Makalah Sejarah Maritim Indonesia
BAB
I
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Nenek moyangku seorang
pelaut, gemar mengarung luas samudra....
Penggalan syair lagu
itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu yang kini hilang. Namun,
"Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah kita ini bangsa bahari?
Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim?"
Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa
Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Mereka ke Utara mengarungi
lautan, ke Barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar, ke Timur hingga
Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan
melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak
maritim dan memiliki armada laut yang besar.
Aktivitas
pelayaran bangsa Indonesia sudah berlangsung sejak jaman nenek moyang kita, berjalan
bersamaan dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Wilayah kepulauan
Nusantara yang terletak pada titik silang jaringan lalu lintas laut dunia,
secara tidak langsung merupakan penghubung dunia Timur dan Barat. Berbagai
hasil bumi dari Indonesia merupakan barang-barang yang dibutuhkan oleh pasaran
dunia. Hal itu telah mengakibatkan munculnya aktivitas perdagangan dan
pelayaran yang cukup ramai dari dan ke Indonesia.
Tidak banyak
sumber yang dapat digali untuk menampilkan sejarah pelayaran Indonesia dalam
masa pra sejarah, kecuali dari penuturan lisan dan relief yang tergambar pada
candi-candi baik candi Hindu maupun Budha yang banyak dibangun setelah tahun
500 Masehi, seperti candi Prambanan, candi Borobudur dan lain-lain.
Dari relief
pada candi dapat dilihat bahwa sesungguhnya pada masa itu sudah berlangsung
pelayaran niaga yang dijalani oleh nenek moyang kita. Perlayaran ini merupakan
wujud aktivitas migrasi penduduk dalam jarak pendek, di samping migrasi pada
kawasan yang lebih jauh, sampai perhubungan laut bagi pengangkutan barang
dagangan.
Dari sini dapat dilihat bahwa
sesungguhnya, pada masa pra sejarah itu masyarakat Indonesia sudah memiliki pranata yang
memungkinkan terjadinya hubungan perdagangan itu, demikian juga bahwa orang
Indonesia masa dulu sudah mendapat manfaat dari aktivitas perdagangan yang
memanfaatkan laut sebagai medium pengangkutannya.
Bangsa Indonesia dengan karakteristik sosial budaya
kemaritiman, bukanlah merupakan fenomena baru. Fakta sejarah menunjukan bahwa
fenomena kehidupan kemaritiman, pelayaran dan perikanan beserta kelembagaan
formal dan informal yang menyertainya merupakan kontinuitas dari proses
perkembangan kemaritiman Indonesia masa lalu. Keperkasaan dan kejayaan nenek
moyang kita di laut haruslah menjadi penyemangat generasi sekarang dan yang
akan datang. Bentuk implementasinya masa kini, bukan hanya sekedar berlayar,
tetapi bagaimana bangsa Indonesia wilayahnya adalah dua per tiga adalah lautan
dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan pembangunan bangsa.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Dalam makalah
ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
i.
Apa
saja bukti yang menggambarkan bahwa kebudayaan nenek moyang menunjukkan awal
kemaritiman di Indonesia?
ii.
Bagaimana
perkembangan kerajaan-kerajaan Maritim di Indonesia dan hubungannya dengan
dunia internasional?
iii.
Bagaimana
sejarah perikanan laut di nusantara oleh kaum nelayan di masa lampau?
iv.
Bagaimana
pengembaraan pelayar dan nelayan di masa lampau?
III.
TUJUAN
PENULISAN
Tujuan dari
penyusunan makalah berjudul “Sejarah Kemaritiman Indonesia” ini yakni :
i.
Membuktikan
bahwa nenek awal kemaritiman di Indonesia memang dibawa dan terlihat dari
kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia.
ii.
Menjelaskan
perkembangan kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia disertai hubungannya dengan
dunia internasional khususnya di sector perniagaan.
iii.
Menjelaskan
catatan-catatan sejarah tentang perikanan laut di Nusanta pada zaman lampau.
iv.
