Landasan dan Asas Psikologi Belajar


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam pengambilan keputusan tentang kurikulum pengetahuan mengenai psikologi anak dan bagaimana anak belajar, terdapat beberapa hal yang sangat perlu diperhatikan, antara lain :
1.                  Seleksi dan organisasi bahan pelajaran
2.                  Menentukan kegiatan belajar yang paling serasi
3.                  Merencanakan kondisi belajar yang paling serasi
Apa yang akan dipelajari tentu memerlukan pengenalan perkembangan anak, tetapi bagaimana anak belajar juga membutuhkan pengetahuan tentang berbagai teori belajar. Nyatanya meskipun telah banyak mengetahui berbagai hal tentang belajar, namun belum tentu dapat menggambarkan secara jelas apa yang harus dilakukan agar anak belajar  Hal ini antara disebabkan penelitian dan eksperimen tentang belajar masih dilakukan dalam laboratorium yang terbatas jumlah variabelnya, dan biasanya sering dilakukan terhadap binatang, sehingga tentu jauh berbeda dengan situasi belajar didalam kelas. Selain itu yang seringkali menjadi bahan kajian hanyalah belajar pada tingkatan mental rendah, sedangkan belajar pada tingkatan mental tinggi masih memerlukan penelitian yang lebih banyak.
Belajar merupakan hal yang sangat kompleks. Apa yang dipelajari bermacam-macam. Antara belajar fakta atau informasi dengan belajar memecahkan masalah tentu  berbeda,  lain pula ketika mempelajari nilai-nilai.
Berbagai macam teori belajar seperti teori ilmu jiwa atau daya dan disiplin mental, teori S-R yang behavioristik, teori Gestalt atau teori lapangan, dan teori-teori belajar lainnya pun belum mampu mencakup segala macam jenis belajar.
Guru-guru sering tidak menyadari asas teori belajar yang digunakannya. PPSI menggunakan teori belajar yang berbeda dengan pendekatan proses. Guru mengajar menurut apa yang diperkirakannya akan memberi hasil yang baik, dan ini sering dilakukan dengan menggunakan berbagai teori belajar.
Dalam bab ini akan membahas tentang teori belajar menurut ilmu jiwa daya (disiplin mental), teori behavior (S-R), conditioning, teori Gestalt, teori lapangan, dan pendapat berbagai tokoh psikologi seperti Gagne, Bandura, dan Bruner.
1.2   Rumusan Masalah
·         Apa pengertian (defenisi) dari Belajar
·         Apa yang dimaksud dengan Psikologi Belajar
·         Teori apa saja yang berhubungan dengan psikologi Belajar
·         Pengaruh teori belajar terhadap kurikulum
·         Apa hubungan teori Belajar dengan Ilmu belajar

1.3  Tujuan Penulisan
·         Untuk mengetahui pengertian belajar dan psikologi belajar
·         Untuk mengetahui teori yang berhubungan dengan belajar dan psikologi belajar.
·         Untuk mengetahui pengaruh teori belajar terhadap kurikulum
·         Untuk mengetahui hubungan antara teori belajar dengan ilmu belajar


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Definisi Belajar

Definisi Belajar berbeda menurut teori yang dianut. Secara tradisional belajar dianggap sebagai hal yang menambah pengetahuan. Yang diutamaan adalah aspek intelektual. Anak-anak disuruh mempelajari berbagai macam mata pelajaran yang memberinya berbagai macam pengetahuan yang menjadi miliknya, kebanyakan dengan menghafalnya.
Pendapat lain yang lebih populer ialah memandang belajar sebagai perubahan kelakuan, suatu “change of behavior”. Suatu definisi yang sering dikutip ialah yang diberikan oleh Ernest R. Hilgard, sebagai berikut :
Learning is the process, by which an activity originates or is changed through training procedures (Whether in the laboratory on in the natural environment) as distinguishe from change by factors not atributable or training.
            Seseorang belajar bila ia ingin melakukan suatu kegiatan sehingga kelakuannya berubah. Ia dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat dilakukannya. Ia menghadapi situasi dengan cara lain. Kelakuan harus kita pandang dalam arti yang luas yang meliputi pengamatan, pengenalan, perbuatan, keterampilan, minat, penghargaan, sikap, dan lain-lain. Jadi belajar tidak hanya mengenai bidang intelektual saja, akan tetapi seluruh pribadi anak, kognitif, afektif, maupun psikomotor. Bila guru mengajar matematika, sejarah, biologi, dan lain-lain hendaknya tidak cepat merasa puas ketika pengetahuan anak bertambah, tetapi juga memperhatikan bagaimana anak mempunyai sikap yang positif dan menyukai pelajaran itu.





2.2  Psikologi Belajar

            Psikologi Belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu belajar. Secara sederhana belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman, sedangkan segala perubahan tingkah laku baik berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor terjadi karena proses pengalaman dikategorikan sebagai perilaku belajar. Namun perubahan-perubahan perilaku yang terjadi karena insting atau karena kematangan serta pengaruh hal-hal yang bersifat kimiawi tidak termasuk belajar.
            Apabila belajar sebagai perubahan kelakuan, maka pendidik akan menghadapi tiga persoalan :
1.                  Ia harus mengetahui kelakuan apa yang diharapkan dari anak. Hal ini berkenaan dengan tujuan yang akhirnya ditentukan oleh falsafah pendidikan.
2.                  Ia mengetahui sampai dimanakah taraf perkembangan anak, agar bahan pelajaran dapat dikuasai anak.
3.                  Ia harus tahu bagaimana anak belajar, bagaimana guru mengajarkannya, kondisi apa yang harus dipenuhi agar terjadi proses belajar yang berhasil.
Seperti yang telah dikemukakan diatas, akan dibahas lebih lanjut mengenai beberapa teori belajar yang banyak diterapkan dalam proses belajar-mengajar. Menurut Morris L. Bigge dan Maurice P. Hunt terdapat 3 kelompok atau rumpun teori belajar, yaitu :
2.2.1        Teori Ilmu Jiwa atau Disiplin Mental
Dalam teori ini anak sejak lahir telah memiliki potensi-potensi tertentu sehingga belajar merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi tersebut. Salah satu pendiri aliran ini ialah faculty psychology, yang mengganggap bahwa “mind” itu terdiri atas sejumlah bagian atau “faculty”, yang masing-masing mempunyai fungsi atau daya tertentu. Yang utama adalah daya pengenalan, perasaan dan kemauan. Daya pengenalan terbagi dalam daya persepsi, imajinasi, ingatan, dan berpikir atau penalaran. Daya pikir memberi kemampuan memecahkan berbagai masalah untuk mengambil keputusan. Daya kemauan juga dianggap sangat penting, karena tentu tanpa kemauan yang baik manusia tidak dapat memperoleh kebahagiaan hidupnya dalam masyarakat. Jika manusia dianggap tidak instrinsik jahat sejak lahir, maka perlulah dilatih kemauan anak kearah yang baik. Kemauan yang baik dapat menaklukan hawa nafsu jahat dan memberi kekuatan untuk memilih dan melakukan yang baik. Kemauan adalah kunci keberhasilan. Seperti halnya dengan latihan otot, kemauan juga harus diberi latihan keras dengan memberi pekerjan yang berat, sulit, dan membosankan. Kalau perlu guru tidak perlu segan memberi kecaman, celaan, hukuman bahkan menggunakan cambuk untuk memaksa anak menyelesaikan pekerjaannya. Namun pendidikan  serupa ini tidak menghiraukan keinginan atau minat anak, juga tidak memperhitungkan tingkat perkembanagan anak.
Oleh karena itu teori mental disiplin ini sekarang tidak dapat diterima lagi  oleh kebanyakan ahli psikologi dan pendidik profesional. Pendirian Disiplin Mental juga banyak  mendapat kritik dan dibantah kebenarannya secara ilmiah. Thorndike dan Woodworth melakukan berbagai eksperimen untuk menguji kebenaran teori ini dan memperoleh kesimpulan, bahwa teori ini tidak dapat dipertahankan secara ilmiah. Latihan daya mental dalam suatu bidang tidak dengan sendirinya meningkatkan kemampuan dalam bidang lain. Melatih kebersihan dalam bidang tertentu, misalnya pakaian, tidak dengan sendirinya mempengaruhi kebersihan tulisan anak. Demikian pula pembuktian bahwa peningkatan kemampuan mental umum hanya sedikit berpengaruh pada pelajaran di sekolah. Peneliti lain membuktikan bahwa dalam peningkatan kemampuan mental tidak ada kelebihan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain, misalnya matematika tidak lebih unggul dalam melatih anak berpikir dibanding dengan sejarah atau ilmu bumi. Anak yang pintar sering mengambil matematika dimana ia dapat menunjukan kepintarannya dan ia akan  banyak memperoleh manfat dari pelajaran itu. Akan tetapi anak yang tidak pintar, tidak akan banyak mendapat keuntungan dari pelajaran itu.
            Pada kenyataannya meskipun teori disiplin mental ini sudah tidak diterima lagi dikalangan kebanyakan ahli psikologi, namun masih ada ilmuan atau orangtua dan guru yang yakin akan kebaikan latihan mental ini dan mempraktikannya disekolah maupun dalam lingkungan keluarga. Padahal dari segi penelitian ilmiah telah dibuktikan bahwa latihan daya-daya mental tidak otomatis dapat ditransferkan dalam bidang-bidang lain. Transfer memang ada, tetapi bukan dengan cara mendisiplin daya mental.

