Makalah Landasan Pendidikan
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan adalah
sesuatu yang patut diperhatikan olh pemerintahan, oleh sebab itu pemerintah
Indonesia khususnya membuat sebuah peraturan perundang – undangan yaitu ,UU
Republik Indonesia No 20 tahun 2003 yang berkenaan dengan system pendidikan
Nasional.
Hal ini menimbang dari
sebuah pembukaan undang undang dasar Negara republik Indonesia yang
mengamanatkan Negara agar melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia , dan untuk memajukan kesejahteraan
umum,mencerdasakankehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Maka dengan hali itu
jelas bahwa Negara harus ikut serta dalam memajukan pendidikan di
Indonesia.tidak hanya sekedar dibuat namun kebijakan undang undang ini harus
juga di implementasikan di lapangan, apakah system pendidikan di Indonesia
sudah sesuai dengan yang di harapkan atau belum , kita akan membahasnya pada
bagian pembahasan.
BAB
II
PEMBAHASAN
a. Mengakali pendidikan
Sejak Reformasi, ada
beberapa ketetapan yang secara normatif tepat dan seyogianya membuat pendidikan
nasional semakin baik.
Pertama, konstitusi mengharuskan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Kemudian, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperjelas bahwa dana minimal 20 persen itu tak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.
Ketentuan itu diimplementasikan pada 2009 setelah UU APBN 2005-2008 berturut-turut digugat dan dinyatakan inkonstitusional, serta sesudah frasa ”selain gaji pendidik” dibatalkan oleh MK. Sejak gaji guru jadi bagian anggaran minimal 20 persen yang disalurkan sebagai dana alokasi umum, di atas kertas anggaran pendidikan secara nasional dan per daerah melonjak tajam. Namun, dibandingkan dengan sebelumnya, besarnya anggaran itu sebenarnya tak jauh berbeda persentasenya.
Sebagai ilustrasi, anggaran pendidikan 2013 berjumlah Rp 331,8 triliun (20,01 persen) termasuk pendidikan Kementerian Agama dan 18 kementerian/lembaga lain yang, jika dikeluarkan bersama gaji guru, jadi hanya 9,8 persen dari APBN. Sementara itu, belanja pendidikan 1973 (ketika harga minyak mentah naik) Rp 436 miliar (9 persen); 2006 Rp 44,11 triliun (10,1 persen); dan 2007 Rp 53,07 triliun (10,5 persen). Jadi, kata ”memprioritaskan” minimal 20 persen pada implementasinya kurang bermakna, apalagi sering kali kurang tepat pemanfaatan dan tak jelas pula pertanggungjawabannya.
Kedua, tentang definisi pendidikan. UU No 20/2003 mendefinisikan ”pendidikan” sebagai ”usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan proses pembe- lajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk...” Artinya, pembelajaran berpusat pada siswa dan siswa aktif. Ayat ini menuntut perubahan pendekatan dan metode pembelajaran.
Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Temu Nasional 2009 meminta menteri mengubah metodologi belajar-mengajar, hingga sejauh ini tak ada upaya serius dan sistematik yang dilakukan. Alih-alih, menteri mengubah kurikulum yang sebenarnya tak urgen dan kurang strategis bagi perbaikan mutu, sementara metode pembelajaran dibiarkan berlangsung bak ritual kuno.
Ketiga, RSBI. Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 mengharuskan pemerintah dan atau pemerintah daerah mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Spirit pasal ini adalah peningkatan mutu agar pendidikan kita setara atau melebihi kualitas pendidikan terbaik di negara-negara maju. Dalam hal ini pemerintah mengacu pada negara-negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan.
Implementasinya adalah RSBI sebagian besar berbiaya tinggi. Asumsinya dipinjam dari adagium dunia dagang, ”kalau mau berkualitas, harus berani membayar mahal”. Karena itu, terjadilah komersialisasi, diskriminasi (pengastaan), dan liberalisasi dalam pendidikan, sementara kualitas tetap tak jelas. Akhirnya MK membatalkan Pasal 50 Ayat (3) yang jadi dasar RSBI dan sekolah mahal itu harus diubah menjadi sekolah reguler.
Keempat, ujian nasional. Dalam Pasal 57 dan 58 UU No 20/2003 dinyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik. Sementara itu, evaluasi dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri.
Implementasinya, pemerintah setiap tahun sejak 2004 menyelenggarakan ujian nasional untuk pemetaan dan pengenda- lian mutu dengan mengevaluasi hasil belajar murid dan berimplikasi pada ketidaklulusan. Atas desakan DPR, tahun 2005 dengan terburu-buru pemerintah membuat Peraturan Pemerintah No 19 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai payung hukum ujian nasional.
