Makalah Sosial Ekonomi Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit


BAB I
PENDAHULUAN

Á       Latar Belakang Masalah
Sejak dahulu, ketangguhan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara dikenal mampu menjadi suatu kemaharajaan yang dipandang tinggi oleh negara-negara lain yang melakukan kontak kedalam nusantara itu sendiri, kemakmuran ini tercapai tidak dapat terlepas dari kekuataan sosial dan perekonomian. Dari Sumatera terbesit kemaharajaan Sriwijaya, dan dari Jawa terkuak kemaharajaan Majapahit. Sriwijaya, sesuai dengan filosofi namanya “kejayaan yang gemilang” mampu membentuk persepsi orang-orang sekarang ini, jika mendengar Sriwijaya tentu yang tergambar adalah mengenai kejayaan maritim yang mampu diperoleh Nusantara abad ke-7 hingga abad ke-13 ini. 

Sriwijaya memang mampu menjadi suatu kerajaan maritim besar karena memahami bahwa laut bukanlah sebuah pemisah namun pemersatu, jalur perdagangan laut menjadi kekuatan kerajaan Sriwijaya. Jika dilihat melalui pendekatan sistemik seperti yang diungkapkan A.B.Lapian dalam pidato pengukuhan Sejarah Nusantara Sejarah Bahari , “dengan pendekatan sistemik melihat wilayah perairan sebagai kesatuan berbagai macam satuan bahari maka proses integrasi dapat dipahami berdasarkan sejarah masing-masing sistem itu yang kian berkembang menjadi kesatuan yang lebih besar”[1], maka Sriwijaya adalah yang pertama membentuk suatu sistem kerajaan yang besar dengan menguasai sistem jalur perdagangan laut yang sebelumnya telah terbentuk. kerajaan tersebut berkembang dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di selat Malaka, selat Sunda, laut Cina selatan, laut Jawa dan selat Karimata.
Sedangkan Majapahit , juga mendulang kesuksesan manis yang diperoleh perluasan dan kekuasaannya dapat disandingkan dengan Sriwijaya. Majapahit bertumpu pada kegiatan agraris walaupun tak terlepas pula dengan kegiatan maritimnya, tentunya hal ini ditunjang dengan hubungan luar nusantara yang dijalin
oleh majapahit yang menghasilkan keuntungan bagi majapahit . Hasil pertanian dari Majapahit dijual kepada Cina dan negara lainnya seperti Campa, Khmer, Thailand, dll. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhannya Majapahit mengimpor komoditi seperti keramik dari Cina, kain dari India dan dupa dari Arab.
Sesuai dengan perkuliahan Sejarah Sosial Ekonomi ini bahwa ekonomi akan mempengaruhi kegiatan sosial dan begitu pula dengan interaksi sosial menyebabkan aktifitas ekonomi terjalin. Kerajaan sriwijaya begitu mengandalkan mata pencaharian berupa perdagangan karena kuatnya pelabuhan-pelabuhan sehingga menjadi emporium di Asia Tenggara, dari sini tentunya akan mempengaruhi aktifitas sosial antara pedalaman dan pesisir.
Sedangkan majapahit yang komoditasnya adalah beras sehingga akan membuat daerah pelabuhan yang menjadi vasal-vasalnya tergantung akan majapahit. Dari kedua masalah ini, tentunya Sosial ekonomi di kedua kerajaan mempunyai karakteristiknya sendiri dan penyebab kedua hubungan tersebut. Makalah ini dimaksudkan untuk mengkaji kausalitas antara sosial ekonomi dan apa saja yang mendasarinya.


Á       Rumusan Penulisan
-          Bagaimanakah keadaan sosial kerajaan Sriwijaya
-          Bagaimanakah keadaan sosial kerajaan Majapahit
-          Bagaimana keadaan ekonomi kerajaan Sriwijaya
-          Bagaimana keadaan ekonomi kerajaan Majapahit
-          Apakah hubungan interaksi sosial kemasyarakatan dalam kegiatan ekonomi kerajaan Sriwijaya dan Majapahit





Á       Tujuan Penulisan
-          Mengetahui bagaimana keadaan sosial kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
-          Mengetahui bagaimana keadaan ekonomi kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
-          Mengetahui Apa hubungan interaksi sosial kemasyarakatan dalam kegiatan ekonomi kerajaan Sriwijaya dan Majapahit





























