Teori Gestalt

TEORI GESTALT

            Dasar pokok aliran psikologi ini pertama kalinya dirumuskan Max Wertheimer pada tahun 1912 yang berbunyi, “keseluruhannya lebih dari jumlah bagian-bagiannya.” Kelebihan itu terjadi karena manusia cenderung melihat suatu pola, organisasi, integrasi atau konfigurasi dalam apa yang dilihatnya. Konfigurasi yang membentuk kebulatan keseluruhan itu disebut dalam bahasa Jerman Gestalt, suatu istilah yang sukar diterjemahkan dank karena itu dipertahankan oleh semua bahasa. Demikianlah lahir teori Gestalt, juga disebut teori organismic, dan teori psikologi lapangan (field psychology).

            Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka dalam buku “The Mentality of Apes” (1925) dalam eksperimen menguji hipotesis Thorndike tentang “Trial and Error” , yaitu dalam memecahkan suatu masalah, individu atau binatang akan melakukan perbuatan – perbuatan secara acakan dan akhirnya secara kebetulan akan dapat memecahkannya. Dalam percobaan dengan simpanse ternyata, bahwa binatang itu memecahkan masalah secara tiba-tiba,karena menurut Kohler ia mendapat “insight”. Pemecahan dalam hubungan unsur-unsur situas itu.

            Salah satu anggapan psikologi behaviorisme yang paling merusak ialah baha dalam belajar, individu itu pasif, ia memberi stimulus dan memberi respons secara sereotip dan otomatis. Stimulus dianggap sebab dan respons dianggapsebagai akibat. Manusia sebagai mesin yang sangat baik desainnya yang dapat
dikendalikan. Siswa dapat dikendalikan oleh guru dengan bahan yang dipilih pengembang kurikulum. Manusia dapat dikondisi menurut kemauan penguasa atau masyarakat.

            Kunci dalam psikologi Gestalt adalah “insight”. Belajar adalah mengembangkan insight pada anak dengan melihat hubungan-hubungan antara unsur-unsur situasi problematis dan denan demikian melihat makna baru dalam situasi itu. Belajar buka sesuatu yang pasif, dalam belajar siswa mempunyai tujuan, mengadakan eksplorasi, menggunakan imajinasi dan bersifa kreatif, jadi jauh berbeda dengan psikologi behavioristi yang memendang belajarsebagai mekanistik dan deterministik.

            Insight ialah mula – mulaadanya perasaan, adanya petunjuk yang samar – samar tentang pola, hubungan antara unsur – unsur suatu masalah , pada suatu saat tiba – tiba menjadi terang.
Bagaimaa timbulnya insight tak selalu dan serig dapat diverbalisasikan, dinyatakan dengan kata – kata, karena terjadinya dalam lompatan pikiran dan intuisi. Simpanse memperoleh insight dan tentu tak dapat membahasakannya. Insight adalah jawaban atau hipotesis sementara, yang mungkin benar atau tidak, kebenarannya masih perlu diuji.

            Guru tak dapat memberi insight, walaupun dapat membantu, murid sendirilah yang harus menemukannya sendiri menurut pikirannya sendiri, menurut makna yang dilihatnya dalam situasi itu. Insight belum berarti memahami suatu masalah sepenuhnya, akan tetapi hingga batas tertentu. Insight juga belum dapat digeneralisasi. Untuk itu jumlahnya harus cukup banyak dengan pegalaman yang kaya. Generalisai yang diperoleh sering dirumuskan dalam bentuk “Jika.. maka.. Bila tercapai generalisasi maka dapat digunakan atau ditransfer dalam situasi lain yang pada prinsipnya menunjukkan persamaan. Namun transfer tidak dengan sendirinya akan terjadi, wlaaupun prinsip itu telah dipahami sepenuhnya. Seorang sarjana dapat bersifat ilmiah dalam bidangnya, misalnya fisika, akan tetapi dalam bidang social yang tidak bertindak ilmiah, bahkan percaya akan mistik dan superstisi. Atau ia tidak mengenal situasi dalam hibungannya dengan prinsip itu, atau ia tidak mau, atau tak sanggup menerapkannya, misalnya ia tahu ia harus berkorban untuk sesame manusia, namun ia lebih memperhatikan kepentingannya sendiri.

