Nilai, Moral, dan Hukum


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berkaitan dengan nilai. Manusia memberikan nilai kepada sesuatu. Nilai itu ada atau riil dalam kehidupan manusia. Dengan nilai diharapkan manusia dapat terdorong untuk melakukan tindakan agar harapannya dapat terwujud. Moral erat kaitannya dengan akhlak yang mengandung makna tata tertib yang datang dari hati nurani manusia. Moral merupakan bagian dari nilai.
Hukum merupakan suatu norma. Norma hukum merupakan aturan-aturan yang bersal dari negara dan sifatnya memaksa. Dengan mematuhi hukum maka akan terciptalah suatu keadilan. Tujuan bernegara Indonesia adalah terpenuhinya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat diketahui dalam pembukaan UUD 1945 maupun pancasila.
Manusia, nilai, moral, dan hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Dewasa ini masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan negatif lainnya sehingga perlu dikedepankan pendidikan agama dan moral karena dengan adanya panutan, nilai, bimbingan, dan moral dalam diri manusia akan sangat menentukan kepribadian individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial dan kehidupan setiap insan. Pendidikan nilai yang mengarah kepada pembentukan moral yang sesuai dengan norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia yang utuh dalam konteks sosial.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Secara umum ada tiga lingkungan yang sangat kondusif untuk melaksanakan pendidikan moral yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Peran keluarga dalam pendidikan mendukung terjadinya proses identifikasi, internalisasi, panutan dan reproduksi langsung dari nilai-nilai moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Hal-hal yang juga perlu diperhatikan dalam pendidikan moral di lingkungan keluarga adalah penanaman nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam segenap aspek. Begitu pula dengan lingkungan pendidikan dimana tempat kita menuntut ilmu dan memang disanalah tempat dimana kita diajarkan nilai-nilai serta moral atau bahkan norma yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu peran dari lingkungan pendidikan ini juga sangat vital.
Pergaulan antar umat di dunia yang semakin intensif akan melahirkan budaya-budaya baru, baik berupa pencampuran budaya, penerimaan budaya oleh salah satu pihak atau keduanya, dominasi budaya, atau munculnya budaya baru. Keseluruhan proses ini tentu saja dipengaruhi oleh proses pendidikan di masyarakat.
Pemunculan kebudayaan baru tidak sepenuhnya memberikan efek positif terhadap perkembangan suatu bangsa, tetapi  ada juga yang berdampak negatif. Untuk menghindari hal-hal negatif dari suatu kebudayaan baru, diperlukan berbagai upaya untuk mengadakan saringan kebudayaan yang dianggap paling tepat untuk diterapkan . Oleh karena pemahaman terhadap kebudayaan menjadi penting bagi seorang pendidik agar pendidik memahami secara persis kebudayaan dan pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan nilai?
b.      Apa yang dimaksud dengan moral?
c.       Apa pengertian dari hukum?
d.      Bagaimana hubungan manusia dengan hukum?
e.       Bagaimana hubungan antara moral dengan hukum?

1.3  Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui bagaimana peranan nilai, moral serta hukum di masyarakat
b.      Untuk mengetahui bagaimana hubungan manusia dengan hukum?
c.       Untuk mengetahui hubungan antara moral dengan hukum?















BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Pengertian Nilai, Moral, dan Hukum
a.       Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Atau nilai dapat juga diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.
Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Menilai dapat diartikan menimbang yakni suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah) atau sebaliknya bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manusia yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan.
Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain:
a.              Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas seperti baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
b.             Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonegoro membagi hierarki nilai pokok yaitu:
a.       Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
b.      Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c.       Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
d.      Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam:
·         Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia
·         Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia
·         Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia
·         Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan melalui akal budi dan nuraninya
Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya, bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai penilai. Baik dan buruk, benar dan salah bukan hadir karena hasil persepsi dan penafsiran manusia, tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan menuntun manusia dalam kehidupannya. Pandangan kedua memandang nilai itu subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya. Jadi nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai. Oleh karena itu nilai melekat dengan subjek penilai.
Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material) saja, bahkan sesuatu yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia seperti nilai religius.

