KASUS BANK PEMBANGUNAN INDONESIA (BAPINDO)

KASUS BAPINDO
A.    Pengertian Bank Bapindo
Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) berawal dari Bank Industri Negara (BIN), sebuah bank Indutri yang didirikan pada tahun 1951. Misi Bank Industri negara adalah mendukung pengembangan sektor – sektor ekonomi tertentu, khususnya perkebunan, industri, dan pertambangan. Bapindo dibentuk sebagai bank milik negara pada tahun 1960 dan BIN kemudian digabung dengan Bank Bapindo. Pada tahun 1970, Bapindo ditugaskan untuk membantu pembangunan nasional melalui pembiayaan jangka menengah dan jangka panjang pada sektor manufaktur, transportasi dan pariwisata.
Nama Bapindohilang ditelan oleh Bank Mandiri akibat krisis perbankan yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Bapindo adalah salah satu bank milik pemerintah yang khusus membiayai infrastruktur untuk seluruh nasabahnya baik swasta maupun pemerintah. Bapindo memiliki expertise yang tidak dimiliki oleh bank-bank lainnya.
Demikian pula dengan tiga bank milik pemerintah lainnya yang telah dilebur jadi Bank Mandiri yakni Bank Dagang negara(BDN) untuk bidang komersial, Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Eksim) untuk bidang ekspor impor , Bank Bumi Daya (BBD) untuk bidang perkebunan dan agribisnis. Sedangkan untuk pengembangan bidang usaha kecil, tani dan nelayan diserahkan kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang tidak ikut dilebur kedalam Bank Mandiri. Bahkan, sekarang BRI telah menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia yang tampaknya telah melupakan missi awalnya. Sekarang usaha mikro,kecil dan menengah telah digarap oleh bank swasta dan bank asing secara besar-besaran sehingga merenggut pangsa pasar BRI.

B.     Latar Belakang Terungkapnya Kasus Bapindo
Kasus Bapindo merupakan salah satu kasus keuangan yang terbesar yang pernah ada dalam sejarah pembangunan republik Indonesia. Kasus ini merupakan akibat dari kesalahan para individu yang menyalurkan dana untuk sebuah proyek senilai Rp. 1,3 Triliun yang di transaksikan oleh pihak Bapindo dengan pihak Golden Key Group. Pihak Bapindo merupakan pihak pemerintah yang bekerja memberikan dana kepada Golden Key Group yang di pimpin oleh Eddy Tansil
Permohonan kredit ini diajukan oleh Eddy Tansil untut PT. Graha Swakarsa Prima (GSP) No. 7/ GSP/89 tanggal 16 Juni 1989 kepada kantor besar Bapindo (KBB) untuk kredit investasi dan Kredit Modal Kerja sejumlah US$ 125,5 Juta. [1]Permohonan ini ditunda, karena sumber pembiayaan masih dalam proses pencarian. Menko Polkam Sudomo kemudian mengirim surat ke dirut Bank Eksport dan Import Indonesia dan Dirut Bank Dagang Negara, Isinya, atas nama Bapindo, Sudomo meminta agar meminta kedua bank berpartisipasi dalam Proyek Golden Key Group dengan bergabung ke dalam sindikasi kredit. Golden Key kemudian mengirim surat ke Kantor besar Bapindo dengan isi meminta uang jaminan pembukaan L/C sebesar 25% dari jumlah L/C yang ditiadakan. Tanggal 28 September 1989, kantor besar Bapindo menyetujui PT. GSP membuka Ussance L/C sebesar US$125 juta dengan syarat deposito US$ 2 juta.
Desember 1989, Direktur Bapindo, menemui wakil kepala Bapindo cabang Jakarta Utama, Maman Suparman untuk menengur mengapa permbukaan L/C perusahaan Eddy Tansil begitu lambat. PT GSP kemudian mengajukan permohonan perubahan Usance L/C menjadi Red Clause L/C di kantor cabang sejumlah US$ 12,4 juta dengan Bank Aceptante tanpa persetujuan kantor besar dan tanpa membuat perjanjian kredit. Keputusan rapat Direksi Bapindo menyetujui UPP II untuk PT GSP dengan memberikan kredit sebagai berikut , pagu kredit sebanyak Rp. 249,4 Milyar, dan upaya pembiayan sindikasi dengan bank lain, serta ketentuan dan syarat sesuai dengan laporan perkembangan proyek (LPP).