2.2.2        Kelompok Teori Belajar Behavior (Aliran Tingkah Laku)
Teori ini mulai bangkit setelah karya J.B. watson (1878-1958) sebagai bapak aliran Behaviorisme, dan Thorndike, aliran Connectionisme, yang pada dasarnya termasuk Behaviorisme. Tokoh-tokoh lain dalam aliran Behaviorisme ini antara lain Albert Bandura, Robert M. Gagne, Robert Glasser, B.F. Skinner yang membahas behavior atau tingkah laku sebagai sesuatu yang dapat diamati. Itu sebabnya aliran ini dapat mengadakan eksperimen dalam membuktikan kebenaran teorinya. Hal-hal yang terjadi dalam diri manusia, yang tidak dapat dilihat dan diabaikan.
Teori ini biasa disebut juga S-R Stimulus Respons. Dari semua teori belajar lainnya,barangkali teori inilah yang paling banyak diterapkan disekolah. Bila sekolah dipandang sebagai tempat memperoleh pengetahuan, maka metode yang paling ampuh ialah metode S-R yaitu metode yang menghubungkan stimulus dan respon. Dengan stimulus dimaksud rangsangan dari dalam, tetapi kebanyakan dari luar, berupa pertanyaaan, soal, situasi, atau keaadaan yang dihadapi. Bila guru mengajarkan 2+3= (Stimulus) maka diharapkan jawaban 5 (Respons). Demikian pula Ibukota Kolumbia (Stimulus) ialah “Bogota” (Respons). Demikianlah banyak pengetahuan yang dapat dikuasai anak melalui S-R. Mereka yang menghadapi ujian nasional, SNMPTN, juga untuk menghadapi kuis “Cepat Tepat” akan menggunakan teori S-R ini. Dengan mengadakan hubungan antara S-R, siswa akan memberi jawaban yang cepat dan tepat bila menghadapi tes.
Kelompok ini berasumsi bahwa anak dari lahir tidak memiliki potensi apa-apa. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat, lingkungan manusia, budaya, alam, religi yang membentuknya. Kelompok ini tidak mengakui hal-hal nyata yang dapat dilihat dan diamati mencakup beberapa teori, antara lain :

a.                  S-R Bond
Bersumber dari psikologi koneksionisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun behaviorisme. Dalam teori ini mereka berpendapat bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan tunduk kepada hukum stimulus respons atau aksi reaksi. Termasuk juga dalam hal belajar yang merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus respons sebanyak-banyaknya. Tokoh utamanya yaitu Edward L. Thorndike sebagai tokoh yang banyak pengaruhnya terhadap pengajaran disekolah. Ia menganut aliran conectionisme, yaitu hubungan antara dua hal yang dikenal sebagai S-R Bond. Ia melakukan penelitian dan percobaan dengan binatang, dan berkat penelitian yang banyak itu yang jauh melebihi jumlah percobaan Pavlov, ia menemukan sejumlah “hukum belajar”, diantaranya terdapat 3 hukum belajar yang sangat terkenal, yaitu:
ü    The Law of Readyness yaitu hukum kesiapan, merupakan hubungan stimulus dan respons yang akan terbentuk atau mudah terbentuk apabila telah ada kesiapan pada sistem syaraf individu.
ü    The Law of Exercise or Repetition yaitu hukum latihan atau pengulangan , merupakan hubungan antara stimulus dan respons yang akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang-ulang.
ü    The Law of Effect yaitu hukum akibat, merupakan hubungan antara stimulus dan respons yang akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.

b.                  Conditioning atau Stimulus-Response with Conditioning
Tokoh yang mempengaruhi aliran ini adalah Ivan. P. Pavlov (1849-1936) yang terkenal dengan eksperimennya memberi makan pada anjing dan pada saat yang sama juga membunyikan lonceng. Teori ini menyebutkan bahwa belajar atau pembentukan hubungan anatara stimulus dan respons perlu dibantu kondisi tertentu. Dalam kondisi seperti tersebut, yakni membunyikan lonceng bersamaan dengan makanan, maka sifat bunyi lonceng tersebut berubah menjadi stimulus yang telah dikondisi, atau conditioned stimulus, dan respons yang diberikan menjadi conditioned response. Ketika anjing dapat diajar mengeluarkan air liur dengan cara mengkondisi, atau conditioning, maka disini terjadilah suatu proses belajar mengajar. Cara belajar ini pun banyak terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Lampu lalu lintas merah- mobil berhenti, lonceng sekolah berbunyi- anak berkumpul, ketika pulang dari sekolah- ingin segera makan, jam menunjuk pukul depalan- anak kecil tidur, bel sekolah berbunyi- tanda memulai pelajaran. Apa yang dilakukan Pavlov disebut “Classical Conditioning”, mungkin itulah bentuk conditioning yang paling tua.

c.                   Reinforcement
Teori ini berkembang dari teori psikologi, dimana reinforcement itu sendiri merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori S-R Bond dan Conditioning. Seorang behavioris yang sangat berpengaruh dalam teori ini adalah B.F. Skinner. Alirannya dikenal sebagai “operant conditioning” atau “operant reinforcement”. Dalam hal ini alirannya dikenal sangat efektif melatih binatang dan juga bagi anak-anak. Ia memandang belajar merupakan perubahan kelakuan atau kemungkinan kelakuan dan ini akan tercapai melalui “operant conditioning”. 
Operant conditioning adalah proses belajar yang mengusahakan mempertinggi kemungkinan timbulnya kelakuan tertentu.  Dalam “operant conditioning”, organisme termasuk manusia harus melakukan sesuatu. Semua kelakuan manusia adalah hasil “operant conditioning” atau “operant reinforcement”. Semua orang berbuat sesuatu karena diberi reinforcement. Misalnya seekor anjing mengangkat kaki depannya dan sesaat kemudian diberi makanan (menjadi reinforcement) maka timbul kemungkinan ia akan melakukannya lagi kelak.
Akan tetapi dalam hal ini “reinforcement” tidak serentak dengan respon, akan tetapi sesudahnya. Mula-mula organisme, dalam hal ini anjing membuat respon yang diinginkan, lalu diberi “reinforcement” berupa “upah atau reward”. Reward ini mereinforce respon, yang menyebabkan akan besar kemungkinan timbulnya respon ini. Respons inilah yang menjadi alat atau instrumental guna memperoleh “reinforcement” itu.  Apa yang dilakukan anjing itu disebut operan karena beroperasi terhdap lingkungan dan menimbulkan konsekuensi tertentu, dalam hal ini mendapat upah. Oleh karena itu, aliran Skinner ini disebut “operant conditioning” yaitu mengkondisi operant, juga dapat disebut”reinforcement conditioning” atau mengkondisi “reinforcement”
2.2.3        Cognitive Gestalt Field (Aliran Kognitif)
Aliran ini bersumber dari psikologi Gestalt Field. Teori belajar pertama dari rumpun ini adalah teori Insight.  Ia berpendapat bahwa belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru/mengubah pemahaman lama. Pemahaman akan terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan termasuk tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar memiliki tujuan eksploratif, imajinatif, dan kreatif.
Teori belajar Cognitive Field, berdasar kepada psikologi lapangan Kurt Lewin. Menurutnya individu selalu berada dalam suatu lapangan psikologis yang disebut life space. Perbuatan individu selalu terarah kepada pencapaian suatu tujuan. Oleh karena itu, sering dikatakan perbuatan individu adalah purposive. Setiap oranf berusaha mencapai tingkat perkembangan dan pemahaman yang terbaik didalam lap psikologisnya masing-masing dimana lapangan psikologis terbentuk oleh interelasi yang stimulan dari orang-orang dan lingkungan psikologisnya didalam suatu situasi.
Jadi pada aspek ini, teori belajar Cognitive Field berkenaan dengan bagaimana individu memahami dirinya dan lingkungannya, bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan pengenalannya serta berbuat terhadap lingkungannya. Pihak manusia ternyata lebih merupakan mesin, nisalnya otak dibandingkan komputer yang berisi modul. demikian pula kelakuan manusia dapat dikendalikan sehingga melakukan apa yang telah di-codition.
            Mengenai pelajaran di sekolah, Skinner melihat bahwa guru mengajar sangat tidak efisien dan efektif. Bila binatang dapat dilatih dengan cara ilmiah apa sebab cara itu tidak dapat dimanfaatkan bagi pelajaran di sekolah. Maka ia menciptakan belajar berprogramma. Bahan pelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang dilatih langkah demi langkah dengan memberikan reinforcement langsung setelah tiap respons. Anak dapat melakukannya menurut kecepatan masing-masing. Kritik Skinner tentang pengajaran di sekolah antara lain bahwa pelajaran tidak disukai, jarak antara kelakuan dan reinforcement terlalu jauh, tidak ada langkah-langkah yang sistematis menuju tujuan, dan reinforcement terlampau langka.
            Teori skinner ini sesuai dengan teknologi pendidikan, belajar kompetensi, dan akunyabilitas pendidikan.