b.      Pengertian Moral
Moral berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim mos, moris, manner mores atau manners, morals.
Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak (bahasa Arab) atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya.
Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Jadi moral adalah tata aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk menjadi manusia yang baik.
Norma terbagi atas empat,yaitu :
a.       Norma Agama. Sanksi yng diberikan tidak secara langsung,tapi hukuman dari Sang pencipta pada hari akhir nanti.
b.      Norma kesusilaan. Sanksinya berupa tekanan batin sang pelaku.
c.       Norma kesopanan. Sanksinya yaitu dapat dikucilkan oleh masyarakat.
d.      Norma hukum. Hukuman berupa kurungan.

c.       Pengertian Hukum
Hukum merupakan bagian dari norma, yaitu norma hukum. Norma hukum adalah peraturan yang timbul dari hukum yang berlaku. Norma hukum perlu ada untuk mengatur kepentingan  manusia dalam masyarakat agar memperoleh kehidupan yang tertib. Norma hukum tertuang dalam perundang-undangan.
Menurut Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.
Norma hukum dibutuhkan karna dua hal:
a.       Karena bentuk sanksi dari norma agama,kesusilaan,dan kesopanan belum cukup memuaskan dan efektif untuk melindungi keteraturan dan ketertiban masyarakat.
b.      Masih banyak perilaku lain yang belum di atur dalam norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, misalnya perilaku dijalan raya.
Norma hukum berasal dari norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Isi ketiga norma tersebut bisa diangkat sebagai norma hukum.
Fungsi hukum yaitu :
a.    Sebagai alat pengukur tertib hubungan masyarakat.
b.    Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial.
c.    Sebagai penggerak pembangunan.
Hukum bertujuan untuk menjamu kepastian hukum dalam masyarakat, memberikan faedah bagi warga negara dan menciptakan keadilan dan ketertiban bagi warga negara.

2.2  Manusia, Nilai, Hukum, dan Moral
Meskipun banyak pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada dasarnya adalah upaya dalam memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of Social Interest, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya.
Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.
Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Menilai dapat diartikan menimbang yakni suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah) atau sebaliknya bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manusia yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan.
Ada dua pendapat mengenai nilai, pertama mengatakan bahwa nilai itu obyektif, ada pada setiap sesuatu. Tidak ada yang diciptakan didunia ini tanpa ada suatu nilai yang melekat didalamnya. Dengan demikian segala sesuatu ada nilainya dan bernilai bagi manusia. Hanya saja manusia tidak atau belum tahu nilai apa dari obyek tersebut. Aliran ini disebut juga aliran objektivisme.
Pendapat kedua menyatakan nilai suatu obyek terletak pada subyek yang menilainya. Misalnya air menjadi sangat bernilai daripada emas bagi orang yang kehausan ditengah padang pasir, jadi nilai itu subyektif. Aliran ini disebut subyektivisme.
Diluar kedua pendapat itu, ada pendapat lain yang menyatakan adanya nilai ditentukan oleh subjek yang menilai dan objek yang dinilai. Sebelum ada subjek yang menilai maka barang atau objek tidak bernilai. Inilah ajaran yang berusaha menggabungkan aliran subjektivisme dan objetivisme.
Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material) saja, bahkan sesuatu yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia seperti nilai religius.


Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain:
1.      Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas seperti baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
2.      Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness).
Sesuatu dapat dianggap bernilai apabila sesuatu itu memiliki sifat sebagai berikut:
a.       Menyenangkan
b.      Berguna
c.       Memuaskan
d.      Menguntungkan
e.       Menarik
f.       Keyakinan
Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak konkret dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang lebih konkret dan objektif dari nilai adalah norma/kaedah. Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu.
Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.

Ada beberapa macam norma/kaedah dalam masyarakat, yaitu:
1.      Norma kepercayaan atau keagamaan
2.      Norma kesusilaan
3.      Norma sopan santun/adab
4.      Norma hukum
Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).
Nilai dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manusia yang bermoral adalah manusia yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

