Teori Gestalt
TEORI GESTALT
Dasar pokok
aliran psikologi ini pertama kalinya dirumuskan Max Wertheimer pada tahun 1912
yang berbunyi, “keseluruhannya lebih dari jumlah bagian-bagiannya.” Kelebihan
itu terjadi karena manusia cenderung melihat suatu pola, organisasi, integrasi
atau konfigurasi dalam apa yang dilihatnya. Konfigurasi yang membentuk
kebulatan keseluruhan itu disebut dalam bahasa Jerman Gestalt, suatu istilah
yang sukar diterjemahkan dank karena itu dipertahankan oleh semua bahasa.
Demikianlah lahir teori Gestalt, juga disebut teori organismic, dan teori
psikologi lapangan (field psychology).
Wolfgang
Kohler dan Kurt Koffka dalam buku “The Mentality of Apes” (1925) dalam
eksperimen menguji hipotesis Thorndike tentang “Trial and Error” , yaitu dalam
memecahkan suatu masalah, individu atau binatang akan melakukan perbuatan –
perbuatan secara acakan dan akhirnya secara kebetulan akan dapat memecahkannya.
Dalam percobaan dengan simpanse ternyata, bahwa binatang itu memecahkan masalah
secara tiba-tiba,karena menurut Kohler ia mendapat “insight”. Pemecahan dalam
hubungan unsur-unsur situas itu.
Salah
satu anggapan psikologi behaviorisme yang paling merusak ialah baha dalam
belajar, individu itu pasif, ia memberi stimulus dan memberi respons secara
sereotip dan otomatis. Stimulus dianggap sebab dan respons dianggapsebagai
akibat. Manusia sebagai mesin yang sangat baik desainnya yang dapat
dikendalikan. Siswa dapat dikendalikan oleh guru dengan bahan yang dipilih
pengembang kurikulum. Manusia dapat dikondisi menurut kemauan penguasa atau
masyarakat.
Kunci
dalam psikologi Gestalt adalah “insight”. Belajar adalah mengembangkan insight
pada anak dengan melihat hubungan-hubungan antara unsur-unsur situasi
problematis dan denan demikian melihat makna baru dalam situasi itu. Belajar
buka sesuatu yang pasif, dalam belajar siswa mempunyai tujuan, mengadakan
eksplorasi, menggunakan imajinasi dan bersifa kreatif, jadi jauh berbeda dengan
psikologi behavioristi yang memendang belajarsebagai mekanistik dan
deterministik.
Insight
ialah mula – mulaadanya perasaan, adanya petunjuk yang samar – samar tentang
pola, hubungan antara unsur – unsur suatu masalah , pada suatu saat tiba – tiba
menjadi terang.
Bagaimaa timbulnya insight tak selalu
dan serig dapat diverbalisasikan, dinyatakan dengan kata – kata, karena
terjadinya dalam lompatan pikiran dan intuisi. Simpanse memperoleh insight dan
tentu tak dapat membahasakannya. Insight adalah jawaban atau hipotesis
sementara, yang mungkin benar atau tidak, kebenarannya masih perlu diuji.
Guru
tak dapat memberi insight, walaupun dapat membantu, murid sendirilah yang harus
menemukannya sendiri menurut pikirannya sendiri, menurut makna yang dilihatnya
dalam situasi itu. Insight belum berarti memahami suatu masalah sepenuhnya,
akan tetapi hingga batas tertentu. Insight juga belum dapat digeneralisasi.
Untuk itu jumlahnya harus cukup banyak dengan pegalaman yang kaya. Generalisai
yang diperoleh sering dirumuskan dalam bentuk “Jika.. maka.. Bila tercapai
generalisasi maka dapat digunakan atau ditransfer dalam situasi lain yang pada
prinsipnya menunjukkan persamaan. Namun transfer tidak dengan sendirinya akan
terjadi, wlaaupun prinsip itu telah dipahami sepenuhnya. Seorang sarjana dapat
bersifat ilmiah dalam bidangnya, misalnya fisika, akan tetapi dalam bidang social
yang tidak bertindak ilmiah, bahkan percaya akan mistik dan superstisi. Atau ia
tidak mengenal situasi dalam hibungannya dengan prinsip itu, atau ia tidak mau,
atau tak sanggup menerapkannya, misalnya ia tahu ia harus berkorban untuk
sesame manusia, namun ia lebih memperhatikan kepentingannya sendiri.