Lama-kelamaan, karena proyek belum menunjukkan penanganan yang signifikan, banyak pihak yang curiga akan adanya aksi korupsi di balik proyek ini. Mulai dari sinilah drama pengungkapan kasus Bapindo dimulai. Kasus Bapindo berawal dari sebuah gugatan yang diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia. Gubernur BI  saat itu J. Soedrajad Djiwandono, di depan Komisi VI DPR RI mengakui bahwa telah terjadi penyaluran kredit secara illegal pada bank milik pemerintah. Namun, dia tidak mau menyebutkan nama bank tersebut yang merupakan taggungjawab pengawasannya, dan berjanji akan mengadakan pengawasan secara Yuridis. Pihak BI mengaku belum mendapatkan laporan terperinci mengenai praktek penyaluran kredit bank pemerintah kepada pengusaha yang selama ini disebut-sebut (Eddy Tansil).
Ahmad Baramuli yang merupakan anggota komisi VII mempertanyakan penyaluran kredit bank pemerintah kepada seorang pengusaha yang dinilai telah menyalahi prosedur, bahkan mengatakan bahwa ia telah menerima laporan dengan bukti yang kuat bahwa ada bank pemerintah yang menyalurkan kredit secara illegal[2]. Tetapi Bramuli tidak bersedia menyebut nama pengusaha yang mendapat kredit illegal maupun bank pemerintah yang menyalurkan. Namun, secara tertulis, ia hanya menyebutkan satu bank pemerintah dalam paket pertanyaan yang diajukan, yaitu Bapindo. Sehingga komisi VI memutuskan akan mengadakan Rapat dengar pendapat dengan Pihak Bapindo tanggal 9 Februari 1994.
Dalam Raker tersebut, Baramuli menyebutkan bahwa praktik penyaluran kredit yang dilakukan bank pemerintah itu hanya melibatkan seorang pengusaha dengan kredit sekitar Rp.1,3 Trilyun atau US$ 650 juta. Prosedurnya, dilakukan melalui pembukaan usance letter of Credit (L/C) sebesar US$ 430 Juta yang kemudai diubah menjadi red Clause Letter of Credit  (L/C). Dana itu kemudian dicairkan oleh supplier di luar negeri. Baramuli juga mengungkapkan bahwa debitur dalam negeri yang mengambil kredit mega tersebut tidak memberikan jaminan yang cukup , dan barang- barang yang dibeli sampai saat ini belum tiba di Indonesia ( barang tersebut dibeli 2 tahun sebelumnya).[3]
Menteri Keuangan dan Gubernur BI menjelaskan persoalan dengan terperinci, DPR memita agar otoritas moneter melakukan tindakan tegas terhadap semua pejabat bank yang terbukti melakukan kolusi dengan menyarankan membentuk tim khusus yang bertugas menyidik tindak pidana dalam kasus semacam itu.
Direktur utama Bapindo ketika kredit mega Rp. 1,3 Trilyun disalurkan adalah Subekti Ismaun. Sementara Towil Heryonto, saat kasus ini muncul, masih menjabat sebagai salah satu direktur. Sebagai Drektur utama, Subekti mengakui bahwa telah terjadi perubahan letter Of Credit (L/C) dan Usance menjadi red Clause, sehingga dalam perhitungannya Bapindo tidak akan banyak mengeluarkan biaya (Cost).
Setelah komisi VII DPR RI berhasil mengungkap penyaluran kredit secara illegal oleh Bapindo, menteri keuangan Mar’ie Muhammad langsung memanggil Direktur utama Bapindo, Towil Heryoto, Dirjen Lembaga Keuangan Bambang Subianto, Dirjen Pembinaan BUMN Martiono Hadianto untuk datang ke kantornya di Lapangan Banteng. Mereka membahasa tentang masalah penyaluran kredit Bapindo. Beberapa bank pemerintah lainnya juga diperkirakan ikut berperan dalam masalah ini seperti BBD, BDN, BNI, BRI, dan Bank Exim kecuali BTN.
