Politik Bahasa Nasional
Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua
fungsi utama yaitu, sebagai sarana komunikasi antarmanusia dan sebagai sarana
budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut.
Fungsi yang pertama dapat kita sebutkan sebagai fungsi kumnukitatif dan fungsi
yang kedua sebagai fungsi kohesif atau integrative. Pengembangan suatu bahasa
haruslah memperhatikan kedua fungsi ini agar terjadi keseimbangan yang saling
menunjnang dalam pertumbuhannya. Seperti juga manusia yang mempergunakannya
bahasa harus terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pergantian zaman.
Pada tanggal 28 oktober 1928 bangsa
Indonsia telah memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Alasan yang
utama pada waktu itu lebih ditekankan pada fungsi yang kohesif Bahasa Indonesia
sebagai sarana untuk mengintegrasikan berbagai suku kedalam satu bangsa yaitu
Indonesia. Tentu saja terdapat evaluasi yang berkonotasi dengan kemampuan
Bahasa Indonesia selaku fungsi komunikatif yakni fakta bahwa bahasa Indonesia
merupakan lingua franca dari sebagian
besar penduduk, namun kalau jika dikaji lebih mendalam, maka kriteria bahasa
sebagai fungsi kohesif itulah yang merupakan kriteria yang menentukan. Terdapat
bahasa-bahasa lain yang mempunyai kematangan fungsi komunikatif yang lebih
berkembang jika dibandingkan dengan Bahasa Melayu pada waktu itu, namun dengan
penekanan pada fungsi kohesif dari bahasa selaku alat perjuangan untuk
mempersatukan dan memerdekakan bangsa, pilihan dijatuhkan pada bahasa Melayu.
Bangsa Filiphina umpamanya, menjatuhkan bahasa nasional pad bahasa Tagalog di
dasarkan kepada kematangan fungsi komunikatif dari bahasa daerah tersebut. Hal
inilah yang mungkin menyebabkan kurang berkembangnya bahasa tersebut, paling
tidak bila dibandingkan dengan kita, selaku bahasa nasional mereka.
Selaku alat komunikasi pada pokoknya
bahasa mencakup tiga unsur yaitu :
1. Bahasa
sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang berkonotasi perasaan
(emotif)
2. Berkonotasi
sikap (afektif)
3. Berkonotasi
pikiran (penalaran)
Secara
umum, fungsi komunikasi dapat diperinci menjadi fungsi emotif, afektif, dan
penalaran.
Perkembangan
bahasa pada dasarnya adalah pertumbuhan ketiga fungsi komunikatif tersebut agar
mampu mencerminkan perasaan, sikap dan pikiran suatu kelompok masyarakat yang
mempergunakan bahasa tersebut. Kalau kita ambil sebagai contoh unsur dari dua
kebudayaan suatu bangsa seperti seni dan ilmu, maka secara teoretis dapat
dikatakan bahsa kemajuan dibidang seni terkait dengan perkembangan bahasa dalam
fungsi emotif dan afektif, sedangkan dibidang keilmuan terkait dengan
perkembangan bahasa dalam bidang penalaran. Tentu saja pembagian ini tidaklah
bersifat kategoris yang mutlak, melainkan lebih bersifat pengkotakan yang
bersifat gradasi yaitu seni juga dipengaruhi fungsi penalaran bahasa, dan
sebaliknya ilmu akan menjadi steril tanpa diperkaya perkembangan fungsi emotif
dan afektif dari bahasa.
Argumentasi
tersebut diatas menggiring kita pada suatu kesimpilan, bahwa perkembangan
Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang modern, haruslah memperhatikan ketiga
unsur tadi dengan seimbang. Untuk itu, harus dipikirkan politik bahasa yang
mengkaji permasalahan ini secara integral dan menyeluruh. Dewasa ini terlihat
adanya ketimpangan untuk lebih menekankan perkembangan bahasa dalam fungsi
penalaran, yang sungguh harus kita bantu dengan sungguh-sungguh untuk menunjang
kemajuan pendidikan keilmuan, namun upaya ini hendaknya juga tidak melupakan
perkembangan bahasa dari segi emotif dan afektif.