Menjelaskan
catatan-catatan sejarah tentang pengembaraan pelayar dan nelayan di masa
lampau.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
KEBUDAYAAN
NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA SEBAGAI BUKTI AWAL KEMARITIMAN INDONESIA
Nenek moyang
bangsa Indonesia adalah bangsa Austronesia yang kedatangannya ke kepulauan
Nusantara ini mulai sejak kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Masa kedatangan
mereka itu termasuk dalam jaman neolitikum yang memiliki dua sub kebudayaan dan
dua jalur penyebaran. Pertama, cabang
kapak persegi yang penyebarannya bermula dari daratan Asia melalui jalur barat,
dengan bangsa Austronesia sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Kedua, kebudayaan kapak lonjong, yang
penyebarannya melalui jamur Timur, dengan bangsa Papua-Melanesoide sebagai
bangsa pendukung kebudayaan tersebut. Penyebaran kedua kebudayaan ini merupakan
gelombang pertama perpindahan bangsa Austronesia (termasuk Papua Melanesia)
yang akhirnya melebur menjadi Austronesia) ke berbagai daerah atau pulau-pulau
di Indonesia. Gelombang perpindahan bangsa Austronesia terjadi pada jaman logam
yang membawa jenis kebudayaan baru yang disebut dengan istilah kebudayaan
Dongson.
Hasil
penelitian menginformasikan luasnya bahasa Austronesia, (dari Madagaskar di
barat dan Pulau Paska di timur, dan dari Formosa di utara sampai Selandia Baru
di Selatan), sehingga dapat disimpulkan, wilayah Indonesia merupakan etape
kedua dari perpindahan bangsa
Austronesia selanjutnya. Lebih dari itu, jika penyebaran nenek moyang bangsa
Indonesia bias mencapai pulau-pulau yang
berjarak sangat jauh dari asal bangsa itu, dan juga terpisahkan oleh lautan
yang luas, dapat dipastikan mereka mempunyai peralatan yang dipergunakan
menyebrangi laut, yaitu perahu. Dengan kata lain, nenek moyang bangsa Indonesia
adalah bangsa pelaut, yang tentu saja memiliki budaya maritime sebagai produk.
Sebagai contoh, mereka memiliki pengetahuan yang cukup tinggi tentang laut,
angina, musim, bahkan ilmu falak (perbintangan) sebagai pengetahuan untuk
bernavigasi.[1]
Salah satu
benda prasejarah yang bisa diperkirakan sebagai petunjuk bahwa bangsa Indonesia
terbiasa melakukan aktivitas pelayaran antar pulau, bahkan juga perdagangan,
adalah nekara perunggu. Dari hasil
penelitian Heger diketahui adanya berbagai jenis nekara tipe local dan tipe
yang terdapat di daerah daratan Asia Tenggara.[2]
Dari hasil penelitian itu diperkirakan bahwa nekara tersebut berasal dari Asia
Tenggara yang dibawa oleh suku-suku pendatang yang memasuki berbagai kepulauan
di Indonesia. Namun juga bisa sebaliknya, bahwa sebagian dari nekara itu memang
dibuat di Indonesia kemudian dibawa atau diperdagangkan ke daratan Asia Tenggara.
Bukti mengenai itu adalah dengan diketemukannya berbagai cetakan yang
dipergunakan untuk pengecoran perunggu, termasuk untuk membuat nekara. Jika
demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan bagian
dari jaringan lalu lintas pelayaran dan perdagangan Asia Tenggara. Sebagai
daerah produsen ataupun konsumen, demikian juga sebagai jaringan pelayaran dan
perdagangan Asia Tenggara, di Indonesia pada waktu itu, tentu sudah berkembang
kelompok masyarakat dengan pranata sosialnya yang berfungsi sebagai alat pengatur
pergaulan bermasyarakat.[3]
II.
MUNCULNYA
KERAJAAN MARITIM INDONESIA
Negara dan
bangsa Indonesia dengan karakter social budaya kebahariannya sekarang bukanlah
merupakan fenomena baru di nusantara ini. Fakta sejarah menunjukkan kepada kita
bahwa fenomena kehidupan kebaharian kekinian, khususnya bidang
birokrasi/pemerintahan, pelayaran, dan perikanan merupakan kontinyuitas dari
proses perkembangan fluktuatif kehidupan kebaharian masa lalu. Proses
perkembangan politik kenegaraan dengan infrastruktur yang fluktuatif tersebut
memberi gambaran akan muncul dan menghilangnya secara bergantian
kerajaan-kerajaan maritime besar dan kecil dari masa lalu hingga masa Indonesia
merdeka. Munculnya kerajaan-kerajaan maritime di Nusantara masa lalu yang
berdaulat dengan system pertahanan keamanan yang ampuh, tumbuhnya sector-sektor
ekonomi kebaharian terutama pelayaran dan perikanan, aplikasi pengetahuan dan
teknologi kelautan, dan diadakan serta diberlakukannya kebijakan dan
hukum/perundang-undangan laut banyak merupakan hasil kreativitas-inovatif
internal. Semua ini merupakan bukti prestasi masyarakat bahari masa lalu yang
semestinya diberi apresiasi setinggi-tingginya oleh anak bangsa Indonesia
sekarang. Prestasi mana telah menjadi kristalisasi nilai sejarah yang potensial
dijadikan ajuan pembelajaran bagi rekayasa perkembangan kebudayaan dan
peradaban bahari Nusantara ini ke depan. Pendayagunaan potensi local yang
optimal dan eksternal secara selektif sebagaimana diterapkan di masa lalu
kiranya lebih meningkatkan keberdayaan dan wibawa bangsa bahari ini daripada
bergantung sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan eksternal semata seperti cenderung
diterapkan bangsa Indonesia, terutama sejak masa Orde Baru hingga sekarang ini.