Kasus kredit illegal Rp. 1,3 Trilyun akhirnya terporos pada dua pihak : Bapindo sebagai penyalur kredit dan Bos Golden Key Group, Eddy Tansil sebagai penerima kredit. Eddy Tansil dan salah seorang komisarisnya , Koesnoe Achzan, kemudian resmi di cekal oleh pemerintah. Eddy Tansil kemudian diperiksa oleh Tim Kejaksaan Agung tentang jumlah asset yang dimiliki oleh Eddy Tansil, seperti pabrik yang berlokasi di Cilegon dan Bekasi Jawa Barat. Sementara Koesnoe Achzan masih ditetapkan sebagai saksi, tetapi tetap akan memiliki kemungkinan berubah status sebagai tersangka karena statusnya sebagai direktur yang bertanggung jawab kedalam maupun keluar perusahaan. Langkah ini belum membuahkan hasil yang signifikan karean kondisi fisik Eddy Tansil yang dilaporkan kurang sehat, dan pemberian izin dari kejaksaan Agung kepada Eddy Tansil untuk merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga.
Menteri Keuangan  Mar’ie Muhammad memanggil seluruh komisaris bank-bank pemerintah untuk mempertegas kewenangan dewan komisaris bank-bank pemerintah. Hal ini bertujuan untuk memfungsikan secara maksimal peran dan tugas dewan komisaris, apalagi disertai dengan kasus Bapindo.

C.     Proses Pemeriksaan Pihak-pihak terkait dalam Kasus Bapindo
Kasus Golden Key yang melibatkan katua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Sudomo,  akhirnya dilaporkan kepada presiden Soeharto sebagai orang yang bertanggung jawab dalam memberikan referensi. Sudomo ketika masih menjabat sebagai Menko Polkam memberikan referensi kepada Eddy Tansil, Mantan Menteri Keuangan juga mengatakan hal yang sama bahwa dia pernah menerima surat dari Sudomo yang dibawa oleh Eddy Tansil. Tanggal 16 Februari 1994 pukul 18.00 WIB, Eddy Tansil ditahan setelah diperiksa oleh Kejaksaan Agung dengan alasan indikasi tindak korupsi. Selain Tansil, Orang nomor satu di Bapindo, Toeil Heryoto juga diperiksa hingga pukul 22.28 WIB. Ditempat terpisah, wakil cabang utama Bapindo, Maman Suparman juga ditetapkan menjadi tersangka resmi setelah terbukti pengotorisasi kredit Bapindo dan tuduhan korupsi dan ditahan di Rutan Salemba Jakarta. Maman Suparman ditahan karena menyetujui perubahan Usance L/C menjadi red Clause L/C, ketika Eddy menerima kredit sebesar US$ 430 Juta,[4] Maman Suparman menjabat sebagai wakil kepala cabang utama Bapindo Jakarta. Mantan direktur utama Bapindo, Subekti Ismaun, juga diperiksa oleh kejaksaan Agung untuk meminta kejelasan informasi aliran dana yang diberika kepada PT. Golden Key Group.
Kejaksaan agung kemudian membentuk tim khusus untuk mengatasi kredit bermasalah ini yang diketuai oleh A. Soetomo. Rekening bank tersangka dan pihak-pihak yang terkait dnegan kasus PT. Golden Key group diperiksa oleh tim khusus ini, beberapa nama direksi yang ikut diperiksa adalah Mantan Dirut Bapindo, Towil Heryoto, Sjahrizal yang menjabat sebagai Dirut BTN, dan Usman Bauti Staf ahli Bapindo. Semua pemeriksaan tersebut dilakukan menurut persetujuan Menteri Keuangan.
Pemeriksaan terhadap Eddy Tansil dilakukan secara bertahap, tetapi belum menemukan hasil yang pasti bagi keputusan kejaksaan Agung. Menteri keuangan saat itu, Mar’ie Muhammad menegaskan agar Bapindo harus tetap memenuhi kewajibannya di dalam dan luar negeri, dan tidak perlu melakukan pergantian pihak pengurus. Jadi, sekalipun sedang di dalam masalah dan gangguan, tetap diupayakan kinerja terhadap subjek yang lain tetap fokus, dan mengupayakan hingga akhir pelita VI, bank-bank pemerintah harus terus berkonsolidasi.
