Makalah Pergerakan Nasional Menjelang Akhir Kekuasaan Belanda

BAB I
PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
pada saat itu sangat reaksioner terhadap pergerakan maka organisasi ini dinyatakan terlrang dan tokoh-tokohnya diasingkan. PNI merupakan organisasi yang terakhir yang menandai Indonesia sebagai sebuah negara ,dapat berdiri bukan tanpa sebuah perjuangan yang berarti, begitu padatnya kolonialisasi bangsa asing terhadap nusantara sehingga memunculkan berbagai golongan baik non koperatif maupun koperatif yang berjuang memerdekakan bangsa dengan taktik dan strategi mereka masing-masing. Salah satu negara yang mengkolonialisasi nusantara adalah Belanda.
Betapa kaku nya sikap Belanda terhadap rakyat koloni nya kemudian semakin lama membuat orang-orang nusantara membentuk pergerakan nasional untuk dapat berdiri di tanah nya sendiri. Banyak sekali organisasi-organisasi radikal yang melakukan aksinya. Antara lain yaitu ISDV. ISDV adalah organisasi yang berhaluan komunis. Pergerakannya sangat radikal. Organisasi pergerakan nasional lainnya yang paling
berpengaruh bagi perkembangan bangsa yaitu PNI. PNI dipelopori tokoh yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan yaitu Bung Karno. Tetapi akhirnya karena Gubernur Jenderal berakhirnya masa pergerakan yang radikal.
2.        Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
a.       Bagaimana Pergerakan Nasional menjelang akhir Hindia-Belanda
b.      Bagaimana politik Kolonial menjelang keruntuhan Hindia-Belanda
c.       Bagaimana penyerbuan Jepang dan keruntuhan Hindia-Belanda
3.        Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk :
a.       Mengetahui Pergerakan Nasional menjelang akhir Hindia-Belanda
b.      Mengetahui politik Kolonial menjelang keruntuhan Hindia-Belanda
c.       Mengetahui Bagaimana penyerbuan Jepang dan keruntuhan Hindia-Belanda



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Nasionalisme Terpasung (Sikap Nonkooperasi)

Setelah gagalnya perlawanan PKI tahun 1926-1927 yang berakibat pada pembuangan mayoritas besar pemimpinnya ke dalam kamp konsentrasi Tanah merah dan membuat lumpuhnya dunia pergerakan.[1] Sampai pada periode antara 1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegrasian organisasi-organisasi nasionalis, juga oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama politik agitasi yang dijalankan oleh soekarno. Para nasionalis terus mencari posisi untuk menghadapi pemerintah yang tidak memberi jalan kelangsungan gerakannya, terlebih dalam hal ini pemerinahan gubernur jenderal de jonge menyatakan perang terhadap para nasionalis yang radikal dan merongrong kewibawaan pemerintah serta dianggap mengganggu rust en orde. Pemerintah berusaha keras membendung setiap aksi kaum nasionalis denagan berbagai cara. Tindakan reaksioner yang dilakukannya dengan mengambil tindakan yuridis, yaitu dengan memasang jaring-jaring perangkap dan memasukannya dalam kategori tindakan kriminal politik dan sebagai tindakan subversif yang merongrong kewibawaan pemerintah Hindia Belanda.[2]
    Aksi masa dan secara politik agitasi soekarno selama periode satu tahun dari pertengahan 1932 sampai pertengahan 1933 merupakan titik puncak dari partindo, dengan meningkatnya jumlah anggota partai dari 4300 manjadi 20.000 anggota ini berarti menunjukan kehebatan dan keahlian soekarno dalam agitasi masa.[3]
Dengan meningkatnya aktivitas soekarno yang mendapat reaksi positif dikalangan masyrakat membuat pemerintah semakin bertindak keras yang berujung pada larangan semua rapat-rapat Partindo dan PNI Baru dan hari itu juga soekarno ditahan. Sehari kemudian dikeluarkan larangan bagi semua pegawai negeri masuk menjadi anggota partai tersebut. Kebijakan tersebut semata-mata diambil untuk menjamin rust en orde (keamanan dan ketertiban) dan dilandaskan pada artikel 153 bis dan ter.[4] Bagi PNI Baru, kejadian-kejadian itu memberi pembenaran bagi strateginya. Meskipun demikian, politik ketat yang diambil pemerintah itu tidak memberi ruang bergerak pada PNI Baru yang menjadi sasaran, Moh. Hatta dan Syahrir ditangkap dan PNI Baru dilarang. Dengan tangan besinya Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga membuat gerakan yang menjurus radikal atau revolusioner di tumpas tanpa ampun dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawab atas keadaan di Hindia Belanda dan masih menurutnya pemerintah masih bisa tegak berdiri sampai 300 tahun lagi. Sehingga politik represifnya berhasil menghentikan gerakan politik nonkooperasi sama sekali.[5] Dalam periode yang sudah tidak memungkinkan bagi dilanjutkannya politik nonkooperasi bahkan selanjutnya sudah tidak ada aktivitas politik soekarno mengirim surat kepada pemerintah Hindia Belanda sebanyak empat kali, yaitu pada tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September yang kesemuanya memuat pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik nonkooperasi. yang sudah pasti mengagetkan kalangan kaum nasionalis dan menimbulkan bermacam reaksi dengan perubahan sikap yang berbalik 180 derajat itu. Lalu muncul anggapan bahwa aliran nonkooperasi tidak berdaya lagi.[6]