Transfer
dapat terjadi bila terbuka kesempatan untuk menerpkannya dalam situasi yang
dilihatnya sebagai kesempatan dan ada hasrat untuk menggunakannya.
Membantu
siswa untuk memperoleh generalisasi dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama :
guru merumskannya, menjelaskannya dan kemudian menyuruh siswa menerapkannya.
Kedua : guru memberi latar belakang secukupnya, dan segera bila siswa merasakan
ia memahaminya, ia disuruh mengaplikasikannya. Ketiga : guru memberi latar
belakangnya, siswa disuruh menemukan generalisasinya, lalu merumuskannya.
Ternyata, bahwa metode kedua lebih efektif dalam transfer.
Kurt Lewin (1890-1947), juga penganut
teori keseluruhan, adalah pionir psikologi lapangan atau field psychology.
Untuk memahami seseorang, kita harus mengetahui segala sesuatu tentang dirinya,
buah pikirannya, prinsip – prinsipnya, konsep diri dan apa saja yang dapat
mengidentifikasi dirinya. Dengan lapangan psikologi dimaksud sotuasi psikologis
dimana ia berada. Psikologi ini disebut juga psikologi lapangan kognitif.
Menurut
teori lapangan, beajar adalah proses interaksional, dalam mana individu
memperoleh insight baru atau modifikasi yang lama. Belajar adalah modifikasi
life space, yang meliputi tujuan seseorang, hal –hal yang ingin dielakkannya,
halangan antara dirinya dengan tujuan, jalan yang mngkin ditempuhnya dan
sebagainya. Bagi guru, makin dikenalnya life space siswa, makin ia dapat
meramalkan kelakuan siswa itu dan dengan demikian makin dapat ia memberi
bantuan.
John
Dewey yang juga termasuk penganut teori Gestalt, organismic atau teori lapangan
kognitif, memandang berpikir sebagai proses reflektif yang pada dasarnya tak
berbeda dengan berpikir ilmiah. Dalam cara berpikir ini digabungkanproses induktif,
pengumpulan data, dan proses deduktif, mencari, menganalisis, dan menguji
hipotesis. Bedanya dengan proses ilmiah ialah, bahwa dalam pemikiran reflektif
tidak digunaka laboratorium sehinggadapat digunakan dalam pemecahan segala
macam masalah termasuk masalah sosia. Langkah –langkah pemecahan masalah
menurut Dewey telah cukup terkenal :
1. Mengenal
dan merumuskan masalah. Masalah timbul bila terdapat perbedaan atau
pertentangan antara tujuan – tujuan, antara data dan sebagainya.
2. Merumuskan
hipotesis itu, yaitu kemungknan jawaban dalam bentuk generalisasi yang
ditemukan sendiri, yaitu harus diuji kebenarannya. Pada dasarnya, semua
generaslisasi merupakanhipotesis yang senantiasa perlu diuji kebenarannya.
Hipotesis itu berkisar antara dugaan berdasarkan informasi minimal sampai
prinsip atau hukum dengan verifikasi yang tinggi tarafnya.
3. Menyelidiki
implikasi hipotesis dengan mengumpulkan data atau pengetahuan.
4. Mentes
hipotesis dengan menguji implikasi atau konsekuensi hipotesis berdasarakan data
atau penglaman.
5. Mengambil
kesimpulan, yakni menerima hipotesis, menolaknya, memodifikasi, atau menyatakan
bahwa berdasarkan data yang ada belum dapat diambil kesimpulan.
Prinsip
– prinsip belajar menurut teori Gestalt
1.
Belajar
itu berdasarkan keseluruhan
Keseluruhan
lebih dari jum;ah – jumlah bagian. Bagian – bagian hanya mengandung arti dalam
hubungannya dengan keseluruhan. Mengubah bagian akan mengubah juga
keseluruhannya. Sebuah kalimat lebih berarti daripada jumlah kata – kata atau
hurufnya.
Bagian
– bagian hanya berarti dalam hubungannya dengan keseluruhan.fakta – fakta yang
lepas tidak mengandung arti dank arena itu mudah dilupakan. Menghafal peristiwa
– peristiwa atau tahun dalam sejarah atau nama –nama dan hasil bumi dalam mata
pelajaranIPS tidak berapa faedahnya, bila kita tidak memahami hubungannya
dengan keseluruhan yang lebih luas.