Setelah dilakukan pemeriksaan tersangka, tim delapan kejaksaan agung bergerak kelapangan yang dipimpin oleh A. Soetomo untuk menyita beberapa aset Golden Key. Dalam beberapa kali pemeriksaan, ada dugaan bahwa Eddy Tansil memalsukan aset yang dijaminkan kepada bank, luas tanah pabrik yang disodorkan olehh Eddy Tansil sebagai salah satu jaminan menggaet kredit dari Bapindo tidak sesuai dengan kenyataan. L/C yang dibuka oleh Bapindo untuk Eddy Tasil berjumlah US$ 430 juta, berarti ada US$ 189 juta yang ditangani oleh orang lain. Dalam proses penyitaan, tim dari kejaksaan Agung berhasil menyita beberapa dokumen penting Golden Key Group. Dari hasil penyitaan ini dapat ditemukan proyek-proyek apa saja yang sedang dikerjakan oleh Golden Key serta mencegah terjadinya pemindah tanganan aset-aset yang penting.
Seluruh kekayaan PT. Golden Key Group milik Addy Tansil akhirnya diblokir oleh pemerintah meliputi rekening GKG pada 10 Bank di Jakarta dan berbagai tanah milik GKG. Hingga kemudia, berbagai kalangan mulai mendesak agar kasus Golden Key Group milik Eddy tansil secepatnya diselesaikan, mulai dari pihak mahasiswa, presiden Soeharto, masyarakat umum, bahkan pihak keamanan.
Pemerintah kemudian mengganti direktur Utama Bapindo Towil Heryoto dengan Drs. Achmad Marzuki, S.H, salah seorang direktur Bapindo untuk sementara menggantikan fungsi yang selama ini ditangani oleh Towil. Langkah ini ditempuh untuk memperlancar pemeriksaan skandal kredit Rp. 1,3 trilyun yang melibatkan Eddy Tansil dan menjamin kelancaran kegiatan operasional Bapindo sehari-hari.

D.    Para Tersangka yang Diringkus
1.      Towil Heryoto
Orang nomor satu di Bapindo dinyatakan resmi sebagai tersangka dalam skandal kredit 1,3 Trilyun di Bapindo yang dikuncurkan kepada Eddy Tansil dan ditangkap tanggal 17 maret 1994 oleh Kejaksaan Agung langsung dari kediamannya sendiri.
2.      Subekti Ismaun
Kejaksaan Agung juga membuat surat perintah penangkapan mantan Direktur Utama Bapindo,Subekti Ismaun. Surat penangkapan ditandangani langsung oleh Direktur Tindak Pidana Korupsi, Ismudjoko. Penangkapan di lakukan oleh Jaksa Kataren, dan Taslim Hasyim. Tetapi tidak ditemukan di tempat kediaman. Tim Kejaksaan Tinggi Yogyakarta kemudian melacak keberadaan Subekti Ismaun  di Yogyakarta.  Tanggal 18 Maret Subekti resmi ditangkap dan dimasukkan ke rumah Tahanan Kejaksaan Agung, satu ruangan dengan Towil Heryoto.
3.      Eddy Tansil
Aktor paling berperan penting dalam kasus Bapindo, Eddy Tansil ditangkap lebih dahulu pada 16 Februari 1994. Eddy Tansil terbukti mengkorupsikan dana kredit 1,3 trilyun di Kejaksaan Agung.
Dengan divonisnya Eddy Tansil, setidaknya telah membuktikan bahwa pemerintah bisa menangani kasus korupsi meski penangannya lambat. Kasus ini menjadi pintu pembuka untuk kasus lainnya karena setelah kasus kredit 1,3 trilyun, kasus kredit di bank pemerintah juga dikabarkan jumlahnya menggunung. Dampaknya adalah terhadap para pejabat generasi kabinet berikutnya yang harus menanggung penyelesaian kasus kredit yang besar tersebut sehingga terkesan lamban. Kesan lamban diakibatkan generasi kabinet baru harus mencari sumber kasus yang akurat, menggali kerja sama kembali dengan kejaksaan, terlibat  menjadi saksi, bahkan menjadi tersangka merupakan resiko yang ditanggung mereka.
Terungkapnya kasus manipulasi kredit Bapindo pada PT Golden Key Group (GK) dan jawaban pers Sudomo dan Sumarlin memberikan dua indikasi. Yakni, rapuhnya kondisi ekonomi nasional dan citra negara kita yang bak sebuah banana republic. Raibnya dokumen persetujuan Direksi Bapindo atas perubahan L/C GK secara tiba-tiba kian membuat bank itu mencerminkan buruknya moral personel maupun administrasinya. Menghilangkan dokumen bank diancam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Rangkaian kejadian itu memperkuat dugaan tentang meluasnya korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kondisi sistem keuangan dan kualitas pimpinan bank hingga tingkat lembaga tinggi negara seperti itu, sulit dibayangkan Indonesia dapat lepas landas mulai 1 April 1994. 
