Makalah Radikalisasi Masa Pergerakan Nasional
Latar
Belakang
Pada
awal zaman pergerakan nasional pada tahun 1908-1916, pergerakan organisasi
politik di Indonesia kebanyakan masih bersikap lunak dan kooperatif dengan
pemerintah Hindia Belanda, organisasi-organisasi seperti Budi Utomo dan SI
masih ingin memajukan organisasinya dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda,
atau ingin bekerja sama dengan Belanda untuk memajukan organisasi mereka,
Organisasi Budi Utomo dan SI belum bertujuan untuk memerdekakan Indonesia, organisasi
ini masih berkutat pada masalah internal dan bersifat kedaerahan, seperti Budi
Utomo, organisasi ini semula bertujuan untuk memberi beasiswa kepada rakyat Jawa
agar bisa bersekolah, seperti pembentukan dana pelajar bagi pelajar pelajar
Stovia yang kurang mampu, dan yang paling penting bertujuan untuk menaikkan
kembali harga diri dan martabat orang Jawa yang di tindas.
Timbul banyak perpecahan di kubu muda dan kubu yang tua di dalam tubuh Budi Utomo, kubu muda ingin Budi Utomo tidak bergerak pada kebudayaan dan pendidikan saja tetapi juga politik hal inilah yang menyebabkan organisasi Budi Utomo ini redup dan kalah pamor dengan Sarekat Islam dan Indische Partij di kemudian hari.
Timbul banyak perpecahan di kubu muda dan kubu yang tua di dalam tubuh Budi Utomo, kubu muda ingin Budi Utomo tidak bergerak pada kebudayaan dan pendidikan saja tetapi juga politik hal inilah yang menyebabkan organisasi Budi Utomo ini redup dan kalah pamor dengan Sarekat Islam dan Indische Partij di kemudian hari.
Organisasi
berikutnya adalah Serikat Islam, SI berdiri pada tahun 1911, organisasi yang
pada awalnya hanya berkutat pada bidang ekonomi saja lambat laun berubah menjadi
organisasi besar, bahkan melebihi
Budi Utomo yang lebih dulu muncul, karena SI
tidak lagi fokus ke dalam masalah ekonomi seperti persaingan dengan pedagang
batik cina saja, tetapi sudah masuk ke dalam hal politik, karena tujuannya adalah
untuk kemerdekaan Indonesia. SI didirikan oleh KH. Samanhudi, beliau merupakan
pengusaha batik terkenal di Solo, sebelumnya SI bernama Sarekat Dagang Islam
atau SDI. SI menjadi organisasi yang besar ketika di ketuai HOS Cokroaminoto.
Pembahasan
Organisasi-organisasi di Hindia
Belanda pada saat itu tidak selamanya patuh kepada pemerintah kolonial Belanda,
namun mereka sudah berani melakukan perlawanan-perlawanan, hal ini menjadi
indikasi bahwa masa pergerakan nasional memasuki masa radikalisasi. Radikalisasi
adalah transformasi dari sikap pasif atau aktivisme kepada sikap yang lebih radikal,
revolusioner,
ekstremis,
atau militan.
Pada masa radikal atau masa
dimana organisasi tidak lagi bergantung atau berhubungan dengan Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda tetapi organisasi-organisasi ini menajadi organisasi
yang nonkooperatif dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Perang Dunia I
pada tahun 1914-1918 sangat mempengaruhi Negeri Belanda dan koloni-kiloninya
termasuk Hindia Belanda. Baik negara induk maupun Hindia Timur tidaklah secara
langsung ikut dalam peperangan, tetapi mereka tidak dapat mengelakkan diri dari
akibat-akibat perang ini.[1]
Menjelang PD I,
pemerintah kolonial sangat mengutamakan pembangunan pertahanan laut di Hindia
Belanda, namun pemerintah kolonial kekurangan pasukan reguler dan kekurangan
dana, kemudian kedua masalah ini berjalinan dengan masalah milisi pribumi. Pada
akhirnya pasukan non-reguler akan direkrut dari kalangan penduduk pribumi.
