Diversity In The Work Environment

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Manajemen sumber daya manusia merupakan bagian dari manajemen keorganisasian yang memfokuskan diri pada unsur sumber daya manusia. Tugas MSDM adalah mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya. 

Di dalam organisasi, manusia merupakan unsur yang terpenting dalam suatu organisasi. Manusia merupakan penggerak dan penentu jalannya suatu organisasi. Dalam hal ini, kinerja manusia atau karyawan harus didukung dengan faktor-faktor pendukung yang dapat berdampak positif pada kinerja karyawan tersebut, salah satunya adalah faktor lingkungan kerja yang baik.
Lingkungan kerja merupakan elemen organisasi yang mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan perilaku individu pada organisasi dan berpengaruh terhadap prestasi organisasi. Lingkungan kerja yang baik dapat memacu timbulnya rasa puas dalam diri karyawan yang pada akhirnya dapat memberikan pengaruh positif terhadap kinerja karyawan, begitu sebaliknya, apabila lingkungan kerja buruk maka karyawan tidak akan mempunyai kepuasan dalam bekerja yang akhirnya dapat berpengaruh negative terhadap kinerja karyawan tersebut.
Kondisi lingkungan kerja yang nyaman akan mempengaruhi pegawai bekerja lebih giat dan konsentrasi menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai jadwal. Keberhasilan peningkatan kinerja menuntut instansi mengetahui sasaran kinerja. Jika sasaran kinerja ditumbuhkan dari dalam diri karyawan akan membentuk suatu kekuatan diri dan jika situasi lingkungan kerja turut menunjang maka pencapaian kinerja akan lebih mudah. Selain itu, lingkungan kerja yang baik akan membantu mengurangi kejenuhan dan kelelahan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja karyawan.
Namun, permasalahn yang kemudian berkembang adalah munculnya diversitas. Diversitas merupakan keberagaman aspek yang ada di dalam sebuah organisasi. Alasan utama munculnya diversitas adalah perubahan demografi. Karyawan lebih tua, perempuan, minoritas, dan yang lebih berpendidikan sekarang dapat menjadi tenaga kerja dan jumlahnya banyak. Selain itu, alasan pragmatis atas diversitas dalam  organisasi saat ini berakar pada undang-undang dan tuntutan hukum. Kemudian, alasan atas munculnya kepentingan diversitas dalam organisasi adalah kesadaran bahwa diversitas dapat membantu memenuhi tekanan kompetitif yang sedang dihadapi. Dengan kata lain, diversitas dapat memberikan keunggulan kompetitif pada organisasi.
Terdorong oleh tekanan kompetitif, organisasi mulai menyadari dan berjuang untuk memperoleh sudut pandang yang berbeda dalam proses pengambilan keputusan dan tim. Alasan utama dan terakhir atas munculnya tantangan diversitas adalah organisasi memasuki arena internasional. Akibat alamiah dari memasuki kancah internasional adalah peningkatan diversitas, dalam hal ini diversitas budaya.

B.    Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat oleh penulis dalam  makalah mengenai lingkungan kerja dan diversitas ini ialah penulis ingin mengetahui bagaimana mengelo;a diversitas dalam lingkungan kerja sesuai dengan konsep diversitas dan lingkungan kerja. Berikut ini pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan lingkungan kerja dan diversitas:
1.      Apakah yang dimaksud dengan lingkungan kerja?
2.      Apakah yang dimaksud dengan diversitas?
3.      Apakah sifat diversitas?
4.      Apakah alasan munculnya diversitas?
5.      Bagaimana mengelola diversitas dalam lingkungan kerja?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk:
1.      Mengetahui pengertian dari lingkungan kerja.
2.      Mengetahui pengertian dari diversitas.
3.      Mengetahui sifat dari diversitas.
4.      Mengetahui alasan munculnya diversitas.
5.      Memahami cara mengelola diversitas dalam lingkungan kerja.

D.    Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan konsep Interpersonal Employee Relation mengenai Lingkungan Kerja dan Diversitas. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi :
1.  Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya tentang konsep Interpersonal Employee Relation.
2.  Pembaca,  sebagai  media  informasi  tentang  konsep  Interpersonal Employee Relation mengenai Lingkungan Kerja dan Diversitas.

E.     Metode Penulisan
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini penulis akan menguraikan permasalahan yang dibahas secara jelas dan komprehensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan dengan menggunakan studi pustaka, artinya penulis mengambil data melalui media pustaka dalam penyusunan makalah ini dan ditambah referensi dari media internet. Dengan meyebutkan berbagai sumber untuk penulisan makalah ini, selain itu juga penulis menggunakan metode kepustakaan untuk mendapatkan data yang mendukung makalah ini.