Pertumbuhan ekonomi, yang direncanakan rata-rata 6,2% setahun selama Pelita VI, memerlukan investasi, dan investasi memerlukan dana. Pembelanjaan investasi kian sulit karena secara teknis bank negara bisa dikatakan sudah bangkrut. Bagaimana menghitung bahwa bank negara bangkrut? Jumlah kredit macet yang dapat ditarik kembali diasumsikan hanya Rp 8,1 triliun, atau hanya 30% dari jumlah kredit bermasalah yang Rp 26,7 triliun (US$ 13,3 miliar) itu, pada posisi September 1993. Rendahnya tingkat pengembalian kredit merupakan akibat berbagai hal: tingginya komisi untuk memperoleh kredit, mahalnya biaya pengurusan surat izin investasi proyek, adanya penggunaan kredit bagi keperluan lain, dan mahalnya biaya penarikan kembali kredit bermasalah. 
Bila diasumsikan rata-rata tiap bank negara memiliki jumlah modal (modal disetor, cadangan, keuntungan, dan pinjaman subordinasi) tahun 1993 sebesar Rp 1 triliun, jumlah modal kelompok bank negara (Rp 7 triliun) kurang dari separuh jumlah potensi kerugian karena kredit macetnya (Rp 18,6 triliun atau US$ 9,3 miliar). Secara makro, besarnya kredit bermasalah bank negara itu merupakan beban amat berat bagi ekonomi nasional: 10% dari PDB 1993 atau 37% dari jumlah APBN 1994-'95. 
Sementara itu, keadaan yang dihadapi ekonomi nasional saat ini akibat bangkrutnya bank negara, situasinya agaknya lebih sulit dari ketika terjadi krisis Pertamina (1975), maupun dampak yendaka tahun 1985-'87. Ketika pecah krisis Pertamina, harga migas masih cenderung naik, dan dunia masih takut terhadap ancaman embargo dari negara produsen. Jepang, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Dunia waktu itu masih mampu mengurangi beban pembayaran utang luar negeri Indonesia akibat yendaka dengan memberi pinjaman khusus bersyarat lunak. Dewasa ini, prospek harga migas cenderung turun,kemampuan negara donor untuk membantu Indonesia tak lagi sebesar dulu. Ini tercermin dalam Sidang CGI di Paris, Juli 1993. Pemberian pinjaman kian dikaitkan dengan faktor nonekonomis: tertib pemerintahan (governance), demokratisasi, hak asasi manusia, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Di dalam negeri, kebangkrutan bank negara menyebabkan stagnasi ekspansi kredit mereka. Stagnasi itu bersifat regresif: lebih banyak mengurangi kredit pada pengusaha menengah dan kecil. Ini akan memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat. Di luar negeri, dunia enggan melakukan transaksi dengan bank negara dan perusahaan nasional kita. Ini, antara lain, tercermin dari rendahnya rating perekonomian Indonesia di pasar dunia, sulitnya mendapatkan kredit, dan meningkatnya spread yang berlaku bagi perusahaan kita. 
