Cerita Pendek
Cerita ini saya tuliskan berdasarkan kisahnyata sebuah keluarga di wilayah Rawamangun, Jakarta Timur. mereka hidup di rumah yang kumuh dan digusur oleh Satpol PP. hidup serba pas-pasan dan menggantungkan hidup pada barang bekas orang-orang kaya merupakan gambaran dari keluarga ini. bagaimana ceritanya?
DERITA
KORBAN PENGGUSURAN
Aku terlahir dalam keluarga yang
sederhana dan serba berkecukupan di Rawamangun, Jakarta Timur. Rumahku tidak
besar, hanya berukuran 3 × 3 meter. Dinding rumahku terbuat dari tempelan
kardus dan tripleks-tripleks bekas yang didapatkan oleh ayahku dari sisa
pembongkaran rumah bekas atau sisa renovasi rumah orang-orang kaya. Aku adalah
anak pertama dan memiliki adik yang bernama Didi. Ayahku bekerja sebagai
pemulung sampah-sampah di tempat tumpukan sampah, tong sampah depan rumah
orang. Ayahku memulung dengan membawa gerobak yang sudah berumur 5 tahun,
dengan gerobak itu aku kadang-kadang dibawa oleh ayahku sambil menemaninya
untuk ikut memulung ke tempat pembuangan sampah. Ibuku tidak memiliki
pekerjaan, dia kadang-kadang mengikuti ayah untuk memulung ke tempat sampah
atau sisa bahan bangunan yang sudah dibuang disamping rumah orang-orang.
Begitulah kondisi aku yang sudah
berumur 10 tahun. Sejak aku lahir, aku belum pernah merasakan bagaimana enaknya
hidup seperti anak-anak yang lainnya. Adikku yang masih berumur 3 tahun sering
terkena penyakit karena tidak bisa makan secara teratur, air yang digunakan
untuk mandi sangat tidak bersih. Kami kadang-kadang harus menumpang mandi di
tempat MCK umum. Meski fasilitasnya hanya sekedar air saja, dan sangat tidak
layak, tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi air minum kami, tempat
cuci, mandi, atau bahkan untuk sekedar ber-wudhu untuk sholat.
Penghasilan ayah memang tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Untuk mencari sesuap nasipun, saya
terkadang kasihan melihat ayah apabila jatuh sakit. Saya ingin menggantikannya
untuk menarik gerobak, tetapi tenaga saya dan badan saya masih sangat kurang
mencukupi untuk menaklukkan gerobak tua itu. Meski terkadang ibu harus bergantian
dengan ayah untuk menarik gerobak, tetapi ayah selalu berusaha untuk menarik
gerobak. Bahkan, sering juga dipagi hari, aku bersama ibu dan adikku Didi naik
kedalam gerobak dan ayah menarik gerobak dengan jalan kaki. Aku sangat senang
bisa merasakan bahwa aku sedang sama seperti orang-orang yang menaiki mobil
pribadi yang mewah meski saya naik dengan gerobak tua ayahku.
Untuk mendapatkan sampah-sampah dan
bekas bahan bangunan sangatlah tidak mudah. Terkadang ayahku harus berjalan
lebih dari 20 Km untuk mendapatkan sampah-sampah plastic dan bekas bahan
bangunan yang sudah tidak dipakai oleh orang-orang lagi. Langkah kaki ayahku
sangat kuat sambil menarik gerobak yang telah lama menemani perjalanannya di
kota Jakarta ini. keringat demi keringat bertetesan membasahi bajunya seperti
guyuran hujan di siang bolong. Itu adalah perjuangan untuk sampai ditempat
pemulungan sampah dan bekas-bekas bahan bangunan orang-orang kaya, belum
perjuangan untuk kembali ke rumah sembari membawa tumpukan barang-barang bekas
yang menyesaki gerobak ayahku.
