Makalah Cina Era tahun 1990 hingga tahun 2000-an.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Jika kita melihat Cina saat ini
dengan kesuperioritasan ekonominya di dunia, merupakan hasil dari perjuangan
panjang, tekun, dan pemerintahan yang tegas. Sikap ulet, rajin, dan keberadaan
sikap nasionalisme demi kemajuan bersama adalah hal yang patut kita tiru dari
China. Masyarakat China tidak mudah terpancing untuk melakukan tindakan
kekerasan. Di China pada tahun 1990-an tingkat korupsi lebih parah daripada di
Indonesia. Pada saat itu terdapat seorang kepala pemerintahan yang bernama Zhu
Rong Ji. Zhu mengatakan, ’Sediakan kepada saya 100 peti mati, 99 peti mati
untuk para koruptor yang saya tangkap dan satu peti mati untuk saya apabila
saya tertangkap melakukan korupsi.[1]
Kepemimpinan Soekarno di Indonesia dan Mao Zedong di
China dilalui pada “zaman ideologi”, dimana negara-negara baru merdeka, umumnya
masih membangun dasar yang kuat bagi eksistensi negaranya. Pasca Soekarno dan
Mao, kedua negara dipimpin oleh pemimpin yang sesungguhnya berorientasi pada
pembangunan ekonomi. Soeharto “meninggalkan” Soekarno, Deng Xiaoping pun
“meninggalkan” Mao. Sedikit demi sedikit kedua pemimpin ini meninggalkan
kepemimpinan ideologis, dan mulai membangun dengan caranya masing-masing.
Soeharto mengideologikan pembangunan sentralistis, sementara Deng mulai tidak
peduli dengan ideologi komunis. Kepemimpinan Deng pun tidak terlalu komunis
sekali. Bahkan berusaha mencapai tujuan tanpa pandang bulu. “Tidak peduli warna
bulunya, asal kucing bisa menangkap tikus,” demikian kata Deng Xiaoping. Hasilnya
bisa dilihat kemudian. Ketika seolah-olah Indonesia di era Soeharto begitu
cepat berkembang, sampai-sampai disebut sebagai Macan Asia bersama Singapura,
Korea, Taiwan dan lain-lain, tetapi di era Soeharto pulalah prediksi ini
runtuh. Krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis multidimensi, menunjukkan
kegagalan konsep pembangunan sentralistis yang dibangun Soeharto. Sebaliknya,
Deng Xiaoping yang awalnya ditentang karena mengenalkan sistem “kapitalisme ala
komunis” di tahun 1978, justru menuai hasil pada tahun 1990an, dimana negeri
ini tancap gas meninggalkan “kekumuhan ekonomi China” di era Mao. bahwa seusai
Tragedi Tiananmen tahun 1989, China seperti diingatkan untuk fokus pada
kemajuan ekonomi dengan dukungan stabilitas politik yang kuat.
Dan inilah yang
mereka lakukan. Kekuasaan pejabat lokal ditingkatkan, memasang manajer dalam
industri, mengijinkan perusahaan skala-kecil dalam jasa dan produksi ringan,
membuka perdagangan asing dan investasi, dan melonggarkan pengawasan harga.
Pemerintah China menekankan peningkatan pendapatan pribadi dan konsumsi, dan
memperkenalkan sistem manajemen baru untuk meningkatkan produktivitas.
Perdagangan asing diupayakan sebagai kendaraan utama untuk pertumbuhan ekonomi.[2]
Untuk
itu lah sekiranya kita bisa lihat bagaimana cina sekarang ini untuk kita
pelajari supaya negara kita bisa lebih maju lagi perekonomiannya. Di makalah
ini akan dibahas tentang bagaimana era cina pada tahun 1990-2000 an sebagai
imlplikasi dari era 10 tahun sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah disini peneliti lebih
menekankan pada peristiwa apa saja yang terjadi di cina pada periode
1990-2000an.