BAB II
PEMBAHASAN



Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
a. Agama
Mari kita membicarakan keadaan sosial , yang akan kita bahas secara berurutan dimulai dari kehidupan keagamaannya di Sriwijaya. Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan bahari yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari pelayaran dan perdagangan, dengan adanya hal ini pikiran kita otomatis tertuju pada komoditas barang yang dihasilkan, namun ketenaran Sriwijaya bukan hanya mengenai komoditas SDA saja namun juga kehidupan sosial SDM nya, Sriwijaya menganut agama Buddha Mahayana, kendati demikian aktivitas keagamaan pada masyarakat di wilayah Śrīwijaya bukan hanya agama Buddha Mahāyāna saja, agama lain juga berkesempatan untuk berkem­bang, ini tentu berhubungan dengan pentingnya menjaga hubungan luar negeri perdagangan dan pelayaran Sriwijaya sehingga tetap terbuka bagi agama-agama lain.
Sebagai buktinya  arkeologis berupa arca batu yang mewakili agama Hindu dan Tantris, juga ditemukan di wilayah Śrīwijaya. Di Palembang, selain ditemukan arca Bud­dha juga ditemukan arca Hindu yang berupa arca Ganeśa (abad ke-9 Masehi)[2] dan arca Śiwa. Banyak pula biksu-biksu yang datang dari luar daerah untuk belajar agama buddha di Sriwijaya sehingga ketenaran nya semakin cemerlang, biksu dari luar daerah itu biasanya menetap untuk waktu yang lama.
Jika tadi Sriwijaya begitu terkenal dengan Buddha mahayana nya dan berbagai aliran yang diperbolehkan berkembang maka , di Majapahit terdapat tiga aliran yang hidup berdampingan di kerajaan majapahit, yaitu agama Siwa, Wisnu dan Buddha Mahayana.[3] Segala Upacara keagamaan berjalan secara berdampingan. Di kalangan atas, di kalangan para ahli pikir terdapat proses sinkretisme yang membuat Siwa dan Buddha sama nilainya. Sewaktu hidup raja dipandang sebagai titisan Wisnu, tetapi setelah wafat raja dimakamkan sebagai Siwa. Majapahit juga tidak hanya mematok satu aliran keagamaan saja karena Pedagang asing yang datang ke Majapahit berasal dari Campa, Khmer, Tahiland, Burma, Srilangka, dan India. Mereka tinggal di beberapa tempat di Jawa dan beberapa di antara mereka ditari pajak oleh pemerintah kerajaan, jika terdapat larangan bagi aliran lain selain buddha maka tentu akan mengurangi pemasukan Majapahit itu sendiri. Di samping itu, agama juga difungsikan sebagai sarana legitimasi oleh para penguasa. Raja Jayanagara yang mengawali masa kejayaan Majapahit, melegitimasi dirinya sebagai penjelmaan dewa Wisnu.

Di dalam beberapa prasasti yang sudah ditemukan, Jayanagara menggunakan symbol (lancana) ikan/mina (matsya). Malaya atau ikan ini merupakan salah satu awatara dewa Wisnu. Pelegitimasian yang dilakukan oleh Jayanagara ini berhubungan dengan situasi politik pada waktu itu, terutama yang terkait dengan usaha dan keberhasilan Jayanagara di dalam menghalau dan mengembalikan takhta kerajaan, yang sebelumnya dipenuhi dengan serangkaian pemberontakan. Hal yang sama juga dilakukan oleh raja Tribhuwanatunggadewi, yang juga menggunakan nama Wisnu di dalam abhisekanama-nya. Raja Hayamwuruk, meskipun tidak menggunakan unsur dewa dalam nama gelarnya, tetapi juga memanfaatkan agama di dalam melegitimasi dirinya. Usaha Hayamwuruk dalam melegitimasi diri dilakukan dengan cara memberikan penghormatan terhadap para leluhur, dan mengakui serta mengakomodasi seluruh komponen agama yang ada dan berkembang pada masa pemerintahannya. Upacara-upacara ritual, seperti upacara Sraddha, dan pembangunan serta membangun kembali candi-candi tempat pendarmaan pendahulunya, merupakan bentuk nyata dari raja Hayamwuruk yang memanfaatkan agama sebagai sarana legitimasi.[4]