Ketika aku melihat lalu lalang
kendaraan bermotor bisa secepatnya melaju melewati kami untuk berjalan, aku
hanya bisa pasrah karena ayahku tidak sekuat mesin untuk menarik gerobak ini
dan bersyukur bahwa aku masih diberikan ayah, ibu, dan adik yang hebat. Mereka
tidak pernah mengeluh tentang hidup. Mereka selalu menganggap itu sebagai
sebuah jalan untuk mencapai apapun yang menjadi tujuan akhir hidup ini.
Sore hari sampai dirumah habis dari
pemulungan, ibu selalu membuka pintu rumah dengan tersenyum. Senyum yang bisa
melegakan kecapekan sang ayah, ditambah dengan sambutan “ayah datang” dari
sikecil kami, Didi. Ibuku langsung memberikan ayah minum dan dahaga yang hilang
selama menarik gerobak dan tumpukan barang bekas itu langsung hilang dalam
seketika. Sungguh semuanya saya nikmati dan saya syukuri sebagai pemberian
Tuhan yang sangat tidak bisa saya balaskan.
Malamnya, wajah ayah sudah kelihatan
sangat capek, seakan-akan ingin diberikan pijatan untuk punggungnya dan kakinya
yang sudah pegal-pegal. Tetapi ayah selalu menyembunyikan perasaan pegal itu
meski terkadang ibu harus memaksa untuk memijat walau hanya sekedar. Tidak
seperti pijatan professional memang, tetapi cukup untuk menghilangkan letih
yang bergelantungan pada sekujur tubuh ayah. Aku juga terkadang ikut-ikutan
untuk memberikan pijatan kepada ayah, adikku Didi pun jadi ikut-ikutan.
Semuanya kami lakukan begitu penuh sukacita, tidak ada yang kurang.
Jika tiba waktunya sholat, ayah
selalu mengajakku ke Mushola yang kecil disamping rumah untuk sholat dan
membacakan beberapa ayat-ayat kitab. Ayahku selalu mengajarkanku bagaimana
menjadi lelaki yang hebat. Lelaki yang hebat itu tidak mengenal kata menyerah
meski dalam keadaan tersulit sekalipun. Sosok itu aku lihat ada dalam diri
ayahku. Ayahku selalu mengajariku untuk selalu giat belajar. Sebelum tidur,
ayahku bahkan selalu menemani aku untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan
oleh guru disekolah. Meski ayah tidak mau memberikan jawaban tugas-tugas aku,
aku selalu dituntut untuk menjawab sendiri dengan tuntunannya. Aku menjadi
lebih nyaman karena ayah selalu menemani saya bahkan hingga larut malam dimana
aku sudah mengantuk berat. Terkadang aku meniduri buku pelajaranku sehingga
memaksakan ayahku untuk menggendong aku ke tempat tidur. Buku-bukuku
dibereskan, kemudian dia sholat dan memanjatkan doa-doa, kemudian ayahku baru
tidur.
Pagi hari subuh jam 05.00 ayahku
selalu membangunkanku. Walau aku kebanyakan merengek, ayahku dengan sabar
menuntun aku dari tempat tidurku kemudia membantu aku untuk membasuh kakiku
untuk berwudhu sekalian sholat subuh. Kami berdua selalu sholat bersama,
sedangkan ibu selalu sholat duluan karena harus memasak sehabis itu untuk
kebutuhan makanan kami seharian. Sehabis sholat, kami selalu makan dan sarapan
pagi bersama, mamaku masih menyuapi adikku Didi karena dia masih kecil.
Tiba waktunya bagi ayah untuk
berbanting tulang lagi untuk menarik gerobak lagi. Terkadang, jika arah
pemungutan ayah satu arah dengan sekolahku, aku selalu dinaikkan di gerobak
yang sudah dimakan rayap itu. Sembari mengucap salam pada ibu, aku dan ayah
pergi sedangkan ibu menjaga adik.