Demikian
pula pendidik –pendidik modern berpendapat bahwa mata pelajaran yang lepas –
lepas kurang manfaatnya sebab tidak berdasaarkan atas keseluruhan ini. Itu
sebabnya maka orang berusaha untuk mengadakan hubungan antara pelbagai mata
pelajaran yang disebut korelasi antara mata pelajaran, malahan dapat juga
meniadakan segala batas – batas antara mata pelajaran dengan
mengintegrasikannya.
Yang
diberikan ialah masalah atau pokok yang luas yang harus dipecahkan oleh anak
–anak. Dalam menyelesaikannya mungkin sekali anak – anak mempelajari hal –hal
berkenan dengan sejarah, ilmu hayat, kesenian dan sebagainya, akan tetapi apa
saja yang dipelajari, tidak merupakan fakta – fakta terlepas, melainkan
senantias sebagai bagian dalam hubungan yang lebih luas. Pengajaran serupa ini
lazim disebutpengajaran “unit” atau pengajaran proyek. Prinsip keseluruhan ini
ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kurikulum, baik menganai
isinya maupun mengenai organisasinya.
2.
Anak
yang belajar merupakan keseluruhan
Sekolah yang
tradisional bertujuan : menyampaikan kultur atau kebudayaan kepada murid –murid
dengan jalan mnumpukan sejumlah pengetahuan kedalamingatan anak dengan harapan,
bahwa ia akan menggunakannya kelak bila ia telah dewasa. Pengajaran serupa ini
sering disebut intelektualistis, sebab dititik-beratkan pada pendidikan intelek
atau dalam kebanyakan hal sebenarnya pada pendidikan ingatan saja, ia seorang
pribadi, suatu keseluruhan yang menghadapi situasi-situasi bukan hanya secara
intelektual, melainkan juga secara emosional, social, dan jasmaniah. Bila kita
mengajarkan IPS misalnya, kita dapat berusaha sehingga anak itu mengerti akan
bahan pelajaran. Akan tetapi disamping itu murid itu mungkin juga belajar benci
akan gurunya atau kepada pelajaran itu atau kepada segala sesuatu yang
berbaupelajaran sekolah. Mengenai pendidikan intelektual mungkin kita mencapai
hasil yang baik, akan tetapi dalam pendidikan emosinya kita gagal.
Sebab itu, dalam pengajaran modern,
orang bukan hanya mengajarkan mata pelajaran, akan tetapi mengutamakan tujuan
mendidik anak, membentuk seluruh pribadi anak seutuhnya.
Dalam pada itu, anak tidak hanya
dipandang sebagai murid sekolah saja, pribadi anak tidak dapat dilepaskan dari
kehidupannya diluar sekolah, di rumah, dan di lingkungan sekitarnya. Suasana
sekolah sedapat – dapatnya diselaraskan dengan suasana rumah. Sekolah hendaknya
dijadikan bukan hanya tempat anak mempelajari berbagai ilmu, akan tetapi juga
tempat mereka hidup dan belajar hidup. Kurikulum sekolah disesuaikan dengan apa
yang diperlukan anak bagi kehidupannya sehari – hari. Dengan demikian dicegah
adanya jurangyang sering terdapat antara sekolah dengan kehidupan di luar
sekolah untuk mencapai integrasi pribadi murid.
3.
Belajar
berkat insight
Teori asosiasi
mementingkan ulangan dan pembiasaan dalam proses belajar. Belajar serupa ini
disebut mekanis. Teori organisme memandang “insight”, pemahaman atau titikan
sebagai syarat mutlak dalam hal belajar. Dengan insight dimaksud suatu saat
dalam proses belajar, sewaktu seseorang melihat atau mendapat pengertian atau
tentang seluk – beluk sesuatu, atau melihat hubungan tertentu antara unsur –
unsur dalam situasi yang mengandung suatu problema atau kepelikan. Dalam
percobaan oleh Kohler dengan simpanse, binatang itu berhasil menyambungkan dua
kerat bamboo utuk meraihpisang yang diletakkan di luar kandangnya. Pada saat
kera itu melihat hubungan antara unsur –unsur dalam situasi yang problematis itu,
(yakni antara unsur – unsur bamboo, dirinya, jeruji, pisang) ia memperoleh
“insight” atau suatu “Aha Erlebnis”.