2.3 TEORI GESTALT
            Dasar pokok aliran psikologi ini pertama kalinya dirumuskan Max Wertheimer pada tahun 1912 yang berbunyi, “keseluruhannya lebih dari jumlah bagian-bagiannya.” Kelebihan itu terjadi karena manusia cenderung melihat suatu pola, organisasi, integrasi atau konfigurasi dalam apa yang dilihatnya. Konfigurasi yang membentuk kebulatan keseluruhan itu disebut dalam bahasa Jerman Gestalt, suatu istilah yang sukar diterjemahkan dank karena itu dipertahankan oleh semua bahasa. Demikianlah lahir teori Gestalt, juga disebut teori organismic, dan teori psikologi lapangan (field psychology).

            Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka dalam buku “The Mentality of Apes” (1925) dalam eksperimen menguji hipotesis Thorndike tentang “Trial and Error” , yaitu dalam memecahkan suatu masalah, individu atau binatang akan melakukan perbuatan – perbuatan secara acakan dan akhirnya secara kebetulan akan dapat memecahkannya. Dalam percobaan dengan simpanse ternyata, bahwa binatang itu memecahkan masalah secara tiba-tiba, karena menurut Kohler ia mendapat “insight”. Pemecahan dalam hubungan unsur-unsur situasi itu.

            Salah satu anggapan psikologi behaviorisme yang paling merusak ialah bahwa dalam belajar, individu itu pasif, ia memberi stimulus dan memberi respons secara sereotip dan otomatis. Stimulus dianggap sebab dan respons dianggap sebagai akibat. Manusia sebagai mesin yang sangat baik desainnya yang dapat dikendalikan. Siswa dapat dikendalikan oleh guru dengan bahan yang dipilih pengembang kurikulum. Manusia dapat dikondisi menurut kemauan penguasa atau masyarakat.

            Kunci dalam psikologi Gestalt adalah “insight”. Belajar adalah mengembangkan insight pada anak dengan melihat hubungan-hubungan antara unsur-unsur situasi problematis dan dengan demikian melihat makna baru dalam situasi itu. Belajar bukan sesuatu yang pasif, dalam belajar siswa mempunyai tujuan, mengadakan eksplorasi, menggunakan imajinasi dan bersifat kreatif, jadi jauh berbeda dengan psikologi behavioristik yang memandang belajar sebagai mekanistik dan deterministik.

            Insight ialah mula – mula adanya perasaan, adanya petunjuk yang samar – samar tentang pola, hubungan antara unsur – unsur suatu masalah , pada suatu saat tiba – tiba menjadi terang. Bagaimana timbulnya insight tak selalu dan serig dapat diverbalisasikan, dinyatakan dengan kata – kata, karena terjadinya dalam lompatan  pikiran dan intuisi. Simpanse memperoleh insight dan tentu tak dapat membahasakannya. Insight adalah jawaban atau hipotesis sementara, yang mungkin benar atau tidak, kebenarannya masih perlu diuji.
            Guru tak dapat memberi insight, walaupun dapat membantu, murid sendirilah yang harus menemukannya sendiri menurut pikirannya sendiri, menurut makna yang dilihatnya dalam situasi itu. Insight belum berarti memahami suatu masalah sepenuhnya, akan tetapi hingga batas tertentu. Insight juga belum dapat digeneralisasi. Untuk itu jumlahnya harus cukup banyak dengan pegalaman yang kaya. Generalisai yang diperoleh sering dirumuskan dalam bentuk “Jika.. maka.. Bila tercapai generalisasi maka dapat digunakan atau ditransfer dalam situasi lain yang pada prinsipnya menunjukkan persamaan. Namun transfer tidak dengan sendirinya akan terjadi, wlaaupun prinsip itu telah dipahami sepenuhnya. Seorang sarjana dapat bersifat ilmiah dalam bidangnya, misalnya fisika, akan tetapi dalam bidang social yang tidak bertindak ilmiah, bahkan percaya akan mistik dan superstisi. Atau ia tidak mengenal situasi dalam hibungannya dengan prinsip itu, atau ia tidak mau, atau tak sanggup menerapkannya, misalnya ia tahu ia harus berkorban untuk sesame manusia, namun ia lebih memperhatikan kepentingannya sendiri.

            Transfer dapat terjadi bila terbuka kesempatan untuk menerpkannya dalam situasi yang dilihatnya sebagai kesempatan dan ada hasrat untuk menggunakannya.

            Membantu siswa untuk memperoleh generalisasi dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama : guru merumskannya, menjelaskannya dan kemudian menyuruh siswa menerapkannya. Kedua : guru memberi latar belakang secukupnya, dan segera bila siswa merasakan ia memahaminya, ia disuruh mengaplikasikannya. Ketiga : guru memberi latar belakangnya, siswa disuruh menemukan generalisasinya, lalu merumuskannya. Ternyata, bahwa metode kedua lebih efektif dalam transfer.

Kurt Lewin (1890-1947), juga penganut teori keseluruhan, adalah pionir psikologi lapangan atau field psychology. Untuk memahami seseorang, kita harus mengetahui segala sesuatu tentang dirinya, buah pikirannya, prinsip – prinsipnya, konsep diri dan apa saja yang dapat mengidentifikasi dirinya. Dengan lapangan psikologi dimaksud sotuasi psikologis dimana ia berada. Psikologi ini disebut juga psikologi lapangan kognitif.

            Menurut teori lapangan, beajar adalah proses interaksional, dalam mana individu memperoleh insight baru atau modifikasi yang lama. Belajar adalah modifikasi life space, yang meliputi tujuan seseorang, hal –hal yang ingin dielakkannya, halangan antara dirinya dengan tujuan, jalan yang mngkin ditempuhnya dan sebagainya. Bagi guru, makin dikenalnya life space siswa, makin ia dapat meramalkan kelakuan siswa itu dan dengan demikian makin dapat ia memberi bantuan.

