Makalah Pergerakan Nasional Indonesia pada Akhir Penjajahan Hindia Belanda
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah
Indonesia sejak tahun 1908 memulai babak baru, yaitu babak pergerakan nasional.
Hal itu ditandai dengan berdirinya Budi Utomo. Tiga tahun setelah Boedi Oetomo
lahir, tahun 1911 berdiri organisasi bagi orang-orang Islam di Indonesia, yaitu
Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh Haji Samanhudi. Lalu namanya dirubah
menjadi Sarekat Islam untuk menarik anggota lebih banyak. Selain organisasi
yang disebut diatas masih banyak organisasi lain yang didirikan baik bersifat
kooperatif maupun radikal, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri.
Tetapi tujuan dari organisasi tersebut hampir sama yaitu kemerdekaan Indonesia
walaupun tidak terang-terangan diungkapkan. Masa pergerakan nasional di
Indonesia terbagi menjadi tiga masa. Dari masa kooperatif, masa radikal,
terakhir masa bertahan.
Banyak sekali organisasi-organisasi radikal yang
melakukan aksinya. Salah satunya adalah ISDV yang pergerakannya sangat radikal.
Organisasi pergerakan nasional lainnya yang paling berpengaruh bagi
perkembangan bangsa yaitu PNI. PNI dipelopori tokoh yang sangat gigih
memperjuangkan kemerdekaan yaitu Bung Karno. Tetapi akhirnya karena Gubernur
Jenderal pada saat itu sangat reaksioner terhadap pergerakan maka organisasi
ini dinyatakan terlarang dan tokoh-tokohnya diasingkan. PNI merupakan
organisasi yang terakhir yang menandai berakhirnya masa pergerakan yang
radikal.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pergerakan nasional menjelang akhir Hindia Belanda?
2.
Bagaimana
politik kolonial mejelang keruntuhan Hindia Belanda?
3.
Penyerbuan
Jepang dan keruntuhan Hindia Belanda
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pergerakan Nasional
Menjelang Akhir Hindia Belanda
A.
BERAKHIRNYA MASA NONKOOPERASI
Pada masa awal tahun
1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti
itu disebabkan beberapa hal.
Pertama,
akibat krisi ekonomi atau malaise yang melanda dunia memaksa Hindia Belanda
untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan keamanan. Dalam rangka kebijakan itu, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan beberapa pasal-pasal karet dan exorbitante rechten secara lebih
efektif.
Kedua, diterapkannya pembatasan hak berkumpul dan berserikat
yang dilakukan pengawasan ekstra ketat oleh polisi-polisi Hindia Belanda yang
diberi hak menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan oleh partai politik.
Selain itu juga dilakukan pelarangan bagi pegawai pemerintah untuk menjadi
anggota partai politik.
Ketiga, tanpa
melalui proses terlebih dahulu Gubernur Jenderal dapat menyatakan suatu
organisasi pergerakan atau kegiatan yang dilakukannya bertentangan dengan law
and order sesuai dengan Koninklijk Besluit tanggal 1 September 1919. Peraturan itu merupakan modifikasi dari pasal
111 R.R. (Regrering Reglement).
Keempat,
banyak tokoh pergerakan kebangsaan di Indonesia yang diasingkan, seperti
Soekarno, Hatta, dan Syahrir.
Hal diatas menjadi semakin
parah ketika Hindia Belanda diperintah Gubernur Jenderal yang konservatif dan
reaksioner yaitu de Jonge (1931-1936). . Periode awal 1932 sampai dengan
pertengahan
1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta
kegagalan usaha pengintegerasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga
oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama sebagai dampak politik
agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Tetapi dalam hal ini, Gubernur Jenderal
de Jonge secara konsekuen menjalankan politik “purifikasi” atau “pemurnian”
artinya menumpas segala kecenderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa
dan semua bentuk nonkooperasi .
Maka dari itulah
gerak-gerik Partindo dan PNI Baru senantiasa diawasi secara ketat. Aksi massa
dan politik agitasi Soekarno selama lebih kurang satu tahun dari pertengahan
1932 sampai pertengahan 1933 merupakan titk puncak perkembangan Partindo.
Jumlah anggotanya naik dari 4.300 menjadi 20.000 orang. Soekarno dkk juga
melakukan safari ke 17 cabang di Jawa Tengah untuk berbicara di muka rapat yang
penuh sesak. Dalam pidatonya Soekarno banyak membicarakan tentang kemerdekaan
Indonesia.
Dalam situasi yang semakin
panas dapat diduga bahwa penguasa sudah siap untuk bertindak. Tindakan pertama
adalah ialah pemberangusan surat kabar Pikiran Rakyat pada tanggal 19 Juli 1933
yang membuat sebuah cartoon. Pada 1 Agustus semua rapat Partindo dan PNI Baru
dilarang dan hari tu juga Soekarno ditahan. Selanjutnya pada bulan Desember
1933 Moh. Hatta dan Sjahrir ditangkap. Dengan tangan besinya Gubernur Jenderal
de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang
bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa
pemerintah kolonial bertanggunng jawab atas keadaan di Hindia Belanda, dan
baginya dibayangkan bahwa dalam masa 300 tahun berikutnya pemerintah itu akan
masih tegak berdiri . Politik represifnya berhasil menghentikan gerakan politik
nonkooperasi sama sekali.
Dalam hubungan ini perlu
ditambahkan bahwa selama dalam tahanan, Soekarno, menurut dokumen-dokumen arsip
kolonial, telah menulis surat kepada pemerintah Hindia Belanda sampai empat
kali, yaitu tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September yang kesemuanya memuat
pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik nonkooperasi, bahkan
selanjutnya tidak lagi akan melakukan kegiatan politik. Sudah barang tentu hal
itu menggemparkan kaum nasionalis serta menimbulkan bermacam-macam reaksi. Ada
yang penuh keheranan atau kekecewaan, ada pula yang merasa jengkel atas
perubahan sikap yang berbalik 180 derajat itu.
B.
REORIENTASI STRATEGI DAN REORGANISASI
PERGERAKAN
Penangkapan dan
pembuangan tokoh nasionalis merupakan pelaksanaan politik keras dan reaksioner.