BAB II
LANDASAN TEORI

A.     Pengertian Lingkungan Kerja
Dalam dunia kerja, banyak sekali aspek yang mendukung kualitas dan kuantitas kerja seorang kayawan, salah satunya adalah lingkungan kerja. Menurut Veitzhal (2004:165) : “Lingkungan kerja adalah keseluruhan sarana dan prasarana yang ada di sekitar karyawan yang sedang melakukan pekerjaan itu sendiri[1].  Lebih lanjut, Veitzhal menjelaskan bahwa lingkungan kerja ini meliputi: tempat kerja, fasilitas dan alat bantu pekerjaan, kebersihan, pencahayaan, ketenangan termasuk juga hubungan antara orang-orang yang ada di tempat tersebut.
5
 
Sama halnya dengan pendapat Alex (2000:183) menjelaskan: “Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang berada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan kepada karyawan[2]. Selanjuntnya, ISO 9000 dalam David Hoyle (2005:328) mendefinisikan: “The work environment is a set of conditions under which people operates and include phisycal, social and psychological environmental factors”[3]. Jika diartikan, lingkungan kerja merupakan kondisi dimana seseorang bekerja. Lingkungan kerja terdiri dari lingkungan fisik, sosial, dan psikologis.
Lebih lanjut, David menjelaskan lingkungan fisik terdiri dari ruangan, temperature, kebisingan, pencahayaan, kelembaban, keamanan, kebersihan, getaran, polusi , aksesibilitas, stres fisi , dan aliran udara. Selain cahaya tampak, semua jenis radiasi juga termasuk dalam lingkungan fisik. Kemudian, faktor social dalam lingkungan kerja merupakan interaksi antara individu-individu yang ada di dalam perusahaan, termasuk dampak dari keluarga individu, pendidikan, tekan dari rekan kerja, dan dampak dari etika, budaya, dan iklim organisasi.
Ketiga, faktor psikologis erat kaitannya dengan kebutuhan individu, baik kebutuhan internal maupun eksternal, seperti kebutuhan akan pengakuan, tanggung jawab, prestasi, kemajuan, penghargaan, keamanan kerja, hubungan interpersonal, afiliasi, harga diri, dan solusi atas stres kerja. Ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh perusahaan, maka karyawan akan termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi.
Kemudian, Ray dan Jane (2008:105) menjelaskan: “A workplace environment is made up of several components, including the type of equipment, the state of maintenance, communications, and worker experience”[4]. Dapat diartikan bahwa lingkungan kerja terdiri dari beberapa komponen yaitu jenis peralatan , pemeliharaan, komunikasi, dan pengalaman pekerja.
Lebih lanjut, Ray dan Jane menjelaskan bahwa peralatan dan design untuk fungsi yang sama mungkin berbeda dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang lain. Misalnya, beberapa fasilitas hanya mengandalkan pemutus sirkuit untuk proteksi arus, sementara yang lain hanya menggunakan sekering. Kemudian, aspek pemeliharaan menentukan peralatan selalu dalam kondisi siap pakai. Ketika kodisi peralatan buruk, hal ini dapat meningkatkan resiko kegagalan, seperti resiko cedera pada karyawan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa lingkungan kerja juga tergantung pada komunikasi antara karyawan dengan atasan dan sesama karyawan. Komunikasi yang terjalin antara atasan dengan karyawan maupun sesama karyawan harus jelas dan terarah sehingga tidak terjadi salah paham. Terakhir, pengalaman pekerja juga merupakan salah satu komponen dari lingkungan kerja. Ketika pekerja mempunyai pengalaman kerja rendah atau bahkan tidak mempunyai pengalaman sama sekali, hal tersebut dapat berdampak negatif pada karyawan dalam memahami tugas-tugas yang diberikan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan keseluruhan sarana dan prasarana yang ada di sekitar karyawan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan kepada karyawan. Lingkungan kerja terdiri dari beberapa komponen yaitu jenis peralatan , pemeliharaan, komunikasi, dan pengalaman pekerja. Kemudian, lingkungan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor terdiri dari faktor fisik, social, dan psikologis.


B.    Pengertian Diversitas
Menurut Harriet (2005:67):
There are three definition of diversity:
1.  First, diversity go beyond  simple and obvious attributes.
2.  Second, diversity is a labor pool so colorful and blended that it is nearly impossible not to see its reflection in your employees.
3.  Third, diversity is acceptance and respect for individual differences[5].

Dapat diartikan bahwa diversitas merupakan keragaman yang jelas dan bukan sebatas atribut sederhana. Selain itu, diversitas diartikan sebagai sebuah perkumpulan tenaga kerja yang sangat beragam. Namun, Harriet mempertegas bahwa dalam keanekaragaman atribut yang ada pada karyawan, setiap karyawan harus saling menerima dan menghormati perbedaan yang ada.
Kemudian, Richard (2008:333) menjelaskan: “Workforce diversity means a workforce made up of people with different human qualities or who belong to various cultural groups[6]. Jika diartikan, diversitas atau keragaman di tempat kerja berarti tenaga kerja yang ada di dalam organisasi terdiri dari orang-orang yang mempunyai kualitas yang berbeda-beda atau terdiri dari kelompok budaya yang beragam. Lebih lanjut, Richard menjelakan bahwa diversitas atau keragaman mengacu pada perbedaan antarindividu yang ada di dalam sebuah organisasi dalam hal usia, etnis, jenis kelamin, ras, atau kemampuan fisik.