B.     Politik Kooperatif

1.      Sikap Politik Kolonial Dalam Balutan Krisis

Depresi ekonomi sampai menjelang awal tahun tiga puluhan yang tak kunjung reda-reda. Bagi rakyat zaman meleset (malaise) berarti mengurangi kesempatan kerja, pemotongan gaji, turunnya harga-harga hasil pertanian, rendahnya upah. Kesemuanya itu merupakan akibat politik ekonomi yang pada satu pihak menjalankan penghematan besar-besaran dan dipihak lain hendak mempertahankan pendapatan ekspor, terutama yang diperoleh dari sektor perkebunan, padahal nilai gulden yang dipertahankan mengurangi daya beli negara-negara pengimpor akibatnya untuk mempertahankan keuntungan nilai upah dikurangi disamping juga tingkat produksi dikurangi dan juga pemecatan buruh terpaksa dilakukan. Pemerintah menjadikan perkebunan sebagai tulang punggung perekonomian Hindia Belanda.
Golongan yang secara langsung terkena dampak ialah terutama golongan Varderlandse Club (VC), partai yang hendak mempertahankan status quo, yang sikapnya reaksioner terhadap golongan nasionalis. Dalam situasi ini pemeintah masih menganggap rakyat belum bisa melakukan pemerintahan sendiri. Cita-cita seperti penentuan nasib sendiri, kemerdekaan dan demokrasi, kesemuanya hanyalah gagasan liar para pemimipin fanatik yang ekstrimis (golongan nasionalis). Lebih-lebih de Jonge dan Tjarda van Starkenborg-Stachouwer sangat bersifat konservatif. Sampai pada masa ekonomi membaik tahun 1936 politik reaksioner dipertahankan sampai ketika pecahnya perang dunia II politik kolonial membeku tidak ada kemampuan menyesuaikan diri ke perubahan zaman tetapi dari pelbagai gerakan nasionalis ada usaha untuk menyesuaikan diri antara lain dengan menjalankan politik kooperasi serta gerakan yang bersifat progresif moderat.[7]





2. Perubahan Sifat Gerakan Nasionalis (menuju sikap kooperasi)
           
Politik keras dan reaksioner pemerintah Hindia Belanda yang mnyebabkan terbuangnya para para tokoh-tokoh nasionalis jelas berpengaruh pada sifat perjuangan. Dalam menghadapi politik konservatif de Jonge, gerakan nasionalis yang bersifat nonkooperasi tidak akan menemui hasil apapun ditambah kesulitan ekonomi, politik keras tersebut tidak memberi alternatif lain kecuali mengubah haluan dari nonkooperatif  ke kooperatif. Selain faktor politik dan ekonomi ada faktor lain yang mempengaruhi sifat politik nasionalis, yaitu konstelasi dunia intrnasional pada waktu itu. Pada kurun waktu tiga puluhan di Eropa bahaya nazisme atau fasisme sedang mengancam negara-negara demokrasi disatu pihak dan negara komunis dilain pihak, sementara Jepang dengan pemerintahan militernya menjalankan pula ekspansionisme di daerah pasifik. Bagi kaum nasionalis yang ada di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda tidak ada pilihan lain selain bekerja. PI yang memulai haluan kooperasi berdasarkan prinsip ideologis ketimbing taktik dan strategi perjuangan.[8]
Sebenarnya baik organisasi yang bersifat nokooperatif maupun yang bersifat kooperatif sama-sama mengarah pada cita-cita indonesia merdeka. Parindra sebagai bentuk fusi antara PBI, BO, PSII, Gerindo, dll menganut sistem politik kooperasi.