            Transfer dapat terjadi bila terbuka kesempatan untuk menerpkannya dalam situasi yang dilihatnya sebagai kesempatan dan ada hasrat untuk menggunakannya.

            Membantu siswa untuk memperoleh generalisasi dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama : guru merumskannya, menjelaskannya dan kemudian menyuruh siswa menerapkannya. Kedua : guru memberi latar belakang secukupnya, dan segera bila siswa merasakan ia memahaminya, ia disuruh mengaplikasikannya. Ketiga : guru memberi latar belakangnya, siswa disuruh menemukan generalisasinya, lalu merumuskannya. Ternyata, bahwa metode kedua lebih efektif dalam transfer.

Kurt Lewin (1890-1947), juga penganut teori keseluruhan, adalah pionir psikologi lapangan atau field psychology. Untuk memahami seseorang, kita harus mengetahui segala sesuatu tentang dirinya, buah pikirannya, prinsip – prinsipnya, konsep diri dan apa saja yang dapat mengidentifikasi dirinya. Dengan lapangan psikologi dimaksud sotuasi psikologis dimana ia berada. Psikologi ini disebut juga psikologi lapangan kognitif.

            Menurut teori lapangan, beajar adalah proses interaksional, dalam mana individu memperoleh insight baru atau modifikasi yang lama. Belajar adalah modifikasi life space, yang meliputi tujuan seseorang, hal –hal yang ingin dielakkannya, halangan antara dirinya dengan tujuan, jalan yang mngkin ditempuhnya dan sebagainya. Bagi guru, makin dikenalnya life space siswa, makin ia dapat meramalkan kelakuan siswa itu dan dengan demikian makin dapat ia memberi bantuan.

            John Dewey yang juga termasuk penganut teori Gestalt, organismic atau teori lapangan kognitif, memandang berpikir sebagai proses reflektif yang pada dasarnya tak berbeda dengan berpikir ilmiah. Dalam cara berpikir ini digabungkanproses induktif, pengumpulan data, dan proses deduktif, mencari, menganalisis, dan menguji hipotesis. Bedanya dengan proses ilmiah ialah, bahwa dalam pemikiran reflektif tidak digunaka laboratorium sehinggadapat digunakan dalam pemecahan segala macam masalah termasuk masalah sosia. Langkah –langkah pemecahan masalah menurut Dewey telah cukup terkenal :

1.      Mengenal dan merumuskan masalah. Masalah timbul bila terdapat perbedaan atau pertentangan antara tujuan – tujuan, antara data dan sebagainya.
2.      Merumuskan hipotesis itu, yaitu kemungknan jawaban dalam bentuk generalisasi yang ditemukan sendiri, yaitu harus diuji kebenarannya. Pada dasarnya, semua generaslisasi merupakanhipotesis yang senantiasa perlu diuji kebenarannya. Hipotesis itu berkisar antara dugaan berdasarkan informasi minimal sampai prinsip atau hukum dengan verifikasi yang tinggi tarafnya.
3.      Menyelidiki implikasi hipotesis dengan mengumpulkan data atau pengetahuan.
4.      Mentes hipotesis dengan menguji implikasi atau konsekuensi hipotesis berdasarakan data atau penglaman.
5.      Mengambil kesimpulan, yakni menerima hipotesis, menolaknya, memodifikasi, atau menyatakan bahwa berdasarkan data yang ada belum dapat diambil kesimpulan.


Prinsip – prinsip belajar menurut teori Gestalt

1.                  Belajar itu berdasarkan keseluruhan

Keseluruhan lebih dari jum;ah – jumlah bagian. Bagian – bagian hanya mengandung arti dalam hubungannya dengan keseluruhan. Mengubah bagian akan mengubah juga keseluruhannya. Sebuah kalimat lebih berarti daripada jumlah kata – kata atau hurufnya.

Bagian – bagian hanya berarti dalam hubungannya dengan keseluruhan.fakta – fakta yang lepas tidak mengandung arti dank arena itu mudah dilupakan. Menghafal peristiwa – peristiwa atau tahun dalam sejarah atau nama –nama dan hasil bumi dalam mata pelajaranIPS tidak berapa faedahnya, bila kita tidak memahami hubungannya dengan keseluruhan yang lebih luas.