Munculnya
secara silih berganti kerajaan-kerajaan-kerajaan maritime nusantara di masa
lalu merupakan fakta sejarah tak tersanggahkan kebenarannya. Buku “Sejarah
Maritim Indonesia” karya Hakim Benardie SP (2003) mengandung catatan dan
gambaran sejarah perkembangan infrastruktur kemaritiman berupa rute pelayaran,
perdagangan, serta kegiatan pembangunan galangan kapal dari kerajaan-kerajaan
besar Nusantara yang menitik-beratkan pada pembangungan kekuatan maritime. Setiap
kerajaan atau Negara maritime di Nusantara ini, tentu saja mempunyai strategi
pembangunan kekuatan social ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, dan
infrastruktur kebaharian (terutama industry kapalperahu, pelabuhan, dan kota
pantai) masing-masing.
Kerajaan
maritim Indonesia :
A.
Kerajaan
Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya pada dasarnya
merupakan suatu kerajaan pantai, sebuah Negara perniagaan dan Negara yang
berkuasa di laut. Kekuasaannya lebih disebabkan oleh perdagangan internasional
melalui selat Malaka. Dengan demikian berhubungan dengan jalur perdagangan
internasional dari dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa yang sejak paling
sedikit lima belas abad lamanya, mempunyai arti penting dalam sejarah.
Sriwijaya memang merupakan pusat perdagangan penting yang pertama pada jalan
ini, kemudian diganti oleh kota Batavia dan Singapura. Menurut berita Cina,
kita dapat menyimpulkan bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat perdagangan
antara Asia Tenggara dengan Cina yang terpenting.1 Sriwijaya adalah kerajaan maritime yang
pernah tumbuh menjadi suatu kerajaan maritime terbesar di Asia Tenggara.
Politik ekspansi untuk mengembangkan
sayap dan menaklukkan kerajaan lain di Sumatra dilakukan Sriwijaya secara
intensif pada abad ke-7, yaitu pada tahun690 M. kenyataan ini diperkuat dengan
adanya prasasti dari kerajaan Sriwijaya, yang semuanya ditulis dengan huruf
Pallawa dan dalam bahasa Melayu kuno. Sebagai kerajaan maritime, Sriwijaya
menggunakan politik laut yaitu dengan mewajibkan kapal-kapal untuk singgah di
pelabuhannya.
Ketergantungan kerajaan Sriwijaya lebih
tergantung dari pola perdagangan yang berkembang, sedangkan pola-pola tertentu
tidak sepenuhnya dapat dikuasainya. Meskipun demikian, pada abad XIII Sriwijaya
masih dapat berkembang sebagai pusat perdagangan dan pelayaran yang besar dan
kuat, serta menguasai bagian besar Sumatra, semenanjung tanah Melayu, dan
sebagian Jawa Barat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Sriwijaya
sebagai sebuah kerajaan maritime yang besar telah mengembangkan ciri-ciri yang
khas, yaitu mengembangkan suatu tradisi diplomasi yang menyebabkan kerajaan
tersebut lebih metropolitan sifatnya. Dalam upaya mempertahankan peranannya
sebagai Negara berdagang, Sriwijaya lebih memerlukan kekuatan militer yang
dapat melakukan gerakan ekspedisioner daripada Negara agraris.
B.
Kerajaan
Samudra
Sebagai akibat dari merosotnya kerajaan
Sriwijaya, di Sumatra Utara muncul beberapa kerajaan maritime kecil.
