DENDAM KONFLIK POSO
(Periode
1998-2001)
Semenjak jatuhnya rezim Soeharto
1998 yang dianggap kemenangan demokrasi dan reformasi telah terjadi penguatan
aspirasi rakyat dalam melakukan perubahan. Kuatnya aspirasi rakyat, akan
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi, sehingga berdampak pada benturan politik
yang bersifat vertical dan horizontal.
Meskipun
reformasi yang digulirkan dalam perjalanannya menghasilkan konsekuensi yang
tidak diinginkan, khususnya wilayah keamanan. sebagai contoh, pada masa
pemerintahan Habibie, diberlakukan UU otonomi daerah dan perimbangan keuangan
pusat dan daerah menimbulkan Shifting of power dari pusat ke daerah. Hal
tersebut memicu motif negatif dari elite local untuk mengambil keuntungan dari
kebijakan tersebut, berlanjut dengan perebutan sumber poitik dan ekonomis yang
kerap kali melibatkan institusi yang menjadi kekuatan politisnya saling
berbenturan meskipun tidak jarang benturan ini berujung pada terjadinya
kekerasan antar kelompok.
Fakta politik menunjukkan pada saat frank
demokrasi sangat kencang diputar pada awal reformasi, maka konflik di beberapa
belahan daerah di Indonesia bermunculan diantaranya, konflik berdarah di Maluku
dan tragedy kemanusiaan di Poso. Konflik berdarah dan tragedi kemanusiaan dikedua
daerah tersebut telah menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak dan merusak
tatanan demokrasi. Konflik hanya diawali dengan persoalan social dan atau
konflik criminal, ternyata ditunggangi oleh kepentingan elite local dengan
membenturkan masyarakat berdasarkan isu agama yang cukup peka sehingga
menimbulkan konflik. Awal konflik horizontal diawali dengan konflik criminal,
kemudian ditaburi dengan benih-benih konflik para elite politik dalam
memperebutkan kekuasaan, seperti yang terjadi pada konflik Poso.
Konflik
Poso pada awalnya sangat terkait dengan kompetisi elite local. Saat konflik
Poso meletus pertama kalinya akhir Desember 1998, saat itu terakhir masa tugas
Bupati Arief Yahya Patiro dengan Damsyik Ladjalani, keduanya Tokoh Golkar. Akan
tetapi, Damsyik yang didukung PPP dan tokoh Muslim dan Yahya Patiro didukung
PDI-P dan tokoh Kristen. Keduanya gagal menjadi bupati yang dipilih anggota
DPRD hasil Pemilu 1999. Konflik memanas lagi saat Sekwilda baru mau ditunjuk,
seorang tokoh PPP
mengancam aka nada kerusuhan, apabila Damsyik tidak ditunjuk sebagai Sekwilda. Sebaliknya tokoh-tokoh Kristen menuntut Sekwilda dari kalangan mereka sebagai bagian dari Power Sharing (Kompas, 16 Desember 2003).
mengancam aka nada kerusuhan, apabila Damsyik tidak ditunjuk sebagai Sekwilda. Sebaliknya tokoh-tokoh Kristen menuntut Sekwilda dari kalangan mereka sebagai bagian dari Power Sharing (Kompas, 16 Desember 2003).
Dari
gambaran tersebut dapat diketahui, salah
satu penyebab utama terjadi konflik Poso, karena persaingan antar-elite Politik
local, dipicu oleh tawuran antar warga yang berbeda agama, entah mengapa
kemudian merebak menjadi kerusuhan antarpemeluk agama (Media Wactch No.7/ 2001;
hal 4). Dari pergeseran konflik yang berawal dari konflik antarwarga beralih
menjadi konflik agama, tampak jelas sekali betapa peristiwa konflik juga
mengalami proses pergeseran makna dari masalah konflik criminal ke konflik umat
beragama.
Reynal Querol (2004:2) dalam
analisisnya dalam etnisitas, system politik dan perang sipil menyebutkan
perbedaan agama menjadi factor yang sangat kuat dalam memunculkan konflik yang
dasyat dibandingkan konfik perebutan sumber-sumber ekonomi, ataupun perbedaan
bahasa. Konflik yang memiliki latar belakang factor keagamaan kecenderungan
sulit untuk dinegosiasikan ataupun dicari solusinya dibandingkan dengan konflik
yang disebabkan oleh factor perbedaan politik dan ekonomi. Ada dua alasan
mengapa faktor agama menjadi lebih berpotensial menimbulkan konflik. Pertama, factor
eksklusifitas agama itu sendiri. Agama dapat dijadikan sebagai identitas yang
secara mutlak akan membedakan seseorang dengan yang lainnya. Kedua, perbedaaan
agama yang didukung oleh perbedaan peradaban cenderung memberikan perbedaan
pemahaman dalam melihat fenomena relitas, hubungan social dan hal lainnya.