C. Maksud dan Tujuan Penulisan
Maksud dan Tujuan Penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui peristiwa yang terjadi di cina pada periode
1990-2000an.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Cina Periode
1990 – 2000
Pada
awal tahun 1990-an, Cina membangun perekonomiannya melalui perdagangan, bantuan
luar negeri, serta FDI (Foreign Direct Investment). Kondisi ini
memantapkan Cina untuk semakin meluaskan pasar dalam pasar global, melalui
penggabungan dengan WTO, World Bank, The Asian Development Bank,
dan APEC (Sutter, 2008:21). Transformasi ekonomi dan integrasi Cina dalam pasar
global menjadi salah satu perkembangan ekonomi dunia yang sangat dramatis. Pertumbuhan
produk domestik Cina rata-rata hampir mencapai angka delapan persen dan membuat
Cina menempati peringkat enam besar ekonomi dunia.[3] Secara ekonomi, Republik Rakyat Cina
mencirikan ekonominya sebagai Sosialisme dengan ciri Cina. Pada tahun 1976
ketika Cina dipimpin Deng Xiao ping, Cina mengakhiri isolasi yang dilakukan
Cina terhadap bangsa barat dengan mengacu pada pasar sosialis yang membuka
investasi asing dan tekhnologi. Semenjak reformasi ekonomi di tahun 1978, Cina
mengalami pertumbuhan ekonomi tercepat kelima dan pertumbuhan tercepat ekonomi
mayor G20, eksporter terbesar di dunia, dan importer terbesar nomor dua.
Industrialisasi yang berkembang telah mengurangi angka kemiskinan dari 53% di
tahun 1981 ke 8% di tahun 2001.[4]
Pada tahun 1991 terjadi gempa dahsyat bagi para
intellektual china, yaitu runtuhnya soviet. Sementara blok barat bersukaria
melihat ambruknya benteng komunisme, di china hal itu tidak menimbulkan
kegembiraan maupun kesedihan. Yang membuat masyarakat cina tidak habis pikir
adalah pecahnya soviet menjadi beberapa negara kecil. Lantas kemudian muncul
sebuah konsensus dikalangan intelektual cina bahwa nasib cina harus diletakkan
di atas segala hal. Termasuk di atas perdebatan tentang pembaruan politik.[5]
Dengan hal ini dapat dipahami bahwasanya para intelektual cina pada 1990-an
berubah menjadi konservatif. Mereka takut akan perubahan. Ketika muncul ide
tentang konservatisme baru, mereka serta merta memeluknya. Konservatisme baru
ini pada dasarnya menyerang intelektual liberal yang mempunyai program
demokratisasi, dan memeluk nasionalisme kultural serta ekonomi pasar. Tujuannya
jelas, yaitu mencegah diteruskanya pembaruan politik, dan sekaligus menolong
menegakkan legitimasi partai lewat pertumbuhan ekonomi yang spektakuler.[6]
Sejak mengambil alih kekuasaan cina, pemerintah komunis
bercita-cita menjadikan negara itu sebagai begara penguasa. Namun, usaha itu
tidak semudah yang dikatakan. Pemerintah komunis china menggunakan sumber dana
dan kekayaan untuk membangun kekuatan militer denga cara membeli peralatan
perang. Pembangunan ekonomi diabaikan dan tidak diprioritaskan. Para
pemimpinnya terlalu sibuk memperkuat negara untuk menghadapi segala kemungkinan
diserang oleh pihak barat. Asas ekonomi yang dilaksanakan pada masa itu sama
sekali tidak mendorong masuknya investor asing. Para investor dianggap sebagai
musuh dan sentimen kebencian terhadap kapitalisme terus dipupuk. Setelah berada
dalam kondisi tersebut dalam beberapa dekade, akhirnhya, pemimpin cina sadar
bahwa cina akan jatuh miskin jika tidak agresif melakukan usaha perencanaan
kembali perekonomian negara. Cina memerlukan satu revolusi lagi untuk mengubah
kondisi negara. Revolusi yang dilakukan adalah revolusi sunyi, yaitu dalam
bentuuk pembaruan dasar-dasar ekonomi dengan menggunakan pendekatan yang lebih
konvensional. Sikap konservatif dirasakan tidak sesuai lagi dengan dunia