Kerajaan-kerajaan yang terdapat kira-kira tahun 1300 adalah Samudra, Perlak,
Paseh, dan Lamuri (yang kemudian menjadi Aceh). Kerajan-kerajaan pelabuhan ini
kesemuanya mengambil keuntungan dari perdagangan di selat Malaka.
Sekitar tahun 1350 adalah masa
memuncaknya kebesaran Majapahit. Bagi Samudra, masa itupun merupakan masa
kebesarnannya. Kerajaan Samudra di Aceh yang beragama Islam menjadi bagian dari
Majapahit, rupanya tidak menjadi persoalan bagi Majapahit. Begitu pula Samudra,
berhubungan langsung dengan Tiongkok, sebagai siasat untuk mengamankan diri
terhadap Siam yang daerahnya meliputi jazirah Malaka, juga oleh Majapahit tidak
dihiraukan.
C.
Kerajaan
Majapahit
Menurut Krom, kerajaan Majapahit ini
berdasar pada kekuasaan di laut. Laut-laut dan pantai yang terpenting di
Indonesia dikuasainya. Kerajaan ini memiliki angkatan laut yang besar dan kuat.
Pada tahun 1377, Majapahit mengirim suatu ekspedisi untuk menghukum raja
Palembang dan Sumatra. Majapahit juga mempunyai hubungan dengan Campa,
Kampuchea, Siam Birma bagian selatan, dan Vietnam serta mengirim dutanya ke
Cina. [4]
Sebagai tambahan daerah yang mengakui
kekuasaan Majapahit, Prapanca memberikan nama-nama daerah yang tetap mempunyai
hubungan persahabatan dengan Majapahit. Daerah itu antara lain Siam, Burma,
Champa, dan “Javana” yaitu Vietnam – disamping negeri-negeri yang jauh lagi
seperti Cina, Karnatik dan Benggala, yang mengadakan hubungan dagang dengan
Majapahit.
Dengan uraian perluasan kekuasaan
Majapahit, seperti dijelaskan oleh Prapanca, kita telah menggunakan hipotesa
bahwa pelayaran perdagangan pada abad XIV berada di tangan pedagang Majapahit.
Artinya pada waktu itu, Majapahit memiliki kapal-kapal dagang dan menjalankan
pelayaran sendiri, disamping pelayaran yang dilakukan juga oleh pedagang asing.[5]
D.
Kerajaan
Malaka
Malaka merupakan suatu kota pelabuhan
besar yang letaknya menghadap ke laut. Posisi seperti ini juga dimiliki oleh
kerajaan Maritim lain seperti Banten, Batavia, Gresik, Makassar, Ternate,
Manila atau sungai besar yang dapat dilayari. Malaka muncul sebagai pusat
perdagangan dan kegiatan Islam baru pada awal abad ke-15. Pendiri kerajaan
Malaka adalah seorang pangeran Majapahit dari Blambangan yang bernama
Paramisora. Parameswara berhasil meloloskan diri ketika terjadi serangan
Majapahit pada tahun 1377 dan akhirnya tiba di Malaka sekitar tahun 1400. Di
tempat ini dia menemukan suatu pelabuhan yang baik yang dapat dirapati
kapal-kapal di segala musim dan terletak di bagian selat Malaka yang paling
sempit. Beserta para pengikutnya dalam waktu singkat, dusun nelayan dengan
bantuan bajak-bajak laut menjadi kota pelabuhan, yang karena letaknya yang
sangat baik di Selat Malaka, merupakan
saingan berat bagi Samudra Pasai.[6]
Dengan demikian, Malaka diberi
kesempatan berkembang menjadi pusat perniagaan baru. Sebelum itu, Malaka
hanyalah merupakan sebuah tempat nelayan kecil yang tak berarti. Pada awal abad
ke-14, tempat tersebut mulai berarti buat perdagangan perdagangan, dan dalam
waktu yang pendek saja menjadi pelabuhan yang terpenting di pantai Selat
Malaka.
Melalui persekutuan dengan orang laut,
yaitu perompak pengembara Proto-Melayu di selat Malaka, dia berhasil membuat
Malaka menjadi suatu pelabuhan internasional yang besar. Cara yang ditempuh
Malaka adalah dengan memaksa kapal-kapal yang lewat untuk singgah di
pelabuhannya serta memberi fasilitas yang cukup baik serta dapat dipercaya bagi
pergudangan dan perdagangan.
E.