Begitulah hari-hari yang dilalui
oleh keluargaku. Semuanya kami nikmati dengan syukur tanpa kekurangan apapun. Tetapi
dalam bulan ini, kami harus menerima kenyataan ketika rumah kami harus digusur
paksa. Tanah itu tidak punya kami memang, tetapi sedih rasanya melihat ayah
jika harus mengangkut kami lagi dengan gerobaknya untuk mencari tempat tinggal
yang baru. Kejadian itu persis terjadi ketika ayah baru beberapa menit pergi
untuk mencari barang bekas. Tiba-tiba barisan orang berpakaian abu-abu,
berbadan tegap, bersuara lantang langsung menyeroboti atap rumah kami,
menendang dinding rumah kami, hingga adik aku menangis sekuat-kuatnya. Ibuku pun
tidak tahan menahan dera yang mengghinggapi hatinya ketika melihat gubuk istana
kami harus diporak porandakan satuan Satpol PP Jakarta Timur.
Ibu tidak bisa berbuat apa-apa,
hanya tertegun menyaksikan puing-puing hasil obrak-abrik para penegak Perda
tersebut. Kami duduk bertiga di bekas tindihan seng dan dinding rumah kami yang
sudah rubuh sembari menunggu kepulangan ayah dari memulung barang bekas. Ibuku
akhirnya bersyujud syukur dan berdoa atas kejadian yang telah Tuhan limpahkan
atas peristiwa ini. “tidak ada yang perlu disesali nak!” ucapnya dengan sendu
sambil mengibas air mata aku yang melihat ibu berusaha tegar.
Ayah akhirnya datang, membawa
gerobak penuh dengan bekas bahan bangunan orang-orang kaya dari kelurahan
seberang. Tetapi masih berjarak 100 meter, ayah berlari dan meninggalkan
gerobaknya begitu saja mendapatkan kami yang duduk di puing-puing penggusuran. Aku
melihat Ayah gemetaran seakan tidak percaya hal ini terjadi, Ayahku meluapkan
emosianya dengan melemparkan kepalan tangannya keatas tetapi tidak bisa
terlempar, hingga air mata yang akhirnya menjadi penenang dera emosi sang ayah.
Ayahku sekan-akan ingin berkata
sesuatu, tetapi tidak mampu untuk mengatakannya. Aku mencoba mendekati sang
ayah, aku dipeluknya, kepalaku didekapnya didadanya. Air matanya terasa hingga
membasahi rambutku. Ayah seakan-akan tidak tahan melihat jika anak dan istrinya
harus tidur dikolong jembatan atau ditempat yang masih belum jelas buat malam
ini. aku mengusap air mata ayah dan mengatakan “ yang tabah Ayah, kita pergi
saja yuk!”. Ayah mengangguk pelan sambil berusaha tersenyum, tetapi senyumnya
tetap tidak mampu menghilangkan emosi dan tangis sang ayah.
Ayah dan ibu kemudian mengemasi
barang-barang yang terselamatkan oleh ibu tadi kemudian diangkut ke gerobak
ayah. Aku dan adik naik diatas gerobak ayah, sedangkan ibu mendorong dari
belakang. Kami mencari tempat untuk bisa tinggal sementara, tetapi tetap
dihantui rasa takut akan kena razia lagi. Akhirnya kami mendapat tempat untuk
tinggal beberapa hari, masih dalam kondisi yang sama daerahnya kumuh dan sangat
tidak layak untuk ditempati. Sepertinya daerah itu juga sedang menunggu giliran
untuk digusur. Kami pasrahkan semuanya kepada Tuhan. Sembari menyiapkan hidup
baru di tempat yang baru, aku dan adikku mendapatkan banyak teman-teman baru di
tempat itu. Adikku begitu senang meski tinggal di tempat yang bisa kebocoran
jika kehujanan. Dari itu, kami memulai hidup yang baru lagi, sembari menunggu
kembali digusur.
0 Response to "Cerita Pendek"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)