Perjuangan radikal yang hendak berkonfrontasi dengan penguasa kolonial pasti
menemui kegagalan karena pemerintah kolonial memiliki prasarana kekerasan. Dalam menghadapi politik tangan besi de Jonge,
gerakan non-kooperasi tidak akan menghasilkan sesuatu apapun, dengan adanya
berbagai tindakan reaksinoner, seperti larangan diadakannya rapat umum,
pengetatan pengawan polisi rahasia, dan pers pun tidak luput dari pengawasan.
Disamping mengahadapi
kesulitan ekonomi, politik keras tersebut tidak memberi alternatif lain kecuali
mengubah haluan, dari non- kooperasi ke kooperasi kecuali faktor ekonomi dan
politik tersebut ada faktor historis lain yang turut mempengaruhi perubahan
orientasi nasionalis, yaitu konstelasi dunia internasional waktu itu. Munculnya
nazisme atau fasisme pada dasawarsa 30-an di Eropa tengah yang dalam ekspansinya
mendesak kedudukan negara-negara demokrasi disatu pihak, negara komunis dilain
pihak. Sementara itu suasana politik dunia semakin tegang, tambahan pula Jepang
dengan pemerintahan militernya mejalankan pula ekspansionisme di daerah
Pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia, nasionalis menyadari bahwa
dalam menghadapi fasisme tidak ada alternatif lain dari pada memihak demokrasi.
Maka dari itu, perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme tidak lagi
dilakukan secara mutlak bersikap anti. Ada kebersamaan yang mendekatkan kaum
naionalis dengan penguasa kolonial, yaitu mempertahankan demokrasi terhadap
bahaya fasisme, kesadaran itu muncul terlebih dikalangan PI yang mulai mengambil
haluan kooperasi.
Dalam konteks politik Eropa
Barat, bahaya itu nyata sekali, sehingga PI menurut prinsip ideologis harus
menjalankan politik kooperasi itu. Jadi, bukan semata-mata sekedar soal strategi atau taktik saja.
Sebaliknya dalam area politik Indonesia
secara nyata dirasakan penghambatan terhadap kolonialisme, sedang fasisme
dikenalnya secara tidak langsung sehingga politik kooperasi pada umumnya
ditempuh sebagai strategi atau taktik dan bukan soal prinsip ideologi. Dari
kenyataan atau perumusan tujuan organisasi-organisasi, baik yang sejak awal bersikap kooperatif
maupun yang semula bersifak non-kooperatif, kesemuanya mengarah pada cita-cita
Indonesia merdeka. Parindra sebagai bentuk fusi antara PBI, BO, PSII, Gerindo,
dan lain-lainnya. Semuanya bersikap kooperatif, pemimpinnya seperti Soetomo,
Thamrin, H.A. Salim, A.K.Gani, dan Moh. Yamin jelas menyatakan pendirian
politik itu meskipun ada perubahan sikap dan taktik namun focus perjuangan
sudah mantap sehingga titik pergerakan kekuatan mantap fungsinya sebagai
penggemblengan solidaritas nasional.
1. Petisi
Soetardjo
Dalam kerangka politik kooperatif, arena
politik memang sudah tertutup rapat terhadap massa aksi , namun ruang gerak
masih leluasa untuk membangkitkan kesadaran nasional serta gerakan atau aksi
yang dapat mengkonsolidari solidaritas dalam dan antar partai. Salah satu titik
pengerahan gerakan itu ialah, apa yang dikenal sebagai petisi Soetarjo.
Pada
tanggal 15 Juli 1936, Soetardjo Kartohadikoesoemo mengajukan usul petisi kepada
pemerintah Hindia Belanda agar diselenggarakan suatu konfrensi kerajaan
Belanda, dimana dibahas politik Hindia Belanda dalam sepuluh tahun mendatang,
yaitu status otonomi didalam batasan artikel 1 dari UUD negeri Belanda. Petisi itu juga
ditandatangani oleh I.J.Kasimo, Sam Ratulangi, Datoek Toe Menggoeng, dan Kwo
Kwat Tiong. Rumusan petisi itu bernada sangat moderat, yang sangat mencerminkan
tidak hanya jiwa kooperatif tetapi juga sikap hati-hati dengan memakai langkah
yang legal.
Kalau dari pihak Indonesia ada yang tidak setuju dengan
petisi itu, maka alasannya bukanlah soal isi petisi tersebut, tetapi seperti
yang diajukan oleh Goesti M Noer iyalah caranya mengajukan dengan menengadahkan
kedua tangan atau seperti meminta. Di samping itu dari fraksi Nasional ada yang
bersikap skeptis akan hasil yanga akan dapat dicapai oleh petisi itu, lagi pula
petisi tersebut dapat melemahkan usaha-usaha lain yang memperjuangkan otonomi
Indonesia.
Dari pihak Belanda, kecuali IEV (Indo-Europees Verbond),
pada umumnya tidak dapat diharapkan ada dukungan terhadap petisi itu. IEV
menganggap ide Dewan Kerajaan sesuai dengan Negeri Belanda Raya yang mencakup
bagian daerah-daerahnya. VC (Vederlandse Club) memandang petisi tersebut
terlalu prematur serta tidak sesuai dengan situasi, bahwa dalam bidang ekonomi
dan sosial Hindia Belanda belum cukup berkembang untuk dapat berdiri sendiri.
Partai-partai Kristen, IKP dan CSP yang lazimnya tidak terlalu konservatif
sikapnya terhadap Nasionalisme berpendapat bahwa petisi diajukan pada waktu
yang tidak tepat oleh karena ada masalah-masalah lain yang lebih besar yang
sedang dihadapi.
Dalam pemungutan suara di Dewan Rakyat, 26 setuju dan 20
melawan, sehingga petisi dapat diteruskan ke Negeri Belanda. Dapat diduga bahwa
petisi tersebut tipis kemungkinan untuk
diterima Dewan Perwakilan Belanda, karena 1) berdasarkan tingkat perkembangan
politik di Indonesia petisi sangat prematur dalam hubungan itu, 2) dipersoalkan
bagaimana kedudukan minoritas di dalam struktur politik baru itu, 3) siapakah
yang akan memegang kekuasaan nanti, 4) tuntutan otonomi dipandang sebagai hal
yang tidak wajar alamiah, karena pertumbuhan ekonomi, sosial, politik, belum
memadai.