Demikian pula pendidik –pendidik modern berpendapat bahwa mata pelajaran yang lepas – lepas kurang manfaatnya sebab tidak berdasaarkan atas keseluruhan ini. Itu sebabnya maka orang berusaha untuk mengadakan hubungan antara pelbagai mata pelajaran yang disebut korelasi antara mata pelajaran, malahan dapat juga meniadakan segala batas – batas antara mata pelajaran dengan mengintegrasikannya.

Yang diberikan ialah masalah atau pokok yang luas yang harus dipecahkan oleh anak –anak. Dalam menyelesaikannya mungkin sekali anak – anak mempelajari hal –hal berkenan dengan sejarah, ilmu hayat, kesenian dan sebagainya, akan tetapi apa saja yang dipelajari, tidak merupakan fakta – fakta terlepas, melainkan senantias sebagai bagian dalam hubungan yang lebih luas. Pengajaran serupa ini lazim disebutpengajaran “unit” atau pengajaran proyek. Prinsip keseluruhan ini ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kurikulum, baik menganai isinya maupun mengenai organisasinya.

2.                  Anak yang belajar merupakan keseluruhan

            Sekolah yang tradisional bertujuan : menyampaikan kultur atau kebudayaan kepada murid –murid dengan jalan mnumpukan sejumlah pengetahuan kedalamingatan anak dengan harapan, bahwa ia akan menggunakannya kelak bila ia telah dewasa. Pengajaran serupa ini sering disebut intelektualistis, sebab dititik-beratkan pada pendidikan intelek atau dalam kebanyakan hal sebenarnya pada pendidikan ingatan saja, ia seorang pribadi, suatu keseluruhan yang menghadapi situasi-situasi bukan hanya secara intelektual, melainkan juga secara emosional, social, dan jasmaniah. Bila kita mengajarkan IPS misalnya, kita dapat berusaha sehingga anak itu mengerti akan bahan pelajaran. Akan tetapi disamping itu murid itu mungkin juga belajar benci akan gurunya atau kepada pelajaran itu atau kepada segala sesuatu yang berbaupelajaran sekolah. Mengenai pendidikan intelektual mungkin kita mencapai hasil yang baik, akan tetapi dalam pendidikan emosinya kita gagal.

            Sebab itu, dalam pengajaran modern, orang bukan hanya mengajarkan mata pelajaran, akan tetapi mengutamakan tujuan mendidik anak, membentuk seluruh pribadi anak seutuhnya.

            Dalam pada itu, anak tidak hanya dipandang sebagai murid sekolah saja, pribadi anak tidak dapat dilepaskan dari kehidupannya diluar sekolah, di rumah, dan di lingkungan sekitarnya. Suasana sekolah sedapat – dapatnya diselaraskan dengan suasana rumah. Sekolah hendaknya dijadikan bukan hanya tempat anak mempelajari berbagai ilmu, akan tetapi juga tempat mereka hidup dan belajar hidup. Kurikulum sekolah disesuaikan dengan apa yang diperlukan anak bagi kehidupannya sehari – hari. Dengan demikian dicegah adanya jurangyang sering terdapat antara sekolah dengan kehidupan di luar sekolah untuk mencapai integrasi pribadi murid. 

3.                  Belajar berkat insight

            Teori asosiasi mementingkan ulangan dan pembiasaan dalam proses belajar. Belajar serupa ini disebut mekanis. Teori organisme memandang “insight”, pemahaman atau titikan sebagai syarat mutlak dalam hal belajar. Dengan insight dimaksud suatu saat dalam proses belajar, sewaktu seseorang melihat atau mendapat pengertian atau tentang seluk – beluk sesuatu, atau melihat hubungan tertentu antara unsur – unsur dalam situasi yang mengandung suatu problema atau kepelikan. Dalam percobaan oleh Kohler dengan simpanse, binatang itu berhasil menyambungkan dua kerat bamboo utuk meraihpisang yang diletakkan di luar kandangnya. Pada saat kera itu melihat hubungan antara unsur –unsur dalam situasi yang problematis itu, (yakni antara unsur – unsur bamboo, dirinya, jeruji, pisang) ia memperoleh “insight” atau suatu “Aha Erlebnis”.