b. Struktur Birokrasi
Srīwijaya adalah suatu kerajaan yang berbentuk Kadātuan (= kelompok dātu), dan di dalam kadātuan itu ter­dapat suatu sistem biro­krasi. Dalam struktur birokrasi kadātuan ini telah tampak nafas kebaharian dari Śrīwijaya, misalnya jabatan kapten bahari (pūhavam).[5]  
Datu-datu yang diberikan regionalnya masing-masing ini harus mengabdi kepada raja yang teratas , para penguasa Śrīwijaya harus menguasai sumberdaya alam yang meru­pa­kan komoditi perdagangan, jalur-jalur perdagangan darat dan air (sungai dan laut), dan pelabuhan-pelabuhan tempat barang komoditi ditimbun sebelum dipasarkan. Pengua­saan tempat-tempat tersebut dengan sendirinya memerlukan pengawasan lang­sung dari penguasa. Oleh sebab itu tidak heran kalau dātu Śrīwijaya harus sangat setia, meskipun hanya sedikit, termasuk dari anaknya sendiri. Agar memudah­kan pengawasan, para pejabat yang mempunyai daerah kekuasaan harus tinggal di pusat pemerintahan. sriwijaya juga banyak mengeluarkan prasati yang berisi mengenai kutukan bagi pengkhianat walaupun itu saudara raja, hal ini dilakukan untuk menjaga keutuhan dari strktur birokrasi yang berfungsi menjaga kestabilan ekonomi dalam kerajaan itu sendiri.
Majapahit, Struktur pemerintahan Kerajaan Majapahit mencerminkan kekuasaan yang bersifat teritorial dan disentralisasikan dengan birokrasi yang terperinci sehingga basis kekuasaan sebagian besar berada di tangan birokrasi sekuler, politik dan militer. Struktur tersebut ada karena terpengaruh kepercayaan yang bersifat kosmologi yang telah menjadi dasar kerajaan-kerajaan Hindu Buddha yang ada Asia Tenggara. Di dalam mekanismenya pemerintah menjamin kehidupan ekonomi para birokrat, sehingga dapat mengeksploitasi pertanian rakyat dan perdagangan.[6]
                        Dalam struktur birokrasi pemerintahan Majapahit, Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya diberi kedudukan sebagai raja muda (pemerintahan Majapahit, Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya diberi kedudukan sebagai raja muda (yuwaraja atau kumararaja). Putra-putra raja dari pameswari biasanya memiliki sebuah daerah lungguh (apanage).[7]
Pada zaman Majapahit kita mengenal pula kelompok yang disebut Bhattara Saptaprabhu, yang merupakan sebuah pohom narenda, yaitu suatu lembaga yang merupakan ‘Dewan Pertimbangan Kerajaan’. Dewan ini bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota-anggotanya adalah para sanak saudara raja. Lembaga Bhattara Saptaprabhu ini pertama kali diketahui dari prasasti Singasari yang berangka tahun 1273 Saka (27 April 1351 M), yang dikeluarkan oleh Rakyran Mapatih Pu Mada. Kemudian diketahui pula disebutkan di dalam kidung Sundayana dengan sebutan Saptaprabhu, dan di dalam kakawin Nagarakrtagama dengan sebutan pohom narenda.[8]
Di bawah Raja Majapahit terdapat sejumlah raja-raja daerah (paduka bhattara), yang masing-masing memerintah sebuah negara daerah. Mereka ini biasanya merupakan saudara-saudara atau para kerabat dekat raja yang memerintah. Dalam pelaksanaan tugas-tugas kerajaan mereka ini dibebani tugas dan tanggung jawab untuk mengumpulkan penghasilan kerajaan dan penyerahan upeti kepada perbendaharaan kerajaan, dan juga meliputi fungsi pemerintahan daerahnya dibantu oleh sejumlah pejabat daerah, dengan struktur yang hampir sama dengan yang ada di pusat kerajaan, tetapi dalam skala yang lebih kecil. Oleh karena itu, mereka berhak pula mengangkat pejabat-pejabat birokrasi bawahannya.[9]
Perintah dari raja biasanya diturunkan kepada para pejabat yang disebut Rakryan Mahamantri Katrini dan kemudian diteruskan kepada pejabat-pejabat yang ada di bawahnya. Yaitu para Rakryan Mantri ri Pakiran-kiran, para Dharmmadhyaksa dan para Dharmma-uppati.[10]
Rakryan Mahamantri Katrini terdiri dari tiga orang dan diantara ketiga orang tersebut ada Rakryan Mahamantri I Hino yang agaknya merupakan yang tertinggi dan dekat dengan raja, bahkan ia dapat pula mengeluarkan piagam-piagam berupa prasasti.[11]
Rakryan Mantri ri Pakiran-kiran merupakan sebuah “Dewan Mentri” yang berfungsi sebagai “Badan Pelaksana Pemerintah”. Terdiri dari lima orang pejabat yang disebut Sang Panca Ring Wilwatikta. Diantara kelimanya, Rakryan Mapatih menduduki posisi penting sebagai perdana mentri dan mentri utama.[12]
Dharmmadhyaksa adalah pejabat tinggi yang berfungsi menjalankan yuridiksi keagamaan. Dan pada zaman Hayam Wuruk terdiri dari tujuh buah pejabat sehingga namanya adalah Dharmma-uppati.[13]


c. Hubungan nusantara dan Internasional
Sriwijaya terletak di Palembang, sumatera selatan, Hubungan dagang dengan India dan Cina telah dilakukan oleh Sriwijaya untuk menopang ekonomi kerajaan. Namun selain melakukan hubungan internasional dengan luar negeri, tentunya telah ada pula hubungan antar nusa satu bangsa. Yang dimaksudkan di sini adalah hubungan dengan kerajaan-kerajaan sekitar di wilayah Nusantara atau Indonesia sendiri, terutama dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa paling tidak telah berlangsung sampai masa akhir Singasari.

Hubungan antar nusa itu bisa berupa hubungan damai maupun kontak senjata dalam rangka ekspansi untuk meluaskan kekuasaan masing-masing. Hubungan luar negeri Sriwijaya sudah ada diberita Cina abad V , karena Sriwijaya (Kantoli) mengirimkan utusan ke negeri Cina. Berita Cina yang menyebutkan kedatangan utusan dari Sumatera tang berikutnya berasal dari tahun 664 atau awal 645 M. Hubungan yang erat antara Sriwijaya dan Cina sudah terlihat. Hubungan luar negeri Sriwijaya tidak hanya dengan Cina tetapi juga dengan India dengan bukti prasasti raja Dewapaladewa dari Benggala[14].

Majapahit sama , menekankan perekonomian pada kehidupan pertanian, hasil nya berupa padi, lada, garam, kain, dan burung kaka tua, semuanya merupakan barang ekspor utama[15]. Majapahit saat itu membuat sebuah jaringan perdagangan baik tingkat lokal maupun regional. Mereka juga pergi ke pulau-pulau lain seperti: Banda, Ternate, Ambon, Banjarmasin, Malaka, hingga kepulauan Filipina. Beberapa daerah tersebut tercatat dalam Kitab Negarakertagama dan termasuk kategori negeri yang menyerahkan upeti dalam sistem pertukaran Tributari (Barter). Dalam kehidupan sosialnya Majapahit menjalin hubungan dengan  Cina, keduanya berhubungan baik. Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan dapat di ketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju[16]. Penduduk di pantai utara di kota-kota pelabuhan, seperti Gersik, Tuban, Surabaya dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang . kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara, dan Cina.
                       