Meskipun demikian, ujian nasional tetap dianggap melanggar undang-undang, prinsip-prinsip pedagogi, dan berdampak buruk bagi pendidikan dan pengajaran sehingga pemerintah digugat dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung.
Namun, dengan berkelit bahwa pemerintah terus menyelenggarakan tujuan nasional hingga sekarang, bahkan mulai 2013 dijadikan salah satu komponen menentukan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur undangan.
Kelima, profesionalisme guru dan dosen. Menurut UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, profesionalitas guru dan dosen berfungsi meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan martabat dan peran guru atau dosen (Pasal 4 dan 5).
Untuk itu, undang-undang itu memberi landasan kuantitatif berupa kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik.
Implementasinya yang paling marak adalah sertifikasi portofolio, yaitu penilaian berbagai dokumen guru atau dosen (dalam jabatan). Ketika program separuh jalan, tanpa persiapan matang, tiba-tiba pemerintah menggelar uji kompetensi awal dilanjutkan dengan uji kompetensi guru yang katanya untuk pemetaan.( edukasi.kompas.com/read/2013/03/06)
Pertama, konstitusi mengharuskan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Kemudian, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperjelas bahwa dana minimal 20 persen itu tak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.
Ketentuan itu diimplementasikan pada 2009 setelah UU APBN 2005-2008 berturut-turut digugat dan dinyatakan inkonstitusional, serta sesudah frasa ”selain gaji pendidik” dibatalkan oleh MK. Sejak gaji guru jadi bagian anggaran minimal 20 persen yang disalurkan sebagai dana alokasi umum, di atas kertas anggaran pendidikan secara nasional dan per daerah melonjak tajam. Namun, dibandingkan dengan sebelumnya, besarnya anggaran itu sebenarnya tak jauh berbeda persentasenya.
Sebagai ilustrasi, anggaran pendidikan 2013 berjumlah Rp 331,8 triliun (20,01 persen) termasuk pendidikan Kementerian Agama dan 18 kementerian/lembaga lain yang, jika dikeluarkan bersama gaji guru, jadi hanya 9,8 persen dari APBN. Sementara itu, belanja pendidikan 1973 (ketika harga minyak mentah naik) Rp 436 miliar (9 persen); 2006 Rp 44,11 triliun (10,1 persen); dan 2007 Rp 53,07 triliun (10,5 persen). Jadi, kata ”memprioritaskan” minimal 20 persen pada implementasinya kurang bermakna, apalagi sering kali kurang tepat pemanfaatan dan tak jelas pula pertanggungjawabannya.
Kedua, tentang definisi pendidikan. UU No 20/2003 mendefinisikan ”pendidikan” sebagai ”usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan proses pembe- lajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk...” Artinya, pembelajaran berpusat pada siswa dan siswa aktif. Ayat ini menuntut perubahan pendekatan dan metode pembelajaran.
Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Temu Nasional 2009 meminta menteri mengubah metodologi belajar-mengajar, hingga sejauh ini tak ada upaya serius dan sistematik yang dilakukan. Alih-alih, menteri mengubah kurikulum yang sebenarnya tak urgen dan kurang strategis bagi perbaikan mutu, sementara metode pembelajaran dibiarkan berlangsung bak ritual kuno.
Ketiga, RSBI. Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 mengharuskan pemerintah dan atau pemerintah daerah mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Spirit pasal ini adalah peningkatan mutu agar pendidikan kita setara atau melebihi kualitas pendidikan terbaik di negara-negara maju. Dalam hal ini pemerintah mengacu pada negara-negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan.
Implementasinya adalah RSBI sebagian besar berbiaya tinggi. Asumsinya dipinjam dari adagium dunia dagang, ”kalau mau berkualitas, harus berani membayar mahal”. Karena itu, terjadilah komersialisasi, diskriminasi (pengastaan), dan liberalisasi dalam pendidikan, sementara kualitas tetap tak jelas. Akhirnya MK membatalkan Pasal 50 Ayat (3) yang jadi dasar RSBI dan sekolah mahal itu harus diubah menjadi sekolah reguler.
Keempat, ujian nasional. Dalam Pasal 57 dan 58 UU No 20/2003 dinyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik. Sementara itu, evaluasi dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri.