            Hal yang demikian terjadi juga pada manusia yang menghadapi situasi yang mengandung kesulitan dan sering secara tiba – tiba memahami seluk – beluk situasi itu, setelah ia mendapat “insight”. Pemahaman tidak diperoleh semata – mata dengan jalan mengulang- ulangi dan latihan – latihan seperti pada teori asosiai. Paa sebenarnya “insight” ini belum dapat dijelaskansepenuhnya.

            Bagi pembinaan kurikulum, prinsip “insight” ini berarti bahwa anak – anak harus dihadapkan kepada masalah – masalah, dalam bentuk proyek atau unit yang mengandung problema – problema yang harus dipecahkan.         

4.                  Belajar berdasarkan pengalaman

            Belajar memberi hasil yang sebaik-baiknya bila didasarkan pada penglaaman. Pengalaman ialah suatu interaksi, yakni aksi dan reaksi, antara individu dengan lingkungan. Individu menjalani pengaruh lingkungan, jadi ada aksi dari lingkungan terhadap individu , akan tetapi sebaliknya individu juga bereaksi terhadap pengaruh lingkungan itu. Ia berbuat sesuatu, yakni mempertimbangkan, mengolah,memikirkan pengaruh lingkungan itu. Bila seorang anak kena api, maka hal itu suatu kejadian atauperistiwa dan belum merupakan suatu pengalaman. Kejadian itu akan menjadi pengalaman, apabila anak itu mengolahnya, menghubungkannya dengan pengalaman yang sudah, mentafsirkannya, dan mengambil kesimpulan, bahwa api itu sesuatu yang berbahaya yang dapat menimbulkan rasa sakit, sehingga ia dapat menentukan sikapnya dan dapat menjaga diri terhadap api kelak. Berkat pengalaman itu ia belajar, kelakuannya berubah, artinya bahwa ia bertindak lebih efektif dan serasi dalam menghadapi situasi – situasi hidupnya.

            Anak itu mula – mula akan memandang api sebagai sesuatu yang berbahaya, akan tetapi berdasarkan pengalaman – pengalaman lain ternyata bahwa api itu tidak selalu berbahaya, akan tetapi banyak sekali manfaatnya dan memberi kesenangan pada manusia. Pengalaman pertama rupanya tidak benar seluruhnya dank arena itu harus dirombak, direorganisasi atau disusun kembali. Belajar ialah reorganisasi pengalaman – pengalaman yang lampau yang ternyata tidak lengkap, tidak sempurna. Oleh sebab itu tidak ada pengetahuan dan pengalaman kita yang sempurna, kita harus senantiasa mereorganisasi pengalaman kita selama kita hidup.

            Pendapat lama dan teori – teori yang lampau sering harus disempurnakan atau diganti dengan yang baru ternyata lebih baik daripada yang sudah – sudah. Menusia senantiasa membuat penemuan baru dan mereorganisasi pengetahuan yang lama dan dengan demikian memperluas kebudayaan dunia. Manusia terus belajar dan tak akan kunjung selesai meningkatkan pengetahuannya.

            Belajar itu baru timbul bila seseorang menemui suatu situasi baru, suatu soal, kesulitan atau problema. Dalam menghadapinya ia akan menggunakansegala pengalamannya yang sudah – sudah. Jika dengan pengalamannya itu ia sanggup menghadapinya, tidak akan timbul proses belajar. Ia sekedar menggunakan pengalaman yang lampau itu. Tetapi bila ternyata bahwa pengalamannya yang ada tidak cukup untuk mengatasinya, ia akan mengalami semacam frustasi. Keseimbangannya terganggu, lalu ia mencoba mencari jalan untuk memecahkan soal itu. Diantara percoban itu ada yang tak berhasil, itu dikesampingkannya. Percobaannya itu dilanjutkannya jadi proses belajar berlangsung terus menerus sampai kesulitan itu diatasinya.