Diperlukan banyak uang, energi, dan waktu untuk membangun kembali bank negara yang sudah keropos. Ini bukan sekadar masalah suntikan dana. Tanpa adanya perubahan, orientasi, organisasi, personalia, kultur perusahaan, dan cara kerja internal, suntikan dana tak akan ada manfaatnya. Jika taksiran Menteri Mar'ie bisa terwujud, yakni krisis bank negara dapat diselesaikan dalam masa Pelita VI, bolehlah kita syukuran potong kambing. Selama ini bank negara menamakan dirinya sebagai "pelaku pembangunan" -- dengan pengertian yang disalahgunakan. Yang mereka artikan sebagai pelaku pembangunan saat ini tak banyak berbeda dari kegiatan kas negara: menyalurkan dana negara pada sektor ekonomi, dan penerima yang telah diidentifikasikan oleh Pemerintah dengan syarat yang ditentukan oleh Pemerintah pula. Padahal, menurut pengertian sebenarnya, pelaku pembangunan harus memberikan sumbangan positif dalam meningkatkan: (a) mobilisasi tabungan nasional (dalam rupiah dan devisa) (b) efisiensi alokasi penggunaan faktor produksi yang amat langka dan (c) penumbuhan kewiraswastaan. Kenyataannya, tak satu pun bank negara yang telah memberikan sumbangan positif dalam ketiga aspek tersebut. Orientasi dan kultur bank negara yang birokratis perlu diubah menjadi orientasi dan kultur badan usaha komersial. Sesuai perubahan itu, standar kriteria penilaiannya juga perlu diganti: diukur berdasarkan kriteria yang berlaku bagi bank swasta, yakni berdasarkan patokan objektif yang dapat diukur dalam satuan mata uang. Juga perlu ditelusuri sumber untung- rugi usaha itu. Keuntungan yang bersumber dari kegiatan pemangsa rente, misalnya fee karena menyalurkan uang negara, bukanlah keuntungan yang menggembirakan. Sebagaimana dalam peperangan, cara menang atau kalah sama pentingnya dengan kemenangan atau kekalahan itu sendiri. Walaupun kalah dalam pertempuran di Afrika Utara pada Perang Dunia II, Jenderal Rommel tetap dihormati oleh kawan dan lawan. Adapun tugas nonkomersial seyogianya juga dapat diukur dalam satuan mata uang. Sementara perlunya perubahan struktur organisasi adalah untuk memotong kaitan bank negara dari birokrasi pemerintahan. 
Kasus kredit macet memberikan indikasi bahwa perubahan status hukum bank negara menjadi PT, setelah berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, baru mengubah kulit. Bank negara belum mandiri dalam arti yang sebenarnya. Dalam keadaan seperti itu, dengan orientasi yang belum berubah, memo Sudomo, yang diperkuat oleh Sumarlin, amatlah sakti dan ikut menyeleksi nasabah di lingkungan bank negara. Sebab, direksi bank negara diangkat oleh Menteri Keuangan, dan surat keterangan dari pihak sekuriti, seperti Menko Polkam, sangat menentukan dalam pengangkatan tersebut. Boleh dianggap memo-memo itu bak "jimat". Dewasa ini, pemilihan personel pimpinan komisaris maupun eksekutif perusahaan dan bank negara mulai mengarah pada hal yang kurang sehat. Orang mendapatkan pekerjaan lebih karena pertimbangan koneksi dan kualifikasi politis daripada kemampuan profesional teknis. Perusahaan negara dijadikan sumber penerimaan nonanggaran, setidaknya sebagai suplemen gaji, bagi pejabat departemen teknis yang membawahkannya. 
Menjawab pertanyaan pers, Sumarlin mengatakan fungsinya sebagai Komisaris Utama Bapindo hanya terbatas pada pengawasan pelaksanaan anggaran yang telah disetujui oleh Departemen Keuangan yang dipimpinnya. Kalau memang hanya demikian, sopirnya pun sudah memenuhi persyaratan untuk menjadi komisaris utama bank negara. Jawaban itu bertentangan dengan tugas dan tanggung jawab komisaris bank yang disebut dalam UU No. 7 Tahun 1992, yang dikonsepnya sendiri. 
Dari kasus GK, ternyata operasi Bapindo tak banyak berbeda dari PT Bank Summa. Proses seleksi nasabah sangat lemah pada kedua bank itu. Administrasi kredit dan agunannya serta pengawasan kreditnya amburadul. Keterangan Tommy Soeharto memberikan indikasi bahwa nilai buku proyek yang diagunkan oleh GK dua kali lipat dari harga pasar yang berlaku. Kelemahan juga tercermin dari kemampuan Bapindo menagih kembali pokok dan bunga kreditnya. Liberalisasi di sektor keuangan selama ini cuma menyangkut pembukaan pintu masuk pasar, dan aturan yang menyangkut kegiatan lembaga keuangan. Di pihak lain, aturan yang berhati- hati untuk memelihara kesehatan sistem keuangan itu justru diperketat. Perangkat hukum dan akuntasi merupakan bagian penting dari infrastuktur pasar. Pasar baru efisien dan mewujudkan pemerataan jika ada infrastrukturnya yang memadai. Aturan yang makin ketat tak ada artinya jika tak diimplementasikan. Implementasi aturan yang lemah dan sistem akuntansi yang tak bisa dipercayai, menyebabkan lemahnya infrastruktur pasar. Dalam kaitan ini diperlukan peningkatan kemampuan maupun ketegasan BI untuk mengadministrasikan aturan itu. Rentetan kasus kebangkrutan bank, baik sebelum maupun setelah deregulasi, menggambarkan rendahnya mutu pemeriksaan dan pengawasan bank oleh BI. Hal terakhir yang diperlukan oleh bank negara untuk memulihkan kegiatannya adalah menambah modal. 