            John Dewey yang juga termasuk penganut teori Gestalt, organismic atau teori lapangan kognitif, memandang berpikir sebagai proses reflektif yang pada dasarnya tak berbeda dengan berpikir ilmiah. Dalam cara berpikir ini digabungkanproses induktif, pengumpulan data, dan proses deduktif, mencari, menganalisis, dan menguji hipotesis. Bedanya dengan proses ilmiah ialah, bahwa dalam pemikiran reflektif tidak digunaka laboratorium sehinggadapat digunakan dalam pemecahan segala macam masalah termasuk masalah sosia. Langkah –langkah pemecahan masalah menurut Dewey telah cukup terkenal :

1.      Mengenal dan merumuskan masalah. Masalah timbul bila terdapat perbedaan atau pertentangan antara tujuan – tujuan, antara data dan sebagainya.
2.      Merumuskan hipotesis itu, yaitu kemungknan jawaban dalam bentuk generalisasi yang ditemukan sendiri, yaitu harus diuji kebenarannya. Pada dasarnya, semua generaslisasi merupakanhipotesis yang senantiasa perlu diuji kebenarannya. Hipotesis itu berkisar antara dugaan berdasarkan informasi minimal sampai prinsip atau hukum dengan verifikasi yang tinggi tarafnya.
3.      Menyelidiki implikasi hipotesis dengan mengumpulkan data atau pengetahuan.
4.      Mentes hipotesis dengan menguji implikasi atau konsekuensi hipotesis berdasarakan data atau penglaman.
5.      Mengambil kesimpulan, yakni menerima hipotesis, menolaknya, memodifikasi, atau menyatakan bahwa berdasarkan data yang ada belum dapat diambil kesimpulan.


2.3.1 Prinsip – prinsip belajar menurut teori Gestalt

1.                  Belajar itu berdasarkan keseluruhan

Keseluruhan lebih dari jum;ah – jumlah bagian. Bagian – bagian hanya mengandung arti dalam hubungannya dengan keseluruhan. Mengubah bagian akan mengubah juga keseluruhannya. Sebuah kalimat lebih berarti daripada jumlah kata – kata atau hurufnya.

Bagian – bagian hanya berarti dalam hubungannya dengan keseluruhan.fakta – fakta yang lepas tidak mengandung arti dank arena itu mudah dilupakan. Menghafal peristiwa – peristiwa atau tahun dalam sejarah atau nama –nama dan hasil bumi dalam mata pelajaranIPS tidak berapa faedahnya, bila kita tidak memahami hubungannya dengan keseluruhan yang lebih luas.

Demikian pula pendidik –pendidik modern berpendapat bahwa mata pelajaran yang lepas – lepas kurang manfaatnya sebab tidak berdasaarkan atas keseluruhan ini. Itu sebabnya maka orang berusaha untuk mengadakan hubungan antara pelbagai mata pelajaran yang disebut korelasi antara mata pelajaran, malahan dapat juga meniadakan segala batas – batas antara mata pelajaran dengan mengintegrasikannya.

Yang diberikan ialah masalah atau pokok yang luas yang harus dipecahkan oleh anak –anak. Dalam menyelesaikannya mungkin sekali anak – anak mempelajari hal –hal berkenan dengan sejarah, ilmu hayat, kesenian dan sebagainya, akan tetapi apa saja yang dipelajari, tidak merupakan fakta – fakta terlepas, melainkan senantias sebagai bagian dalam hubungan yang lebih luas. Pengajaran serupa ini lazim disebutpengajaran “unit” atau pengajaran proyek. Prinsip keseluruhan ini ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kurikulum, baik menganai isinya maupun mengenai organisasinya.

2.                  Anak yang belajar merupakan keseluruhan

            Sekolah yang tradisional bertujuan : menyampaikan kultur atau kebudayaan kepada murid –murid dengan jalan mnumpukan sejumlah pengetahuan kedalamingatan anak dengan harapan, bahwa ia akan menggunakannya kelak bila ia telah dewasa. Pengajaran serupa ini sering disebut intelektualistis, sebab dititik-beratkan pada pendidikan intelek atau dalam kebanyakan hal sebenarnya pada pendidikan ingatan saja, ia seorang pribadi, suatu keseluruhan yang menghadapi situasi-situasi bukan hanya secara intelektual, melainkan juga secara emosional, social, dan jasmaniah. Bila kita mengajarkan IPS misalnya, kita dapat berusaha sehingga anak itu mengerti akan bahan pelajaran. Akan tetapi disamping itu murid itu mungkin juga belajar benci akan gurunya atau kepada pelajaran itu atau kepada segala sesuatu yang berbaupelajaran sekolah. Mengenai pendidikan intelektual mungkin kita mencapai hasil yang baik, akan tetapi dalam pendidikan emosinya kita gagal.

            Sebab itu, dalam pengajaran modern, orang bukan hanya mengajarkan mata pelajaran, akan tetapi mengutamakan tujuan mendidik anak, membentuk seluruh pribadi anak seutuhnya.

            Dalam pada itu, anak tidak hanya dipandang sebagai murid sekolah saja, pribadi anak tidak dapat dilepaskan dari kehidupannya diluar sekolah, di rumah, dan di lingkungan sekitarnya. Suasana sekolah sedapat – dapatnya diselaraskan dengan suasana rumah. Sekolah hendaknya dijadikan bukan hanya tempat anak mempelajari berbagai ilmu, akan tetapi juga tempat mereka hidup dan belajar hidup. Kurikulum sekolah disesuaikan dengan apa yang diperlukan anak bagi kehidupannya sehari – hari. Dengan demikian dicegah adanya jurangyang sering terdapat antara sekolah dengan kehidupan di luar sekolah untuk mencapai integrasi pribadi murid. 


3.                  Belajar berkat insight

            Teori asosiasi mementingkan ulangan dan pembiasaan dalam proses belajar. Belajar serupa ini disebut mekanis. Teori organisme memandang “insight”, pemahaman atau titikan sebagai syarat mutlak dalam hal belajar. Dengan insight dimaksud suatu saat dalam proses belajar, sewaktu seseorang melihat atau mendapat pengertian atau tentang seluk – beluk sesuatu, atau melihat hubungan tertentu antara unsur – unsur dalam situasi yang mengandung suatu problema atau kepelikan. Dalam percobaan oleh Kohler dengan simpanse, binatang itu berhasil menyambungkan dua kerat bamboo utuk meraihpisang yang diletakkan di luar kandangnya. Pada saat kera itu melihat hubungan antara unsur –unsur dalam situasi yang problematis itu, (yakni antara unsur – unsur bamboo, dirinya, jeruji, pisang) ia memperoleh “insight” atau suatu “Aha Erlebnis”.

            Hal yang demikian terjadi juga pada manusia yang menghadapi situasi yang mengandung kesulitan dan sering secara tiba – tiba memahami seluk – beluk situasi itu, setelah ia mendapat “insight”. Pemahaman tidak diperoleh semata – mata dengan jalan mengulang- ulangi dan latihan – latihan seperti pada teori asosiai. Paa sebenarnya “insight” ini belum dapat dijelaskansepenuhnya.

            Bagi pembinaan kurikulum, prinsip “insight” ini berarti bahwa anak – anak harus dihadapkan kepada masalah – masalah, dalam bentuk proyek atau unit yang mengandung problema – problema yang harus dipecahkan.         

4.                  Belajar berdasarkan pengalaman

            Belajar memberi hasil yang sebaik-baiknya bila didasarkan pada penglaaman. Pengalaman ialah suatu interaksi, yakni aksi dan reaksi, antara individu dengan lingkungan. Individu menjalani pengaruh lingkungan, jadi ada aksi dari lingkungan terhadap individu , akan tetapi sebaliknya individu juga bereaksi terhadap pengaruh lingkungan itu. Ia berbuat sesuatu, yakni mempertimbangkan, mengolah,memikirkan pengaruh lingkungan itu. Bila seorang anak kena api, maka hal itu suatu kejadian atauperistiwa dan belum merupakan suatu pengalaman. Kejadian itu akan menjadi pengalaman, apabila anak itu mengolahnya, menghubungkannya dengan pengalaman yang sudah, mentafsirkannya, dan mengambil kesimpulan, bahwa api itu sesuatu yang berbahaya yang dapat menimbulkan rasa sakit, sehingga ia dapat menentukan sikapnya dan dapat menjaga diri terhadap api kelak. Berkat pengalaman itu ia belajar, kelakuannya berubah, artinya bahwa ia bertindak lebih efektif dan serasi dalam menghadapi situasi – situasi hidupnya.