Selanjutnya, Mitchell (2010:213) menjelakan:
Definition of diversity that focus on racial, ethnic, or gender categories are popular because they are the basic of identity and do not change. Other definitions of diversity focus on differences between and internal to specific groups, drawing attention to the harsh consequences of power imbalance relating to income, regional differences and educational background[7].

Jika diartikan, diversitas merupakan keragaman yang focus pada keragaman ras, etnis, dan gender. Hal ini karena ketiga aspek tersebut merupakan dasar indentitas seorang individu dan tidak berubah. Selain itu, definisi lain dari diversitas yaitu keragaman yang focus pada perbedaan antarindividu dalam kelompok tertentu. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari perbedaan pendapat, budaya, dan latar belakang pendidikan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa diversitas adalah keragaman  antara individu satu dengan individu yang lain dalam sebuah organisasi dimana antarindividu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dalam hal usia, etnis, jenis kelamin, ras, dan kemampuan fisik. Selain itu, definisi lain dari diversitas yaitu keragaman yang disebabkan adanya perbedaan pendapat, budaya, dan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh masing-masing individu.




C.    Sifat Diversitas
Seperti yang sudah dijelaskan dalam sub bab selumnya berdasarkan pendapat para ahli, sifat atau karakteristik diversitas yaitu:
1.  Usia
Saat ini, heterogenitas karyawan dalam hal usia sangat tinggi. Organisasi atau perusahaan tidak hanya memperkerjakan karyawan dengan spesifikasi sudah bekerja lama di organiasi tersebut, tetapi organisasi juga mulai melakukan regenerasi karyawan tua dengan karyawan muda yang lebih prdoduktif, sehingga heterogenitas karyawan dalam hal usia sangat beragam, mulai dari usia 20an sampai 40an.
2.  Ras
Istilah ras erat kaitannya dengan asal mula sebuah suku terbentuk, seperti Indonesia bagian barat didominasi oleh ras Mongloid, sementara Indonesia bagian timur didominasi oleh ras Negroid. Hal ini dipengaruhi penjelajahan masyarakat jaman dulu. Faktor ras mempunyai identitas yang menarik dan dapat membedakan ras satu dengan ras yang lain dilihat dari warna kulit, bentuk muka, dan bentuk rambut. Awalnya, banyak terjadi pelanggaran social dimana ras negroid mendapat perlakuan diskriminasi karena identitias diri yang melekat pada dirinya seperti berkulit gelap dan berambut keriting.
Namun seiring dengan perkembangan iptek, hal tersebut mulai hilang dalam dunia kerja. Hal ini karena perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi terutama bidang kecantikan menemukan cara untuk membuat kulit yang tadinya gelap menjadi lebih terang atau membuat rambut keriting menjadi lurus. Hal ini membuat individu menjadi lebih percaya diri untuk bersaing dengan kompetitornya.
3.  Etnis
Istilah etnis atau kesukuan mengacu pada komposisi kesukuan dari kelompok atau organisasi. Perubahan dalam pencampuran ras seluruh populasi terefleksi di tempat kerja. Seiring dengan perkembangan jaman, organisasi tidak lagi mendiskriminasikan rasa tau suku tertentu. Justru fenomena yang terjadi saat ini di dalam organisasi adalah setiap individu yang ada di dalam organisasi baik pimpinan maupun karyawan tidak lagi berasal hanya dari segelintir ras, tetapi kini sudah mengglobal ke seluruh ras. Dengan demikian, komposisi kesukuan dari organisasi tersebut tidak lagi didominasi oleh ras tertentu, tetapi sudah merata dengan hadirnya ras-ras lain yang dipekerjakan oleh organisasi karena alasan tertentu yang sah dan sesuai dengan prosedur yng ada di dalamm organisasi, seperti latar belakang pendidikan yang bagus.
4.  Jenis Kelamin
Selain ketiga faktor di atas, keanekaragaman juga terjadi pada faktor jenis kelamin. Awalnya, banyak perusahaan yang memandang sebelah mata kepada karyawan dengan jenis kelamis perempuan karena dianggap tidak mempunyai kualitas kerja yang bagus dibandingkan karyawan dengan jenis kelamin laki-laki.
Namun seiring dengan perkembangan dunia pendidikan,  kini perempuan mempunyai tingkat kecerdasan yang sama dengan laki-laki, bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan dapat mempunyai kualitas kerja yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, saat ini dominasi pekerja laki-laki sudah tidak lagi terjadi, melainkan komposisi yang ada di dalam organisasi sudah rata yaitu terdapat pekerja perempuan dan laki-laki dengan jumlah yang berimbang, baik untuk posisi atasan atau karyawan.
5.  Kemampuan Fisik
Kemudian, karakteristik yang terakhir yaitu keberagaman kemampuan fisik. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kemampuan fisik yaitu kondisi fisik yang dimiliki oleh setiap individu. Pada awalnya, sebuah organisasi atau perusahaan hanya mau memperkerjakan individu atau karyawan dengan kondisi fisik yang sempurna. Sehingga hal tersebut menimbulkan kecemburuan social dimana individu dengan ketidaksempurnaan fisik tidak dapat bekerja sesuai dengan kemampuan yang dimiliiki hanya karena ketidaksempurnaan fisik yang ia miliki.
Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi perubahan yang signifikan terhadap individu dengan kondisi fisik yang kurang sempurna dimana individu-individu dengan ketidaksempurnaan fisik dapat bekerja sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Misalnya, seseorang individu secara fisik tidak bekerja di kantor, tetapi data memasarkan hasil karya yang ia buat melalui bantuan internet.
Selain  sifat atau karakteristik di atas, terdapat dua tingkat keragaman dalam organisasi, yaitu:
1.  Pertama, surface-level diversity (keragaman tingkat permukaan), merupakan perbedaan dalam karakteristik yang dapat secara mudah dipersepsikan, misalnya jenis kelamin, ras, suku, umur, atau disabilitas, yang tidak begitu merefleksikan bagaimana orang berpikir atau merasa, tapi dapat mengaktivasi stereotipe tertentu.
2.  Kedua, deep-level diversity (keragaman tingkat dalam), merupakan perbedaan dalam nilai, kepribadian, dan keinginan kerja yang dapat menjadi semakin penting dalam  penentuan kesamaan sebagaimana orang mengenal satu sama lain lebih baik.