a.       Petisi soetardjo
Ketika aksi masa sudah tertutup dalam arena politik tetapi berbagai cara masih bisa dilakukan dalam perjuangan nasional, salah satunya kemudian dikenal dengan petisi soetardjo. Selaku wakil PPBB dalam Dewan Rakyat mengajukan usul agar pemerintah Hindia Belanda agar diselenggarakan suatu konperensi kerajaan belanda, dimana nantinya akan dibahas status politik Hindia Belanda dalam sepuluh tahun mendatang, yaitu status otonomi bagi Hindia Belanda dalam bidang ekonomi, sosial, kultural, dan politik.
Namun keputusan petisi itu diambil dengan sangat hati-hati agar tidak keluar dari kerangka konstitusional yang berlaku. Walaupun sifatnya tidak revolusioner tetapi langkah dan tujuannya jelas kedepan menuju kemndirian politik, pun begitu petisi tersebut menimbulkan berbagai reaksi dikalangan para nasionalis.
Sikap dan reaksi terhadap petisi datang dari salah satu pihak nasionalis, bukan karena isi petisi tersebut melainkan caranya mengajukan dan diajukanya petisi tidak pada waktu yang tepat walau dari fraksi nasional juga ada yang bersifat skeptis akan hasil yang dicapai. Dengan perbandingan suara 26 setuju dan 20 melawan dalam pemungutan suara di Dewan rakyat akhirnya petisi itu dibawa ke negeri Belanda walaupun tipis kemungkinannya untuk diterima. Dengan jawaban yang sangat tidak memuaskan dan bahwa memang pemerintah sangat menginginkan status quo dalam pemerintahan Hindia belanda.
Dianggap tidak tepat waktunya mengajukan petisi tersebut karena sedang direncanakan konsep Colijn ialah terbentuknya negara pulau yang notaben sangat bertentangan dengan sikap nasionalis yang berjuang keras menmbentuk negara kesatuan. Penolakan terhadap petisi tersebut sudah dapat diduga sebelumnya, tetapi suatu gagasan dimunculkan oleh Tabrani yang merencanakan agar petisi disebar luaskan dikalangan rakyat dan kemudian didirikan komite sentral petisi soetarjo. Walaupaun memperoleh banyak dukungan tetapi PSII dan PNI Baru tidak mau mendukung karena petisi tersebut dapat membunuh semangat perjuangan rakyat, Gerindo dan Parindra tidak setuju dengan isi petisi tetapi setuju dengan penyelenggaraan konperensi kerajaan.[9] 

b.      Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Atas usul dari tokoh Parindra, Thamrin membentuk badan konsentrasi nasional berdasarkan pandangan situasi internasional dan melihat akan peran Hindia Belanda dalam perang dunia. Usul tersebut mendapat dukungan dari luar Parindra seperti PSII dan Gerindo. Tujuannya ialah membentuk suatu badan yang mempelajari dan mempersatukan kepentingan rakyat. Tetapi tiap-tiap organisasi tetap bebas melakukan programnya sendiri. Seperti program dasarnya tujuan GAPI ialah untuk kerja sama antar partai politik Indonesia serta menjalankan aksi bersama, adapun asanya ialah penentuan nasib sendiri, kesatuan, dan persatuan serta demokrasi dalam segi politik, sosial, dan ekonomi.
Sementara kelompok lain berusaha membentuk badan persatuan oleh Moh. Yamin, dkk. Dengan pandangan bahwa daerah luar Jawa kurang mendapat perhatian, maka untuk memperjuangkan kepentingan daerah-daerah dibentuk Golongan Nasional Indonesia (GNI) pada 10 juli 1939. Biarpun ada yang mendukung tetapi ada juga yang berpendapat gerakan tersebut hanya memecah belah dan memperlemah perjuangan, pada akhirnya GAPI-lah yang dalam wakil-wakilnya melakukan aksi parlemen.
Melalui kongres rakyat usaha kongkret terwujud memperjuangkan persatuan dan kesatuan Indonesia. Setelah terdengar berita pecahnya perang dunia II GAPI menyerukan hubungan dan kerja sama antara Indonesia dan Belanda, dengan harapan belanda mendengarkan aspirasi rakyat Indonesia untuk membentuk pemerintahan sendiri dengan diberikan suatu perwakilan rakyatnya. Setelah diserukan rapat-rapat cabang dalam rangka Indonseia berparlemen, tanggapan pemerintah sudah dapat diduga tidak poitif. Lalu pemerintah memperketat pengawasannya terhadap rapat-rapat kaum nasionalis. Sempat timbul kekecewaan pada kubu nasionalis namun Parindra tetap meneruskan aksi Indonesia Berparlemen. Walaupun kesempatan bergerak ternyata tidak adalagi bagi GAPI setelah negeri Belanda diduduki Jerman.
Setelah memasuki masa perang dalam menanggapi semangat dikalangan rakyat Indonesia Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg-Stachourwer dalam pidatonya menegaskan bahwa segala rencana mengenai perubahan ketatanegraan seperti yang diperjuangkan oleh gerakan nasionalis perlu ditunda sampai sehabis perang. Setalah keterangan tersebut maka jawaban terhadap segala macam mosi dan petisi didalam Dewan Rakyat akan mempunyai nada yang sama, akibatnya timbul satu jurang antara pemerintah dan rakyat semakin besar dan pada pihak lain nasionalis tidak dapat lagi menaruh harapan terhadap penguasa kolonial. Jadi harus berpaling kepada rakyat sendiri. Tanpa disadari sikap konservatif pemerintah itu semakin menumbuhkan kesadaran akan solidaritas nasional.      