            Anak itu mula – mula akan memandang api sebagai sesuatu yang berbahaya, akan tetapi berdasarkan pengalaman – pengalaman lain ternyata bahwa api itu tidak selalu berbahaya, akan tetapi banyak sekali manfaatnya dan memberi kesenangan pada manusia. Pengalaman pertama rupanya tidak benar seluruhnya dank arena itu harus dirombak, direorganisasi atau disusun kembali. Belajar ialah reorganisasi pengalaman – pengalaman yang lampau yang ternyata tidak lengkap, tidak sempurna. Oleh sebab itu tidak ada pengetahuan dan pengalaman kita yang sempurna, kita harus senantiasa mereorganisasi pengalaman kita selama kita hidup.

            Pendapat lama dan teori – teori yang lampau sering harus disempurnakan atau diganti dengan yang baru ternyata lebih baik daripada yang sudah – sudah. Menusia senantiasa membuat penemuan baru dan mereorganisasi pengetahuan yang lama dan dengan demikian memperluas kebudayaan dunia. Manusia terus belajar dan tak akan kunjung selesai meningkatkan pengetahuannya.

            Belajar itu baru timbul bila seseorang menemui suatu situasi baru, suatu soal, kesulitan atau problema. Dalam menghadapinya ia akan menggunakansegala pengalamannya yang sudah – sudah. Jika dengan pengalamannya itu ia sanggup menghadapinya, tidak akan timbul proses belajar. Ia sekedar menggunakan pengalaman yang lampau itu. Tetapi bila ternyata bahwa pengalamannya yang ada tidak cukup untuk mengatasinya, ia akan mengalami semacam frustasi. Keseimbangannya terganggu, lalu ia mencoba mencari jalan untuk memecahkan soal itu. Diantara percoban itu ada yang tak berhasil, itu dikesampingkannya. Percobaannya itu dilanjutkannya jadi proses belajar berlangsung terus menerus sampai kesulitan itu diatasinya.

            Disinipun kita lihat, seperti dianjurkan penganut – penganut prinsip belajar yang telah tersebut diatas betapa perlunya diusahakan, agar kurikulum itu berupa problema – problema yang dihadapkan kepada anak – anak untuk dipecahkannya agar ia belajar.

5.                  Belajar ialah suatu proses perkembangan

            Manusia adalah suatu organisme yang tumbuh dan berkembang menurut cara –cara tertentu. Kita tak dapat mengajarkan segala sesuatu yang kita kehendaki. Anak – anak baru dapat mempelajarinya dan mencernakannya, bila ia telah matang untuk bahan pelajaran itu. Kita ketahui bahwa pada anak kelas satu SD belum dapat diberikan teori – teori tentang listrik atau tata negara, karena mereka belum matang untuk itu.
            Kesiapan anak untuk mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan atau taraf pertumbuhan batiniah, tetapi juga dipengarui oleh lingkungan, yakni oleh pengalaman – pengalaman yang telah diperoleh anak itu. Misalnya kesiapan untuk membaca akan lebih cepat terdapatpada anak – anak yang telah berkenalan dengan buku – buku bergambardi rumah atau yang sering dibacakan cerita – cerita dari buku oleh ibu bapaknya, sebelum ia menginjak sekolah, daripada anak – anak yang tidak pernah memperoleh pengalaman – pengalaman dengan buku. Jadi tak perlu kita hanya menunggu saja. Kita dpat menciptakan situasi – situasi dan lingkungan bagi anak yang dapat mempercepat atau membangkitkan kesiapannya untuk mempelajari sesuatu.

            Dalam hal ini tidak semua anak sama. Anak – anak berbeda pengalaman dan kematangannya, sekalipun umurnya sama. Perbedaan individual ialah suatu prinsip yang harus dipikirkan dalam pembinaan kurikulum. Memaksakan semua anak mempelajaribahan yang sama tidak dapat dipertahankan. Karena itu kurikulum hasrus disusun sedemikian, sehingga sedapat mungkin dapat disesuaikan dengan perbedaan individual, baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Anak yang pandai harus diberikemungkinan menyelesaikan lebih banyak pelajaran daripada anak yang kurang pandai an anak – anak harus dapat mengembangkan bakatnya dalam berbagai lapangan.

6.                  Belajar ialah proses yang kontinu

Anak – anak tidak hanya belajar di sekolah, aka tetapi juga di luar sekolah. Mereka memperoleh juga pengalaman – pengalaman berkat radio, surat kabar, majalah, pergaulan di rumah, dan sebagainya. Malahan kerapkali hal – hal yang dipelaaridenga tak sengaja di luar sekolah dan sebelum bersekolah lebih mendalam lagi, oleh sebab tujuan – tujuan yang mereka kejar disitu lebih menarik, lebih memuaskan, lebih menyenangkan dan sesuai dengan kebutuhannyadaripada tujuan – tujuan yang ditentukan dan sering dipaksakan oleh sekolah. Lagipula di luar mereka banyak memperoleh pengalaman – pengalaman langsung atau first hand experiences.

Mereka tidak bicara tentang padi, ikan, laying – laying dan sebagainya, aka tetapi mereka turut memotong padi, mereka menangkap ikan di sungai, mereka membuat dan bermain laying – laying dan sebagainya. Di sekolah mereka kebnayakan membaca dan mendengarkan saja. Kurikulum yang modern menyesuaikan pelajaran sekolah dengan kehidupan, permainan, kesukaan, dan minat anak di luar sekolah. Apa yang dahulu dianggap sebagai aktivitas extrakurikuler, yakni aktivitas anak di luar pelajaran seperti perkumpulan sekolah, hobi anak- anak, kepanduan dan lain – lain, dimasukkan sekolah ke dalam kurikulum menjadi tanggung jawab sekolah.

Kontinuitas juga diusahakan dengan meniadakan tinggal kelas. Anak yang tinggal kelas tidak kontinu pelajarannya oleh sebab ia harus mengulangi bahan yang sama selama satu tahun. Kurikulum hendaknya disusun demikian, sehingga tiap anak terus maju sesuai dengan kecepatannya masing – masing.

Kontinuitas harus pula ada dalam pelajaran sekolah rendah, menengah dan tinggi. Seperti anak maju dari kelas yang satu ke kelas berikutnya, demikian pula anak itu harus pula maju dari sekolah rendah ke sekolah menengah dan seterusnya. Pertanyaan timbul, apakah Sekolah Dasar harus terpisah benar – benar dari SMP dan sekolah ini harus terpisah pula dengan SMA ? apakah tidak dapat disatukan sekolah – sekolah itu seluruhnya menjadi sekolah dari kelas 1 sampai kelas 12 ?

Kontinuitas akan terganggu pula apabila pelajaran di sekolah berlainan atau bertentangan dengan norma – norma yang diajarkan di rumah. Maka timbullah konfik dalam diri si murid. Ia harus berpegang pada dua macam norma. Apa yang dipelajarinya di sekolah tidak dapat dilangsungkan dan dipraktikkan di rumah. Itu sebabnya sekolah harus mengenal keadaan, kebiasaan, adat istiadat di rumah anak. Sekolah harus bekerja sama dengan rumah dan badan – badan lain dalam masyarakat sehingga semuanya turut serta membantu perkembangan anak yang harmonis.

Sekolah modern mengajak orang tua agar turut seta dalam menentukan kurikulum. Dari orang tua sungguh dapat diterima saran – saran yang baik sekali untuk dipertimbangkan oleh staf guru –guru agar dimasukkan ke dalam kurikulum. Sering pula orang tua diminta bantuannya untuk turut melaksanakan kurikulum.


7.                  Belajar lebih berhasil bila dihubungkan dengan minat keinginan dan tuajuan anak

            Hal ini tercapai apabila pelajaran itu langsung berhubungan dengan apa yang diperlukan murid – murid dalam kehidupannya sehari – hari atau apabila mereka tahu dan menerima tujuannya. Seorang murid yang berbakat dan ingin menjadi penyanyi akan giat mempelajari teori music, oleh sebab sesuai dengan tujuannya, sekalipun teori music itu sendiri kurang menarik. Akan tetapi alam hubungannya dengan cita – cita anak itu, usaha itu mengandung arti baginya. Ia memahai tujuan pelajaran itu, ia yakin aka nada faedahnya bagi kehidupannya dan karena itu ia giat belajar. Dikatakan bahwa anak itu didorong oleh motivasi yang interistik, sebab ia ingin mencapai tujuan yang terkandung dalam pelajaran itu sendiri.