                        a. komoditas
Selama beberapa abad Sriwijaya berfungsi sebagai pelabuhan samudra pusat perdagangan dan pusat kekuasaan yang menguasai pelayaran dan perdagangan dibagian Barat Indonesia. Oleh Meilink Roclofsz digambarkan bahwa barang-barang yang diperdangangkan di sana adalah tekstil, kapur barus, mutiara, kayu, rempah-rempah, gading kain katun, perak, emas, sutera porselin, gula, dan sebagainya[17]. Kapur barus sangat terkenal masa itu, Kapur Barus (camphor) adalah suatu produk alamiah dalam ben­tuk kristal yang diha­silkan oleh sejenis pohon yang tumbuh di hutan tropis Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Tanah Melayu, kapan perdagangan mengenai kapur barus memang belum terdapat dalam sumber tertulis namun catatan tertua menge­nai barang komo­diti ini ber­asal dari masa dinasti Tiongkok selatan (abad ke-6 Masehi). Catatan itu menye­butkan bahwa salah satu produk dari Lang-ya-shiu di wilayah semenan­jung adalah parfun Po-lu. Para pakar meng­identifikasikan Po-lu sebagai terjemahan dari Barus, sebuah topo­nim terkenal yang loka­sinya terletak di pantai barat Sumatra Utara.[18]

 Sebagai pusat perdagangan Sriwijaya sering dikunjungi oleh para pedagang dari Persia, Arab, dan Cina yang memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri yang dilaluinya. Sedangkan para pedagang Jawa membelinya dan menjual rempah-rempah. Kebijakan ekonomi yang dilakukan raja – raja, dengan kontrak politiknya yang bersinambung antara raja – raja, dan kaisar Cina serta beberapa penguasa yang kuat di India. Barang – barang dagangan untuk dipertukarakan dengan produk Cina, dan diantara barang dagangan Sumatra cula badak, disukai Cina karena dianggap punya kualitas pengobatan dan yang paling berharga. Sementra produk dari Sriwijaya terdapat: timah, emas, gading, rempah – rempah, kayu berharga dan kamper. [19]
Sedangkan Majapahit, pada dasarnya ada enam jenis aktivitas perekonomian yang mendukung Majapahit  yaitu pertanian, perkebunan, pemanfaatan hutan, peternakan, perburuan hewan, dan kerajinan. Bahan makanan yang dihasilkan pertanian di Majapahit umumnya tidak jauh berbeda pada masa sekarang ini bahan makanan tersebut adalah beras, umbi-umbian, cabe, labu, kacang-kacangan, rempah-rempah, buah-buahan, dan jenis palem.
Namun yang menjadi produksi utama pada masyarakat adalah produksi padi, hal tersebut sesuai dengan kondisi makanan pokok masyarakat jawa kuno adalah beras. Beras menjadi bahan kebutuhan pokok masyarakat jawa bahkan hingga kini beras masih menjadi konsumsi utama masyarakat Indonesia, pada saat kerajaan majapahit beras merupakan penentu perekonomian Majapahit. Beras tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan setempat bahkan menjadi komoditas eksport, di masa Majapahit beras digunakan juga untuk di barter dengan rempah-rempah yang berada di Maluku, kemudian rempah-rempah tersebut menjadi bahan yang dapat dikonsumsi dan diperjual belikan dengan pedagang yang berasal dari luar Nusantara. Pertanian merupakan sumber pendapatan karena adanya pajak yang dikenakan pada petani. Pajak pertanian tersebut menjadi pemasukan yang sangat besar bagi pihak kerajaan.