2.3  Hubungan Manusia dengan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia merupakan makluk sosial yang tidak bisa terlepas dari masalah hukum. mengingat manusia tidak dilahirkan dalam keadaaan yang sama (baik fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis, maupun ekonomis) sehingga dari perbedaan itulah muncul inter dependensi yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan sesamanya. Salah satunya dengan membuat hukum untuk mengatur dan membatasi segala kegiatan manusia sebagai makluk individu dan makluk sosial. Secara teori hukum dapat di jalankan dengan baik, tapi dalam kehidupan sehari-hari hukum seakan-akan tidak dapat berlaku seperti sebagaimana mestinya. Sehingga dapat dikatakan manusia itu jauh dari hukum terutama dari hukum yang adil dan menyeluruh pada kalangan masyarakat, baik kalangan bawah, tengah maupun kalangan atas. 
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan).
Manusia selalu berusaha untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang baik, mewujudkan hukum yang adil bagi setiap anggota masyarakat. Tapi hal itu akan sulit terwujud, hal itu dikarenakan manusianya itu sendiri yang mempunyai sifat serakah dan inginkan kekuasaan. Banyak manusia yang hanya demi mendapatkan harta dan kekuasaan mereka rela melanggar hukum yang telah di buat dan merugikan orang lain yang berhubungan atau ikut campur dengan masalah atau tujuannya tersebut. Bahkan mereka rela meninggalkan keluarga, sahabat dan agamanya untuk mencapai tujuannya tersebut. Dengan adanya hal yang seperti itu maka sesungguhnya manusia itu sulit untuk berhubungan erat dengan hukum yang adil dan merata. Sehingga meskipun manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum, tetapi manusia dapat merubah aturan-aturan tersebut sesuai dengan keinginan asalkan manusia tersebut mempunyai harta dan kekuasaan. Sehingga hukum seakan-akan lebih berpihak pada orang-orang memiliki kedudukan diatas dan orang kalangan bawah seperti tidak bisa menolak dan menawar hukum yang telah di buat dalam masyarakat.
Adanya sebuah hukum merupakan dasar atas kehendak masyarakat itu sendiri, atau berasal dari sebuah negara yang telah menciptkannya.  Hukum cenderung dieksplisitkan kedalam bentuk tulisan dan dijabarkan sangsinya bagi pelanggar hukum sehingga hukum bersifat objektiv. Hukum hanya membatasi pada tingkah laku yang bersifat lahiriah. Jika kita mendapatkan sangsi hukum, maka sebuah sangsi tersebut dapat dipaksakan sementara, maksudnya sangsi ini tidak bersifat selamnya, sangsi ini diberikan sesuai bagaimana seorang pelanggar hukum melanggar aturan  pertauran yang telah diberlakukan dalam suatu negara.
Kesadaran akan adanya hukum yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat tidak saja mencakup pengetahuan tentang hukum itu sendiri tetapi juga berkaitan dengan penghayatan dan ketaatan hukum. Dari pengetahuan adanya hukum yang mengatur kehidupan bersama maka akan lahir sebuah pengakuan dan penghayatan terhadap ketentuan hukum tersebut.
Hukum  memiliki defenisi yang didapat dari beberapa sudut pandang oleh pafra ahli hukum, defenisi tersebut diantaranya :
1.      Hukum sebagai ilmu pengetahuan yaitu sebagai pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2.      Hukum sebagai disiplin yaitu sebagai ajaran tentang kenyataan ataupun gejala yang dihadapi
3.      Hukum sebagai kaidah yaitu sebagai pedoman atau patokan sikap tindakan atau perilaku yang pantas diharapkan
4.      Hukum sebagai  tata hukum yaitu struktur dan proses serta perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu dalam bentuk tertulis.
5.      Hukum sebagai petugas yaitu pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegak hukum.
6.      Hukum sebagai jalinan-jalinan berupa nilai yang berasal dari proses konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap buruk maupun baik
Hukum memiliki sifat yang memaksa, maksudnya hukum tersebut memiliki sifat mutlak atau tidak dapat diganggu gugat, dan semua orang yang terikat dalam hukum tersebut mau tidak mau harus mentaati hukum yang telah berlaku. Dan sifat hukum yang lain adalah hukum yang mengatur atau sebagai pelengkap, mkasudnya hukum tersebut dapat dikesampingkan apabila pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam sebuah perjanjian.
Hukum di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.      Hukum umum, hukum yang mengatur kepentingan publik. Hukum  ini terdiri dari :
a.       Hukum tata negara : yang mengatur bentuk negara dan organisasi pemerintahannya
b.      Hukum pidana : yang mengatur hal-hal  yang dapat dihukum
c.       Hukum acarapidana : hukum yang mengatur cara-cara melaksanakan hukum pidana.
d.      Hukum internasional : mengatur hak dan kewajiban yang tinbul karena perhubungan antar negara.
2.      Hukum privat, hukum yang mengatur kepentingan yang bersifat pribadi.
a.       Hukum perdata, hukum yang mengatur kewajiban masing-masing orang terhadap suatu benda.
b.      Hukum acara perdata, hukum yang mengatur cara melaksanakan hukum perdata.
c.       Hukum dagang yaitu hukum yang bersangkutan tentang perdagangan.