A.      Politik Kolonial mrnjelang keruntuhan Hindia-Belanda
Perubahan Orientasi gerakan dari non-kooperatif menjadi kooperatif awalnya memunculkan harapan untuk perlahan-lahan berkembang kearah pemerintahan sendiri, namun semua harapan untuk perlahan-lahan berkembang kearah pemerintahan sendiri yang disajikan oleh para anggota Parindra serta kelompok-kelompok Nasionalis Moderat lainnya segera mengalami suatu goncangan yang mematahkan semangat.[10]
Pemerintah Belanda menolak petisi Soetardjo, suatu usul yang diajuakan oleh mayoritas anggota Volksraad pada pertengahan tahun 1936, usul ini meminta agar diadakan suatu rapat untuk membicarakan rencana-rencana perkembangan evolusioner untuk Indonesia selama satu periode sepuluh-tahunan kearah pemerintahan sendiri didalam batas undang-undang dasar belanda yang sudah ada.[11]
Pemerintah Hindia Belanda tidak menghilangkan pergerakan nasional di Indonesia tetapi dilemahkan dengan mengadakan vergaderverbod (larangan berkumpul). Tokoh-tokoh pergerakan Indonesia banyak yang diasingkan sehingga ruang gerak baginya dan organisasinya semakin sempit. Sejak tanggal 10 Mei 1940 dinyatakan oleh Gubernur Jendral keadaan SOB ( Staat van Oorlog on Beleg ) dengan larangan-larangan terhadap aktivitas-aktivitas politik dan lain lain atau dengan pembatasan-pembatasan yang sangat keras terhadapnya. Rapat-rapat hanya boleh diadakan setelah mendapat izin yang bermacam-macam, juga dikurangi jumlah rapat-rapat politik. Pengawasan polisi dan PID diperkeras beberapa orang aktivis partai dan wartawan ditangkap atau dibuang atau dipenjarakan.[12]
Dalam kebijakan politiknya Hindia-Belanda cenderung enggan menjawab permintaan setiap resolusi yang diajukan oleh rakyat indonesia. Salah satunya adalah Resolusi Wiwoho dalam Volksraad pada bulan februari 1940 yang menginginkan adanya pemerintahan sendiri dalam kerangka kerja UUD Negeri Belanda. Namun pemerintah menyatakan tidak ingin mempertimbangkan resolusi tersebut lebih jauh lagi. Penolakan ini diikuti oleh jawaban pemerintah atas suatu pertanyaan di Volksraad sehubungan dengan pemerintah Belanda teah menandatangani piagam Atlantik yang menuntut hak menetukan sendiri bagi semua Bangsa.[13]
B.       Penyerbuan Jepang dan keruntuhan Hindia-Belanda
Masa tahun 1940-1942, pertentangan antara pemerintah dengan fraksi-fraksi nasional di volksraad semakin meruncing dan menciptakan keadaan yang mencemaskan pemerintah kolonial Belanda. Menghadapi situasi demikian, pemerintah Hindia Belanda melakukan tindakan pengamanan terhadap tokoh pergerakan yang dianggap berbahaya. Pada bulan Januari 1941 pihak kepolisian menangkap Husni Thamrin dan Douwes Dekker yang dianggap mempunyai hubungan dengan kaum pergerakan yang radikal dan Jepang.
Akhirnya ketegangan di Pasifik akibat pertentangan kepentingan antara Jepang dengan pihak Barat atas Asia pecah menjadi perang ketika Jepang memulai serangannya ke Pearl Harbour pada tanggal 7 Desember 1941. [14] Karena sikap Jepang ini maka kerajaan Belanda pun mengeluarkan nota kerajaan Belanda.
Pada tanggal 1 januari 1942 Jepang menawarkan suatu persetujuan damai kepada Hindia Belanda sambil mengabaikan pernyataan sebelumnya dan permusuhan-permusuhan yang sudah timbul. Hindia Belanda menjawab bahwa sikap tidak berubah dan menganggap dirinya dalam keadaan perang terhadap Jepang. Pada 1 januari Tokyo lalu menyatakan bahwa ia terpaksa menyatakan perang terhadap kerajaan Belanda dan sekarang terpaksa memulai tindakan-tindakan permusuhan terhadapnya.[15]
Berikut adalah kronologis penyerbuan dan penyerangan Jepang ke Indonesia (1942) :
Tanggal 11 Januari 1942 : tentara Jepang mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur, dan esok harinya (12 Januari 1942) Komandan Belanda di pulau itu menyerah.
Tanggal 24 Januari 1942 : Balikpapan yang merupakan sumber minyak ke-2 jatuh ke tangan tentara Jepang
Tanggal 29 Januari 1942 : Pontianak berhasil diduduki oleh Jepang
Tanggal 3 Februari 1942 : Samarinda diduduki Jepang
Tanggal 5 Februari 1942 : sesampainya di Kotabangun, tentara Jepang melanjutkan penyerbuannya ke lapangan terbang Samarinda II yang waktu itu masih dikuasai oleh tentara Hindia Belanda (KNIL).