kontemporer saat ini. Sistem “tutup pintu” yang diterapkan cina hampir setengah
abad menyebabkan negara itu seperti hidup dalam ketakutan. Cina tidak
diperdulikanoleh masyarakat internasional dan dikucilkan karena mengaut paham
komunis. Tidak ada investor dan pengusaha yang datang ke china karena catatan
hak asasinya buruk. Cina melakukan revolusi sunyi pada beberapa peraturan
politiknya. Salah satunya adalah menurunkan para pemimpin lama yang konservatif
dan menggantinya dengan pemimpin yang lebih moderat. Hal ini dilakukan secara
perlahan-lahan dan bertahap untuk menghindari pertentangan dan pembalasan yang
berdampak negatif. Reformasi dan pembaharuan yang dilakukan ini memberikan
kemajuan pada cina dalama aspek sosio-politik dan ekonomi.[7]
Sebagai langkah awal untuk membuka pintunya kepada dunia
luar, cina memberlakukan zona ekonomi khusus pada awal tahu 1990an. Langkah
yang diambil tersebut menjadikan pereknomian cina tumbuh sebanyak 14 persen
antara tahun 1992-1997. Sepanjang masa itu, investasi asaing masuk sekitar 10 miliar
dolar AS pertahun. Pndapatan perkapita rakyat cina meningkat menjadi tiga akli
lipat, yaitu sejumlah 3.000 dolarAS;[8]
Sebenarnya, baik kelompok moderat maupun konservatif
sama-sama memiliki komitmen terhadap program empat modernisasi. Deng xioping, chen
yun, li xiannian sama-sama ingin melihat sebuah cina sosialis yang modern dan
kuat di abad ke-21 nanti. Yang menjadi perbedaan diantaraa meraka adalah
bagaimana mencapai hal tersebut serta sebarapa lama waktu yang diperlukan untuk
itu. Artinya, pertentangan yang ada diantara mereka lebih berkisar pada
soal-soal substansi kebijakan daripada soal-soal prinsp ideologi. Namun, unutk
bisa menjalankan kebijakan yang diinginkan, kedua kubu berusaha untuk bisa
mendominasi sturktur kekuasaaan, baik dalam pemerintahan maupun dalam partai.
Pergulatan mengenai kebijakan ini semakin terasa menjelang sidang tahunan KRN
maret 1991. Saling kritik terhadap gagasan kebijakan pembangunan ekonomi
masing-masing, makin meningkat. Hal itu berkaitan dengan keinginan kedua piihak
untuk memasukan sebanyak mungkin gagasan dan keinginan masing-masing kedalam
rancangan repelita VIII (1991-1995) dan cetak biru pembangunan ekonomi 10 tahun
(1991-2000) yang harus disetujui oleh KRN. Kelompok konservatif menuntut agar
diberlakukan kembali sistem perencanaan terpusat. Sedangkan kubu moderat selalu
menekankan bahwa mekanisme pasar akan menempati tempat utama dalam repelita
VIII.[9]
Transformasi China dari yang tadinya sempat menerapkan
praktek isolasionisme menjadi memfokuskan politik luar negerinya untuk
peningkatan pertumbuhan ekonomi sukses melahirkan China yang baru. China pun
mulai mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang masif. Keberadaan China sebagai
salah satu "great power" mulai diperhitungkan. Selepas masa
kepemimpinan Deng Xiaoping, China kemudian dipimpin oleh Jiang Zemin (tahun
1989-2002), di mana pada masa ini tidak terlalu nampak perubahan yang
signifikan dalam alur politik luar negeri China. China masih tetap fokus pada
pertumbuhan ekonomi, sambil terus aktif dalam berbagai institusi internasional.
Pada era ini, terjadi penafsiran sosialisme menjadi seusatu yang lebih liberal,
di mana fokus politik luar negeri China diarahkan pada penciptaan tatanan
internasional yang multipolar. Perekonomian China pun, seperti pada era Deng Xiaoping,
lebih bersifat liberal dengan AS sebagai porosnya. Revolusi yang dilakukan
China paska Mao melahirkan kesadaran pada China akan pentingnya elemen pasar,
namun kewenangan negara tetaplah unsur yang krusial dalam politik luar negeri
China.