2. Gabungan
Politik Indonesia (GAPI)
Kali ini inisiatif datang dari Tahmrin, tokoh
Parindra, untuk membentuk suatu badan konsentrasi internasional yang semakin
genting serta memungkinkan keterlibatan langsung Indonesia dalam perang, maka
pembentukan badan seperti itu terasa sangat mendesak, antara lain memupuk rasa
kerjasama untuk membela kepentingan rakyat. Dalam rapatnya pada tanggal 19
Maret 1939 usul Thamrin disetujui. Dari luar Parindra pada umumnya tanggapan
terhadap ide itu sangat positif.
Dua bulan kemudian, 21 Mei 1939, panitia
persiapan menyelenggarakan rapat umum di gedung permufakatan, Gang Kenari,
Jakarta. Diterangkan oleh Thamrin, bahwa tujuannya ialah membentuk suatu badan
persatuan yang akan mempelajari dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam pelaksanaannya
tiap-tiap organisasi tetap bebas melakukan programnya sendiri. Parindra
mengambil inisiatif itu tidaklah untuk memperoleh kehormatan, namun semata-mata
terdorong oleh keadaan mendesak hubungan dengan situasi internasional.
Dalam rapat itu,
pendirian GAPI disetujui dan diresmikan. Menurut anggaran dasarnya mencapai
tujuan badan itu ialah untuk mengusahakan kerja sama antara partai-partai
politik Indonesia serta menjalankan aksi bersama. Adapun alasannya ialah penentuan nasib sendiri,
kesatuan dan persatuan nasional serta demokrasi dalam segi politik, sosial, dan
ekonomi. Direncanakan untuk menyelenggarakan kongres rakyat.
Pelaksanaan program GAPI secara konkret
terwujud dalam rapatnya pada 4 Juli 1939. Diputuskan untuk mengadakan konres
rakyat Indonesia yang akan memperjuangkan penentuan nasib bangsa Indonesia
sendiri serta kesatuan-kesatuan dan persatuan Indonesia.
Sebelum aksi dapat dilancarkan secara
besar-besaran, pada tanggal 9 September 1939 sampailah kabar bahwa perang dunia
II telah pecah. Dalam pernyataanya pada 19 september, GAPI menyerukan agar
dalam keadaan penuh bahaya dapat dibina hubungan dan kerjasama yang
sebaik-baiknya antara Belanda dan Indonesia. Diharapkan agar Belanda
memperhatikan aspirasi bangsa Indonesia untuk membentuk pemerintahan sendiri
dengan diberikan suatu perwakilan rakyatnya. Apabila Belanda memenuhi keinginan
itu, maka GAPI akan mengerahkan rakyat untuk memberi bantuan sekuat tenaga
kepada Belanda.
Golongan progresif Belanda menyerukan kepada
pemerintah Belanda agar loyalitas yang tertera dalam pernyataan GAPI ditanggapi
secara positif dengan memenuhi keinginannya. Sebaliknya ada suara-suara yang
memandang pernyataan GAPI itu semata-mata sebagai suatu Chantage (pemerasan) dengan mengambil kesempatan sewaktu Belanda
ada dalam kesulitan.
Manifestisasi pertama dari aksi GAPI ialah
rapat umum yang diselenggrakan di Jakarta pada 01 Oktober 1939. Pada 23 Oktober 1939
diselenggarakan Konferensi PVPN yang mendukung sepenuhnya aksi itu.
Dalam meneruskan aksinya,
GAPI menganjurkan agar dimana-mana diadakan rapat cabang salah satu anggota
GAPI dalam rangka aksi “Indonesia Berparlemen “ itu.
Kemudian GAPI mengambil langkah-langkah untuk
menggerakkan cabang-cabang anggotanya, baik di Jawa maupun diluar Jawa, untuk
membentuk panitia setempat guna berpartisipasi dalam gerakan Indonesia
Berparlemen. Pada pertengahan bulan Desember 1939 dimana-mana diselenggarakan
rapat demonstrasi, salah satu puncak aksi itu ialah terselenggaranya rapat GAPI
yang meresmikan Kongres Rakyat Indonesia. Tujuannya ialah meningkatkan
keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Diputuskan untuk meneruskan
gerakan “Indonesia Berparlemen” serta menyadarkan rakyat akan pentingnya tujuan
pemberntukan tata Negara demokratis di Indonesia. Selanjutnya dibentuk panitia
untuk menyusun rencana program KRI, yang terdiri atas wakil-wakil dari GAPI,
PERDI, PVPN, dan Isteri Indonesia.
Kemudian disetujui bersama untuk menetapkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional, bendera nasional sebagai bendera nasional, dan lagu Indonesia
Raya sebagai lagu nasional. Keputusan kongres yang paling penting ialah bahwa
gerakan “Indonesia Berparlemen” perlu diteruskan. GAPI ditetapkan sebagai badan
eksekutif KRI.
Sebagai reaksi terhadap gerakan itu
pemerintah Hindia Belanda memperketat pengawasannya terhadap rapat-rapat kaum
nasionalis. Tidak sedikit rapat yang diselenggarakan, antara lain di Sumatra
Utara.
Pada awal Februari datanglah jawaban dari
Menteri Welter selaku menteri jajahan mengenai masalah aksi “ Indonesia
Berparlemen”. Diakui bahwa hal yang wajar dan sah apabila materil maupun
spiritual, akan muncul kecakapan dan kegairahan dalam masyarakat itu untuk
memegang peranan dalam kerangka kelembagaan politik dewasa ini masih berlaku,
yaitu tanggung jawab ketatanegaraan yang
ada pada pemerintah Hindia Belanda atas Hindia Belanda, maka tidak mungkin
permintaan gerakan tersebut dipenuhi.
Sudah barang tentu
penolakan itu menimbulkan kekcewaan dimana-mana. Alasan bahwa Indonesia belum
masak adalah hal klasik, meskipun menurut tanggapan waktu itu justru adanya
parlemen akan menjadi alat untuk memasakkan rakyat.