Demak
: Kerajaan Maritim Islam Pertama di Jawa
Menurut Tome Pires, penguasa kedua di
Demak, Pate Rodim Sr. mempunyai armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung.
Pada masa tersebut, beberapa daerah dapat ditaklukkan. Berdasarkan babad,
penguasa ketiga adalah Tranggana atau Trenggana. Raja ini telah meresmikan
Masjid Raya di Demak. Dalam berita Portugis menyebutkan, pada tahun 1546 dia
gugur dalam ekspedisi ke Panarukan di ujung timur Jawa. Dalam kurun waktu itu
wilayah kerajaan telah diperluas ke barat dan ke timur, dan masjid Demak telah
dibangun sebagai lambing kekuasaan Islam. Kekuatan Demak terpenting adalah kota
pelabuhan Jepara, yang merupakan kekuatan laut terbesar di laut Jawa.
Dari gambaran itu menunjukkan bahwa
Demak benar-benar kekuatan signifikan di Jawa pada abad ke-16. Pada masa Pati
Unuss atau Pangeran Sabrang Lor, tepatnya tahun 1512 dan 1513 dia menyerang
Malaka dengan menggunakan gabungan seluruh angkatan laut bandarBandarr Jawa,
namun berakhir dengan hancurnya angkatan laut dari Jawa.
III.
CATATAN
SEJARAH PERIKANAN LAUT DI NUSANTARA
Dari perspektif
kekuatan social politik dan ekonomi, kaum nelayan di manapun di dunia dari
dahulu hingg sekarang memang selalu termasuk masyarakat marginal. Sebaliknya
dari perspektif social budaya, bagian terbesar dari mereka itulah sesungguhnya
dikategorikan sebagai masyarakat bahari sejati. Menggagas laut dan isinya,
rekayasa sarana perhubungan (perahu/kapal) untuk akses ke laut dan teknologi
pemanfaatan sumberdaya perikanan yang kaya dengan tipenya, dan dinamika pengetahuan
sebagai pedoman aktivitas pelayaran dan perilaku eksploitasi sumberdaya laut,
justru menjadikan kadar kebaharian kaum nelayan dalam berbagai unsur melebihi
kadar budaya kebaharian para pelayar dan saudagar yang memanfaatkan lingkungan
laut sebagai prasarana pelayaran ( pelabuhan/dermaga dan rute-rute pelayaran)
semata.
Sejarah
aktivitas penangkapan ikan di perairan Nusantara ini juga dapat dilacak jauh ke
belakang. Meskipun tingkat-tingkat perkembangan budaya perikanan kurang
terkandung dalam catatan sejarah dibandingkan dengan aktivitas pelayaran (usaha
perhubungan laut), namun dapat diduga bahwa aktivitas kenelayanan berupa
menangkap ikan dan mengumpulkan biota laut tidak liar (kerang-kerangan,
tumbuhan laut) tidak jauh lebih mudah daripada aktivitas berburu dan meramu di
darat, yang mencirikan mode ekonomi subsistem masyarakat sederhana dimana-mana.
Adapun pola aktivitas kenelayanan dan mengumpulkan biota laut tidak liar diduga
sama dengan kalau bukan lebih tua daripada pola aktivitas ekonomi perhubungan
antarpulau, apalagi antarnegara dan benua.
Dari catatan
colonial diperoleh keterangan tentang kegiatan-kegiatan nelayan pesisir dan
pulau-pulau di Nusantara awal abad ke-20, abad ke-19, dan sebelumnya. Misalnya,
komunitas-komunitas nelayan Jawa dan Madura cenderung memusatkan aktivitasnya
pada penangkapan ikan layang di perairan pantai utara Jawa dan Madura dengan
mengoperasikan perahu-perahu mayang
dan menggunakan alat tangkap pukat paying
(dalam Lampe, 1989;Masyhuri,1996; Semedi,2000). Penangkapan layang, yang
dikategorikan sebagai perikanan laut dalam, menjadi tradisi masyarakat nelayan
Jawa dan Madura yang bertahan dan diandalkan hingga sekarang. Meskipun kondisi
tangkapan pada waktu itu cukup melimpah, namun hasil produksi ikan belum juga
mampu memenuhi kebutuhan konsumen penduduk pantai dan pedalaman Jawa yang
sangat besar jumlahnya di abad ke-19 dan awal abad ke-20 – menurut penaksiran
John G. Butcher (2003), kira-kira seperempat dari penduduk Asia Tenggara yang
berjumlah 40 juta jiwa di abad ke-19 tinggal di pulau Jawa. Untuk memenuhi
permintaan ikan dari penduduk Jawa, karena itu, masih diperlukan impor ikan
dari bagian Siapi-api, Sulawesi Selatan, dan pulau-pulau sekitarnya.