Hal yang demikian terjadi juga pada
manusia yang menghadapi situasi yang mengandung kesulitan dan sering secara
tiba – tiba memahami seluk – beluk situasi itu, setelah ia mendapat “insight”.
Pemahaman tidak diperoleh semata – mata dengan jalan mengulang- ulangi dan
latihan – latihan seperti pada teori asosiai. Paa sebenarnya “insight” ini
belum dapat dijelaskansepenuhnya.
Bagi pembinaan kurikulum, prinsip
“insight” ini berarti bahwa anak – anak harus dihadapkan kepada masalah –
masalah, dalam bentuk proyek atau unit yang mengandung problema – problema yang
harus dipecahkan.
4.
Belajar
berdasarkan pengalaman
Belajar memberi
hasil yang sebaik-baiknya bila didasarkan pada penglaaman. Pengalaman ialah
suatu interaksi, yakni aksi dan reaksi, antara individu dengan lingkungan.
Individu menjalani pengaruh lingkungan, jadi ada aksi dari lingkungan terhadap
individu , akan tetapi sebaliknya individu juga bereaksi terhadap pengaruh
lingkungan itu. Ia berbuat sesuatu, yakni mempertimbangkan, mengolah,memikirkan
pengaruh lingkungan itu. Bila seorang anak kena api, maka hal itu suatu
kejadian atauperistiwa dan belum merupakan suatu pengalaman. Kejadian itu akan
menjadi pengalaman, apabila anak itu mengolahnya, menghubungkannya dengan
pengalaman yang sudah, mentafsirkannya, dan mengambil kesimpulan, bahwa api itu
sesuatu yang berbahaya yang dapat menimbulkan rasa sakit, sehingga ia dapat
menentukan sikapnya dan dapat menjaga diri terhadap api kelak. Berkat
pengalaman itu ia belajar, kelakuannya berubah, artinya bahwa ia bertindak
lebih efektif dan serasi dalam menghadapi situasi – situasi hidupnya.
Anak itu mula – mula akan memandang
api sebagai sesuatu yang berbahaya, akan tetapi berdasarkan pengalaman –
pengalaman lain ternyata bahwa api itu tidak selalu berbahaya, akan tetapi
banyak sekali manfaatnya dan memberi kesenangan pada manusia. Pengalaman
pertama rupanya tidak benar seluruhnya dank arena itu harus dirombak,
direorganisasi atau disusun kembali. Belajar ialah reorganisasi pengalaman –
pengalaman yang lampau yang ternyata tidak lengkap, tidak sempurna. Oleh sebab
itu tidak ada pengetahuan dan pengalaman kita yang sempurna, kita harus
senantiasa mereorganisasi pengalaman kita selama kita hidup.
Pendapat lama dan teori – teori yang
lampau sering harus disempurnakan atau diganti dengan yang baru ternyata lebih
baik daripada yang sudah – sudah. Menusia senantiasa membuat penemuan baru dan
mereorganisasi pengetahuan yang lama dan dengan demikian memperluas kebudayaan
dunia. Manusia terus belajar dan tak akan kunjung selesai meningkatkan
pengetahuannya.
Belajar itu baru timbul bila
seseorang menemui suatu situasi baru, suatu soal, kesulitan atau problema.
Dalam menghadapinya ia akan menggunakansegala pengalamannya yang sudah – sudah.
Jika dengan pengalamannya itu ia sanggup menghadapinya, tidak akan timbul
proses belajar. Ia sekedar menggunakan pengalaman yang lampau itu. Tetapi bila
ternyata bahwa pengalamannya yang ada tidak cukup untuk mengatasinya, ia akan
mengalami semacam frustasi. Keseimbangannya terganggu, lalu ia mencoba mencari
jalan untuk memecahkan soal itu. Diantara percoban itu ada yang tak berhasil,
itu dikesampingkannya. Percobaannya itu dilanjutkannya jadi proses belajar
berlangsung terus menerus sampai kesulitan itu diatasinya.
Disinipun kita lihat, seperti
dianjurkan penganut – penganut prinsip belajar yang telah tersebut diatas
betapa perlunya diusahakan, agar kurikulum itu berupa problema – problema yang
dihadapkan kepada anak – anak untuk dipecahkannya agar ia belajar.