Setelah
kita secara strategis melihat perkembangan bahasa dilihat dari tiga sisi fungsi
komunikatif bahasa, maka perhatian akan kita alihkan untuk melihat kaitan
antara kedua fungsi utama dari bahasa yakni fungsi komunikatif dan fungsi
kohesif.
Skenarion
ini membawa kita kepad suatu simulasi mengenai kaitan antara fungsi komunikasi
dan fungsi kohesif dari bahasa. Agar dapat mencerminkan kemajuan zaman maka
fungsi komunikasi bahasa harus secara terus menerus dikembangkan, namun
walaupun demikian harus secara sadar dan waspada kita jaga, agar fungsi kohesif
dari bahasa Indonesia, yang merupakan milik yang sangat berharga dalam
berbangsa dan bernegara tetap terpelihara dan kalau mungkin bahkan lebih
ditingkatkan lagi. Untuk itu maka pembentukan kata-kata baru yang berasal dari
bahasa daerah harus diarahkan kepada pengembangan Bahasa Indonesia sebagai
milik nasional dalam artian yang sedalam-dalamnya. Untuk itu, maka harus
dicegah dominasi Bahasa Indonesia ileh salah satu bahasa daerah dan malah harus
diarahkan agar bahasa Indonesia menghimpun Khasanah kata-kata yang terbaik dari
seluruh bahasa daerah kita.
Perkembangan
bahasa tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sector yang lain yang juga tumbuh
dan berkembang. Sekiranya bahasa berkembang terisolasikan dari perkembangan
sector lain, maka bahasa mungkin bersifat tidak berfungsi dan bahkan kontra
produktif (counter-productive) .
sekiranya pada satu pihak terdapat upaya untuk lebih memasyarakatkan ilmu
dikalangan masyarakat luas dan kaum muda, sedangkan kalangan ilmuwan “asyik
sendiri” membentu terminology ilmiah yang cepat, cermat dan eksak dilihat dari
kacamata fungsi penalaran bahasa, tanpa mempedulikan apakah kata-kata baru
mampu berkomunikasi dengan kalangan non-keilmuan maka tentu sjaa hal ini
menimbulkan kesenjangan dari upaya tadi. Bahasa lalu berkembang menjadi
esoteric dan asing bagi dunia di luar bidang keilmuan.
Sekiranya
para pemikir dibidang pendidikan dengan sungguh-sungguh ingin menghapus batas
antara PASPAL dan SOSBUD, yang merupakan tembok Berlin antara ilmu alam dan
ilmu social, maka kalangan ilmuwan yang mengadopsi sains untuk padanan kata
ilmu secara sadar atau tidak sadar malah memperlebar jurang perbedaan ini. di
Negara asalnya ata “science” mempunyai
konotasi yang dengan natural science dan
technology. Dengan demikian, maka adopsi kata sains ini meskipun mungkin
memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia namun kontraproduktif terhadap upaya
meningkatkan kemampuan penalaran bangsa kita dengan menghilangkan batas ilmu
alam dan ilmu sosial. Belum lagi pembentukan padanan “taat asas untuk
konsisten” yang ditinjau dari fulsafat ilmu adalah tidak benar dan sebaiknya
tidak perlu dilahirkan. Para pemikir filsafat sangat menyesalkan bahwa manusia
sudah terlanjur mempergunakan kata “hukum” (low)
dalam terminology keilmuan yang berkonotasi
moral. Pembentukan kata “taat asas” untuk padanan konsisten jatuh ke dalam
perangkap yang sama.
Sumber
: S.
Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007
0 Response to "Politik Bahasa Nasional"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)