Kesimpulan yang diambil
bahwa jalan yang ditempuh oleh gerakan ialah berpaling kepada rakyat. Dalam
rapatnya tanggal 23 Februari 1940 GAPI menganjurkan pendirian panitia Parlemen
Indonesia untuk meneruskan aksi “Indonesia Berparlemen”. Segera keputusan itu
mendapat dukungan dari Pasoendan, Parindra, PSII, dan lain-lain. Kesempatan bergerak
ternyata tidak ada lagi bagi GAPI oleh karena pada awal Mei 1940, Negeri
Belanda diduduki Jerman dan pecahlah Perang.
C. PERJUANGAN
MENGARAH KE PERSATUAN DAN KESATUAN SELAMA PERANG
Berita pecahnya perang dengan penyerbuan
negeri Belanda oleh tentara Jerman pada 10 Mei 1940 disambut seluruh
Indonesia dengan rasa simpati kepada
bangsa Belanda disertai pernyataan kesediaan untuk bekerja sama agar usaha
perang dapat ditingkatkan. Umum menyadari bahwa dengan jatuhnya negeri Belanda
ketangan Jerman, Indonesia mempunyai kedudukan dan peranan penting di dunia
Internasional. Maka dari itu, bangsa Indonesia tidak boleh lagi bersifat pasif;
namun untuk dapat berpartisipasi secara penuh diperlukan kepercayaan lebih
besar dari pihak Belanda.
Salah satu tujuan dari pemerintah Hindia Belanda
ialah mengadakan pembatasan kesempatan berkumpul dan rapat. Untuk mengadakannya
sangat diperlukan izin pemerintah setempat.
Dalam menanggapi semangat dikalangan rakyat
itu Gubernur Jendral Tjarda Van Starkenborg-Satchouwer didalam pidatonya
menegaskan bahwa segala rencana mengenai perubahan ketatanegaraan seperti yang diperjuangkan oleh gerakan nasionalis
perlu ditunda sampai sehabis perang.
Tanggapan seperti itu terhadap segala bentuk
loyalitas penduduk Hindia Belanda mau tak mau hanya menimbulkan kekecewaan
belaka. Pada hakikatnya dengan pecahnya perang dilakukan “memoratorium
politik”, semua pembicaraan dan keputusan politik tentang perubahan
ketatanegaraan ditunda ketika sampai sehabis perang. Jelaslah bahwa situasi
perang menonjolkan secara jelas-jelas ketergantungan ketatanegaraan daerah
jajahan kepada negeri Induknya. Keadaan darurat itu dipakai oleh penguasa
kolonial untuk melegitimasikan
memoraorium politik itu. Maka dari itu, jawaban terhadap segala macam mosi dan
petisi di dalam Dewan Rakyat akan mempunyai nada yang sama. Akibatnya bagian
bangsa Indonesia ialah pada satu pihak jurang antara pemerintah dan rakyat
semakin besar dan pada pihak lain gerakan nasionalis semakin menyadari penguasa
kolonial; jadi harus semakin berpaling kepada masyarakat sendiri. Tanpa
disadari sifat konservatif Belanda makin menumbuhkan kasadaran akan solidaritas
nasional.
Beberapa kegiatan kaum nasionalis dalam perang
yang perlu diutarakan sebagai titik pemusatan perhatian serta mobilisasi
rakyat, antara lain:
A. Mosi
Thamrin
Dengan perkembangan pergerakan nasional yang
bertambah luas dan dalam tentang kesadaran nasional akan identitasnya, maka
semakin sensitiflah umum terhadap istilah Hindia Belanda (Netherlands Indie) ,
pribumi (Inlander) atau kepribumian (Inlandsch). Baik dalam naskah-naskah resmi
pemerintah maupun papan-papan nama berbagai lembaga dan tempat umum, istilah
inlander mencolok sekali serta merupakan monument dari diskriminasi dalam
masyarakat kolonial. Mosi Thamrin mengusulkan agar istilah tersebut diganti dengan
Indonesie (Indonesia), Indonesier (bangsa Indonesia) dan Keindonesiaan (Indonessich),
khususnya didalam dokumen-dokumen pemerintah.
Keberatan pemerintah terhadap mosi itu adalah
bahwa perubahan istilah itu membawa implikasi politik dan ketatanegaraan,
seperti apa yang termasuk dalam UUD kerajaan Belanda. Disamping itu ada
argumentasi “ilmiah” ialah bahwa bangsa Indonesia bukan nama geografis, dan
bangsa Indonesia juga tidak menunjukkan pengertian etnologis.
B.
Mosi Kewarganegaraan
Hindia (Indisch Burgerschamp)
Menurut
perundang-undangan yang ada ( 1854, 1992, 1910) di Hindia Belanda terdapat
beberapa kategori kewargaan : (1) kewargaan Belanda (Netherlanderschap), (2)
pribumi dengan status sebagai bawahan Belanda (Netherlands onderdaan), dan (3)
bangsa Timur Asing (Vreemde Oosterlingen). Pembagian ini juga menyangkut
perbedaan dalam sistem hukumnya. Ada kemungkinan bagi orang bukan warga Belanda
memperoleh status yang sama dengan warga Belanda (gelijkgesteld) dan ada pula
yang dapat dinaturalisasi menjadi warga Belanda.
Untuk menuju ke kesatuan
dan mengurangi keanekaragaman ini diajukan mosi untuk mengadakan status hukum
baru, ialah kewarganegaraan Hindia ( Indisch Baurgerschamp). Menurut konsepsi
seperti yang termuat dalam petisi ROEP, kewargaan itu dapat mencakup, baik
Belanda maupun pribumi yang telah berpendidikan Belanda. Meskipun ide ini telah
mencoba menghapus perbedaan garis ras, namun kaum nasionalis tidak setuju
karena khwatir kalau-kalau hal itu akan memecah belahan gerakan nasionalisme.
Ide tentang kewarganegaraan itu sendiri dapat didukung, terutama sebagai wahana
untuk menuju ke kesatuan. Dalam hal ini, yang diajukan sebagai kriteria ialah
kelahiran, keturunan, dan keinginan status di masa depan, yaitu ingin menjadi
warga Indonesia atau tidak. Jadi, yang dapat memiliki kewarganegaraan Hindia
adalah pribumi Indonesia, golongan Indo-Eropa, dan golongan lain yang bermaksud
dan bersedia mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Disini tidak ada
penggolongan menurut lapisan-lapisan sosial.
