa. Hal ini disebabkan disatu pihak para kepala desa yang mendapat kekuasaan yang semakin besar dalam pembagian tanah dan tenaga kerja untuk tanam paksa semakin kaya, sedang di pihak lain petani warga desa yang bertanah sempit menanggung segala beban kerja wajib.

Eksploitasi kolonial dilakukan melalui pajak hasil bumi, uang, dan tenaga kerja. Sekalipun ekstrasi pajak kolonial lebih besar daripada masa prakolonial, namun ternyata monetisasi yang makin luas juga berhasil memberi kesempatan perkembangan ekonomis dan menambah pendapatan kepada lapisan masyarakat. Perkembangan ini sedikit banyak mengurangi ktergantungan petani terhadap patron yang lama. Politik tanam paksa dengan peningkatan kerja wajib juga mengendalikan keterbukaan desa sampai tingkat tertentu, karena desa sebagai lembaga kekuasaan makin kuat mengikat sebagian besar warganya.

Selain itu gambaran yang sangat suram juga terlihat akibat tanam paksa yaitu pada tanam paksa tarum yang diproses menjadi Indigo. Dari hasil penelitian mengungkapkan tanaman Tarum sangat merusak kesuburan sawah dan sangat banyaknya waktu dan tenaga ditutuntut pada kerja wajib tanam serta pemrosesan Indigo, sedangkan upah yang mereka terima sangat kecil. Penulis menggaris bawahi bahwa pelaksanaan tanam paksa atau eksploitasi kolonial dilakukan melalui penguasaan tanah dan tenaga kerja rakyat melalui berbagai kerja wajib. Dan dari data-data yang ada eksploitasi kolonial lebih banyak bertumpu pada eksploitasi tenaga kerja. Pada tahun 1840 tanah pertanian di Jawa yang dipakai untuk tanam paksa adalah 6% tidak termasuk tanam paksa kopi, padahal penduduk petani pelaksana kerja wajib tanam mencapai 72,5% dari seluruh penduduk petani di Jawa. Pada tahun 1860 tanah yang digunakan tinggal 2,5% tidak termasuk tanah untuk kopi. Dan penduduk petani pelaksana kerja wajib tanam menurun menjadi 54,5%.  Terlebih lagi bahwa beban kerja wajib tanam tidak hanya bekerja wajib di perkebunan tanam paksa pemerintah kolonial, melainkan juga mengerjakn sector pekerjaan umum, kerja pelayanan transportasi, kerja jaga, tenaga militer dan sebagainya. Bahkan ada kerja paksa membangun benteng militer yang sangat berat, meski diberi upah.
Dalam perkembangannya, penghapusan kerja wajib yang bisa dianggab sebagai proses defeodalisasi sebagai akibat desakan kapitalisme barat dan meningkatkan penduduk tuna kisma(tanpa tanah), sesungguhnya berjalan lambat. Karena proses konversi kerja wajib menjadi pajak uang ternyata mencapai jumlah uang cukup besar, sehingga sebagian besar petani tidak mampu membayarnya. Buku ini menjadi sangat penting, sekalipun fokusnya merupakan studi sejarah lokal dengan memilih karesidenan kedu (Jawa Tengah) sebagai kajiannya.

Pilihan daerah kedu oleh penulis juga didasarkan pada harapan untuk mengungkapkan secara lebih kongkret bentuk, sifat dan besarnya eksploitasi, dengan membandingkan antara masa eksploitasi kolonial dengan masa eksploitasi prakolonial. Pilihan pemerintah kolonial menjadikan daerah ini sebagai daerah eksploitasi utamanya juga didasarkan pada kondisi peratanian sawah yang subur dan merupakan pemukiman penduduk yang telah sangat tua. Sekitar abad IX pemukiman ini telah menjadi masyarakat pertanian dengan peradaban yang tinggi, hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan bangunan candi dan bangunan yang lainnya serta sejumlah prasasti yang ditemukan diwilayah Kedu.
Selain kesuburan tanah, kepadatan penduduk, dan perkembangan pertaniannya, Kedu juga merupakan wilayah inti (nagaragung) Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Kehidupan ekonomis daerah ini telah agak berkembang dengan adanya perdagangan dan peredaran uang yang didorong oleh sistem pajak yang untuk sebagian berbentuk pajak uang. Setelah dikuasai pemerintah Hindia-Belanda, terutama pada masa tanam paksa, sebagian besar daerah kedu merupakan daerah kopi. Budidaya kopi ini mempunyai ekosistem tertentu yang berbeda dengan tanaman lain seperti tebu atau Tarum (bahan Indigo). Siklus kerja dan penyerapan tenaga kerja untuk budidaya kopi akan berlainan dengan budidaya tanaman lain, demikian pula dampaknya pada masyarakat.
Petani Kedu telah menanam kopi sebelum masa tanam paksa, yaitu sekitar akhir abad XVIII petani telah menanam kopi disekitar pekarangan rumahnya. Atau dikebun-kebun sekitar desa. Mengungat prospek kopi yang sangat baik, pemerintah menginginkan produksi kopi ditingkatkan dengan membuka lahan baru yang dugunkan khusus untuk tanaman kopi. Pengolahan dan penanaman dilakukan oleh petani dari desa terdekat. Untuk selanjutnya pemeliharaan diserahkan kepada petani penguasa tegal dan petani penguasa tanah desa, yang masing-masing bertanggung jawab atas sejumlah pohon kopi.
Buku ini dapat dijadikan sebagai sumbangan berharga, ditengah sepinya karya sejarawan Indonesia yang membahas secara khusus periode-periode pada masa tanam paksa. Selain itu buku ini menggunakan pendektan yang lebih seimbang dan menempatkan penduduk bangsa Indonesia sebagai pusat perhatian utama.




[1] Djuliati Suroyo. Eksploitasi Kolonial Abad XIX Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890. Hal. 71-71

0 Response to "Makalah Kedu"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)