Berkaitan
dengan konflik Poso yang dianggap berdimensi agama hasil penelitian Dehurorudin
Mashad (2005:51-53) menjustifikasi dalam menganalisis konflik Poso merupakan
pembenturan antar agama yang masing-masing meradikalkan komunitasnya dengan
memakai isu atau ajaran agama. Kaum Kristen Haleluya sedangkan umat Islam
berseru Allahuakbar. Tidak sekedar itu, symbol keagamaan seperti tempat ibadah
juga menjadi sasaran penyerangan sehingga menimbulkan militansi perlawanan.
Sedikitnya tercatat 154 rumah ibadah (Islam dan Kristen) menjadi korban amuk
massa yang dibakar semangat perseteruan.
Sebenarnya,
konflik yang merupakan suatu realitas social akibat adanya persaingan antar
elite dimana peristiwa criminal murni dapat dijadikan momen politik untuk
melakukan strategi Chaos oleh elite politik local, sehingga konflik di
masyarakat tidak dapat dihindari. Konflik sebagai realitas social yang terjadi
di masyarakat memang ada kelompok yang menghendaki agar konflik pecah. Maka
dari itu, proses pemaknaan konflik yang awalnya hanya peristiwa criminal biasa,
namun momen konflik itu dimanfaatkan oleh kelompok elite tertentu sebagai
kendaraan politik untuk mempersoalkan pembagian kekuasaan bagi masyarakat
setempat.
Begitu
pula, setelah perjanjian Malino ditandatangani 20 Desember 2001, yang merupakan
wujud keinginan kelompok yang bertikai antara kelompok Muslim dan Kristen untuk
mengakhiri konflik dengan consensus. Consensus berupa “Deklarasi Malino untuk
Poso” mengikat agar kelompok yang bertikai dapat mengakhiri segala konflik dan
perselisihan.
Semenjak
consensus disepakati, realitas dilapangan masih tetap ada gejolak di
masyarakat. Dari beberapa rentetan peristiwa mulai dari penembakan misterius,
pengeboman, penculikan pasca Deklarasi Malino masih tetap beralngsung walau
konflik horizontal dalam skala yang kecil. Hanya saja, realitas konflik yang munncul
di permukaan cenderung beraroma SARA. Hal ini terlihat pada tempat dan korban
pengeboman, penembakan, dan penculikan, korbannya adalah berasal dari kelompok
agama tertentu. Kemudian dari segi konteks waktu, peristiwa konflik itu terjadi
biasanya mengambil momen waktu keagamaan. Misalnya bulan suci Ramadhan, Hari
Natal, dan Tahun Baru. Pola konflik yang dulu bersifat terbuka dan horizontal
berubah menjadi konflik tertutup dan pelakunya msiterius. Dari pemetaan makna
konflik bahwa konflik Poso pada awalnya masyarakat memaknai sebagai peristiwa
criminal, setelah konflik pecah di masyarakat, maka makna simbolik konflik bergeser
menjadi konflik elite local (Struktural).
Dari relita konflik tersebut, kita
bisa melihat bahwa, konflik yang terjadi di Poso bukanlah konflik antar agama,
tetapi merupakan konflik politik yang terjadi Karena factor situasional dimana
para elite local mempunyai kesempatan untuk bersaing secara terbuka di era
Demokratisasi dan reformasi. Demokratisasi tidak lagi merujuk berdasarkan etnis
dan agama tertentu melainkan dominasi suara terbanyak, itulah yang keluar
sebagai pemenang, berbeda dengan sebelumnya dimana elite local masih mewakili
komposisi kekuasaan.
Konflik Poso juga disebabkan oleh
dampak dari dinamikan pendatang dan kota Poso sebagai daerah trans, menyebabkan
para pendatang dapat menguasai sector ekonomi, politik, dan pertanian.
Penguasaan sector strategis menyebabkan pribumi merasa termajinalisasi dan
menimbulkan ketegangan antara pendatang dan pribumi.
Pemerintah juga mengalami krisis
kepercayaan dari masyarakat karena tidak mampu mengatasi kondisi krisis
komunikasi konflik. Sehingga komunikasi antar elite Poso menggunakan agama
sebagai kendaraan politik untuk mencapai kursi kekuasaan. Konflik yang bermuara
kearah agama ini memakan banyak korban jiwa dan memunculkan dendam antara umar
Nasrani dan Islam.
0 Response to "DENDAM KONFLIK POSO"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)