5.
Belajar
ialah suatu proses perkembangan
Manusia adalah
suatu organisme yang tumbuh dan berkembang menurut cara –cara tertentu. Kita
tak dapat mengajarkan segala sesuatu yang kita kehendaki. Anak – anak baru
dapat mempelajarinya dan mencernakannya, bila ia telah matang untuk bahan
pelajaran itu. Kita ketahui bahwa pada anak kelas satu SD belum dapat diberikan
teori – teori tentang listrik atau tata negara, karena mereka belum matang
untuk itu.
Kesiapan anak untuk mempelajari
sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan atau taraf pertumbuhan batiniah,
tetapi juga dipengarui oleh lingkungan, yakni oleh pengalaman – pengalaman yang
telah diperoleh anak itu. Misalnya kesiapan untuk membaca akan lebih cepat
terdapatpada anak – anak yang telah berkenalan dengan buku – buku bergambardi
rumah atau yang sering dibacakan cerita – cerita dari buku oleh ibu bapaknya,
sebelum ia menginjak sekolah, daripada anak – anak yang tidak pernah memperoleh
pengalaman – pengalaman dengan buku. Jadi tak perlu kita hanya menunggu saja.
Kita dpat menciptakan situasi – situasi dan lingkungan bagi anak yang dapat
mempercepat atau membangkitkan kesiapannya untuk mempelajari sesuatu.
Dalam hal ini tidak semua anak sama.
Anak – anak berbeda pengalaman dan kematangannya, sekalipun umurnya sama.
Perbedaan individual ialah suatu prinsip yang harus dipikirkan dalam pembinaan
kurikulum. Memaksakan semua anak mempelajaribahan yang sama tidak dapat dipertahankan.
Karena itu kurikulum hasrus disusun sedemikian, sehingga sedapat mungkin dapat
disesuaikan dengan perbedaan individual, baik mengenai kuantitas maupun
kualitasnya. Anak yang pandai harus diberikemungkinan menyelesaikan lebih
banyak pelajaran daripada anak yang kurang pandai an anak – anak harus dapat
mengembangkan bakatnya dalam berbagai lapangan.
6.
Belajar
ialah proses yang kontinu
Anak
– anak tidak hanya belajar di sekolah, aka tetapi juga di luar sekolah. Mereka
memperoleh juga pengalaman – pengalaman berkat radio, surat kabar, majalah,
pergaulan di rumah, dan sebagainya. Malahan kerapkali hal – hal yang
dipelaaridenga tak sengaja di luar sekolah dan sebelum bersekolah lebih
mendalam lagi, oleh sebab tujuan – tujuan yang mereka kejar disitu lebih menarik,
lebih memuaskan, lebih menyenangkan dan sesuai dengan kebutuhannyadaripada
tujuan – tujuan yang ditentukan dan sering dipaksakan oleh sekolah. Lagipula di
luar mereka banyak memperoleh pengalaman – pengalaman langsung atau first hand
experiences.
Mereka
tidak bicara tentang padi, ikan, laying – laying dan sebagainya, aka tetapi
mereka turut memotong padi, mereka menangkap ikan di sungai, mereka membuat dan
bermain laying – laying dan sebagainya. Di sekolah mereka kebnayakan membaca
dan mendengarkan saja. Kurikulum yang modern menyesuaikan pelajaran sekolah
dengan kehidupan, permainan, kesukaan, dan minat anak di luar sekolah. Apa yang
dahulu dianggap sebagai aktivitas extrakurikuler, yakni aktivitas anak di luar
pelajaran seperti perkumpulan sekolah, hobi anak- anak, kepanduan dan lain –
lain, dimasukkan sekolah ke dalam kurikulum menjadi tanggung jawab sekolah.
Kontinuitas
juga diusahakan dengan meniadakan tinggal kelas. Anak yang tinggal kelas tidak
kontinu pelajarannya oleh sebab ia harus mengulangi bahan yang sama selama satu
tahun. Kurikulum hendaknya disusun demikian, sehingga tiap anak terus maju
sesuai dengan kecepatannya masing – masing.