Masalah ini dikenal dengan Indie Weerbaar
(kesanggupan Hindia membela diri).
Perang Dunia I
meletus pada bulan Agustus 1914, yang mengakibatkan kekhawatiran gerakan
angkatan laut Jerman secara besar-besaran akan meluas sampai ke Hindia Belanda,
tetapi sangat dikhawatirkan akan salah satu kekuatan sekutunya, yaitu Jepang
akan menyerbu. Pimpinan Budi Utomo mulai membahas masalah ini selama satu bulan
sesudah perang pecah, terjadi perdebatan apakah akan dibentuk milisi atau
tidak.
Setelah
mengadakan rapat dan pertemuan yang lain, pada akhirnya pemuda pribumi
berpendidikan Barat yang menjadi sasaran sistem milisi mengajukan syarat, yaitu
sebagai imbalan dari adanya sistem milisi, perwakilan rakyat harus diberikan.
Syarat itu dipenuhi pada tahun 1907 politik desentralisasi yang bercirikan
dewan-dewan kota praja, sudah dijalankan bersamaan dengan dewan-dewan daerah. Kemudian
dibentuklah Dewan Rakyat (Volksraad) Hindia Belanda pada 16 Desember 1916 namun
baru dibuka secara resmi oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum pada tanggal
18 Mei 1918, anggota Volksraad terdiri dari 15 anggota pribumi dari 38 anggota
seluruhnya. Awalnya,
lembaga ini hanya memiliki kewenangan sebagai penasehat. Baru pada tahun 1927, Volksraad
memiliki kewenangan ko-legislatif bersama Gubernur-Jendral yang ditunjuk oleh Belanda. Karena Gubernur-Jendral memiliki hak veto, kewenangan Volksraad
sangat terbatas.
Pada tahun 1914, Sneevliet mendirikan sebuah organisasi
politik di Hindia yang diberi nama Indische Sociaal Democratische Vereniging
(ISDV). Awalnya anggotanya hanya 65 orang, yang kesemuanya adalah orang Belanda
dan kalangan Indo-Belanda. Sneevliet masih belum yakin untuk merekrut anggota
dari kaum bumi putra. Dalam waktu
setahun kemudian, organisasi tersebut mengalami perkembangan pesat menjadi
ratusan anggotanya. Perkembangan tersebut tak terlepas dari peranan koran
organisasi berbahasa Belanda, Het Vrije Woord yang menjadi corong propaganda ISDV. Beberapa tokoh
Belanda yang aktif membantu Sneevliet adalah Bergsma, Adolf Baars, Van Burink,
Brandsteder dan HW Dekker. Di kalangan pemuda Indonesia tersebut nama-nama
Semaun, Alimin dan Darsono. Pengaruh ISDV juga meluas di kalngan buruh buruh
kereta api dan trem yang bernaung dibawah organisasi Vereniging van Spoor Tramweg Personal (VTSP).
Dalam waktu
yang bersamaan, pergerakan di Hindia Belanda tengah mengalami masa terang.
Sarekat Islam, terus membesar dengan jumlah anggota mencapai puluhan ribu yang
tersebar di berbagai daerah. Oleh karena itu ISDV, merubah haluan untuk menitik
beratkan pengorganisiran pada
anggota-anggota maju dari Sarekat Islam, dan inilah cikal bakal generasi
pertama perekrutan kader-kader Marxis.