Era selanjutnya setelah kepemimpinan
Jiang Zemin adalah era kepemimpinan Hu Jintao (tahun 2002-sekarang). Pada era
ini, China sudah menjadi major power, terutama dalam hal perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi terjadi sangat pesat. China pun semakin gencar mempromosikan
globalisasi ekonomi dan multipolarisme. Pada era ini, arah politik luar negeri
China pun semakin jelas: China ingin menciptakan situasi internasional yang
kondusif bagi pertumbuhan ekonominya dengan cara menghindari konfrontasi yang
ada. Partisipasi aktif China dalam institusi internasional pun makin terasa,
terutama melalui kebergabungan China dalam World Trade Organization (WTO) pada
2001. Tidak hanya aktif secara global, China pun mulai aktif dan membangun
berbagai kerja sama kawasan, salah satunya adalah melalui kerja sama ekonomi
China, Jepang dan Korea Selatan dengan negara-negara ASEAN melalui ASEAN+3.
Walaupun China semakin aktif dalam berbagai bentuk kerja sama kawasan dan
internasional, bukan berarti China banyak memberikan komitmen yang bersifat
mengikat pada institusi-institusi ini. Jika mau dicermati lebih lanjut, dalam
segala bentuk partisipasinya melalui institusi regional dan global, China
jarang sekali memberikan komitmen yang dapat mengikat kebebasan China sebagai
negara yang non-konfrontatif. China cenderung mengambil posisi aman sambil
tetap memfokuskan diri pada usaha pembangunan ekonomi nasionalnya.
Berbagai penjelasan mengenai
transformasi politik luar negeri China sejak jaman kepemimpinan Mao hingga masa
kepemimpinan Hu Jintao membuktikan, telah terjadi perubahan signifikan dalam
orientasi politik luar negeri China. China kini lebih melihat pencapaian
pertumbuhan ekonomi domestik sebagai tujuan utama politik luar negeri yang
diterapkannya. Adapun untuk mencapai pertumbuhan ekonominya, China terus
membangun hubungan baik dengan negara-negara dunia; China juga cenderung
menghindari konflik dengan negara-negara dunia, dan karenanya permasalahan
keamanan merupakan hal yang agak sensitif bagi China. China lebih suka
menyembunyikan cahayanya dengan menjalankan prinsip-prinsip non-intervensi dan
non-konfrontasi. Prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi China ini
diwujudkan melalui terminologi "peaceful rise", yang kemudian
dijadikan salah satu bentuk politik luar negeri China.1 Bentuk politik
luar negeri China dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan cenderung
menghindari konfrontasi tersebut menunjukkan upaya China dalam meraih dua hal
sekaligus, yaitu pemenuhan kepentingan nasional melalui pertumbuhan ekonomi
domestiknya, serta penciptaan status sebagai "great power" yang cinta
damai dan tidak hegemon di sistem internasional. Dalam penjelasan sebelumnya,
penulis menyebutkan mengenai keaktifan China dalam menjalin kerja sama kawasan
terutama dengan negara-negara ASEAN dalam bentuk ASEAN+3. Adapun hal ini
sebenarnya merupakan hal yang menarik untuk dianalisa, karena dibanding memilih
untuk menjalin kerja sama kawasan di kawasan Asia Timur (Northeast Asia)
terlebih dahulu, China malah cenderung lebih memprioritaskan kerja samanya dengan
ASEAN. Jika mau ditilik lebih lanjut, hingga kini belum pernah ada bentuk kerja
sama yang benar-benar hanya melibatkan tiga negara di kawasan Asia Timur, yaitu
China, Jepang dan Korea Selatan padahal ketiga negara tersebut sama-sama
merupakan negara dengan angka pertumbuhan ekonomi yang relatif besar jika
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. ASEAN+3 sendiri merupakan
bentuk kerja sama ekonomi pertama yang berhasil mempertemukan tiga negara Asia
Timur tersebut dalam suatu forum. Sehubungan dengan analisa politik luar negeri
China, China tampak lebih bersahabat dengan negara-negara ASEAN ketimbang
dengan Jepang dan Korea Selatan yang lebih banyak memiliki kesamaan
perekonomian. Sikap dan perilaku politik luar negeri China yang cenderung
distant dengan Jepang dan Korea Selatan sebenarnya merupakan hal yang wajar,
mengingat hubungan antar ketiganya memang tidak pernah akur sebelumnya.