2.4  Hubungan antara Moral dan Hukum
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak disertai moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.
Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan moral sangat jelas.
Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :
1.      Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak ‘diganggu’ oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap utis dan tidak etis.
2.      Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3.      Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas hanya hati yang tidak tenang.
4.      Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum.moralitas berdasarkan atas norma-norma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral.
Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :
1.      Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2.      Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia), sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
3.      Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan,
4.      Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5.      Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
6.      Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).













BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Studi Kasus
Masyarakat baru saja melihat kejadian hukum yang merusak moralitas sehingga berkembang persepsi bahwa kini sudah tidak ada lagi keadilan di lembaga penegak hukum. Pertama, putusan hakim terhadap Minah (55) yang diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan atas dakwaan pencurian 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Banyumas.
Belum hilang keheranan publik, hukum juga memaksa Basar dan Kolil mendekam dalam LP Kelas A Kota Kediri karena mencuri sebutir semangka seharga Rp 5.000. Keterkejutan memuncak ketika hukum melalui PT Banten menuntut Prita Mulyasari mengganti kerugian material dan immaterial kepada RS Omni Rp 204 juta karena dakwaan pencemaran nama baik atas pelayanan buruk yang dikeluhkan melalui surat elektronik.
Terakhir, Manisih (40) dan tiga kerabatanya Rabu (10/12) menjalani persidangan di PN Batang atas sangkaan mencuri 14 kilogram kapuk randu di perkebunan PT Segayung, Kecamatan Tulis, Batang. Sidang dilanjutkan Senin (14/12) ini, untuk mendengarkan eksepsi penasihat hukum terdakwa tersebut.
Kejadian-kejadian hukum itu pada akhirnya menimbulkan pengaruh sosial yang bermakna bagi masyarakat, lalu tak kalah penting untuk dipahami, kejadian hukum itu akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan sebagai sumber keadilan. Mengapa kejadian ini berdampak pada pengadilan? Seberapa penting pengaruhnya?
Pengadilan adalah jantung hukum itu sendiri karena menjadi laboratorium bedah atas paket perundang-undangan, profesional hukum melaksanakan fungsi, produk keadilan, dan pertarungan antara moral, nilai dan kepentingan-kepentingan lain.

3.2  Pembahasan
Untuk itulah berkembang adagium klasik di dunia hukum bahwa sebaik atau seburuk apapun teks perundang-undangan maka produk keadilan yang dihasilkan tetap tergantung pada sosok-sosok yang menjalankannya. Di sinilah pentingnya moralitas hukum yang harus dipegang oleh penguasa pengadilan.
Pernyataan itu dapat dikatakan suatu jawaban atas fenomena hilangnya keadilan di pengadilan adanya kasus Minah, Basar-Kolil, dan Prita Mulyasari. Di sisi lain, semuanya merupakan kelompok masyarakat kelas bawah sehingga menjadi bukti langsung bahwa hukum belum dapat dicerna oleh masyarakat awam.
Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian hukum. Itulah sebabnya, hukuman terhadap Amir Mahmud, sopir di BNN hanya karena sebuah pil ekstasi justru dikenai hukuman 4 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sedangkan jaksa Ester dan Dara yang telah menggelapkan 343 butir ekstasi hanya divonis 1 tahun.
Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang.
Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas.
Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum dan pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan. Minah, manisih cs, Basar, dan Kolil secara substansi hukum memang melakukan pelanggaran berupa delik pencurian, namun secara moral mesti dipahami bahwa keadilan di tengah lalu lintas hukum modern adalah menekankan pada struktur rasional, prosedur, dan format.
Jika hal ini ditiadakan, maka akan menegaskan tulisan Harold Rothwax dalam buku Guilty- The Collapse of the Criminal Justice System bahwa masyarakat modern tidak lagi mencari keadilan tetapi mencari kemenangan dengan segala cara. Setidaknya hal demikian dapat terbaca dalam kasus Prita yang menjadi tersangka pencemaran nama baik Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang. Prita dituduh setelah menulis keluhan pelayanan rumah sakit itu terhadap dirinya melalui internet.