Kontinuitas
harus pula ada dalam pelajaran sekolah rendah, menengah dan tinggi. Seperti
anak maju dari kelas yang satu ke kelas berikutnya, demikian pula anak itu
harus pula maju dari sekolah rendah ke sekolah menengah dan seterusnya.
Pertanyaan timbul, apakah Sekolah Dasar harus terpisah benar – benar dari SMP
dan sekolah ini harus terpisah pula dengan SMA ? apakah tidak dapat disatukan
sekolah – sekolah itu seluruhnya menjadi sekolah dari kelas 1 sampai kelas 12 ?
Kontinuitas
akan terganggu pula apabila pelajaran di sekolah berlainan atau bertentangan
dengan norma – norma yang diajarkan di rumah. Maka timbullah konfik dalam diri
si murid. Ia harus berpegang pada dua macam norma. Apa yang dipelajarinya di
sekolah tidak dapat dilangsungkan dan dipraktikkan di rumah. Itu sebabnya
sekolah harus mengenal keadaan, kebiasaan, adat istiadat di rumah anak. Sekolah
harus bekerja sama dengan rumah dan badan – badan lain dalam masyarakat
sehingga semuanya turut serta membantu perkembangan anak yang harmonis.
Sekolah
modern mengajak orang tua agar turut seta dalam menentukan kurikulum. Dari
orang tua sungguh dapat diterima saran – saran yang baik sekali untuk
dipertimbangkan oleh staf guru –guru agar dimasukkan ke dalam kurikulum. Sering
pula orang tua diminta bantuannya untuk turut melaksanakan kurikulum.
7.
Belajar
lebih berhasil bila dihubungkan dengan minat keinginan dan tuajuan anak
Hal ini tercapai apabila pelajaran
itu langsung berhubungan dengan apa yang diperlukan murid – murid dalam
kehidupannya sehari – hari atau apabila mereka tahu dan menerima tujuannya.
Seorang murid yang berbakat dan ingin menjadi penyanyi akan giat mempelajari
teori music, oleh sebab sesuai dengan tujuannya, sekalipun teori music itu
sendiri kurang menarik. Akan tetapi alam hubungannya dengan cita – cita anak
itu, usaha itu mengandung arti baginya. Ia memahai tujuan pelajaran itu, ia yakin
aka nada faedahnya bagi kehidupannya dan karena itu ia giat belajar. Dikatakan
bahwa anak itu didorong oleh motivasi yang interistik, sebab ia ingin mencapai
tujuan yang terkandung dalam pelajaran itu sendiri.
Kita dapat mengajarkan kepada anak –
anak hal tentang bermacam – macam penyakit ynag kemudian ditanyakan pada
ulangan. Tujuan anak adalah mendapat angka yang baik. Atau barangkali ia
belajar karenatakut kepada guru, takut tinggal kelas, atau ingin menyenangkan
hati orang tuanya. Anak seperti ini didorong oleh motivasi eksterinstik sebab
ia mengejar tujuan, yang sebenarnya letak berada di luar pelajaran itu. Lain
halnya bila suatu daerah berjangkit penyakit, lalu anak – anak belajar betul –
betul untuk mengetahui seluk –beluk penyakit itu agar dapat menjaga diri
terhadap penyakit itu. Motivasi yang intrinsic ini tentu lebih baik hasilnya.
Di sekolah yang menginsafi hal ini, kurikulum sedapat mungkin disesuaikan
dengan minat kebutuhan dan tujuan – tujuan yang hendak dicapai oleh anak –
anak.
Pelajaran diberikan dalam bentuk
unit atau proyek yang berkenaan dengan masalah – masalah yang dihadapi oleh
anak – anak. Proyek itu dibicarakan dan dirundingkan bersama oleh guru dan
murid – murid agar mereka lebih jelas memahami ujuan dan faedahnya. Disini anak
–anak turut serta menentukan kurikulum.
Kurikulum di sekolah yang
tradisionalsepenuhnya ditetapkan oleh pihak atasan. Murid – murid tidak diajak
berunding dan meraka harus menerimanya, kerap kali tanpa melihat faedah yang
langsungbertalian dengan tujuan dan minatnya. Disini kebanyakan digunakan
motivasi ekstrinsik, anak – anak dipaksa belajar dengan macam – macam hukuman
dan pujian dengan angka – angka dan ujian.
0 Response to "Teori Gestalt "
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)