Pada 1918 Perang
Dunia I berakhir, yang mengakibatkan timbulnya krisis politik di Negeri
Belanda, yang berdampak luas pula di Hindia. Krisis November terjadi saat
Jerman bertekuk lutut, kaum sosialis Jerman menggulingkan kekuasaan raja dan
mendirikan sebuah republik. Pada hari berikutnya pemimpin S.D.A.P atau Partai
Buruh Sosial Demokrasi di Belanda, M.J. Troelstra, mencoba mengikuti teladan
Jerman, berusaha merebut kekuasaan dengan kekerasan. Di Hindia partai yang
paling dekat hubungannya dengan S.D.A.P Belanda adalah I.S.D.P. mengajukan mosi
(pembaharuan di Hindia) pada tanggal 16 November, melalui C.G. Cramer
(satu-satunya wakil partai tersebut di Volksraad). Pada tanggal 15 November
krisis di negeri Belanda telah reda saat mosi Cramer diajukan ke Volksraad.
Pada tahun 1921,
Van Limburg Stirum digantikan oleh D.Fock. fock memiliki pengalaman sebagai
pengacara di Hindia saat berusia 42 tahun. Ketika kembali ke Hindia sebagai
Gubernur Jenderal usianya sudah 62 tahun. Ia bersikap kurang toleran terhadap
organisasi pribumi dibanding Stirum. Tujuan utama kedatangannya adalah untuk
mengatasi kesulitan keuangan yang semakin memuncak , baik di Negeri Belanda
maupun di Hindia. Ia memberlakukan kebijakan keuangan ala Draconian, dengan
memangkas habis-habisan pengeluaran sektor pemerintah dengan mengurangi
anggaran untuk kesejahteraan, pendidikan dan dinas pemerintahan, dan menggenjot
kenaikan pajak dengan mengusik kegiatan bisnis partikulir Belanda. Hal ini
terlihat dari pemogokan-pemogokan yang dilakukan oleh buruh sebagai reaksi dari
kebijakan tersebut.
Organisasi-Organisasi
Memasuki Fase Radikal
Pada
awal jaman pergerakan nasional pada tahun 1908-1916, pergerakan organisasi
politik di Indonesia kebanyakan masih bersikap lunak dan kooperatif dengan
pemerintah Hindia Belanda, organisasi organisasi seperti Budi Utomo dan SI
masih ingin memajukan organisasinya dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda,
atau ingin bekerja sama dengan Belanda untuk memajukan organisasi mereka, Selain
itu juga Organisasi Budi Utomo dan SI belum bertujuan untuk memerdekakan
Indonesia, organisasi ini masih berkutat pada masalah internal dan bersifat
kedaerahan seperti tujuan budi utomo
yakni pendidikan untuk kaum priyayi maupun tujuan awal dari SI (SDI) dahulu
yakni ingin melawan tindakan curang para pedagang tionghoa. Walaupun pada
awalnya kedua organisasi bersifat sangat lunak dan kooperatif terhadap
pemerintahan kolonial belanda tapi tapi fase yang terelakan juga melanda kedua
organisasi, dimana mereka berubah haluan yang sebelumnya bersifat lunak menjadi
menentang/melawan kolonialisme belanda secara terang-terangan. Fase ini-lah
yang di sebut sebagai fase radikalisme pergerakan nasional di Indonesia.
Dimulai
dari munculnya konsentrasi radikal (radical consentratie) di dalam dewan rakyat
atau volksraad dimana organisai politik
yang merasa bahwa tidak puas dengan volksraad ikut bergabung dalam front ini
termasuk juga Budi Utomo yang sebelumnya sangat pro terhadap belanda. Lain hal-nya
dengan Sarikat Islam yang menyatakan sikap mereka dengan langsung keluar dari
dewan rakyat. Para organisasi politik di volksraad berbendapat bahwa melalui
kooperasi, kepetingan-kepentingan rakyat tidak mendapat perlindungan, sehingga
golongan kaum nasionalis memandang bahwa pembentukan kekuataan di kalangan
rakyat merupakan syarat mutlak untuk mengambil alih kekuasaan politik.