Juga dalam menghadapi
masalah ini, pemerintah Hindia Belanda bersikap menunggu saja, karena
dikhawatirkan bahwa arti dan nilai “kewarganegaraan” itu serta segala
implikasinya dalam ketatanegaraan kurang disadari. Oleh karena itu maka
sebaiknya penyelesaiannya ditunda sampai sehabis perang.
C. Mosi
Wiwoho
Tidak kalah penting dari kedua mosi diatas
adalah mosi Wiwoho yang sebenarnya merupakan pengungkapan kembali petisi
Setardjo dan mosi-mosi dari tahun 1918. Mengingat situasi dunia apakah tidak
perlu dipercepat penyelesaian ketatanegaraan Hindia Belanda, antara lain
pengembangan Dewan Rakyat sebagai lembaga demokratis yang bulat,
pertanggungjawaban kepala-kepala departemen kepada Dewan Rakyat. Untuk membuat perubahan
ketatanegaraan ini perlu dibentuk suatu dewan kerajaan. Kemudian para pengusul
juga mengajurkan agar dibentuk suatu panitia yang mengadakan penelitian tentang
situasi politik di Hindia Belanda.
Nasib mosi itu tidak
berbeda dengan mosi yang sebelumnya. Dalam jawabannya wakil pemerintah tidak
bersedia melaksanakan mosi-mosi tersebut, tidak lain karena tidak sesuai
waktunya untuk melakukannya. Penolakan mosi itu ditanggapi dengan penarikan
kembali mosi-mosi tersebut oleh para pengusulnya. Kemudian pemerintah Hindia Belanda mendirikan panitia untuk mengkaji perubahan
ketatanegaraan pada 14 September 1940. Panitia ini selanjutnya dikenal dengan
nama Komisi Visman yang tujuannya untuk mengumpulkan pendapat dan cita-cita
politik, sosial, dan lain-lain dari masyarakat. Komisi beranggotakan beberapa
orang Indoonesia, antara lain A.K. Pringgodigdo tetapi tidak ada anggota yang
berasala dari kalangan pergerakan.[1]
Partai-partai di Indonesia dalam Dewan Rakyat pada umumnya tidak setuju dengan
pendirian panitia ini karena soal pendirian politik itu sudah dapat diketahui
dari suara-suara yang diajukan dalam Dewan Rakyat.
Pada akhirnya Komisi
Visman menghasilkan suatu laporan dalam dua jilid tentang tuntutan-tuntutan dan
harapan-harapan Indianesia (Hindia) yang terbit tahun 1942. Tetapi adanya
komisi Visman sangat mempertajam konflik antara pemerintah dan kalangan
pergerakan yang berlangsung selama 1940-194.[2]
2.2 Politik
Kolonial Mejelang Keruntuhan Hindia Belanda
Perusahaan perkebunan
yang berkembang pesat pada Dasawarsa ketiga mendorong ekspor serta menarik
modak dari pelbagai Negara, antara lain Amerika Serikat dan Jepang. Terbukanya Indonesia dalam lalu lintas
perdagangan dunia membawa berbagai akibat, salah satunya dalam bidang politik.
Terseretnya Hindia Belanda dalam krisis
ekonomi yang merajalela di seluruh dunia membuat Hindia Belanda terpukul,
lebih-lebih karena selama beberapa tahun tidak mau melepaskan standar emasnya. Perusahaan-perusahaan
besar terkena dampak yang berakibat pada penurunan upah dan pemecatan secara
besar-besaran. Pemerintah Hindia Belanda juga mengadakan penghematan ketat.
Kebijakan yang diambil
oleh Gubernur Jendral de Jonge (1931-1936) merupaka hal baru dalam politik
kolonial pada awal tahun tigapuluhan. Politiknya sangat bersifat reaksioner
terhadap Pergerakan Nasional. Beberapa peraturan mengenai larangan berkumpul
dan rapat, hukuman bagi pegawai yang menggabungkan diri pada kegiatan
ekstremistisa, dan hak-hak membuang dan menginternir kaum nasionalis radikal,
selaras dengan politik kekerasan menunjukkan kurang pengertian akan
nasionalisme Indonesia. Peningkatan pergerakan Nasional menjadi dasar politik
penindasan de Jonge. Selama pemerintahannya banyak diterapkan hak-hak exorbitant dengan menginternir Ir.
Soekarno ke Flores dan kemudian ke Digul, serta Drs. Moh. Hatta dan Sjahrir ke
Digul atas dan kemudian ke Banda. Ditambah lagi berpuluh-puluh orang yang
dibuang terlibat dalam pemberontaka tahun 1926 dan 1927 serta aktivis radikal
pada tahun-tahun berikutnya di Digul Atas. Kecuali kaum Komunis, juga anggota-anggota partai nasional radikal.
Seperti PNI, Partindo, dan Permi dibuang ke sana.
Politik penindasan juga diterapkan terhadap
partai-partai yang bersikap nonkooperatif, seperti PNI dan Partindo yang
berturut-turut dibubarkan. Dengan demikian, aksi politik praktis tidak mungkin
dijalankan dan menjadi lumpuh meskipun tidak padam sama sekali. Golongan
nonkooperatif sangat menderita akiba politik penindasan sehingga mulai berlatih
ke taktik kooperatif.
Politik de Jonge juga
menciptakan peraturan Toezicht
Ordonnantie (Ordonansi Pengawasan) pada tanggal 1 Oktober 1932 yang dapat
menolak izin untuk menyelanggarakan pengajaran apabila dipandang membahayakan
ketertiban masyarakat. Peraturan ini sudah tentu mendapatkan pertentangan
karena dirasakan bahwa pemerintah Hindia Belanda sangat kurang memberi
kesempatan bagi masyarakat Pribumi untuk menuntut pelajaran.
Pada awal 1933,
rapat-rapat dibubarkan karena ucapan-ucapan yang dipandang oleh polisi sebagai
hasutan untuk memberontak, antara lain di Surabaya, Purworejo, Probolinggo,
Cilacap, dan Kebumen. Pembubaran rapat mempunyai akibat yang menguntungkan bagi
partai radikal, seperti Partindo karena mendapat propaganda yang baik. Setelah
pembubaran rapat itu, banyak penduduk Pribumi yang bergabung dalam partai ini.