Di Sumatra, Bagan Siapi-api (Riau)
merupakan pusat penangkapan ikan-ikan pantai terutama mairo atau lure. Alat
tangkap utama ialah pukat halus berbentuk empat persegi dengan ukuran lubang
rapat yang dipasang pada pondok tancap (di Sulawesi Selatan disebut bagang tancap). Pengelolaan modal
perikanan dikuasai oleh pengusaha-pengusaha keturunan Cina, sedangkan
aktivitaspenangkapan dan pengeringan ditangani penduduk nelayan local. Bagian
besar dari hasil produksi ikan diekspor ke Jawa dan Singapura, sisanya
dipasarkan ke daerah-daerah pedalaman pulau Sumatra sendiri.bentuk usaha
perikanan tersebut masih bertahan sampai sekarang dengan peningkatan kualitas
bahan pukat dan komponen teknik lainnya.
Di bagian
timur Nusantara, Sulawesi Selatan di masa lalu dikenal juga sebagai pusat
produksi ikan dan hasil laut lainnya. Dalam catatan colonial disebutkan
jenis-jenis komoditas hasil laut tua selain ikan yang diusahakan oleh nelayan
Sulawesi Selatan seperti teripang, kerang mutirara, penyu, sirip hiu, telur
ikan, agar-agar, akar bahar dan rotan laut, dan ikan bandeng (budidaya tambak).
Di daerah tersebut terdapat empat kelompok etnis yaitu Bugis, Makassar, Mandar
dan Bajo, yang nelayannya cenderung mengkhususkan tangkapannya pada satu atau
lebih jenis sumberdaya perikanan. Misalnya, nelayan Bugis di Teluk Bone banyak
melakukan usaha bagang (menangkap
ikan campuran berkelompok di perairan pantai); nelayan Makassaar di Galesong
mempertahankan usaha ikan terbang dan telur ikan; nelayan Mandar dengan usaha panjak-rumpon (menangkap ikan layang
dengan pukat payang dan sarana bantu rumpon) dan usaha ikan terbang dan telur
ikan; dan Bajo dengan usaha selam (usaha teripang, kerang, dan biota tidak liar
lainnya) dan usaha pancing. Sebetulnya sebagian nelayan Bugis dan Makassar dan
kebanyakan nelayan Bajo di Sulawesi Selatan tetap mempertahankan usaha selam
(mencari teripang dan kerang mutiara) hingga sekarang, meskipun populasi dari
kedua jenis hasil laut tersebut dalam perairan territorial dan nusantara
semakin berkurang.
Menurut
catatan colonial, usaha-usaha nelayan Bugis, Makassar, dan Bajo pada komoditas
hasil laut tua sudah mengalami perkembangan di abad ke-17 kalau bukan sejak
abad sebelumnya (Macknight, 1976; Sutherland, 1987; Reid, 1992). Daerah
penangkapan (fishing grounds) mereka bukan
hanya mencakup selat Makassar, Teluk Bone, dan Laut Flores, tetapi diperluas ke
perairan Maluku dan Irian Barat, kea rah selatan hingga NTT dan bahkan sampai
ke perairan pantai utara Australia, dan ke arah barat mulai dari perairan
Kalimantan Selatan, perairan pantai Sibolga, Nias, dan Mentawai bagian barat
Sumatra Utara.
Di Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Utara, usaha perikanan tongkol, tuna, dan ekor kuning
dimulai dalam masa pendudukan Jepang dan mengalami perkembangan setelah
kemerdekaan. Usaha ikan dasar (kerapu, kakap, baronang, tenggiri) dan lobster
segar mulai berkembang dalam periode 1980-an. Usaha lobster dan ikan hidup
(kerapu, kakap, napoleon) yang prospektif baru dimulai sejak akhir tahun
1980-an dan Berjaya dalam periode 1990-an (Akimichi, 1996; Tim Social Assesment
COREMAP 10 Propinsi di Indonesia, 1996/1997; 1997/1998). Sebetulnya, menurut
cerita nelayan generasi tua di Sulawesi Selatan, usaha ikan berukuran sedang
(ikan terbang, layang, jenis-jenis sardine dan makeril), dan ikan karang berkualitas
(kakap dan kerapu atau sunu dalam
istilah local) sudah diusahakan sejak dahulu di Sulawesi Selatan.