            b. ekspansi
            Rantai-rantai perdagangan dikuasai oleh Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan besar. Ekspansi Sriwijaya ke Jawa dan semenanjung Malaya telah menjadikan kerajaan tersebut sebagai pusat kontrol dari dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Dapunta Hiyaŋ meluas­kan kekuasaannya ke wilayah-wilayah jauh dari Palembang. Mungkin juga wilayah-wilayah yang menjadi wilayah taklukan Śrīwijaya telah lebih dahulu ditaklukan sebelum Dapunta Hiyaŋ membangun wanua Śrīwijaya. Wilayah-wilayah yang menjadi taklukan Śrīwijaya adalah Karangberahi (daerah hulu Batanghari), Kota Kapur (Pulau Bangka), Palas Pase­mah dan Bungkuk (Lampung).[20]  Masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 792 hingga 835 Masehi, penguasaan Sriwijaya di tanah Jawa makin diperkuat. Pada masa tersebut candi Borobudur yang kini disebut sebagai warisan budaya dunia, dibangun.[21]
Prasasti-prasasti yang menginformasikan adanya hubungan politik melalui ekspansi ke tanah Jawa yaitu Prasasti Kota Kapur (608 Ç), Prasasti Karang Berahi, Prasasti Palas Pasemah, Prasasti Añjukladang (859 Ç / 937 M), dan Prasasti Citatih / Sang Hyang Tapak 10 30 M. Dua dari lima prasasti tersebut yang di temukan di Jawa yaitu Prasasti Añjukladang (Jawa Timur) (Casparis, 1958) dan Prasasti Citatih /Sang Hyang Tapak (Jawa Barat); sedangkan Prasasti Kota Kapur (608 Ç), Prasasti Karang Berahi, dan Prasasti Palas Pasemah ditemukan di Sumatera (Palembang, Jambi, Lampung). Prasasti. Ketiga prasasti ini menggunakan huruf pallawa dan bahasa melayu kuna.(Utomo, 2007).[22]
            Sekarang kita beralih membicarakan Majapahit, setelah berhasil menyelamatkan Jayanegara dan menumpas pemberontakan Kuti dibawah pimpinan Gajah Mada. Ia diberkahi gelar Patih di Kahuripan pada tahun 1321 M. Pada tahun 1328, Jayanegara tewas dibunuh oleh Tabib Israna Ratanca, ia didharmakan di dalam pura di Sila Petak dan Bubat. Jayanegara tidak mempunyai putra, maka takhta kerajaan digantikan oleh adik perempuannya yang bernama Tribhuanatunggadewi. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Tribhuanatunggadewi Jaya Wisnu Wardhani. Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai penghargaan atas jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih di Majapahit oleh Tribhuanatunggadewi.[23]
            Di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa. Isi sumpahnya, ia tidak akan Amukti Palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Panjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.
Kemudian terjadi penaklukan Bali dalam tahun 1343 M. Raja bali yang berkelakuan jahat dan berbudi rendah dapat dibunuh beserta segenap keluarganya.[24]
            Pada tahun 1350 M putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit. Ia bergelar Sri Rajasanagara, dan dikenal pula dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya, Tribhuanatunggadewi, masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi raja muda (rajakumara) dan mendapat daerah Jiwana sebagai daerah lungguh-nya. Dalam menjalankan pemerintahannya Hayam Wuruk didampingin Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih Hamangkubhumi. [25]
            Dengan bantuan patih hamangkubhumi Gajah Mada raja Hayam Wuruk berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Seperti halnya raja Kertanagara yang mempunyai gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh dwipantara, Gajah mada ingin melaksanakan pula gagasan politik nusantara yang telah dicetuskan sebagai sumpah palapa di hadapan raja Tribhuanatunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit. Dalam rangka menjalankan politik nusantaranya itu satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji kekuasaan majapahit ditundukkan dan dipersatukan. Dari pemberitaan Prapanca di dalam kakawin Nagarakrtagama kita mengetahui bahwa daerah-daerah yang ada ini meliputi hampir seluas wilayah Indonesia sekarang, meliputi daerah-daerah di Sumatra di bagian barat sampai ke daerah-daerah Maluku dan Irian di bagian Timur bahkan pengaruh itu telah diluaskan pula sampai ke beberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara. Agaknya politik nusantara ini berakhir sampai tahun 1357 M, dengan terjadinya peristiwa di Bubat, yaitu perang antara orang Sunda dan Majapahit.[26]
c. Perdagangan
Sumber-sumber tertulis (sejarah) yang merupakan catatan harian dari orang-orang Tionghoa, Arab, India, dan Persia menginformasikan pada kita bahwa tumbuh dan berkembangnya pelayaran dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah, disebabkan oleh dorongan pertumbuhan dan perkembangan emporium-emporium besar di ujung barat dan ujung timur benua Asia. Di ujung barat terdapat emporium muslim di bawah kekuasaan Khalifah Bani Umayyah (660-749 Masehi) dan kemudian Bani Abbasiyah (750-870 Masehi),  serta di ujung timur Asia terdapat kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T’ang (618-907 Masehi).  Bisa jadi kedua emporium itu yang mendo-rong majunya pelayaran dan perdagangan Asia, namun tidak bisa dilupakan peranan Śrīwijaya sebagai sebuah emporium yang menguasai Selat Melaka pada abad ke-7-11 Masehi. Śrīwijaya merupakan kerajaan maritim yang menitik beratkan pada pengembangan pelayaran dan perdagangan.[27]