27Juni 1933, keputusan Gubermen menentukan larangan bagi pegawai begeri untuk
menjadi anggota partai itu. Tidakan tersebut kemudian mempunyai sasaran kepada
para pemimpinya yang satu persatu ditangkap, yaitu Soekarno, Moh. Hatta,
Sjahrir, Maskoen Boerhanoeddin, dan lain-lain. Sementara itu, penyergapan
terhadapa pertemuan-pertemuan, para tokoh pergerakan, dan penggeledahan rumah
atau kantor mereka sesuai dengan politik Colijn dan de Jonge yang hendak
menghancurkan partai-partai radikal. Politik keras ini dapat dikatakan berhasil
yang mana banyak partai yang kehilangan anggota dan kontak dengan rakyatnya.
Untuk menghindari kebinasaan, diperlukan reorientasi dalam strategi dan taktik
perjuangan.
Reorientasi ini
mendorong ke arah persatuan dan kerja sama yang erat antara organisasi-organisasi
Pergerakan Nasional. Perubahan taktik dalam mengahadapi politik pemerintah sama
sekali tidak mengubah tujuan perjuangan: kesatuan nasional, persatuan
organisasi-organisasi, dan kemerdekaan Indonesia.
Petisi Soetarjo mengusulkan
diadakannya suatu konferensi antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk
dapat memberi status merdeka kepada Indonesia. Petisi ini mendapatkan dukungan
dari berbagai partai, tokoh dan golongan dan melncarkan berbagai aksi. Meskipun
petisi ini terdengar kurang revolusioner, pihak Belanda menunjukkan sikap yang
konservatif. Mereka menganggap unsul yang diajukan ini tidak tepat dan terlalu
awal, mengingat waktu sepuluh tahun terlalu singkat. Walaupun usul ini ditolak,
politik kolonial mulai melaksanakan perubahan pemerintahan pada tahun 1938,
yaitu membentuk provinsi-provinsi di luar Jawa dengan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat sementara Dewan Provinsi yang mengatur rumah tangga
daerah.
2.3
Runtuhnya Hindia-Belanda dan Masuknya Jepang
Pada 10 Mei 1940, Hitler mengirim pasukannya untuk
menyerang Belanda yang netral guna mengepung Prancis. Pada 14 Mei, di bawah
ancaman serangan pasukan payung dan panzer Jerman yang didukung oleh Luftwaffe
(angkatan udara Jerman), Ratu Belanda dan kabinet Perdana Menteri Dirk Jan de
Geer mengungsi ke London. Keesokan harinya, Belanda menyerah dan diduduki
Jerman Nazi setelah terjadinya pemboman dahsyat yang menghancurkan Kota
Rotterdam. Jatuhnya Belanda ini menimbulkan guncangan dan tanda tanya besar
mengenai nasib wilayah jajahannya, terutama Hindia Belanda yang memiliki
sumber kekayaan alam yang besar.
Di Hindia Belanda, berita mengenai penyerbuan dan pendudukan
Belanda mengundang berbagai macam reaksi di kalangan penduduk negeri itu. Pada
hari penyerbuan, Gubernur Jenderal Jhr. Mr. A.W.L. Tjarda van Starkenborgh
Statchouwer mengumumkan keadaan darurat bagi Hindia Belanda.
Jatuhnya Belanda ke tangan Nazi Jerman pada Mei 1940
membuka kembali harapan di kalangan para pemimpin pergerakan di Volksraad bahwa pemerintah Belanda akan memberikan beberapa konsesi. Akan tetapi,
lagi-lagi mereka dikecewakan. Mereka hanya mendapat jawaban samar-samar dari
van Starkenborg bahwa mungkin akan dilakukan beberapa perubahan setelah perang
berakhir. Pada 14 September 1940, atas persetujuan pemerintah Belanda, dibentuklah
Commissie tot Bestudeering van Staatsrechtelijke Hervormingeng (panitia
untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan). Komisi
ini diketuai Dr. F.H. Visman sehingga kemudian dikenal dengan nama Komisi
Visman.
Harapan akan terjadinya perubahan ketatanegaraan itu
semakin sirna dengan adanya pidato Ratu Wilhelmina di London dan Gubernur
Jenderal di Volksraad mengenai masa depan Hindia Belanda (Indonesia) yang akan
dibicarakan setelah perang selesai. Akibatnya, timbul kekecewaan di kalangan
tokoh pergerakan yang berorientasi internasional sehubungan dengan sikap
pemerintah terhadap berbagai tuntutan mereka maupun Piagam Atlantik. Kekecewaan
tersebut mempercepat menurunnya solidaritas Indonesia-Belanda dalam menghadapi
ancaman fasisme. Pada gilirannya, hal itu membuat orang Indonesia termakan
propaganda Pan-Asia Jepang
yang menjanjikan pembebasan bangsa mereka dari cengkeraman orang kulit putih.
Keberhasilan modernisasi
Jepang selama Restorasi Meiji bukan hanya menyebabkan negara tersebut berhasrat
untuk menyaingi negara-negara Barat dalam hal teknologi. Namun juga dalam hal
memperluas daerah kekuasaannya. Adapun ideologi dari nafsu ekspansi ini sendiri
sebenarnya berasal dari ajaran kuno Jepang yang disebut sebagai Hakko lchi-u
(delapan benang di bawah satu atap). Intisari dari Hakko Ichi-u adalah
pembentukan suatu kawasan yang didominasi oleh Jepang yang meliputi
bagian-bagian besar dunia.
Kebijakan
ekspansi Jepang untuk memenuhi ajaran Hakko Ichi-u, yang kemudian
menimbulkan perang di Asia Pasifik, sebenarnya telah dimulai sejak zaman
pemerintahan Kaisar Meiji. Pada 1894, Jepang menyerang Cina dan merampas
Formosa (sekarang Taiwan). Kemudian, dalam Perang Rusia—Jepang 1904— 1905,
Jepang merebut Sakhalin dan Port Arthur. Lima tahun kemudian, negara matahari
terbit itu menganeksasi Korea. Daerah kekuasaannya semakin meluas setelah
Perang Dunia l, Jepang yang berperang di pihak Sekutu,
memperoleh sejumlah bekas wilayah jajahan Jerman di Cina maupun Samudra
Pasifik.
Akan tetapi, ambisi ekspansi Jepang tetap tidak terbendung.