D.    Alasan Munculnya Diversitas
Diversitas merupakan keragaman tenaga kerja, baik dari segi usia, jenis kelamin, ras, suku, maupun kemampuan fisik. Ada lima alasan mengapa diversitas menjadi aktivitas dominan dalam pengaturan sumber daya manusia di organisasi saat ini yaitu:
1.  Pergeseran dari ekonomi produksi menjadi ekonomi pelayanan/jasa.
Dengan kemajuan teknologi saat ini, pekerjaan manufaktur akan semakin produktif sehingga sumber daya manusia yang dibutuhkan berkurang. Namun yang terjadi pada perusahaan jasa adalah sebaliknya, sumber daya manusia yang dibutuhkan smakin banyak seperti pada bidang-bidang perbankan, jasa keuangan, jasa kesehatan, pariwisata, dan penjualan. Apalagi dengan ekonomi berbasis digital/virtual saat ini, yang paling dibutuhkan adalah sumber daya manusia yang handal dalam memberikan pelayanan dan informasi kepada konsumen.
Dengan diversitas, perusahaan bisa memiliki ragam
sumber daya manusia yang memiliki persamaan dengan customernya, sehingga customer akan merasa lebih cocok dan pada akhirnya meningkatkan loyalitas pada perusahaan.
2.  Globalisasi pasar
Semakin banyak perusahaan yang melakukan globalisasi, yang tentunya harus disertai dengan pemahaman budaya, pola hidup, dan kebiasaan masyarakat setempat. Bahkan budaya organisasi perusahaan harus diasimilasikan dengan budaya di negara yang baru. Jika tidak, tentu akan tercipta gap yang besar antara perusahaan dengan customer. Disinilah diversitas sangat diperlukan. sumber daya manusia dari negara yang dimasuki perusahaan akan sangat membantu dalam mengenali budaya customer setempat dan sekaligus "meyakinkan" mereka akan produk/jasa yang ditawarkan perusahaan.
3.  Strategi bisnis baru yang memerlukan teamwork lebih
Strategi baru akan memerlukan ide-ide, opini, dan perspektif  baru dari beberapa orang. Orang-orang tersebut lalu dibentuk menjadi teamwork khusus untuk meningkatkan kualitas, fleksibilitas, mengurangi biaya operasi, dan berbagai alasan positif lainnya. Teamwork ini akan bekerja maksimal jika terdiri dari sumber daya manusia dari latar belakang yang berbeda-beda karena akan menghasilkan ide-ide yang lebih kreatif dan mewakili.
4.  Merger dan aliansi internasional strategic
Dengan adanya merger dan aliansi, tantangan tersulit yang dihadapi perusahaan adalah perbedaan dalam budaya organisasi. Setiap perusahaan tentu mempunyai budaya yang berbeda-beda dalam memperlakukan karyawan, melaksanakan bisnis, memberi penghargaan, dan lain-lain. Jelas sekali bahwa diversifikasi tak mungkin dihindari dalam situasi merger atau aliansi. Diversitas adalah sesuatu yang harus dipahami dan diterima, agar proses merger/aliansi dapat berjalan baik.
5.  Pasar tenaga kerja yang berubah
Semakin lama sumber daya manusia akan semakin dipenuhi oleh wanita, suku-suku minoritas, dan orangtua. Lingkungan kerja akan semakin dipenuhi oleh diversifikasi. Karyawan harus didibiasakan untuk memahami dan menghargai perbedaan ras, etnis, bahasa, orientasi seksual, tingkat kemampuan, dan lain-lain. Bahwa setiap perbedaan yang ada bukan berarti salah satu lebih baik, melainkan hanya manifestasi dari latar belakang masing-masing individu. Oleh karena itu, kepercayaan dan kelapangan menerima perbedaan harus ada untuk menciptakan kerjasama yang baik.