            Kita dapat mengajarkan kepada anak – anak hal tentang bermacam – macam penyakit ynag kemudian ditanyakan pada ulangan. Tujuan anak adalah mendapat angka yang baik. Atau barangkali ia belajar karenatakut kepada guru, takut tinggal kelas, atau ingin menyenangkan hati orang tuanya. Anak seperti ini didorong oleh motivasi eksterinstik sebab ia mengejar tujuan, yang sebenarnya letak berada di luar pelajaran itu. Lain halnya bila suatu daerah berjangkit penyakit, lalu anak – anak belajar betul – betul untuk mengetahui seluk –beluk penyakit itu agar dapat menjaga diri terhadap penyakit itu. Motivasi yang intrinsic ini tentu lebih baik hasilnya. Di sekolah yang menginsafi hal ini, kurikulum sedapat mungkin disesuaikan dengan minat kebutuhan dan tujuan – tujuan yang hendak dicapai oleh anak – anak.

            Pelajaran diberikan dalam bentuk unit atau proyek yang berkenaan dengan masalah – masalah yang dihadapi oleh anak – anak. Proyek itu dibicarakan dan dirundingkan bersama oleh guru dan murid – murid agar mereka lebih jelas memahami ujuan dan faedahnya. Disini anak –anak turut serta menentukan kurikulum.

            Kurikulum di sekolah yang tradisionalsepenuhnya ditetapkan oleh pihak atasan. Murid – murid tidak diajak berunding dan meraka harus menerimanya, kerap kali tanpa melihat faedah yang langsungbertalian dengan tujuan dan minatnya. Disini kebanyakan digunakan motivasi ekstrinsik, anak – anak dipaksa belajar dengan macam – macam hukuman dan pujian dengan angka – angka dan ujian.

2.4  TEORI APERSEPSI HERBART

            J.F Herbart (1776-1841) pengganti filsuf Jerman terkenal Immanuel Kant tahun 1841, dapat dipandang sebagai tokoh pertama psikologi belajar modern yang menyimpangdari teori ilmu jiwa daya. Pengaruh Herbart dalam abad dua puluh sangat besar. Buag pikirannya mendominasi pndidikan guru dan oendidikan umumnya di Amerika Serikat dan bagian lain dunia ini dan hingga sekarang idenya masih banyak digunakan, walaupun tidak dibawah namanya. Secara teoritis namanya telah lenyap dari dunia psikologi dewasa ini, namun dalam praktik apa yang dikemukakannya masih berlaku.

            Herbart terkenal karena konsep – konsep apersepsi yang dikemukakannya. Apersepsi ialah proses asosiasi antara ide atau Vorstellungyang baru dengan yang lama yang tersimpan dalam bawah sadar individu. Setiap ada masuk persepsi baru maka ia disambut dengan yang lama. Ide yang lama berlomba kekuatanuntuk memasuki alam sadar untuk menyambut ide baru. Bila seorang melihat kapal terbang misalnya, maka mungkin akan timbul ide burung, atau perjalanan yang pernah dilakukan ke luar negeri, atau kemajuan teknologi, atau bahan persepsi yang tersedia. Persepsi atau pengamatan yang diperoleh dari lingkungan melalui alat indera. Melalui asosiasi diperoleh ide yang sederhana, yang menjadi lebih kompleks melalui asosiasi selanjutnya. Penggabungan ide – ide dapat dibandingkan dengan proses kimiawi atau “mental chemistry”.

            Sebelumnya John Locke (1632-1704) telah mengemukakan teori “tabula rasa” yang menyatakan bahwa otak (mind) manusia semulanya waktu lahir, masih kosong seperti papan tulis bersih. Akan tetapi perangsang, pengalamn dari luar, mengisi mind itu. Apa saja yang diketahui manusia datangnya dari luar dari orang itu. Dalam otak itu terjadi hubungan atau asosiasi antara ide – ide.

            Masalah asosiasi telah dikemukakan oleh Aristoteles pada abad ke-4 SM. Dikatakannya bahwa asosiasi cenderung terjadi antara hal –hal yang tampil bersamaan, yang dating berurutan, yang mempunyai persamaan arti dan yang berlawanan.

            Menurut Locke ide – ide itu pasif. Herbart sebaliknya berpendapat bahwa ide – ide itu aktif, dinamis, mempunyai kekuatan untuk bergabung, jadi berlomba untuk bergabung dengan ide baru yang masuk. Akan tetapi manusia itu sendiri pasif, dan hanya merupakan wadah tempat asosiasi itu berlangsung. Jadi “mind” itu adalah isinya. Ide mempunyai kekuatan bergabung atau menolak bergabung, ada afintas menarik atau menolak, misalnya “murid” dan “guru” akan saling menarik, akan tetapi “murid” dan “ramalan cuaca” mungkin tidak.

            Bagi Herbart semua persepsi pada hakikatnya apersepsi, oleh setiap perepsi cenderung akan bergabung dengan bahan yang telah ada. Tanpa pengalaman yang ada, suatu pengamatan atau ide tak ada artinya dan tak akan diperdulikan. Sebaliknya ide yang telah tersimpan, akan tetapi tak mempunyai kesempatan bergabung lambat laun akan lenyap dengan sendirinya.

            Herbart percaya, bahwa ide yang baik akan menghasilkan kemauan yang baik dan perbuatan yang baik. Jadi kemauan bergantung pada pikiran. Tugas guru ialah memberikan buah pikiran yang baik agar anak berbuat yang baik. Tujuan pendidikan, menurut Herbart ialah mendidik anak menjadi manusia yang bermoral baik. Seni mengajar ialah menyajikan buah pikiran yang dapat digunakan siswa sepanjang hidupnya. Guru dapat dipandang sebagai “arsitek” dan pembangunan “mind” dan demikian pula watak siswa.

            Minat sangat dipentingkan, pelajaran harus dibuat menarik dan ini tercapai dengan metode mengajar yang baik, didukung oleh bahan persepsi yang banyak. Apa yang disebut apersepsi, sekarang diberi nama “entry behavior”.

            Walaupun teori Herbart ini menunjukkan kelemahan karena terlampau menonjolkan peranan guru, banyak pula sumbangannya kepada pendidikan, antara lain :
-          Ia telah mengecam teori ilmu jiwa daya
-          Ia menekankan pendekatan psikologis dalam belajar mengajar dan mengemukakan metode mengajar yang dapat dipertanggungjawabkan
-          Pendidikan guru menjadi usaha yang penting
-          Ia mengemukakan pentingnya minat siswa dalam proses belajar
-          Ia juga membuka jalan untuk mengadakan penelitian dan eksperimen iliah mengenai proses belajar mengajar.

Metode mengajar yang dikemukakan oleh Herbart dan kawan – kawan yaitu kelima langkah itu, sudah cukup terkenal yakni :

1.      Persiapan. Guru mengingatkan siswa tentang pengalaman atau pelajaran yang lampau agar ide – ide yang relevan timbul dalam kesadaran siswa.
2.      Penyajian. Guru menyajikan fakta baru, mungkin melalui demonstrasi tentang pokok yang dibicarakan.
3.      Berbandingan dan abstraksi. Jika guru melakukan kedua langkah diatas dengan baik, siswa akan melihat kesamaanide yang baru dengan yang telah diketahui, maka terjadi asosiasi antara yang baru dengan yang lama. Dengan abstraksi dimaksud melihat unsur – unsur persamaan.
4.      Generalisasi. Pada langkah ini siswa mencoba memberi nama pada kedua pasangan fakta atau ide sebagai suatu prinsip.
5.      Aplikasi. Prinsip yang baru ditemukan itu diterapkan untuk menjelaskan fakta lain untuk memecahkan soal lain. Guru dapat meminta siwa untuk menjelaskan gejala, fakta, atau masalah lain.

Walaupun metode ini telah kolot, belum banyak guru yang menerapkannya. Sering guru hanya menjelaskan sesuatu, kadang – kadang ada yang membangkitkan pengetahuan yang relevan yang telah dimiiki siswa, atau dengan istilah sekarang, mengadakan pre-test. Tak banyak pula guru yang memberikesempatan kepada siswa untuk merumuskan generalisasi dalam bentuk suatu prinsip dan seterusnya menyuruh siswa untuk menerapkannya dalam situasi lain. Jika pendidikan kita masih berpusat pada guru, maka metode Herbart masih dapat membantu guru.