Ranah Publik
Keluhan yang dikirim dalam email ke beberapa temannya semula merupakan ranah pribadi, tetapi kemudian surat elektronik tersebut masuk dalam mailing list sehingga menjadi ranah publik. Subjektivitas muncul karena dalam konteks tersebut, moralitas dalam pengadilan tidak membaca adanya Prita sebagai korban yang membutuhkan keadilan melainkan rumah sakit tersebut sebagai korban.
Menurut Thomas Aquinas dalam buku On the Book of Job, keadilan akan musnah dalam dua kemungkinan, yaitu karena sebuah kebijaksanaan yang tidak bijaksana atau karena perbuatan tidak terpuji dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas pengadilan.
Masyarakat harus melakukan check and balances agar hukum benar-benar memiliki visi moral, yaitu mengutamakan kesamaan perlakuan di hadapan hukum tanpa ada diskriminasi, sedangkan profesional hukum harus melakukan lompatan penafsiran atas hukum positif.
Secara kebetulan, kejadian yang menimpa Minah, manisih cs, Basar, Kolil, dan Prita, sekaligus ketimpangan kasus antara Ester-Dara dan Amir Mahmud akan menjadi gerbang sosialisasi gratis untuk pembelajaran masyarakat dalam ranah hukum pidana dan perdata.
Perlu menyosialisasikan kembali tentang pentingnya pemahaman hukum dan kesadaran hukum yang berwawasan moralitas di masyarakat melalui dua domain pencapaian. Pertama, pengembangan atas desa sadar hukum. Kedua, adanya pendidikan hukum rakyat secara dini agar masyarakat mampu mengawal penegakan keadilan baik secara prosedural maupun moral.
Dalam kenyataan tersebut, kasus-kasus hukum itu adalah konflik antara hukum dan moral sehingga membawa kondisi pertarungan nilai-nilai keadilan yang harus dijunjung dalam pengadilan. Oleh karena itu prinsip epikea mesti dijunjung sebagai suatu interpretasi terhadap hukum positif bukan menurut naskah hukum melainkan menurut semangat keadilan moral kebatinan pemegang kuasa pengadilan. Epikea bermaksud mempertahankan esensi hukum yang bersifat intrinsik dan tidak tertulis, bukan dalih pengingkaran atas hukum yang berlaku.
Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Hasil amandemen ini memiliki misi agar tidak terjadi pembiaran penguasa pengadilan menjatuhkan vonis sesuai kepentingan tertentu, tetapi memiliki semangat berdasarkan pada keadilan.
Jelas bukan suatu keadilan kalau gara-gara pencurian semangka seharga Rp 5.000, negara harus menanggung biaya makan Basar dan Kolil di penjara yang jumlahnya lebih dari berlipat-lipat ganda. Bukankah putusan hakim justru merugikan negara?
Moral hukum berupa ”adil” ini menjadikan para hakim untuk terdorong menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) daripada terbelenggu ketentuan UUU (procedural justice). Setidaknya hal tersebut telah menjadi dasar kepada semua hakim mengingat bahwa setiap putusan, hakim selalu menegaskan kalau putusan yang dibuat di pengadilan adalah ”demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, bukan ”demi kepastian hukum berdasarkan Undang-Undang”. Karena itu, keadilan harus disikapi sesuai karakter masing-masing.
Masyarakat telah menyaksikan betapa simpang-siurnya keadaan hukum yang tidak memberi kepastian keadilan terutama pada masyarakat kelas bawah. Untuk itu profesional hukum harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan dalam menegakkan hukum untuk menegakkan keadilan (fiat iustitia) dengan mengusakan kesesuaian antara kebenaran formal dan kebenaran material atau mengedepankan kebajikan dan kepatutan (prudence dan equity) agar keadilan di pengadilan tetap memiliki moralitas sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat.












BAB IV
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
·        Nilai diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin.
·        Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
·        Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.
·         Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
·        Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak disertai moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas.
·        Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan dan harmoni kehidupan.

3.2  Saran
Penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan kepastian hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan (justice), kepastian hukum (certainty of law), dan kesebandingan hukum (equality before the law).
Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan hukum yang bersifat diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender. Penegakan hukum jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM. Karena, sesungguhnya keduanya dapat berjalan seiring ketika para penegak hukum memahami betul hak-hak warga negara dalam konteks hubungan antara negara hukum dengan masyarakat sipil.














DAFTAR PUSTAKA


0 Response to "Nilai, Moral, dan Hukum"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)