Perkembangan
sector perikanan yang cukup berarti di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir
ini ialah usaha budidaya rumput laut, ikan kerapu dan lobster, dan kerang
mutiara yang dipraktikkan nelayan yang cukup kreatif dan inovatif. Usaha
budidaya laut bukan hanya berperanan positif terhadap peningkatan pendapatan
dan penyerapan tenaga kerja, tetapi juga pada pembentukan kelembagaan
penguasaan lokasi laut yang menjamin terjaganya kelestarian lingkungan laut.
Perkembangan berbagai
usaha perikanan rakyat tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
eksternal, terutama situasi dan kondisi pasar dan konsumen dalam dan luar
negeri. Penangkapan layang oleh nelayan Jawa dan Madura dan usaha ikan kering
di bagian Siapi-api merupakan respons masyarakat nelayan terhadap permintaan
ikan oleh penduduk nelayan Jawa dan Sumatra di daerah perkotaan dan desa-desa
pedalaman sejak dahulu. Aktivitas nelayan penyelam Bugis, Bajo, dan Makassar
merupakan respons terhadap pedagang-pedagang Cina dari Peking dan Hongkong yang
di masa itu dating langsung ke kota Somba Opu. Produksi ikan tongkol, tuna dan
ekor kuning diekspor ke Jepang dan Australia. Lobster segar, ikan dan lobster
hidup diekspor ke Hongkong dan Singapura, selain diperuntukkan bagi kalangan
elit dan wisatawan asing di Bali, Surabaya, dan Jakarta. Produksi ikan-ikan
segar (jenis-jenis tongkol, tuna, tenggiri, dan lain-lain) sebagian besar
dipasarkan ke Jepang, Kanada, dan Negara-negara tetangga maju lainnya.
IV.
CATATAN
SEJARAH PENGEMBANGAN PELAYAR DAN NELAYAN
Dalam
melakukan aktivitasnya, penduduk bahari, terutama nelayan dan pelayar,
mempunyai mobilitas pengembaraan yang tinggi. Berbeda dengan pelayar yang
tujuannya ialah pelabuhan-pelabuhan di kota-kota pantai, nelayan yang
memanfaatkan sumberdaya hayati (ikan dan spesies-spesies biota lainnya)
tujuannya ialah daerah-daerah penangkapan (fishing
grounds) di perairan pesisir dan laut dalam. Kebanyakan kelompok nelayan
dari Jawa, Madura, dan Bawean mencari ikan layang sampai di kepulauan Natuna,
Selat Makassar, Laut Arafuru, dan Laut Banda. Nelayan pencari telur ikan
terbang dari Mandar sejak dahulu menjajah laut laut dalam selama berbulan-bulan
hingga ke laut Flores dan Maluku. Nelayan pancing tongkol dan tuna dari
Sulawesi Selatan juga mendatangi Laut Flore, Maluku, bahkan sejak tahun 1998
sebagian nelayan Bugis dari Sinjai (Teluk Bone) smpai ke perairan Cilacap
menangkap tongkol. Kelompok-kelompok nelayan paling berani mengarungi dan
tinggal di lautan selama berbulan-bulan ialah nelayan Bugis dan Bajo (Pulau
Sembilan, Teluk Bone), nelayan Makassar (Barranglompo, Kodingang) mencari
teripang dan kerang-kerangan ke seluruh perairan Nusantara. Pengembaraan ke kawasan
Timur Indonesia, mereka mendatangi NTT, Maluku, Biak, hingga Merauke. Ke arah
selatan, mereka mendatangi NTB, kemudian menyebrang ke perairan pantai utara
Australia. Bahkan di abad ke-17, dalam pelayarannya kembali ke Makassar nelayan
penyelam tersebut melalui perairan pantai barat Papua New Guinea yang kaya
dengan mutiara dan teripang. Oleh karena populasi teripang dan spesies-spesies
kerang bernilai ekonomi tinggi telah merosot sejak tahun 1980-an, maka
kelompok-kelompok pengembara tersebut semakin berkurang jumlahnya. Hal menarik
perhatian ialah nelayan Madura (jumlahya tidak kurang dari 10 kapal) juga
sampai di Teluk Bone mencari jenis-jenis teripang yang tidak diambil nelayan
Bugis dan Bajo.