Pada 1929, pemerintah Jepang di bawah Perdana Menteri Baron Tanaka mengeluarkan
sebuah memorandum rahasia, yang kemudian dikenal dengan nama Memorandum Tanaka.
Memorandum tersebut menyerukan pembentukan suatu daerah jajahan besar yang
akan menyediakan bahan mentah dan pangan bagi negeri Jepang yang berbentuk
kepulauan dan berpenduduk padat dan akan merupakan tempat penyaluran penduduk
yang berdesakan itu.
Dalam rencana ambisius
tersebut, Cina merupakan kunci bagi ambisi Jepang untuk menguasai dunia. Adapun
langkah-langkah ekspansi Jepang adalah:
“…menaklukkan Cina, pertama harus menguasai
Manchuria dan Mongolia. Apabila berhasil menguasai Cina, negara-negara Asia
lainnya akan segan kepada Jepang dan menyerah. Dunia kemudian akan mengerti bahwa Asia adalah milik
Jepang dan tidak akan berani menentangnya. Dengan seluruh sumber-sumber Cina di
tangan Jepang, Jepang dapat bergerak untuk menguasai India, kepulauan Asia
Pasifik, Asia Kecil, Asia Tengah, dan bahkan Eropa”.
Sesuai
dengan isi Memorandum Tanaka, pada 1931 Jepang mencaplok Manchuria, sebuah
daerah yang kaya batubara dan besi yang amat diperlukan oleh industrinya.
Pada 1937 Jepang berhasil menguasai daerah-daerah pantai dan beberapa kota
penting di Cina. Segera incaran mata Jepang terarah ke
selatan, yaitu Indocina jajahan Prancis dan Hindia Timur jajahan Belanda.
Didalam
usahanya untuk membangun suatu imperium di Asia, Jepang telah meletuskan suatu
perang di Pasifik. Armada Amerika terkuat di Pasifik yang berpangkalan di Pearl
Harbour, Hawaii, merupakan penghalang besar bagi Jepang yang berambisi memiliki
bahan industri di negara-negara selatan. Oleh karena itu, untuk menghancurkan
armada Amerika, disusun rencana serangan rahasia oleh Laksamana Isoroku
Yamamoto pada bulan September 1941. Pada bulan berikutnya, tanggal 26 November
1941, Armada Laksamana Noichi Nagumo yang diangkat menjadi panglima operasi,
yang bergerak dari kepulauan Kuril. Dengan kekuatan puluhan armada kapal
perang, antara lain terdiri dari kapal induk, kapal selam, dan tanker, armada
Nagarumo berlayar kearah timur, menyeberangi lautan pasifik melalui jalur
pelayaran yang tidak bias dilayari kapal-kapal. Setelah berlayar kira-kira satu
minggu, mereka tiba disuatu tempat kira-kira 700 mil disebelah utara pulau
Oahu, Hawaii. Pada tanggal 2 Desember 1941, ketika masih dalam pelayaran,
laksana Nagumo menerima telegram sandi dari Yamamoto agar ia melaksanakan
serangan. Hari H ditetapkan tanggal 7 Desember. Dengan kecepatan tinggi, Armada
Nagumo berlayar ke arah selatan dilengkapi dengan kapal induk di
tengah-tengahnya.
Gerakan armada Nagumo itu baru
diketahui Amerika Serikat pada saat terakhir sebelum serangan. Serangan udara
Jepang dimulai pada hari Minggu pagi, hari libur, pada saat pasukan Amerika tidak
siap menghadapinya. Pada saat itu, di Pearl Harbour terdapat 96 kapal dari
berbagai jenis yang merupakan inti dari kekuatan Amerika Serikat di pasifik
dibawah pimpinan Laksamana H.E Kimmel.
Jepang melancarkan serangan udara gelombang pertama pada pukul
07.45, dengan mengerahkan 183 pesawat pengebom dari kapal induk Jepang. Satu
jam kemudian, serangan kedua dengan 170 pesawat pengebom menggempur pangkalan
Pearl Harbour. Serangan berakhir pukul 10.00 dan AS mengalami kerugian dengan
hancurnya 86 pesawat terbang Angkatan Darat, dan 97 pesawat terbang Angkatan Laut
dengan korban 2.117 orang tewas, 876 luka-luka dan 960 orang hilang dengan
korban lainnya. Sedangkan Jepang harus kehilangan 29 pesawat terbang dari 353
pesawat terbang dan 55 pilot serta 6 kapal selam mini.
Lima jam
setelah serangan itu, tanggal 7 Desember 1941, Presiden AS Franklin Delano
Roselvelt menandatangani pernyataan perang terhadap Jepang, yang diikuti oleh
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh dan kemudian disiarkan
melalui radio NIROM yang melibatkan Indonesia dalam perang melawan Jepang.
Sebelumnya daerah selatan merupakan salah satu target sasaran serangan Jepang
sesuai dengan rumusan Kementerian Angkatan Darat Jepang 4 Oktober 1940 karena
Indonesia dianggap sebagai sumber bahan
strategis terutama minyak dan karet yang harus dikuasai dengan cara menduduki
Indonesia.
Sesuai
dengan rencananya menyerbu selatan, Jepang akhirnya menyerbu Indonesia juga
melalui dari serangan udara yang didukung kekuatan angkatan darat dan angkatan
laut. Kekuatan Jepang yang lebih besar dari kekuatan Belanda, akhirnya mampu
menduduki wilayah selatan terutama Indonesia.
Tanggal
11 Januari 1942, Jepang mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur dan tanggal 12
Januari 1942, Belanda menyerah. Serangan selanjutnya adalah ke sumber miyak
bumi juga yaitu ke Balikpapan pada tanggal 24 Januari 1942 dan Belanda juga
menyerah. Tanggal 29 Januari 1942, Pontianak berhasil diduduki oleh Jepang,
tanggal 3 Februari 1942, Samarinda berhasil diduduki oleh Jepang hingga ke
Banjarmasin pada 10 Februari 1942.
Serangan
udara Jepang selanjutnya adalah kota-kota lain di Indonesia bagian timur. Dalam
waktu singkat berhasil menduduki kota Ambon, Morotai, Manado, hingga lapangan
terbang Kendari dan Makassar yang membuat pertahanan Belanda menjadi terancam.