Organisasi pergerakan di Nederland (Perhimpunan Indonesia) mempelopori membuat
resolusi yang menyatakan bahwa kooperasi dengan pemerintah harus di tolak.
Muncul-lah organisasi-organisai yang mulai menentang kolinialisme belanda
dengan berbagai senjata mereka seperti menggunakan ideology, kondisi sosial,
dan lain-lain.
Radikalisasi
terjadi pada pergerakan nasional Indonesia karena kebijakan kebijakan
pemerintah Hindia Belanda mulai melenceng dari tujuan Politik Etis dan juga
semakin banyaknya organisasi yang tidak mau berhubungan atau Non kooperatif
dengan pemerintahan Hindia Belanda, dan juga maraknya gerakan gerakan Komunis
yang bertentangan dengan paternalistik dan liberal progresif Pemerintahan
Hindia Belanda sehingga banyak pelarangan aktivitas aktivitas politik pada
organisasi organiasi di Indonesia.sehingga banyak timbul gerakan gerakan
radikal yang di lakukan oleh organiasi yang mulai muncul pada awal akhir tahun 1918
dan pada awal tahun 1920an.
Gencarnya
gerakan komunis di Indonesia membuat,pemerintah Hindia Belanda bersikap
reaksioner dan konservatif terhadap organisasi politik lainnya di
Indonesia,tindakan keras pemerintah pada pemimpin komunis seperti Semaun dan
Darsono membuat SI dan Budi Utomo tak dapat menghindari proses radikalisasi
tersebut.
Ada
beberapa faktor penghambat yang menghalangi pendekatan solidaritas antara kedua
organiasasi itu dengan golongan komunis yaitu perlawanan terhadap kapitalisme
karena bagi SI tidak mungkin gerakannya mampu mencakup kapitalisme dalam
negeri,SI hanya bisa menuduh atau mencap kapitalisme berdosa sebagai biang
keladi explotasi rakyat.
Dan
Bagi Budi Utomo perjuangan kelas yang revolusioner terang tidak dengan progam
perjuangan serta tidak langsung menyangkut kepentingan pribadi golongan,dan
grakan radikalisasi dari Budi Utomo merupakan barometer bagi derajat
konservatisme dan dan sifat reaksioner politik kolonial Hindia
Belanda,menjelang pembentukan Dewan Rakyat,dan Budi Utomo juga tergabung pada
Radicale Concentratie ( RC ) bersama sama dengan SI,ISDV dan Insulinde pada 16
November 1918.Tuntutan RC ialah pembentukan pemerintahan parlementer dengan
pemerintahan yang bertanggung jawab pada parlemen dan parlemen di beri kekuasaan
legislatif dan di pilih oleh rakyat.
Munculnya
Indische Partij pada tahun 1912, oleh 3 serangkai yaitu, Douwes Dekker, Suryadi
Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo. organiasi ini bergerak dalam bidang
politik dan kritis pada kebijakan pemerintah kolonial,beberapa kali pemimpin
Indische Partij seperti Douwes Dekker dan Suryadi Suryaningrat keluar masuk
penjara karena sering mengkritik kebijakan kebijakan pemerintah Hindia Belanda
yang sering merugikan Indonesia,seperti kritik pedas Suryadi Suryaningrat
ketika Pemerintah Hindia Belanda meminta dana atau atau kontribusi buat
perayaan 100 tahun kemerdekaan Kerajaaan Belanda, hal ini langsung di balas
dengan tulisan Suryadi Suryaningrat yang berjudul andai aku seorang Belanda.