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa Arab, Persia, dan Śrīwijaya rupa-rupanya dibarengi dengan hubungan persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di kawasan yang berhubungan dagang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya beberapa surat dari Mahārāja Śrīwijaya yang dikirim-kan melalui utusan kepada Khalifah Umar b. ̀ Abd Al-̀ Aziz (717-720 Masehi). Isi surat tersebut antara lain tentang pemberian hadiah sebagai tanda persahabatan, juga permintaan agar mengirimkan mubaligh untuk mengajarkan Islam ke Śrīwijaya. [28]
Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran pedagang Po-sse di Nusantara (Śrīwijaya dan Mālayu) adalah ditemukannya artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol, jambangan dll di Situs Barus (pantai barat Sumatra Utara)  dan situs-situs di pantai timur Jambi (Muara Jambi, Muara Sabak, Lambur). Barang-barang tersebut merupakan komoditi penting yang didatang¬kan dari Persia atau Timur Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya antara lain Siraf, Musqat, Basra, Kufah, Wasit, al-Ubulla, Kish, dan Oman. Dari Nusantara para pedagang tersebut membawa hasil bumi dan hasil hutan. Hasil hutan yang sangat digemari pada masa itu adalah kemenyan dan kapur barus.[29]
Hubungan pelayaran dan perdagangan yang kemudian dilanjutkan dengan hubungan politik, pada masa yang kemudian menimbulkan proses islamisasi. Dari proses islamisasi ini pada abad ke-13 Masehi kemudian muncul kerajaan Islam Samudera Pasai dengan sultannya yang pertama adalah Malik as-Saleh yang mangkat pada tahun 1297 Masehi. Menurut kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, dan catatan harian Marco Polo yang singgah di Peurlak tahun 1292 Masehi, Samudera Pasai bukan hanya kerajaan Islam pertama di Nusan­tara, tetapi juga di Asia Tenggara. Kehadiran kerajaan Islam ini semakin mempererat hubungan antara Sumatra dan negara-negara di Arab dan Persia. [30]
Pada pertengahan abad ke-14 Masehi Ibn Batuta singgah di Pasai yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir. Dalam catatan hariannya dise¬but¬kan bahwa Sultan adalah seorang penganut Islam yang taat dan ia dikelilingi oleh para ulama dan dua orang Persia yang terkenal, yaitu Qadi Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj ad-Din dari Isfahan. Ahli-ahli tasawwuf atau kaum sufi yang datang ke Samudera Pasai dan juga ke Melaka dimana para sultan menyukai ajaran “manusia sempurna/Insan al-Kamil” mungkin sekali dari Persia.[31]
Makin eratnya hubungan antara kerajaan di nusantara dengan Persia tidak menutup kemungkinan adanya akulturasi dalam bidang keagamaan, misalnya saja dengan masuknya Syi’ah ke nusantara, belum lagi pedagang-pedagang dari Persia yang menetap di nusantara juga menambah kekayaan budaya nusantara.
Sekarang beralih ke perdagangan di Majapahit, seperti yang sudah diketahui bahwa komoditas utama majapahit adalah dalam bidang agraris yaitu beras namun tentunya tidak hanya sampai disitu saja. Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan yang berkunjung ke Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk, dapat diketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju. Catatan Ma Huan menguraikan antara lain sebagai berikut : Di Majapahit udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita (Cina), panen padi 2 kali setahun, padinya kecil-kecil, berasnya berwarna putih. Di sana juga ada buah jarak dan karapodang (kuning), tetapi tidak ada tanaman gandum. Kerajaan itu menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah pala, cabe merah panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang sudah dimasak. Burungnya aneh-aneh, ada nuri sebesar ayam dengan aneka warna merah, hijau, dan sebagainya. Beo yang semuanya dapat diajari berbicara seperti orang,kakatua, merak, dan lainnya lagi. Hewan yang mengagumkan adalah kijang dan kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai dan angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima, manggis, langsap, semangka, dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai.[32]
Penduduk di pantai utara di kota-kota pelabuhan seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara, dan Cina. Ma Huan memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan tersebut banyak orang Cina dan Arab menetap, penduduk anak negeri datang ke kota-kota tersebut untuk berdagang.[33]
Para pedagang pribumi umumnya sangat kaya, mereka suka membeli batu-batu perhiasan yang bermutu, barang pecah belah dari porselin Cina dengan gambar bunga-bungaan berwarna hijau. Mereka juga membeli minyak wangi,kain sutra, katun yang baik dengan motif hiasan ataupun yang polos, mereka membayar dengan uang tembaga Majapahit, uang tembaga Cina dari dinasti apapun laku di kerajaan Majapahit.[34]
Faktor-faktor yang mendasari agraris Majapahit begitu ditingkatkan antara lain :
1.      Konsepsi keagamaan: baik ajaran Hinduisme menyatakan bahwa daratan adalah tempat penting, tempat itu dinamakan Jambhudwipa, sebagai lokasi bermukimnya manusia. Dengan demikian kerajaan-kerajaan yang bercorak Hinduisme di Jawa lebih mementingkan inward looking dan tidak memperhatikan daerah-daerah di luar Jambhudipa (Jawadwipa).
2.      Dalam konsep makro kosmos Hinduisme dinyatakan bahwa di tengah Jambhudwipa terdapat Gunung Mahameru sebagai pusat alam semesta dan axis mundi antara ketiga dunia (bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka). Di bagian kaki gunung itu adalah tempat tinggal manusia, di lerengnyabermukim orang-orang suci dan para pertapa, dan di bagian puncak gunungMahameru terdapat sorga atau kota-kota tempat bersemayamnya para dewa dinamakan Sudarsana. Maka dari itu banyak kerajaan yang bernafaskan Hinduisme selalu mendekatkan diri kepada gunung dan dan dataran tinggi yang dipercaya sebagai jelmaan dari Gunung Mahameru pusat alam semesta. Dalam konsep ini daerah tepian pantai, laut atau lautan dianggap daerah yang nista dan kotor, tempat tinggal roh-roh jahat, para raksasa, dan makhluk-makhluk rendah lainnya. Oleh karena itu perhatian kepada laut, pelayaran dilaut dan menjelajah lautan bukan aktivitas yang disenangi oleh para pemelukagama Hindu.