Tanggal 10 Februari 1942 : dengan berhasil direbutnya lapangan terbang itu, maka dengan mudah pula Banjarmasin diduduki oleh tentara Jepang
Tanggal 14 Februari 1942 : diturunkan pasukan paying di Palembang. Dua hari kemudian (16 Februari 1942) Palembang dan sekitarnya berhasil diduduki.
Dengan jatuhnya Palembang itu sebagai sumber minyak, maka terbukalah Pulau Jawa bagi tentara Jepang. Di dalam menghadapi ofensif Jepang, pernah dibentuk suatu komando gabungan oleh pihak Serikat, yakni yang disebut ABDACOM (American British Dutch Australian Command) yang markas besarnya ada di Lembang, dekat Bandung dengan panglimanya Jenderal H. Ter Poorten diangkat sebagai panglima tentara Hindia Belanda (KNIL). Pada akhir Februari 1942 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh telah mengungsi ke Bandung disertai oleh pejabat-pejabat tinggi pemerintah. Pada masa itu Hotel Homman dan Preanger penuh dengan pejabat-pejabat tinggi Hindia Belanda.
Tanggal 1 Maret 1942 : tentara ke-16 Jepang berhasil mendarat di 3 tempat sekaligus yaitu di Teluk Banten, di Eretan Wetan (Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Tengah).
Tanggal 1 Maret 1942 : Jepang telah mendaratkan satu detasemen yang dipimpin oleh Kolonel Toshinori Shoji dengan kekuatan 5000 orang di Eretan, sebelah Barat Cirebon. Pada hari yang sama, Kolonel Shoji telah berhasil menduduki Subang. Momentum itu mereka manfaatkan dengan terus menerobos ke lapangan terbang Kalijati, 40 Km dari Bandung. Setelah pertempuran singkat, pasukan-pasukan Jepang merebut lapangan terbang tersebut.[16]
Tanggal 2 Maret 1942 : tentara Hindia Belanda berusaha merebut Subang kembali, tetapi ternyata mereka tidak berhasil. Serangan balasan kedua atas Subang dicoba pada tanggal 3 Maret 1942 dan sekali lagi, tentara Hindia Belanda berhasil dipukul mundur.
Tanggal 4 Maret 1942 : untuk terakhir kalinya tentara Hindia Belanda mengadakan serangan dalam usaha merebut Kalijati dan mengalami kegagalan.
Tanggal 5 Maret 1942 : ibu kota Batavia (Jakarta) diumumkan sebagai ‘Kota Terbuka’ yang berarti bahwa kota itu tidak akan dipertahankan oleh pihak Belanda. Segera setelah jatuhnya kota Batavia ke tangan mereka, tentara ekspedisi Jepang langsung bergerak ke selatan dan berhasil menduduki Buitenzorg (Bogor). Pada tanggal yang sama, tentara Jepang bergerak dari Kalijati untuk menyerbu Bandung dari arah utara. Mula-mula digempurnya pertahanan di Ciater, sehingga tentara Hindia Belanda mundur ke Lembang dan menjadikan kota tersebut sebagai pertahanan terakhir. Tetapi tempat ini pun tidak berhasil dipertahankan sehingga pada tanggal 7 Maret 1942 dikuasai oleh tentara Jepang.
Tak lama sesudah berhasil didudukinya posisi tentara KNIL di Lembang, maka pada tanggal 7 Maret 1942, psukan-pasukan Belanda di sekitar Bandung meminta penyerahan lokal dari pihak Belanda ini kepada Jenderal Imamura tetapi tuntutannya adalah penyerahan total daripada semua pasukan Serikat di Jawa (dan bagian Indonesia lainnya). Jika pihak Belanda tidak mengindahkan ultimatum Jepang, maka Kota Bandung akan di bom dari udara Jenderal Imamura pun mengajukan tuntutan lainnya agar Gubernur Jenderal Belanda turut dalam perundingan di Kalijati yang diadakan selambat-lambatnya pada hari berikutnya. Jika tuntutan ini dilanggar, pemboman atas Kota Bandung dari udara akan segera dilaksanakan. Akhirnya pihak Belanda memenuhi tuntutan Jepang dan keesokan harinya, baik Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer maupun Panglima Tentara Hindia Belanda serta beebrapa pejabat tinggi militer dan seorang penerjemah pergi ke Kalijati. Di sana mereka kemudian berhadapan dengan Letnan Jenderal Imamura yang dating dari Batavia (Jakarta). Hasil pertemuan antara kedua belah pihak adalah kapitulasi tanpa syarat Angkatan Perang Hindia Belanda kepada Jepang.
Dengan penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal H. Terpoorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda atas nama Angkutan Perang Serikat di Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah Pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura pada tanggal 8 Maret 1942, berakhirlah peemrintahan Hindia Belanda di Indonesia dan dengan resmi mulailah kekuatan pendudukan Jepang di Indonesia.[17]