            Disinipun kita lihat, seperti dianjurkan penganut – penganut prinsip belajar yang telah tersebut diatas betapa perlunya diusahakan, agar kurikulum itu berupa problema – problema yang dihadapkan kepada anak – anak untuk dipecahkannya agar ia belajar.

5.                  Belajar ialah suatu proses perkembangan

            Manusia adalah suatu organisme yang tumbuh dan berkembang menurut cara –cara tertentu. Kita tak dapat mengajarkan segala sesuatu yang kita kehendaki. Anak – anak baru dapat mempelajarinya dan mencernakannya, bila ia telah matang untuk bahan pelajaran itu. Kita ketahui bahwa pada anak kelas satu SD belum dapat diberikan teori – teori tentang listrik atau tata negara, karena mereka belum matang untuk itu.
            Kesiapan anak untuk mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan atau taraf pertumbuhan batiniah, tetapi juga dipengarui oleh lingkungan, yakni oleh pengalaman – pengalaman yang telah diperoleh anak itu. Misalnya kesiapan untuk membaca akan lebih cepat terdapatpada anak – anak yang telah berkenalan dengan buku – buku bergambardi rumah atau yang sering dibacakan cerita – cerita dari buku oleh ibu bapaknya, sebelum ia menginjak sekolah, daripada anak – anak yang tidak pernah memperoleh pengalaman – pengalaman dengan buku. Jadi tak perlu kita hanya menunggu saja. Kita dpat menciptakan situasi – situasi dan lingkungan bagi anak yang dapat mempercepat atau membangkitkan kesiapannya untuk mempelajari sesuatu.

            Dalam hal ini tidak semua anak sama. Anak – anak berbeda pengalaman dan kematangannya, sekalipun umurnya sama. Perbedaan individual ialah suatu prinsip yang harus dipikirkan dalam pembinaan kurikulum. Memaksakan semua anak mempelajaribahan yang sama tidak dapat dipertahankan. Karena itu kurikulum hasrus disusun sedemikian, sehingga sedapat mungkin dapat disesuaikan dengan perbedaan individual, baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Anak yang pandai harus diberikemungkinan menyelesaikan lebih banyak pelajaran daripada anak yang kurang pandai an anak – anak harus dapat mengembangkan bakatnya dalam berbagai lapangan.

6.                  Belajar ialah proses yang kontinu

Anak – anak tidak hanya belajar di sekolah, aka tetapi juga di luar sekolah. Mereka memperoleh juga pengalaman – pengalaman berkat radio, surat kabar, majalah, pergaulan di rumah, dan sebagainya. Malahan kerapkali hal – hal yang dipelaaridenga tak sengaja di luar sekolah dan sebelum bersekolah lebih mendalam lagi, oleh sebab tujuan – tujuan yang mereka kejar disitu lebih menarik, lebih memuaskan, lebih menyenangkan dan sesuai dengan kebutuhannyadaripada tujuan – tujuan yang ditentukan dan sering dipaksakan oleh sekolah. Lagipula di luar mereka banyak memperoleh pengalaman – pengalaman langsung atau first hand experiences.

Mereka tidak bicara tentang padi, ikan, laying – laying dan sebagainya, aka tetapi mereka turut memotong padi, mereka menangkap ikan di sungai, mereka membuat dan bermain laying – laying dan sebagainya. Di sekolah mereka kebnayakan membaca dan mendengarkan saja. Kurikulum yang modern menyesuaikan pelajaran sekolah dengan kehidupan, permainan, kesukaan, dan minat anak di luar sekolah. Apa yang dahulu dianggap sebagai aktivitas extrakurikuler, yakni aktivitas anak di luar pelajaran seperti perkumpulan sekolah, hobi anak- anak, kepanduan dan lain – lain, dimasukkan sekolah ke dalam kurikulum menjadi tanggung jawab sekolah.

Kontinuitas juga diusahakan dengan meniadakan tinggal kelas. Anak yang tinggal kelas tidak kontinu pelajarannya oleh sebab ia harus mengulangi bahan yang sama selama satu tahun. Kurikulum hendaknya disusun demikian, sehingga tiap anak terus maju sesuai dengan kecepatannya masing – masing.