Berbagai perbedaan muncul dan menghambat terciptanya hubungan harmonis dalam
kawasan ini, seperti misalnya faktor latar belakang sejarah yang berbeda,
ikatan regional yang kurang kuat, ketakutan akan hadirnya ancaman, serta
berbagai perbedaan sistem politik yang ada. Dari sekian banyak faktor yang
menghambat terciptanya kerja sama di kawasan Asia Timur, faktor yang disebut-sebut
paling berpengaruh adalah adanya bad historical background yang lantas membuat
hubungan dua kekuatan besar di Asia Timur—Jepang dan China—menjadi tidak akur.
Hubungan tidak akur Jepang-China ini sebenarnya dimulai pada masa Perang Dunia
II, ketika tentara Jepang dengan brutal menyerang dan menghabisi rakyat China.
Ketika itu, Kaisar Hirohito memerintahkan pasukan Jepang untuk menyerang dan
menduduki China. Bangsa Jepang pun ketika itu menyebut China sebagai
"Chancorro" (artinya ras yang lebih rendah dari manusia). Karena
pasukan Jepang menganggap rakyat China adalah makhluk yang lebih rendah dari
manusia, pasukan Jepang menjadi lebih tega dalam menyiksa rakyat China.
Penjarahan, perkosaan, pembunuhan, dan berbagai tindak kejahatan lain terjadi
di seluruh pelosok China. Semua tindakan itu mempunyai tujuan yang sama :
mendirikan Kekaisaran Jepang di China. Faktor penghambat lain yang
juga mempersulit terbentuknya regionalisme di Asia Timur adalah karena
kurangnya kemauan dari negara-negara Asia Timur itu sendiri untuk melakukan
negosiasi dan kerja sama di antara mereka.
Era selanjutnya setelah kepemimpinan Jiang Zemin adalah era kepemimpinan Hu
Jintao (tahun 2002-sekarang). Pada era ini, China sudah menjadi major power,
terutama dalam hal perekonomian. Pertumbuhan ekonomi terjadi sangat pesat.
China pun semakin gencar mempromosikan globalisasi ekonomi dan multipolarisme.
Pada era ini, arah politik luar negeri China pun semakin jelas: China ingin
menciptakan situasi internasional yang kondusif bagi pertumbuhan ekonominya
dengan cara menghindari konfrontasi yang ada. Partisipasi aktif China dalam
institusi internasional pun makin terasa, terutama melalui kebergabungan China
dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001. Tidak hanya aktif secara
global, China pun mulai aktif dan membangun berbagai kerja sama kawasan, salah
satunya adalah melalui kerja sama ekonomi China, Jepang dan Korea Selatan
dengan negara-negara ASEAN melalui ASEAN+3. Walaupun China semakin aktif dalam
berbagai bentuk kerja sama kawasan dan internasional, bukan berarti China
banyak memberikan komitmen yang bersifat mengikat pada institusi-institusi ini.
Jika mau dicermati lebih lanjut, dalam segala bentuk partisipasinya melalui
institusi regional dan global, China jarang sekali memberikan komitmen yang
dapat mengikat kebebasan China sebagai negara yang non-konfrontatif. China
cenderung mengambil posisi aman sambil tetap memfokuskan diri pada usaha
pembangunan ekonomi nasionalnya. Berbagai
penjelasan mengenai transformasi politik luar negeri China sejak jaman
kepemimpinan Mao hingga masa kepemimpinan Hu Jintao membuktikan, telah terjadi
perubahan signifikan dalam orientasi politik luar negeri China. China kini
lebih melihat pencapaian pertumbuhan ekonomi domestik sebagai
tujuan utama
politik luar negeri yang diterapkannya. Adapun untuk mencapai pertumbuhan
ekonominya, China terus membangun hubungan baik dengan negara-negara dunia;
China juga cenderung menghindari konflik dengan negara-negara dunia, dan
karenanya permasalahan keamanan merupakan hal yang agak sensitif bagi China.