Selanjutnya Jepang berhasil
menduduki Sumatra pada tanggal 16 Februari 1942 dengan menduduki kota Palembang
yang merupakan penghasil minyak juga. Hal ini membuat Jepang kian dekat dengan pulau Jawa yang merupakan basis
inti kekuatan administasi Belanda. Tanggal 27 Februari 1942, Jepang menggempur
kekuatan sekutu yang merupakan gabungan dari Belanda, Amerika, Inggris, dan
Australia. Pemimpin sekutu, Kapten Doorman turut tewas dalam pertempuran ini.
Jepang akhirnya berhasil mendarat di pulau Jawa dibawah pimpinan Letnan
Jenderal Hitoshi Immamura. Kekuatan invasi Jepang di Jawa menunjukkan kekuatan
jumlah yang lebih besar dari sekutu, pihak Jepang juga memiliki kekuatan udara
taktis.
Tanggal
28 Februari 1942, Jepang mendarat di tiga tempat sekaligus yaitu di teluk
Banten, Eretan ( Jawab Barat) dan di Kragan ( Jawa Tengah), dan rute lainnya
tiba di Surabaya tanggal 4 Maret 1942. Dalam gerakan ini, pasukan Belanda tidak
memberikan perlawanan sama sekali bahkan sudah mengambil langkah mundur lebih
dahulu sebelum pasukan Jepang tiba.
Pasukan
yang mendarat di teluk Banten dipimpin langsung oleh Jenderal Hitoshi Immamura.
Setelah pendaratan ini, ibu kota Batavia (Jakarta) tanggal 5 Maret 1942
diumumkan sebagai “kota terbuka”, yang berarti bahwa kota itu tidak akan
dipertahankan oleh pihak Belanda dan setelah menduduki Jakarta, Jepang kemudian
berhasil menduduki Bogor.
Dalam
rangka menyerbu kota Bandung, tanggal 5 Maret 1942, Jepang mengerahkan kekuatan
yang dipimpin oleh Kolonel Shoji dan berhasil menduduki Subang, kemudian
lapangan terbang Kalijati. Belanda yang mencoba menyerang balik Jepang ternyata
tidak berhasil mengembalikan subang dan bandara Kalijati lagi. Hingga pada
tanggal 7 Maret, kota Bandung berhasil diduduki oleh Jepang dengan berbagai
syarat oleh Jepang yang dipimpin oleh Jenderal Immamura seperti kapitulasi
tanpa syarat angkatan perang Hindia Belanda kepada Jepang. Peristiwa
ini disebarluaskan oleh radio NIROM pada 9 Maret 1942 sehingga berita Belanda
menyerah kepada Jepang semakin cepar tersiar dimana-mana.
Pada pukul 13.20 Letnan Jenderal Ter
Poorten dan Letnan Jenderal Immamura menandatangani dokumen penyerahan tanpa
syarat yang disusun dalam bahasa Jepang dan bahasa Belanda. Hal ini menyebabkan tekanan luar biasa bagi pihak Belanda
sehingga banyak tentara Belanda yang mengundurkan diri. 13 Mei 1942, kota
Medan, Padang, Bukittinggi, Tanjungsiram dan Kutacane berhasil diduduki oleh
Jepang sehingga membuat peralihan kekuasaan Indonesia ke tangan Jepang benar-benar
terjadi secara mutlak.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada awal tahun 30-an,
keadaan ekonomi di Indonesia semakin memburuk karena krisis dunia tak mereda. Hal ini menjadi semakin parah ketika Hindia Belanda
diperintah Gubernur Jenderal yang konservatif dan reaksioner yaitu de Jonge
(1931-1936). Berbagai usaha yang dilakukan pihak gerakan nasional
Indonesia untuk menyesuaikan diri, antara lain dengan menjalankan politik
kooperasi.
Dalam kerangka
politik kooperatif, arena politik memang sudah tertutup rapat terhadap masa
aksi , namun ruang gerak masih leluasa untuk membangkitkan kesadaran nasional
serta gerakan atau aksi yang dapat mengkonsolidari solidaritas dalam dan antar
partai. Gerakan itu antara lain : Petisi
Soetardjo, Pembentukan Pembentukan Badan Persatuan, Gabungan Politik Indonesia
(GAPI).
Awal Mei 1940, Negeri
Belanda diduduki Jerman dan pecahlah Perang. Beberapa kegiatan kaum nasionalis
dalam perang antara lain mengajukan Mosi
Thamrin, Mosi Kewarganegaraan Hindia (Indisch Burgerschamp), dan Mosi Wiwoho.
Tetepi tanggapan pemerintah Belanda terhadap mosi dan petisi tersebut hanya
memunculkan kekecewaan karena pada
hakikatnya dengan pecahnya perang dilakukan “memoratorium politik” yaitu semua
pembicaraan dan keputusan politik tentang perubahan ketatanegaraan ditunda
ketika sampai sehabis perang.
Didalam usahanya
untuk membangun suatu imperium di Asia, Jepang telah meletuskan suatu perang
Pasifik di Pearl Harbour, Hawaii. Jepang juga akhirnya menyerbu Indonesia
melalui serangan udara yang didukung kekuatan angkatan darat dan angkatan laut.
Kekuatan Jepang yang lebih besar dari kekuatan Belanda, akhirnya mampu menduduki
wilayah selatan terutama Indonesia. Pada pukul 13.20 Letnan Jenderal Ter
Poorten dan Letnan Jenderal Immamura menandatangani dokumen penyerahan tanpa
syarat yang disusun dalam bahasa Jepang dan bahasa Belanda.
Daftar
Pustaka
Dangstar. Pergarakan Nasional Mempersipakan.
11 2012.
http://dangstars.blogspot.com/2012/11/pergerakan-nasional-mempersiapkan.html
(accessed 5 21, 2013).
Kartodirjo, Sartono. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993.
Onghokham. Runtuhnya
Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia, 1987.
Poesponegoro, Marwati
Djoenet. Sejarah Nasional Indonesia jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman
Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2010.
Poesponegoroho,
Marwati Djoenet. Sejarah Nasional Indonesia jilid V: Zaman Kebangkitan
Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka, 2010.
0 Response to "Makalah Pergerakan Nasional Indonesia pada Akhir Penjajahan Hindia Belanda"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)