E.     Mengelola Diversitas dalam Lingkungan Kerja
Ada beberapa peran yang dapat dilakukan oleh para manager dalam mengelola keberagaman di tempat kerja. Dua prinsip moral atau kewajiban etis yang memberi arahan kepada para manager dalam upaya mengelola keberagaman atau diversitas dalam lingkungan kerja yaitu:
1.   Keadilan distributif (distributitive justice )
Distributive justice adalah sebuah prinsip moral yang membutuhkan adanya distribusi kenaikan gaji, promosi, dan sumber daya organisasi lainnya berdasarkan pada kontribusi yangberarti dari setiap individu dan bukan didasarkan pada karakteristik personal lainnya yang tidakbisa dikontrol. Prinsip keadilan distributif menjelaskan bahwa distribusi kenaikan gaji, promosi,tugas-tugas menarik, ruang kantor, dan sumber daya organisasinya lainnya diantara anggotaorganisasi harus adil.
Distribusi dari hasil (outcome) ini harus didasarkan pada kontribusi yangberarti dari setiap individu terhadap organisasi (misalnya, kontribusi waktu, usaha, pendidikan,keterampilan, kemampuan, dan tingkat kinerja mereka) dan bukan didasarkan pada hal-halatau karakteristik individual yang tidak terkait dengan kinerja dan tidak dapat dinilai (misalnya, jenis kelamin, ras, atau usia).
2.   Keadilan procedural (procedural justice)
Procedural justice adalah sebuah prinsip moral yang menghendaki adanya penggunaan prosedur yang adil untuk menentukan cara mendistribusikan hasil kepada para anggota organisasi. Keadilan prosedural akan eksis apabila para manager:
a.      melakukan penilaian secara cermat kinerja bawahannya,
b.      memperhatikan hambatan-hambatan lingkungan bagi kinerja di luar kendali bawahannya, misalnya kurangnya persediaan, kerusakan mesin, dan berkurangnyapermintaan dari konsumen,
c.      mengabaikan karakteristik personal yang tidak relevan misalnya usia dan etnisitas bawahan.
Seperti keadilan distributif, keadilan prosedural diperlukan tidak hanya untuk menjaminperilaku etik tetapi juga untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum yang merugikan.
Selain dua prinsip di atas, terdapat sejumlah pendekatan yang dapat diambil untuk mengelola diversitas secara efektif, yaitu:
1.  Pendekatan Individu
Pendekatan individual untuk mengelola diversitas secara khusus menggunakan dua jalur yang saling tergantung yaitu pembelajaran dan empati. Pembelajaran didasarkan pada memperoleh pengalaman riil atau tersimulasi, sedangkan empati didasarkan pada kemampuan untuk memahami perasaan dan emosi.
a.  Pembelajaran
Inti proses pembelajaran ini adalah komunikasi. Manajer harus berkomunikasi satu sama lain secara terbuka, tanpa memedulikan usia, gender, kesukuan, preferensi seksual,agama, atau orang yang terhalang karena kecacatannya, untuk menentukan cara terbaik untuk memahami dan berinteraksi dengan mereka. Dengan cara ini, manajer dapat belajar untuk lebih mengenal nilai personal kelompok yang berbeda dan bagaimana seseorang ingin diperlakukan.
Dalam proses pembelajaran ini, manajer dapat juga mendorong karyawan yang berbeda untuk memberikan umpan balik berkaitan dengan bagaimana mereka diperlakukan. Dengan cara ini, saat manajer melakukan sesuatu yang tidak tepat menurut karyawan, manajer secara cepat belajar dan dapat menyesuaikan diri (perilakunya).
b.  Empati
Yang berhubungan dekat dengan strategi pembelajaran seseorang adalah empati, kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain dan melihat sesuatu dari sudut pandang orang tersebut. Empati merupakan cara penting untuk berhubungan dengan masalah-masalah kecil karena hal tersebut membantu manajer memahami sudut pandang karyawan yang berbeda-beda.
2.   Pendekatan Organisasi
Pendekatan organisasi untuk mengelola diversitas bermacam-macam tekniknya. Beberapa hal paling umum meliputi testing, pelatihan, mentoring,dan program yang dirancang untuk membantu individu untuk secara efektif menyeimbangkan kehidupan kerja dan keluarga.