2.5  PSIKOLOGI KOGNITIF JEROME BRUNER

            Jerome Bruner (1915) menjadi sangat terkenal dalam dunia oendidikan, setelah Sputnik, sewaktu Amerika Serikat mencari kurikulum baru untuk mengejar ketinggalan dalam pendidikan dibanding dengan Uni Sovyet. Bruner mengumpulkan ilmuwan yang paling terkemuka yang bersama dengan ahli pendidikan yang menyusun buku pelajaran baru dengan proses belajar mengajar yang baru pula.
            Ada dua prinsip penting yang dikemukakan dalam tulisannya, yakni :
1.      Perolehan pengetahuan adalah proses aktif
2.      Individu secara aktif merekonstruksi pengalamannya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan “internal modal” atau struktur kognitif yang telah dimilikinya.
Dalam proses belajar, anak itu partisipan aktif, ia memilih dan mentransformasi informasi. Tiap orang membentuk suatu model berstruktur tentang dunia. Ia melihat dunia dengan caranya sendiri. Model itu memungkinkannya untuk meramalkan, menginterpolasi, mengekstrapolasi. Dengan intrapolasi dimaksud mengubah pandangan dengan mengaplikasi pengetahuan baru. Ekstrapolasqi ialah mengangkat informasi pada taraf yang melebihi taraf sekedar informasi.
Menurut Bruner, kita melihat dunia ini bukan seperti melihatnya pada cermin, akan tetapi sebagai konstruk atau model dengan mengorganisasi informasi dalam bentuk yang lebih umum, sehingga dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Model itu bukan sekedar kumpulan informasi, akan tetapi jauh melebihinya. Adanya model itu timbul karena adanya kemampuan manusia untuk mendiskriminasi, melihat persamaan dan membentuk konsep atau kategori.
Belajar ialah memperoleh informasi, yang bersamaan atau yang bertentangan dengan yang ada, mentransformasinya, yaitu memanipulasinya dengan intrapolasi dan ekstrapolasi, agar sesuai dengan tugas yang dihadapi,dan mengecek keserasiannya dengan tugas. Untuk ini diperlukan pertimbangan dan penilaian.
Pendekatan Bruner disebutnya “konseptualisme instrumental” berdasarkan 2 segi proses kognitif, yakni :
1.      Manusia mengkonstruksi model pada dirinya tentang dunia realitas, dan ia mengenal dunia berdasarkan model itu.
2.      Model semula diadopsi, diterima dari kebudayaannya, kemudian mengadopsi, menyesuaikannya bagi keperluan dirinya. Persepsi pada hakikatnya proses konstrukttif, mengkategorisasi informasi atau mengangkat informasi pada taraf kategori. Karena itu manusia tidak pasif, juga tidak reaktif, melainkan aktif.
Perkembangan menurut bruner melalui tiga fase, yakni fase “enactive, iconic, dan symbolic”. Anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia berfeser ke depan atau ke belakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain), ini fase “enactive”. Kemudian pada fase “iconic”, ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan, dan akhirnya ia menggunakan Bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan. Ini fase “symbolic”.
Menurut Bruner, sekolah didirikan masyarakat sebagai alay untuk meningkatkan kemampuan intelektual anak. Bagaimanakah pendidikan melakukan tugas itu?
1.      Menerjemahkan teori menjadi struktur yang dapat dipahami anak melalui dialog antara guru dan anak.
2.      Mengembangkan rasa kepercayaan pada siswa akan kemampuannya memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan mentalnya.
3.      Membimbing siswa agar ia sendiri dapat mempelajari berbagai macam bahan  pelajaran atau memecahkan masalah yang dirumuskannya sendiri.
4.      Menggunakan kemampuan mentalnya secara ekonomis dengan mencari relevansi dan memahami struktur bahan yang dipelajarinya.
5.      Memupuk kejujuean intelektual.
Dalam mempelajari ilamu pengetahuan ialah mempelajari disiplin ilmu. Walaupun isinya bergunam namun yang lebih penting ialah mempelajari cara berpikir dalam disiplin ilmu, cara ilmu itu memecahkan masalah.
Mengenai proses belajar mengajar Bruner memberikan beberapa petunjuk:
1.      Memberi pengalaman agar sisea belajar bagaimana cara belajar, bagaimana cara memecahkan masalah.
2.      Menstruktur pengetahuan, mengusahakan agar siswa memahami struktur pelajaran. Memahami berarti dapat menghubungkannya dengan berbagai hal lain. Kita tak dapat mengajarkan segala sesuatu, namun kita dapat mengajarkan prinsip-prinsipnya yang pokok, yang disebut strukturnya.
3.      Urutan penyajian bahan dapat dilakukan dari yang sederhana sampai yang lebih abstrak. Tiap pengetahuan dapat disajikan dalam bentuk yang sederhana yang dapat dipahami anak pada tingkat usianya. Kepada anak dapat diajarkan tentang computer, statistic, dalam bentuk yang benar dan jujur, misalnya denga taraf enactive, kemudian iconic, dan akhirnya symbolic.
Suatu konsep, prinsip, atau masalah pokok tidak dapat dipahami sepenuhnya, akan tetapi berangsur-angsur makin dipahami. Bahan serupa itu dapat diajarkan di SD, SMP, SMA, bahkan selanjutnya di perguruan tinggi. Kurikulum yang membicarakan pokok yang sama pada tingkatan yang senantiasa bertambah tinggi, disebut kurikulum spiral. Pancasila misalnya, dapat dibicarakan pada berbagai tiingkat pendidikan. Keuntungan kurikulum spiral adalah bahwa bahan dapat diajarkan lebih awal dan dengan demikian mempercepat kesiapan atau “readiness” tanpa menunggunya secara pasif. Itu sebabnya, Bruner tidak merasa terikat oleh perkembangan menurut fase perkembangan seperti dikemukakan Piaget. Pengaruhnya sangat besar bagi pengembangan kurikulum dengan memberikan sejumlah mata pelajaran jauh lebih awal daripada sediakala.
4.      Motivasi belajar. Bruner menganjurkan untuk mengurangi motivasi ekstrinsik, sering berupa pujian, hadiah, angka baik, dan lain-lain dan mengutamakan motivasi intrinsic. Motivasi intrinsic ialah bila siswa menguasai pelajaran, sanggup memecahkan masalah yang sulit, menaruh minat, merasa turut terlibat, merasa diri kompeten. Keberhasilan dan kegagalan bertalian dengan tugas dapat menjadi motivasi intrinsic. Keberhasilan tak perlu lagi diberi hadiah atau pujian, ada kemungkinan siswa belajar untuk memperolehnya. Hadiah yang peling berharga terdapat dalam keberhasilan melakukan tugas. Kegagalan dapat menjadi motivasi intrinsic bila menjadi cambuk untuk mengeluarkan usaha yang lebih banyak. Akan tetapi kegagalan yang disertai hukuman akan merusak.
5.      Pemecahan masalah dilakukan dengan merumuskan hipootesis yang dicek kebenarannya berdasarkan data yang relevan. Pemecahan masalah dapat juga tercapai dengan menggunakan intuisi, yaitu proses berpikir yang tidak dapat diverbalisasi. Diharapkan siswa dididik agar dapat menemukan jawaban atas masalah dengan  usaha sendiri. Apa yang ditemukan sendiri lebih mantap dan mempunyai nilai transfer tinggi.