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pergerakan nasional Indonesia menjelang runtuhnya Hindia Belanda  mulai membuka hubungan kooperatif dengan pemerintahan Belanda dengan tujuan yang tetap sama yakni ingin menentukan nasib sendiri.   Tetapi sikap Belanda yang konservatif terhadap gerakan-gerakan nasionalis menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam diantara para nasionalis itu sendiri, akibatnya timbul jurang pemisah antara pemerintah Belanda dan rakyat Indonesia serta gerakan-gerakan nasionalis itu sendiri. Akibatnya para nasionalis tidak dapat lagi menaruh harapan kepada penguasa kolonial jadi harus mekin berpaling pada masyarakat sendiri yaitu dengan jalan memobolisasi rakyat ke arah yang lebih nasionalis.                   
















Daftar Pustaka
Onghokham. Runtuhnya Hindia Belanda.1989.Jakarta: Gramedia
George, Mc Turnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. 1995. Solo: Pustaka Sinar Harapan
Kartodirdjo, Sartono. Sejarah Pergerakan Nasional II. Gramedia, 1993




[1] Kahin, McT. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. SH, 1995. Hal 110-111
[2] Onghokham. Runtuhnya hindia belanda. Gramedia, 1989
[3] Kartodirdjo, Sartono. Sejarah Pergerakan Nasional II. Gramedia, 1993. Hal 176-177
[4] Ibid., hlm. 177
[5] Ibid., hlm.178
[6] Ibid., hlm.178
[7] Ibid., hlm 178-180
[8] Ibid., hal. 180
[9] Ibid,. Hal. 184-185
[10] George, Mc Turnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. 1995. Solo: Pustaka Sinar Harapan. Hal : 122
[11] Th.de Booy dan L.F. Jansen. Indie’s Staatkundige Ontwikkeling. Rapport Visman I : 107-108
[12] Onghokham. Runtuhnya Hindia Belanda.1989.Jakarta: Gramedia. Hal : 139
[13] George, Mc Turnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. 1995. Solo: Pustaka Sinar Harapan.Hal : 125
[15] Onghokham. Runtuhnya Hindia Belanda.1989.Jakarta: Gramedia. Hal : 166-167

0 Response to "Makalah Pergerakan Nasional Menjelang Akhir Kekuasaan Belanda"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)