a.  Testing
Masalah yang dihadapi organisasi untuk menggunakan tes sebagai seleksi dan evaluasi adalah karena tes umumnya memuat prasangka budaya. Suatu cara untuk membuat tes itu valid bagi bermacam-macam karyawan adalah menggunakan tes khusus-pekerjaan (job-specific test) daripada menggunakan tes kecerdasan atau pengetahuan umum.
 Selain prasangka secara budaya, tes yang digunakan untuk mengelola diversitas secara efektif sebaiknya dapat mengidentifikasi apakah pelamar punya keahlian yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Jika tes pensil-kertas digunakan, maka untuk membantu memastikan bahwa tes tersebut tidak berprasangka, norma ilmiah harus digunakan. Hasilnya, semua pertanyaan tes memiliki arti yang sama tanpa memedulikan latar belakang budaya seseorang.
b.  Pelatihan
        Riset studi komprehensif menemukan bahwa perusahaan yang menggunakan pelatihan diversitas cenderung punya profil sebagai berikut: (1) berukuran besar, (2) kepercayaan positif manajemen puncak terhadap diversitas, (3) diversitas mendapat prioritas lebih tinggi (secara strategi) dibanding tujuan-tujuan kompetisi lainnya, (4) adanya manajer diversitas, dan  (5) adanya sejumlah besar kebijakan yang mendukung diversitas.
Kebanyakan program pelatihan membuat peserta terlibat secara langsung. Tujuan pelatihan adalah memperoleh pengertian mengenai pendapat satu kelompok etnis terhadap kelompok lainnya. Masalah utama dari pelatihan secara umum dan pelatihan diversitas secara khusus adalah masalah transfer. Alasan utama masalah transfer adalah kurang percaya diri atau efikasi diri (misalnya peserta tidak percaya bahwa mereka dapat tujuan pelatihan diversitas secara sukses dalam pekerjaan di lingkungan tertentu).
c.   Mentoring
Mentor adalah konselor, pelatih, atau penasihat dipercaya yang memberikan nasihat dan bantuan. Tujuan program mentor adalah memberi dukungan kepada beragam kelompok karyawan pada pekerjaan mereka, menyosialisasikan mereka pada nilai budaya perusahaan, dan secara pragmatis membantu perubahan demi perkembangan dan kemajuan. Beberapa keuntungan bantuan mentor antara lain:
1)  Mengidentifikasi keahlian, minat, dan aspirasi individu
2)  Menyediakan instruksi keahlian dan pengetahuan spesifik yang kritis untuk mencapai kinerja kerja bagus
3)  Membantu memahami aturan-aturan organisasi yang tidak tertulis dan bagaimana menghindari berkata atau melakukan hal yang salah
4)  Menjawab pertanyaan dan memberikan wawasan penting
5)  Menawarkan dukungan emosional
6)  Bertindak sebagai model peran
7)  Menciptakan suasana di mana kesalahan dapat saja dilakukan tanpa perlu kehilangan rasa percaya diri.
Proses formal untuk menentukan program mentoring secara khusus meliputi beberapa langkah. Pertama, dukungan manajemen puncak untuk menjamin program tersebut. Kemudian, mentor dan anak didiknya dipilih secara cermat. Mentor, yang memberikan nasihat dan panduan, dipasangkan dengan seseorang yang mungkin diuntungkan dari segi pengalaman.
Langkah ketiga dalam program  mentoring yang efektif adalah membuat mentor dan anak didik punya orientasi yang sama. Langkah keempat, melalui periode mentoring, yang secara khusus berlangsung satu tahun atau kurang, mentor dan anak didiknya secara individual dan bersama-sama menemui staf pendukung program untuk melihat apakah segalanya berjalan baik. Langkah kelima, pada akhir siklus mentoring, keseluruhan kesan dan rekomendasi dikumpulkan dari mentor dan anak didiknya berkaitan dengan bagaimana proses dapat berkembang di masa mendatang.
d.  Program Kerja/Keluarga
        Pengaturan jadwal kerja alternatif yang paling umum adalah flextime (waktu kerja fleksibel), compressed workweek (pemadatan jam kerja mingguan), job sharing (pembagian kerja), dan telecommuting (bekerja dirumah).
Flextime memungkinkan karyawan memiliki otonomi lebih besar dengan meng-izinkan mereka memilih jam masuk dan jam pulang, pada periode waktu tertentu yang disebut bandwith. Pengaturan kerja alternatif yang lain adalah pemadatan jam kerja. Sebagai contoh, jika jam kerja umum adalah 40 jam dalam 5 hari, maka hari kerja dipadatkan menjadi empat hari dengan 10 jam kerja per hari.
Pembagian kerja atau job sharing merupakan pembagian posisi full-time antara dua orang, masing-masing bekerja part-time: pengaturan ini lebih umum dalam posisi profesional di perbankan, asuransi, dan pengajaran. Jadwal kerja alternatif lain yang semakin populer adalah telecommuting. Telecommuting   melibatkan penerimaan dan pengiriman pekerjaan antara rumah dan kantor yang dilakukan untuk mendukung pengaturan kerja.










BAB III
PEMBAHASAN

A.     Studi Kasus tentang Diversitas dalam Lingkungan Kerja
Resolusi Jakarta Hilangkan Diskriminasi Kusta
on 26 Jan 2015 at 13:36 WIB

Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, SpM(K) saat berbicara upaya menghilangkan diskriminasi kusta di hadapan ahli, akademisi, dan lembaga sosial masyarakat dalam dan luar negeri di Aula Siwabessy, Kemenkes RI Jakarta.