Selain
itu juga muncul Perhimpunan Indonesia yang pada awalnya bernama Indische
Vereeniging (Perhimpunan India) yang berdiri enam bulan setelah berdirinya
Boedi Oetomo. Organisai ini merupaka pelopor dari Organisai yang berlandaskan
Nasionalisme dengan cita-citanya yang tegas ke arah emansipasi politik dengan
jalan kerja sendiri secara aktif dengan bersenjatakan ideology kesatuan
Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Pada awalnya PI hanya sekumpulan pemuda
Indonesia yang ada di negeri belanda tetapi setelah mendapat kunjungan beberapa
pemimpin Indische partij yang di buang ke luar dari daerah jajahan, yaitu
datangnya tiga serangkai Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes
Dekker arah organisasi menjadi semakin mantap menjadi organisasi politik dan
mengambil cara radikal untuk mencapai tujuannya yakni Indonesia Merdeka. Tokoh
utamanya yakni Muhammad Hatta. Beliau adalah organisator sekaligus perangsang
intelektual bagi rekan-rekannya. Pemikiran hatta ini tampaknya lebih ditujukan
untuk mempersatukan partai-partai politik Indonesia dengan mengesampingkan
perbedaan perbedaan ideology. Hatta lebih mengutamakan tujuan, yakni
kemerdekaan Indonesia daripada warna politik. Selanjutnya, PI melawan secara
radikal di mulai dengan menerbitkan suatu buku peringatan Perhimpunan Indonesia
yang menggemparkan kaum kolonialis belanda :Gedenkboek 1908-1923: Indonesische
Vereeneging. Langkah selanjutnya mengubah nama majalahnya dari Hindia Putra
menjadi Indonesia Merdeka. PI juga melakukan propaganda ke Indonesia yang
hasilnya memunculkan organisai-organisasi baru seperti “kelompok studi umum”
yang nanti akan menjadi embrio Partai Nasional Indonesia.
Partai
Nasional Indonesia terkenal dengan propaganda-propagandanya baik lewat tertulis
maupun lisan (pidato). Pada masa permulaanya, tema utama propaganda partai
nasional Indonesia adalah kelanjutan dari tema-tema yang telah diajukan oleh PI
yaitu: watak hubungan yang bersifat penjajahan, perlunya front sawo matang
untuk melawan front putih, perlunya membuang ketergantungan psikologis kepada
belanda, perlunya membentuk suatu “Negara dalam Negara”. Dari asas dan tujuan
tampak jelas orientasi politik perjuangannya bersifat antikolonialisme dan non
kooperasi. Sehubungan dengan itu membangkitkan kesadaran nasional merupakan
tugas utama PNI.
Reaksi Belanda
Akibat
aktivitas kebangsaan Indonesia yang radikal tersebut, kebijaksanaan campur
tangan kolonial terhadap organisasi pergerakan nasional semakin ditingkatkan
campur tangannya. Pergolakan di hindia belanda memuncak pada akhir tahun 1926
dengan pecahnya pemberontakan di Banten, Sumatera Barat, dan daerah lain di
jawa. Hal itu menyebabkan gubernur jendral de Graff (1926-1931) bertindak keras
dan reaksioner. Menghadapi aktivitas pegerakan rakyat yang semakin radikal dan
revolusioner tersebut, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan-peraturan
yang sangat keras. Penahanan secara besar-besaran telah di lakukan, ribuan
orang yang di curigai di tangkap dan dipenjarakan, banyak di antara dari mereka
di tawan dan di buang. Hak mengadakan pertemuan di batasi dan pers di sensor
dengan ketat. Pertemuan-pertemuan harus
dihadiri oleh polisi yang di beri kekuasaan untuk membubarkan mereka apabila
mereka di anggap menganggu ketentraman umum. Tegasnya pada saat itu hindia
belanda seperti Negara polisi. Menurut Damste pada akhir revolusi 1926 tidak
kurang dari 13.000 orang telah di tawan, di antaranya 1308 orang di buang dan
dipaksa hidup dalam perkampungan-perkampungan di irian barat.