3.      Terdapat mitos Agastya yang menyatakan adanya larangan bagi para pendeta Hindu untuk berlayar menyeberangi lautan. Oleh karena dalam mitologinya Agastya dipercaya menghirup air laut sehingga kering (oleh karena itu dinamakan Rsi Kumbhayoni, arcanya selalu digambarkan berperut buncit), barulah Agastya berjalan kaki dari Jambhudwipa ke pulau-pulau lain di selatan India hingga ke Nusantara. Di Nusantara Agastya dipuja sebagai pendeta suci murid Siwa yang berjasa menyebarkan Hindu-saiwa.
Bisa dilihat bahwa faktor agama yang paling menonjol dalam kegiatan agraris begitu kuat di Majapahit. Faktor-faktor eksternal lainnya antara lain adalah karena perdangan abad ke-7 hingga 12 masih belum ramai, belum ditemukannya komoditas yang tepat terutama rempah-rempah dan Bandar-bandar dagang yang masih belum massive.
Dalam Prasasti Gondosuli (OJO III) yang berangka tahun 769 Saka/847 M disebutkan adanya pejabat yang berjuluk dang puhawa(ng) Glis. Istilah dang puhawang dalam masa kemudian di Jawa diucapkan dengan ”dampoawang” yang artinya nakhoda kapal besar, saudagar kaya, atau pemimpin perjalanan dengan kapal di laut. Dang sebenarnya setara dengan sang, yaitu kata sandang bagi seseorang yang dihormati, adapun kata puhawang dari kata pu + hawan memiliki kata dasar hawan atau hawang. Pu menunjuk kata sandang juga berarti ”dihormati, dimuliakan” dan hawan artinya jalan, kendaraan, alat/cara untuk mencapai sesuatu (Zoetmulder 1995, I : 345). Uraian Prasasti Gondosuli (ditemukan di lereng utara Gunung Sumbing) yang menggunakan bahasa Melayu Kuno menyiratkan adanya seorang saudagar kaya atau nakhoda besar dari daerah Malayu (Sumatra) yang akhirnya mendarat dan bermukim di pedalaman Jawa bagian tengah.[35]
Dapat ditafsirkan bahwa dalam masa itu terjadi hubungan laut antara Sumatra dengan Jawa. Inskripsi berbahasa Melayu Kuno lainnya yang ditemukan di Jawa Tengah adalah Prasasti Sojomerto (sekitar tahun 700 M). Dengan adanya temuan tersebut penafsiran telah ada hubungan antara Jawa dan Sumatra semakin menguat, dan dapat dipastikan hubungan itu terjadi melalui jalur laut, artinya telah dikenal perahu-perahu. Jejak kapal besar dalam era Syailendra abad ke-8 s.d 10 sudah banyak dikaji oleh para ahli lewat penggambaran relief di Candi Borobudur. Kapal Borobudur tersebut bahkan telah dibuat replikanya dan dilayarkan ke laut. Dengan demikian pelayaran di laut lepas ketika pusat kerajaan di Jawa bagian tengah masih berdiri sudah barang tentu telah dikenal, namun perhatian terhadap pengembangan perahu-perahu besar untuk meluaskan pengaruh Kerajaan Mataram hingga luar Jawa belum ada buktinya, kecuali interpretasi adanya hubungan antara Sriwijaya dan Mataram dalam abad ke-9 M.[36]
Dalam masa yang sama sebagaimana disebutkan dalam prasasti-prasasti Jawa Kuno dikenal pula kata hawan. Perkembangan selanjutnya mengartikan kata hawan/ng sebagai kendaraan perahu. Uraian prasasti-prasasti Jawa kuno menyebutkan kata hawan berarti perahu atau kapal. Misalnya dinyatakan dalam Prasasti Kubu (827 Saka/905 M): ”mwaK ikanaK rama i kubu-kubu… an pinaka hawan ing wai” (”kemudian rama di Kubukubu… bagaikan perahu di sungai”).Prasasti lainnya yang menyebutkan hawan adalah Telang I (825 S/903 M): ”makamitana ikanaK kamulan muaK prahu umantassakna sang mahawan pratidina” (”alasannya, di sana [ada] kamulan dan perahu yang mendarat dan dikendarai setiap hari”) Dalam Prasasti Mantyasih I (829 S/907 M) dinyatakan juga ”ikanaK patih rumaksa ikanaK hawan” (”di sana patih memelihara perahu”).Hal itu menunjukkan bahwa perahu sebagai kendaraan dikenal di pedalaman Jawa, namun prasasti-prasasti dan karya sastra tidak memberitakan adanya ekspedisi ke luar Jawa dalam era Syailendrawangsa. Sehingga dapat dikemukakan bahwa Kerajaan Mataram kuno belum mengembangkan pengaruhnya hingga luar Jawa, artinya dunia maritim masih belum diperhatikan dengan baik, keculai di masa mendatang ditemukan bukti-bukti baru. Adalah Kerajaan Singhasari yang dapat ditafsirkan mulai memperluas wawasan wilayahnya hingga ke luar Jawa. Interpretasi tersebut diperoleh berdasarkan berita kitab Pararaton yang didukung oleh peninggalan arkeologis berupa arca yang ditulisi prasasti (Prasasti Amoghapasa bertarikh 1208 Saka/1286 M) yang dikeluarkan oleh Krtanagara. Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah Singhasari, menurut berita Cina Krtanagara pernah didatangi Meng-chi utusan dari Kublai Khan agar Jawa menghamba kepada kaisar dinasti Yuan tersebut. Krtanagara tidak terima dan marah, lalu melukai wajah utusan Kubhilai Khan, dan memerintahkan Meng-chi agar segera enyah dari Pulau Jawa. Krtanagara segera mengirimkan sejumlah besar tentara Singhasari ke Suwarnabhumi dengan maksud Suwarnabhumi mengakui kekuasaan Singhasari dan dapat membendung kekuasaan Kubhilai Khan ke arah Selat Malaka dan kepulauan Asia Tenggara. Pamalayu tersebut, demikian kitab Pararaton menyatakan berhasil dengan gemilang, raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dihadiahi arca Amoghapasa oleh Krtanagara.[37]
Hal inilah yang menjadi indikasi awal maritim di Majapahit mulai ditingkatkan dengan menginvasi daerah-daerah pelabuhan dan tentunya menggambil alih monopoli perdagangan disana.