China lebih suka menyembunyikan cahayanya dengan menjalankan prinsip-prinsip
non-intervensi dan non-konfrontasi. Prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi
China ini diwujudkan melalui terminologi "peaceful rise", yang
kemudian dijadikan salah satu bentuk politik luar negeri China.1 Bentuk
politik luar negeri China dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan
cenderung menghindari konfrontasi tersebut menunjukkan upaya China dalam meraih
dua hal sekaligus, yaitu pemenuhan kepentingan nasional melalui pertumbuhan
ekonomi domestiknya, serta penciptaan status sebagai "great power"
yang cinta damai dan tidak hegemon di sistem internasional.[10]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cina kini
menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat
besar dan peningkatan pengaruh politik dalam berbagai bentuk institusi
internasional. Transformasi Cina yang pada awalnya menjalankan praktik
isolasionisme menjadi politik pintu terbuka untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Berbagai perkembangan tersebut menjadikan China sebagai kekuatan yang
hadir sebagai lawan utama hegemon dunia, Amerika Serikat. Berbagai perubahan
secara total dilakukan pada masa ini, baik perubahan yang sifatnya domestik
maupun perubahan dengan melibatkan sistem internasional. Pada sisi domestik,
peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik menjadi fokus utama politik luar
negeri Cina. Pada sisi internasional, China mulai menjalin hubungan baik dengan
dunia internasional, terutama dengan negara-negara di Asia Tenggara untuk
menjamin terciptanya lingkungan yang indusif bagi pertumbuhan ekonomi Cina.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakri
suryadi umar,”pasca deng xiaoping cina, quo vadis”, 1997, pustaka sinar
harapan: jakarta
2. Ann
wan seng, “formula bisnis negara cina: kebangkitan kembali naga asia”, 2007, PT
Mizan Publika: jakarta
3. Wibowo.
I,”NEGARA DAN MASYARAKAT: Berkaca dari pengalaman republik rakyat cina”, 2000,
Gramedia: Jakarta
4. http://beritamassa.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1181:berguru-pada-kemajuan-china&catid=60:locations&Itemid=112
diakses pukul 23.16 tanggal 16/5/2013
5. http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/28/china-359547.html
diakses pukul 23.16 tanggal 16/5/2013
7. http://renyishida.blogspot.com/2013/05/cina-tahun-1989-2009.html
diakses pukul 3.36 wib 21/5/2013
8. http://www.djmbp.esdm.go.id/modules/news/index.php?_act=detail&sub=news_minerbapabum&news_id=1159
diakses pukul 3.45 17/5/2013
[1] http://beritamassa.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1181:berguru-pada-kemajuan-china&catid=60:locations&Itemid=112
diakses pukul 23.16 tanggal 16/5/2013
[2] http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/28/china-359547.html diakses
pukul 23.16 tanggal 16/5/2013
[3]http://www.djmbp.esdm.go.id/modules/news/index.php?_act=detail&sub=news_minerbapabum&news_id=1159
diakses pukul 3.45 17/5/2013
[4] http://frenndw.wordpress.com/tag/cina/02.16 tanggal 17/5/2013
[5] Wibowo. I,”NEGARA DAN MASYARAKAT: Berkaca dari pengalaman republik
rakyat cina”, 2000, Gramedia: Jakarta hal 263
[6] Ibid hal264-265
[7] Ann wan seng, “formula bisnis negara cina: kebangkitan kembali naga
asia”, 2007, PT Mizan Publika: jakarta hal 69-70
[8] Ibid 71
[9] Bakri suryadi umar,”pasca deng xiaoping cina, quo vadis”,
1997, pustaka sinar harapan: jakarta hal 70-71
0 Response to "Makalah Cina Era tahun 1990 hingga tahun 2000-an."
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)