Di
keluarkannya peraturan-peraturan yang keras oleh pemerintah tersebut tidak
menjadikan aktivitas pergerakan kebangsaan Indonesia berhenti. Malahan
sebaliknya, gerakannya menjadi lebih kuat, lebih banyak menarik pengikut yang
militant daripada masa-masa sebelumnya. Boleh dikatakan “semakin keras
pemerintah kolonial menekan aktivitas pergerakan, semakin radikal dan
revolusioner kaum pergerakan dalam menjalankan aksinya”, demikian pula
sebaliknya. Kenyataan yang ada ialah bahwa “makin kuat radikalisasi pergerakan
nasional makin reaksioner dan represif tindakan-tindakan yang di ambil
pemerintah hindia belanda”. Lebih-lebih setelah tahun 1929 pada saat dunia
dilanda krisis ekonomi yang dahsyat, politik reaksioner pemerintah kolonial
belanda semakin meningkat pula. Namun dampak dari fase radikal ini sangat
menentukan Indonesia kedepannya. Dimana rasa nasionalisme semakin muncul dan
semakin erat satu sama lainnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Munculnya paham-paham persatuan antar komunis dan islam haji misbach merupakan
salah satu buah hasil dari fase radikal masa pergerakan Indonesia, dan masih
banyak yang lain-nya.
Kesimpulan
Pada awal zaman pergerakan nasional pada
tahun 1908-1916, pergerakan organisasi politik di Indonesia kebanyakan masih
bersikap lunak dan kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda, organisasi-organisasi
seperti Budi Utomo dan SI masih ingin memajukan organisasinya dengan bantuan
pemerintah Hindia Belanda, atau ingin bekerja sama dengan Belanda untuk
memajukan organisasi mereka, Organisasi Budi Utomo dan SI belum bertujuan untuk
memerdekakan Indonesia.
Radikalisasi
terjadi pada pergerakan nasional Indonesia karena kebijakan kebijakan
pemerintah Hindia Belanda mulai melenceng dari tujuan Politik Etis dan juga
semakin banyaknya organisasi yang tidak mau berhubungan atau Non kooperatif
dengan pemerintahan Hindia Belanda, dan juga maraknya gerakan gerakan Komunis
yang bertentangan dengan paternalistik dan liberal progresif Pemerintahan
Hindia Belanda sehingga banyak pelarangan aktivitas aktivitas politik pada
organisasi organiasi di Indonesia.sehingga banyak timbul gerakan gerakan
radikal yang di lakukan oleh organiasi yang mulai muncul pada awal akhir tahun
1918 dan pada awal tahun 1920an.
Banyak
partai-partai yang bermunculan seperti PI, PNI, PKI yang dalam segi tujuan dan
gerakan organisasinya sangat bersifat radikal dan menerpakan politik non
kooperatif terhadap belanda. Mereka beranggapan bahwa dengan berkerja sama
dengan belandan malah akan menimbulkan kesengsaraan yang lebih parah, sudah
saatnya bangsa indonesia berdiri di atas kaki sendiri.
Di
keluarkannya peraturan-peraturan yang keras oleh pemerintah tersebut tidak
menjadikan aktivitas pergerakan kebangsaan Indonesia berhenti. Malahan
sebaliknya, gerakannya menjadi lebih kuat, lebih banyak menarik pengikut yang
militant daripada masa-masa sebelumnya. Boleh dikatakan “semakin keras
pemerintah kolonial menekan aktivitas pergerakan, semakin radikal dan
revolusioner kaum pergerakan dalam menjalankan aksinya”. Semangat ini
membuktikan bahwa memang bangsa indonesia baik yang di dalam maupun di luar negri
sudah mantap dalam menentukan sikapnya, sudah mantap dalam hal memberikan
kontribusi mereka untuk bangsa-nya. Dan yang lebih penting lagi, sudah
terciptanya suatu nasionalisme yang kuat untuk memperjuangan kemerdekaan dan
kesejahteraan bagi masyarakat dan bangsa indonesia.
0 Response to "Makalah Radikalisasi Masa Pergerakan Nasional"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)