            Hubungan Erat antara sosial dan Ekonomi
            Sriwijaya dan Majapahit

Kehidupan sosial selalu berkaitan dengan ekonomi , dalam hal ini seperti kehidupan dua kerajaan besar nusantara, Sriwijaya dan juga Majapahit . tindakan-tindakan dalam kehidupan bersosialisasi baik dengan nusantara ataupun diluar nusantara sendiri dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi, dua kerajaan besar nusantara yang memiliki ciri perekonomian maritim dan agraris-maritim melakukan interaksi sosial dengan negara tetangga maupun kerajaan lain yang ada di nusantara, keuntungan dari interaksi tersebut adalah kedua kerajaan ini dapat mengekspor atau menjual barang dagangan mereka, serta dapat mengimpor barang yang dibutuhkan oleh kedua kerajaan ini.
           




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Meski mempunyai karakteristik yang berbeda, kedua kerajaan itu yaitu Sriwijaya dan Majapahit sangat mengandalkan komoditasnya masing-masing. Kegiatan interaksi social yang diciptakan oleh dua kerajaan ini diatur sedemikian rupa agar dapat mempermudah kegiatan ekonomi baik perdagangan maupun pelayaran di wilayah masing-masing.
















DAFTAR PUSTAKA
Bambang Budi Utomo, Belajar dari Datu Sriwijaya : Bangkitlah kembali bangsa bahari.
DT Baskoro, dkk.Svarnadvida-Yavadvipa : Antar Nusa Satu Bangsa. Yogyakarta : Balai Arkeologi             Yogyakarta. (pdf)
Marwati Djoened,dkk . Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. (Jakarta : Balai Pustaka. 1993)
A.B Lapian,.Sejarah Nusantara Sejarah Bahari.Jakarta : FIB UI.1992
Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: Gunung Mulia,2005)
Hery Santosa, Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad
ke-14 masehi)




[1] A.B Lapian,.Sejarah Nusantara Sejarah Bahari.Jakarta : FIB UI.1992.
[2] Berdasarkan gaya seninya arca Ganeśa ini berlanggam Jawa Tengah yang berkembang pada sekitar abad ke-9-10 Masehi. Robert L. Brown menge­mukakan pendapat bahwa arca Ganeśa ini kemungkinan besar dibuat pada seki­tar abad ke-8 Masehi. Mengenai asalnya, ada dua kemung­kinan, yaitu 1) diimport langsung dari India, dan 2) dibuat di “Palembang” oleh pemahat lokal yang dilatih di India atau oleh pemahat asing yang didatangkan dari India. (Brown, Robert L., 1987, “A Note on the Recently  Discovered  Ganesa  Image from Palembang, Sumatera”, dalam Indonesia 43, hlm.  95-100).
[3] Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: Gunung Mulia,2005) hlm. 130
[4] Hery Santosa, Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad
ke-14 masehi), hlm.3.
[5] Bambang Budi Utomo, Belajar dari Datu Sriwijaya : Bangkitlah kembali bangsa bahari, hlm.15.
[7] Marwati Djoened,dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, (Jakarta :Balai Pustaka, 2010) halaman 480
[8] Ibid. halaman 481.
[9] Ibid., halaman 481-482.
[10] Ibid., halaman 482.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid., halaman 483
[14] Marwati Djoened,dkk . Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. (Jakarta : Balai Pustaka. 1993) hlm, 74.
[15] Marwati Djoened,dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, (Jakarta :Balai Pustaka, 2010)
[16] Agus, Aris Munandar. Ibukota Majapahit, masa kejayaan dan penapaian.( Jakarta : Komunitas Bambu.2008) hlm, 8.
[17]R.Z.Leirissa, Ohorella, dan Yuda B Tangkilisan. Sejarah Perekonomian Indonesia. (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI 1996) . hlm, 17.
[18] Wolters, O.W., 1974, Early Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Śrivijaya, Ithaca & London: Cornell University Press, hlm. 122
[19] Bernard H.M Vlekke.Nusantara Sejarah Indonesia . (Jakarta : PT Gramedia 2008) . hlm, 43 – 45.
[20] Bambang Budi Utomo, op.cit., hlm.31.
[21] Sumarni, Nunik. Kerajaan Sriwijaya (pdf). Hlm. 2.
[22] DT Baskoro, dkk.Svarnadvida-Yavadvipa : Antar Nusa Satu Bangsa. Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta. (pdf), hlm.4.
[23] Marwati Djoened,dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, (Jakarta :Balai Pustaka, 2010) halaman 461.
[24] Ibid.
[25] Ibid., halaman 463.
[26] Ibid., halaman 464.
[27] Bambang Budi Utomo, op.cit., hlm 28.
[28] Ibid., halaman 29.
[29] Ibid., halaman 30.
[30] Ibid.
[31] Ibid., halaman 31.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.

0 Response to "Makalah Sosial Ekonomi Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)