23
 
Liputan6.com, Jakarta Diskriminasi dan stigma masih saja dialami Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OPMK) di Indonesia meski mereka sudah menjalani pengobatan secara penuh. Ini terjadi mulai dari dipecat perusahaan, sulit mendapat pekerjaan. Tak cuma di lingkungan luar, bahkan stigma juga bisa didapatkan dari keluarga sendiri.
Untuk itu, Menteri Kesehatan RI Prof. Nila Farid Moeloek, SpM., mencanangkan Resolusi Jakarta pada puncak peringatan Hari Kusta Sedunia pada Senin (26/1/2015) pagi di Kementerian Kesehatan RI.
Resolusi Jakarta yang dibacakan oleh Menteri Kesehatan memuat tiga pendekatan yaitu:
1.  Dengan memahami, maka masyarakat berani bergaul dengan orang yang pernah mengalami kusta.
2.  Dengan memahami, keluarga dan tokoh masyarakat dapat peduli mengajak penderita kusta ke puskesmas.
3.  Dengan memahami, maka tenaga kesehatan akan melayani semua pasien dengan penuh kasih sayang dan tidak diskriminatif.
Resolusi Jakarta ini telah disepakati oleh para akademisi, ahli, dan perwakilan lembaga sosial masyarakat baik nasional dan internasional dalam pertemuan mengenai kusta yang digelar pada Minggu (25/1).
"Resolusi ini dapat digunakan bagi penghilangan stigma dan diskriminasi bagi semua warga negara yang memiliki masalah terkait dengan hal tersebut," kata Menteri Kesehatan, Nila Moeloek pada kesempatan itu.
Di Indonesia sendiri, jumlah kasus kusta baru sebanyak 16.856 berdasarkan data 2013. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga setelah India.

B.    Analisis Kasus
Berdasarkan kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat diversitas karyawan dalam hal kemampuan fisik, dimana dalam perusahaan tersebut terdapat karyawan yang mempunyai kondisi fisik pernah menderita penyakit kusta. Namun, hal tersebut justru membuat karyawab yang mempunyai kondisi fisik pernah menderita penyakit kusta mengalami diskriminasi dari rekan kerja dan bahkan dipecat dari perusahaan, walaupun sudah menjalani pengobatan secara penuh.
Dalam hal ini, perusahaan seharusnya tidak membuat keputusan secara sepihak dengan memberhentikan karyawan dengan kondisi fisik pernah menderita penyakit kusta karena hal tersebut dapat memicu diskriminasi yang semakin tinggi dari pihak-pihak lain, seperti keluarga, rekan kerja, dan perusahaan lain. Seharusnya atasan sebagai pemimpin perusahaan harus membuka diri dengan memahami dan mempelajari penyakit kusta.
Selain itu, seharusnya pemimpin melakukan pendekatan individual sebagai langkah efektif mengelola diversitas yang ada di dalam perusahaan. Pendekatan individual untuk mengelola diversitas secara khusus menggunakan dua jalur yang saling tergantung yaitu pembelajaran dan empati. Pembelajaran didasarkan pada memperoleh pengalaman riil atau terstimulasi, sedangkan empati didasarkan pada kemampuan untuk memahami perasaan dan emosi.
Pertama, pembelajaran, inti proses pembelajaran ini adalah komunikasi. Pemimpin harus berkomunikasi satu sama lain secara terbuka, tanpa memedulikan usia, gender, kesukuan, preferensi seksual,agama, atau orang yang terhalang karena kecacatannya, untuk menentukan cara terbaik untuk memahami dan berinteraksi dengan mereka. Dalam hal ini, pemimpin harus mampu berkomunikasi secara terbuka dengan karyawan dengan kondisi fisik pernah  menderita penyakit kusta. Dengan cara ini, pemimpim dapat belajar untuk lebih mengenal nilai personal kelompok yang berbeda dan bagaimana seseorang ingin diperlakukan, tentu saja bagaimana memperlakukan karyawan dengan kondisi fisik pernah  menderita penyakit kusta dengan baik selayaknya karyawan normal lainnya.
Dalam proses pembelajaran ini, pemimpin dapat juga mendorong karyawan yang berbeda, dalam hal ini dengan karyawan dengan kondisi fisik pernah  menderita penyakit kusta untuk memberikan umpan balik berkaitan dengan bagaimana mereka diperlakukan. Dengan cara ini, saat pemimpim melakukan sesuatu yang tidak tepat menurut karyawan tersebut, pemimpin secara cepat belajar dan dapat menyesuaikan diri (perilakunya).
Kedua, empati yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain dan melihat sesuatu dari sudut pandang orang tersebut. Empati merupakan cara penting untuk berhubungan dengan masalah-masalah kecil karena hal tersebut membantu pemimpin memahami sudut pandang karyawan yang berbeda-beda. Dengan demikian, ketika rasa empati sudah terbina dalam perilaku pemimpin, ia akan dapat memperlakukan karyawan dengan kondisi fisik pernah  menderita penyakit kusta dengan baik selayaknya perlakuan yang diterima oleh karyawan normal pada umumnya.
BAB IV
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Lingkungan kerja merupakan keseluruhan sarana dan prasarana yang ada di sekitar karyawan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan kepada karyawan. Lingkungan kerja terdiri dari beberapa komponen yaitu jenis peralatan , pemeliharaan, komunikasi, dan pengalaman pekerja. Kemudian, lingkungan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor terdiri dari faktor fisik, social, dan psikologis.
Diversitas adalah keragaman  antara individu satu dengan individu yang lain dalam sebuah organisasi dimana antarindividu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dalam hal usia, etnis, jenis kelamin, ras, dan kemampuan fisik. Selain itu, definisi lain dari diversitas yaitu keragaman yang disebabkan adanya perbedaan pendapat, budaya, dan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Berdasarkan pendapat para ahli sebelumnya, sifat atau karakteristik diversitas terdiri dari usia, jenis kelamin, ras, suku atau etnik, dan kemampuan fisik. Selain  itu, terdapat dua tingkat keragaman dalam organisasi, yaitu surface-level diversity (keragaman tingkat permukaan) dan deep-level diversity (keragaman tingkat dalam).
27
 