Kontinuitas harus pula ada dalam pelajaran sekolah rendah, menengah dan tinggi. Seperti anak maju dari kelas yang satu ke kelas berikutnya, demikian pula anak itu harus pula maju dari sekolah rendah ke sekolah menengah dan seterusnya. Pertanyaan timbul, apakah Sekolah Dasar harus terpisah benar – benar dari SMP dan sekolah ini harus terpisah pula dengan SMA ? apakah tidak dapat disatukan sekolah – sekolah itu seluruhnya menjadi sekolah dari kelas 1 sampai kelas 12 ?

Kontinuitas akan terganggu pula apabila pelajaran di sekolah berlainan atau bertentangan dengan norma – norma yang diajarkan di rumah. Maka timbullah konfik dalam diri si murid. Ia harus berpegang pada dua macam norma. Apa yang dipelajarinya di sekolah tidak dapat dilangsungkan dan dipraktikkan di rumah. Itu sebabnya sekolah harus mengenal keadaan, kebiasaan, adat istiadat di rumah anak. Sekolah harus bekerja sama dengan rumah dan badan – badan lain dalam masyarakat sehingga semuanya turut serta membantu perkembangan anak yang harmonis.

Sekolah modern mengajak orang tua agar turut seta dalam menentukan kurikulum. Dari orang tua sungguh dapat diterima saran – saran yang baik sekali untuk dipertimbangkan oleh staf guru –guru agar dimasukkan ke dalam kurikulum. Sering pula orang tua diminta bantuannya untuk turut melaksanakan kurikulum.

7.                  Belajar lebih berhasil bila dihubungkan dengan minat keinginan dan tuajuan anak

            Hal ini tercapai apabila pelajaran itu langsung berhubungan dengan apa yang diperlukan murid – murid dalam kehidupannya sehari – hari atau apabila mereka tahu dan menerima tujuannya. Seorang murid yang berbakat dan ingin menjadi penyanyi akan giat mempelajari teori music, oleh sebab sesuai dengan tujuannya, sekalipun teori music itu sendiri kurang menarik. Akan tetapi alam hubungannya dengan cita – cita anak itu, usaha itu mengandung arti baginya. Ia memahai tujuan pelajaran itu, ia yakin aka nada faedahnya bagi kehidupannya dan karena itu ia giat belajar. Dikatakan bahwa anak itu didorong oleh motivasi yang interistik, sebab ia ingin mencapai tujuan yang terkandung dalam pelajaran itu sendiri.

            Kita dapat mengajarkan kepada anak – anak hal tentang bermacam – macam penyakit ynag kemudian ditanyakan pada ulangan. Tujuan anak adalah mendapat angka yang baik. Atau barangkali ia belajar karenatakut kepada guru, takut tinggal kelas, atau ingin menyenangkan hati orang tuanya. Anak seperti ini didorong oleh motivasi eksterinstik sebab ia mengejar tujuan, yang sebenarnya letak berada di luar pelajaran itu. Lain halnya bila suatu daerah berjangkit penyakit, lalu anak – anak belajar betul – betul untuk mengetahui seluk –beluk penyakit itu agar dapat menjaga diri terhadap penyakit itu. Motivasi yang intrinsic ini tentu lebih baik hasilnya. Di sekolah yang menginsafi hal ini, kurikulum sedapat mungkin disesuaikan dengan minat kebutuhan dan tujuan – tujuan yang hendak dicapai oleh anak – anak.

            Pelajaran diberikan dalam bentuk unit atau proyek yang berkenaan dengan masalah – masalah yang dihadapi oleh anak – anak. Proyek itu dibicarakan dan dirundingkan bersama oleh guru dan murid – murid agar mereka lebih jelas memahami ujuan dan faedahnya. Disini anak –anak turut serta menentukan kurikulum.

            Kurikulum di sekolah yang tradisionalsepenuhnya ditetapkan oleh pihak atasan. Murid – murid tidak diajak berunding dan meraka harus menerimanya, kerap kali tanpa melihat faedah yang langsungbertalian dengan tujuan dan minatnya. Disini kebanyakan digunakan motivasi ekstrinsik, anak – anak dipaksa belajar dengan macam – macam hukuman dan pujian dengan angka – angka dan ujian.


0 Response to "Teori Gestalt "

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)