2.6  PRINSIP-PRINSIP UMUM
            Walaupun belum ada satu teori belajar yang berlaku bagi semua jenis belajar, menurut Hilgard, telah ada sejumlah prinsip yang umum dapat diakui kebenarannya.
1.      Ada perbedaan individual mengenai kesanggupan belajar. Apa yang dapat dipahami oleh anak pandai, belum dapat dipahami oleh anak yang kurang pandai.
2.      Motivasi mempertinggi hasil belajar.
3.      Motivasi yang berlebih-lebihan dapat menimbulkan gangguan emosional dan mengurangi efektivitas belajar.
4.      Pada umumnya hadiah, pujian, dan sukses lebih menggiatkan orang belajar daripada hukuman, celaan, dan kegagalan.
5.      Motivasi intrinsik memberi hasil yang lebih baik daripada motivasi ekstrinsik
6.      Kegagalan  dalam belajar sebaiknya diatasi dengan adanya keberhasilan pada masa yang lampau
7.      Tujuan hendaknya realistis, jangan terlampau tinggi atau rendah agar menimbulkan kegiatan belajar yang tinggi.
8.      Hubungan tidak baik dengan guru dapat menghalangi prestasi belajar yang tinggi
9.      Hasil belajar yang sebaik-baiknya dicapai bila murid turut aktif mengolah dan mencernakan bahan pelajaran dan tidak sekeda mendengarkan saja
10.  Bahan dan tugas yang bermakna bagi murid lebih diterimas dan dipelajari murid daripafa bahan dan tugas yang tak dipahami maksudnya
11.  Untuk menguasai sesuatu sepenuhnya, misalnya memainkan lagu pada piano, diperlukan latihan yang banyak sehingga tercapai ”overlearning”
12.  Keterangan tentang hasil yang baik atau kesalahan yang dibuat, membantu murid belajar
13.  Transfer hal yang dipelajari kepada situasi atau problema baru, akan lebih terjamin bila murid itu sendiri menemukan  hubungan Antara kedua hal itu dan selama belajar mendapat kesempatan menerapkannya dalam berbagai macam situasi
14.  Ulangan sebaiknya dilakukan secara berkala agar lebih lama untuk diingaagar lebih lama untuk diingat.

2.7  PENGARUH TEORI BELAJAR TERHADAP KURIKULUM
Teori ilmu jiwa daya bertujuan mencapai mental disiplin, yakni melatih daya mental terutama daya piker. Tujuan ini sangat sempit. Bahan pelajaran yang uniform bagi anak. Bahan pelajaran yang melatih daya pikir menduduki tempat paling penting. Dalam penentuan bahan, faktor anak tak berapa dihiraukan. Bahan itu disusun menurut urutan yang logis sesuai dengan sistematik mata pelajaran itu, jadi biasanya dimulai dengan definisi atau klasifikasi ilmiah baru kemudian obyek-obyek atau contoh-contoh yang konkrit.
Teori asosiasi mengutamakan bahan pelajaran yang spesifik, yang terdiri atas sejumlah S-R dan dikuasai melalui penyajian yang cermat, hafalan dan ulangan. Yang disajikan adalah unsur-unsur yang atomistis, bukan ide-ide yang prinsipil. Penyajian hal-hal yang spesifik dengan cara yang teliti itu tampak dalam pengajaran berprogama (programmed instruction) dan “teaching machine”. Juga “job analiysis” seperti dilakukan untuk pertama kalinya oleh Charters didasarkan atas teori itu.
Teori Gestalt atau field theory mempnyai tujuan yang luas, yakni bukan hanya memberikan pengetahuan tapi juga proses menghadapi dan memecahkan masalah, pengembangan prbadi, dan sikap terhadap dunia. Dalam menentukan bahan pelajaran dipertimbangkan minat dan perkembangan anak, lingkungan masyarakat anak dan bahan dari berbagai mata pelajaran. Kurikulum meliputi perkembangan social, emosional, dan intelektual. Organisasi bahan pelajaran dan dan metode mengajar mengutamakan hubungan dan integrasi serta pemahaman. Fakta-fakata atau informasi spesifik diperlukan untuk memperoleh pemahaman itu. Berbeda dengan teori asosiasi, yang banyak memberi peranan “pasif” kepada anak, teori Gestalt ini memandang belajar sebagai proses yang memerlukan aktivitas anak. Karena itu digunakan metode problem-solving dan inquiry-approach. Anak sendiri harus menemukan jawaban masalah, dengan bimbingan serta bantuan guru sejauh diperlukan .

2.8  TEORI BELAJAR DAN ILMU MENGAJAR
            Mengenai proses belajar itu sendiri kita hadapai berbagai macam kesulitan. Banyak macam-macam teori tentang belajar yang dipakai secara campur-aduk dalam praktek. Teori belajar menurut “mental discipline” atau ilmu jiwa daya digunakan bersama dengan teori belajar menurut teori stimulus dan response  serta teori conditioning. Lagipula banyak jenis-jenis belajar, seperti keterampilan motoris, mengingat fakta-fakta dan informasi, keterampila intelektual seperti menbentuk konsep, belajar menurut “inquiry approach” memecahkan masalah, dan belajar sikap, emosi, nilai-nilai, ilmu social, dan sebagainya. Karena itiu tidak ada satu teori umum sebagai pegangan untuk segala jenis belajar itu.
            Kebanyakan teori kebanyakan tidak didukung oleh eksperimen-eksperimen. Penelitian hanya dilakukan melalui bentuk belajar yang sederhana dengan binatang. Kita dapat menyangsikan apakah hasil penelitian itu berlaku pula bagi manusia dalam belajar hal-hal yang jauh lebih kompleks. Penelitian mengenai belajar dalam situasi belajar dalam kelas bersifat penelitian jangka pendek jangka panjang. Variabel dalam situasi belajar dalam kelas tidak dapat dikuasai sepenuhnya karena banyaknya variabel itu. Lingkungan tempat anak belajar perlu pula diperhatikan, karena anak itu senantiasa merupakan organisme dalam lingkungan yang turut mempengaruhinya dalam belajar.
            Lagipula arti istilah-istilah danpengertian pokok dalam berbagai teori belajar sebenarnya masih kabur, misalnya “insight” dalam teori Gestalt, “reinforcement”, “trial and error” dan pengaruh pujian dan hukuman dalam belajar menurut teori asosiasi.
            Pada umumnya dapat kita katakan bahwa teori asosiasi lebih serasi untuk mempelajari hal-hal yang sederhana, akan tetapi kurang sesuai untuk soal-soal yang memerlukan proses mental yang kompleks seperti berpikir atau memecahkan suatu masalah dan untuk mempelajari sikap, minat, atau emosi. Akan tetapi cara belajar menurut teori ini lebih mudah dikuasai, hasilnya dapat segera diketahui dan dinilai. Bahkan untuk belajar serupa ini Throndike telah merumuskan sejumlah “laws of learning”, misalnya bahwa hubungan S-R bertambah erat bila sering diulangi, bila hubungan itu disertai rasa senang atau puas, dan sebagainya.
            Di lain pihak teori Gastalt atau field theory lebih sesuai untuk mempelajari hal-hal yang kompleks, yang mengandung masalah. Akan tetapi kelemahannya ialah, bahwa teori ini terlampau banyak variabelnya, terlampau kompleks dan tidak dapat dituangkan dalm bentuk prinsip-prinsip dan hokum-hukum yang cepat dan cermat. Hanya petunjuk-petunjuk umun yang dapat diberikan.
            Oleh sebab belum ditemukan teori belajar yang pasti, maka sebenarnya belum dapat disusun suatu ilmu mengajar atau “science of teaching” yang dapat diramalkan dengan pasti hasil suatu kegiatan mengajar.














BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Apa yang akan dipelajari tentu memerlukan pengenalan perkembangan anak, tetapi bagaimana anak belajar juga membutuhkan pengetahuan tentang berbagai teori belajar. Nyatanya meskipun telah banyak mengetahui berbagai hal tentang belajar, namun belum tentu dapat menggambarkan secara jelas apa yang harus dilakukan agar anak belajar  Hal ini antara disebabkan penelitian dan eksperimen tentang belajar masih dilakukan dalam laboratorium yang terbatas jumlah variabelnya, dan biasanya sering dilakukan terhadap binatang, sehingga tentu jauh berbeda dengan situasi belajar didalam kelas. Selain itu yang seringkali menjadi bahan kajian hanyalah belajar pada tingkatan mental rendah, sedangkan belajar pada tingkatan mental tinggi masih memerlukan penelitian yang lebih banyak. Belajar merupakan hal yang sangat kompleks. Apa yang dipelajari bermacam-macam. Antara belajar fakta atau informasi dengan belajar memecahkan masalah tentu  berbeda,  lain pula ketika mempelajari nilai-nilai.
Berbagai macam teori belajar seperti teori ilmu jiwa atau daya dan disiplin mental, teori S-R yang behavioristik, teori Gestalt atau teori lapangan, dan teori-teori belajar lainnya pun belum mampu mencakup segala macam jenis belajar.
3.1  Saran


0 Response to "Landasan dan Asas Psikologi Belajar"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)