Terdapat lima alasan mengapa diversitas menjadi aktivitas dominan dalam pengaturan sumber daya manusia di organisasi saat ini yaitu pergeseran dari ekonomi produksi menjadi ekonomi pelayanan/jas, globalisasi pasar, strategi bisnis baru yang memerlukan teamwork lebih, merger dan aliansi internasional strategic, dan pasar tenaga kerja yang berubah.
Kemudian. terdapat sejumlah pendekatan yang dapat diambil untuk mengelola diversitas secara efektif, yaitu pendekatan individu dan   pendekatan organisasi. Pendekatan individual untuk mengelola diversitas secara khusus menggunakan dua jalur yang saling tergantung yaitu pembelajaran dan empati. Pembelajaran didasarkan pada memperoleh pengalaman riil atau tersimulasi, sedangkan empati didasarkan pada kemampuan untuk memahami perasaan dan emosi. Pendekatan organisasi untuk mengelola diversitas bermacam-macam tekniknya. Beberapa hal paling umum meliputi testing, pelatihan, mentoring,dan program yang dirancang untuk membantu individu untuk secara efektif menyeimbangkan kehidupan kerja dan keluarga.

B.    Saran
Berdasarkan kasus di atas, perusahaan seharusnya tidak membuat keputusan secara sepihak dengan memberhentikan karyawan dengan kondisi fisik pernah menderita penyakit kusta karena hal tersebut dapat memicu diskriminasi yang semakin tinggi dari pihak-pihak lain, seperti keluarga, rekan kerja, dan perusahaan lain. Seharusnya atasan sebagai pemimpin perusahaan harus membuka diri dengan memahami dan mempelajari penyakit kusta.
Selain itu, seharusnya pemimpin melakukan pendekatan individual sebagai langkah efektif mengelola diversitas yang ada di dalam perusahaan. Pendekatan individual untuk mengelola diversitas secara khusus menggunakan dua jalur yang saling tergantung yaitu pembelajaran dan empati. Pembelajaran didasarkan pada memperoleh pengalaman riil atau terstimulasi untuk lebih memahami bagaimana memperlakukan orang lain dengan baik dan  sewajarnya, sedangkan empati didasarkan pada  kemampuan untuk memahami perasaan dan emosi seseorang. Dengan demikian, pemimpin dapat membuat keputusan dengan bijak yang tidak merugikan pihak tertentu.

         









DAFTAR PUSTAKA
Daft, Richard L. 2008. The Leadership Experience, Fourth Edition. Mason: Thomson.

Hankin, Harriet. 2005. The New Workforce: Five Sweeping Trends That Will Shape Your Company's Future. New York: AMACOM.

Hoyle, David. 2005. Automotive Quality Systems Handbook: ISO/TS 16949:2002, Second Edition. Burlington: Elsevier.

Jones Ray A. Jones dan Jane G. Jones. 2008. Safe Work Practices for the Electrician. Quincy: NFPA.

Nitisemito, Alex S. 2002. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rice, Mitchell F. 2010. Diversity and Public Administration, Second Edition. New York: M.E. Sharpe, Inc.

Rivai , Veithzal. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Desideria, Benedikta. Resolusi Jakarta Hilangkan Diskriminasi Kusta. http://health.liputan6.com/read/2166375/resolusi-jakarta-hilangkan-diskriminasi-kusta






30
 
 



[1] Veithzal Rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), h 165.
[2] Alex S. Nitisemito, Manajemen Personalia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h 183.
[3] David Hoyle, Automotive Quality Systems Handbook: ISO/TS 16949:2002, Second Edition, (Burlington: Elsevier, 2005), h 328.
[4] Ray A. Jones and Jane G. Jones, Safe Work Practices for the Electrician, (Quincy: NFPA, 2008), h 105.
[5] Harriet Hankin, The New Workforce: Five Sweeping Trends That Will Shape Your Company's Future, (New York: AMACOM, 2005), h 67.
[6] Richard L. Daft, The Leadership Experience, Fourth Edition, (Mason: Thomson, 2008), h 333.
[7] Mitchell F. Rice, Diversity and Public Administration, Second Edition, (New York: M.E. Sharpe, Inc., 2010), h 213.

0 Response to "Diversity In The Work Environment"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)