Implementasinya, pemerintah setiap tahun sejak 2004 menyelenggarakan ujian nasional untuk pemetaan dan pengenda- lian mutu dengan mengevaluasi hasil belajar murid dan berimplikasi pada ketidaklulusan. Atas desakan DPR, tahun 2005 dengan terburu-buru pemerintah membuat Peraturan Pemerintah No 19 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai payung hukum ujian nasional.
Meskipun demikian, ujian nasional tetap dianggap melanggar undang-undang, prinsip-prinsip pedagogi, dan berdampak buruk bagi pendidikan dan pengajaran sehingga pemerintah digugat dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung.
Namun, dengan berkelit bahwa pemerintah terus menyelenggarakan tujuan nasional hingga sekarang, bahkan mulai 2013 dijadikan salah satu komponen menentukan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur undangan.
Kelima, profesionalisme guru dan dosen. Menurut UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, profesionalitas guru dan dosen berfungsi meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan martabat dan peran guru atau dosen (Pasal 4 dan 5).
Untuk itu, undang-undang itu memberi landasan kuantitatif berupa kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik.
Implementasinya yang paling marak adalah sertifikasi portofolio, yaitu penilaian berbagai dokumen guru atau dosen (dalam jabatan). Ketika program separuh jalan, tanpa persiapan matang, tiba-tiba pemerintah menggelar uji kompetensi awal dilanjutkan dengan uji kompetensi guru yang katanya untuk pemetaan.( edukasi.kompas.com/read/2013/03/06)
b.
Pertimbangan tentang kebijakan peraturan perundang-undangan
UU no 20 tahun 2003
sudah lama diterbitkan , namun implementasinya sangatlah kurang di lapangan.
Selain itu keteladanan pendidik juga turut menyebabkan rendahnya moral
pendidikan terutama pada pendidikan sekolah menengah atas.
Menurut penjabaran
diatas banyak sekali kejanggalan yang terjadi pada system pendidikan nasional
di Indonesia,misalnya pada pelaksanaan UN, pelaksanaan UN dinilai sangat tidak
merata karena soal soal yang diberikan tidak sebanding dengan yang diberikan di
sekolahan yang bisa disebut berada di pedalaman Indonesia.
Di samping itu juga BPK
mencatat adanya penyimpangandalam ujian nasional yang merugikan Negara sebesar
Rp37,55 miliar. Menurut Hadi, selain menemukan adanya kerugian negara, ada
beberapa kelemahan pelaksanaan UN. Antara lain, anggaran disusun hanya
berdasarkan pengalaman tahun lalu tanpa mendasarkan dokumen pendukung yang
lengka dan tanpa dasar perhitungan. Perhitungan kebutuhan dana juga tidak
didukung dengan dasar yang cukup dan jumlah siswa yang tidak jelas.
Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional masih belum diimplementasikan dengan baik. Hal ini
disebabkan karena peraturan tersebut masih sarat akan kepentingan politis
sehingga dibutuhkan adanya penyelesaian masalah dengan pemuda sebagai poros
utama perubahan moral bangsa. Pemikiran kritis serta aksi tanpa tendensi
menjadikan pemuda sebagai komponen penting dalam pengawasan kebijakan
pemerintah maupun akselerasi pendidikan moral secara langsung. Pendidikan moral
tidak sebatas paparan kognitif oleh pendidik yang berakhir di lembar ujian,
namun nilai-nilai moral yang dijadikan sebagai landasan dalam kehidupan
sehari-hari.
c.
implementasi kebijakan pendidikan
Indonesia
Dalam
mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari
implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh
pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan.
Tujuan utama MBS adalah
meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi
diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi
masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Pelaksanaan MBS
memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah
tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu,
tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi
dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya.
Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai
komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab.
Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi visi dan misi
organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan
keperluannya.
BABIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembuatan perundang –
undangan adalah langkah yang bijaksana agar bangsa Indonesia bisa maju
danberkembang dalam hal pendidikan. Disamping itu implementasinya di lapangan
juga harus diperhatikan,karena pemerintah jangan hanya membuat sebuah
peraturanakan tetapi peraturan itu dibiarkan begitu saja.
Kebijakan pendidikan
adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan
situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum
untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan
bisa dicapai. Fungsi kebijakan pendidikan yaitu kebijakan pendidikan dibuat
untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan
atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan
garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang
pendidikan atau organisasi
DAFTAR
PUSTAKA
UU republik Indonesia
no 20 tahun 2003-Sisdiknas
Munif,Achmad.2009.pengantar ilmu pendidikan.Semarang:Unnes
Press
0 Response to "Makalah Landasan Pendidikan"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)