Berbeda dengan
nelayan yang tujuan pengembaraannya terpusat ke daerah-daerah penangkapan (fishing grounds), kemudian ke pelabuhan
tau pelelangan ikan untuk tangkapan, dan membeli perbekalan, pelayar dengan
armadanya justru menjadikan pelabuhan kota-kota pantai dimana-mana sebagai
pusat bongkar muat barang dan penumpang. Bagi mereka, lautan hanyalah merupakan
prasarana dan rute-rute transportasi antarkota pantai, antarpulau, antarnegara,
dan bahkan antarbenua.
BAB
III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Dari penjelasan pada bab dua, tidak
dapat dibantahkan lagi bahwa Indonesia memang terlahir sebagai Negara maritime.
Sebelum Indonesia merdeka, nenek moyang telah menunjukkan bahwa Indonesia pada
zaman dahulu sudah berlayar jauh dengan perahu sederhana dan ilmu yang mereka
miliki melalui kebudayaannya. Hingga munculnya kerajaan-kerajaan maritime yang
semakin memperkuat konsep “kemaritiman” Indonesia. Ditambah dengan puncak
kejayaan Indonesia yang diraih oleh kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11 semakin
menambah keyakinan kita bahwa Indonesia memang Negara maritime yang kuat
dulunya. Selain itu, kegiatan pengembaraan dan perikanan nelayan Indonesia pada
masa lampau sangat menggambarkan jiwa kemaritiman yang tinggi. Mereka berlayar
sampai ke NTT, Maluku, bahkan ke pantai utara Australia.
II.
SARAN
Jika kita perhatikan, keadaan maritim Indonesia saat ini justru mengalami
kemunduran yang signifikan, dikarenakan visi maritim tida lagi jelas dan tidak mampunya masyarakat Indonesia
melihat potensi dari posisi strategis nusantara.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya jita kembali
kapada visi maritim yang dulu seperti diterapkan nenek moyang kita, karena
sejatinya Indonesia menyandang predikat “Negara Maritim” atau negara kepulauan.
Sehingga dengan mengoptimalkan letak strategis dari Indonesia dan kekayaan
sember daya bahari yang melimpah, maka
bukan mustahil jika Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani dan
diperhitunkan di dunia dalam bidang maritim layaknya dimasa jayanya dulu.
Sebaiknya
pemerintah bersama pemimpin – pemimpin lainnya menciptakan persepsi kelautan
yang tepat bagi bangsa Indonesia, yakni
laut sebagai tali kehidupan dan masa depan bangsa. Dengan persepsi demikian
tersebut dapat memacu kesadaran akan arti penting maritim dalam pembangunan
nasional.
Beberapa
fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan berbasis maritim adalah; laut sebagai media pemersatu
bangsa, media perhubungan, media sumberdaya, media pertahanan dan keamanan
sebagai negara kepulauan serta media untuk membangun pengaruh ke seluruh dunia,
yang tujuan akhirnya tentulah penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan
harga diri bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Lampe, Munsi
(2009). Wawasan Sosial Budaya Bahari
(WSBB). Makassar: MKU
Saru, Amran,
et al. Wawasan Sosial Budaya Maritim
(WSBM). Makassar: MKU, 2011
Burhanuddin, Safri, et al. Sejarah Maritim Indonesia, Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia
dalam Proses Integrasi Bangsa. Semarang: Pusat Kajian Sejarah dan Budaya
Maritim Asia Tenggara Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro Semarang, 2003
Sumardjono (2007). Kejayaan Maritim Indonesia. From http://abgnet.blogspot.com/2007/12/negara-bahari.html
Kusumoprojo, Wahyono Suroto (2009). Indonesia Negara Maritim. Jakarta
Selatan: Teraju.
[1] I.C. Glover, Early Trade between India and Southeast Asia
(Hull: Koningstone, 1989), 93-98
[2] Kartodirdjo et.al, Sejarah Nasional I,2.
[3] N.J. Krom, Hindoe-Javaansche Geschidenis (S’’Gravenhage: Martnus Nijhoff,
1931), 34-54
[4] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1989), 27
[5] Sjafei, ‘Catatan mengenai’, 61
[6] A.W. Adam, ‘Pengantar’, dalam:
A. Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga
1450-1680, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara, Jld. II (Jakarta : Yayasan Obor, 1999), 112.
0 Response to "Makalah Sejarah Maritim Indonesia"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)