Sebagaimana diuraikan di atas, karena secara teknis sudah bangkrut, bank negara tidak memenuhi syarat untuk menjual saham di bursa efek. Karena itu, tambahan modal dari sumber lain perlu diupayakan. Di bulan November 1992, Bank Dunia cuma bisa meminjami US$ 307 juta kepada Pemerintah RI, guna memperkuat modal bank-bank negara. Jumlah ini jauh di bawah modal sumbangan yang disuntikkan ke dalam PT Bank Duta sebesar US$ 350 juta, September 1990. Barangkali baru Bank Duta satu-satunya bank dalam sejarah dunia yang pernah mendapatkan modal sumbangan. Dewasa ini, inventarisasi dan penyelesaian kredit bermasalah bank negara dilakukan sendiri oleh pimpinan Departemen Keuangan dan BI, bersama direksi bank bersangkutan. Akibatnya, sering mereka pulang ke rumah di waktu sahur. Hal seperti ini tidak sehat. Seperti dalam bencana gabungan antara gempa dan kebakaran rumah, tugas seperti itu hanya menginventarisasi kerugian, menyelamatkan yang masih dapat diselamatkan, dan melihat apakah pertapakannya masih layak.
Tugas pokok Menkeu dan Gubernur BI adalah menyiapkan pembangunan dalam menyongsong Pelita VI. Pimpinan bank negara harus tetap melayani nasabah yang lain, mencari uang untuk menghasilkan laba, dan mengendalikan banknya dalam menyongsong masa depan. Kian banyak waktu digunakan untuk rapat dengan DPR, menjawab pertanyaan jaksa penyidik, dan menghindari kejaran wartawan, kian sedikit waktu tersisa untuk berusaha. Padahal tugas pengendalian ekonomi dan komersial tak bisa didelegasikan ataupun dikontrakkan pada orang lain. Sebaiknya, tugas untuk menyelesaikan kredit bermasalah bank negara diserahkan pada suatu badan khusus, swasta atau pemerintah, atau campuran keduanya. Badan ini menginventarisasi kredit bermasalah, menagih, dan memperkarakan, dan menjual agunannya. Sebab terbatasnya tenaga profesional, anggaran, dan gaji, tugas penyelesaian kredit macet tidak cukup diserahkan kepada BPULN dan penegak hukum saja.
Penyelesaian masalah itu memerlukan tenaga hukum komersial yang piawai, akuntan yang terpercaya, ahli ilmu keuangan yang cerdik, ahli penilai yang tajam, dan konsultan makro maupun sektoral yang berpengalaman. Di Cili, badan khusus yang mengambil alih kredit bermasalah dibelanjai dengan penjualan obligasi Pemerintah. Di Jepang, badan seperti itu didirikan secara patungan oleh bank-bank swasta. Di negara lain, kredit bermasalah diurus oleh bank yang bersangkutan itu sendiri. Penagihan kredit macet bank negara akan berantai dampaknya dalam Pelita VI. 
Pada gilirannya, ini akan menyebabkan resesi, setidaknya di berbagai sektor ekonomi terkait. Sebagian barang agunan kredit terpaksa dijual obral untuk mendapatkan uang tunai secepatnya, dan menghindari kerugian lebih besar. Harga obral jelas di bawah harga pasar dan, tergantung tingkat mark up, jauh di bawah harga buku. Salah satu korban yang sudah pasti adalah perusahaan yang bergerak dalam industri pertanahan (perumahan, perhotelan, bangunan komersial, kawasan industri, dan lapangan golf).






[1] Nasyith Majidi. Mega Skandal Drama Pembobolan dan Kolusi Bapindo (Bandung : Penerbit Mizan, 1994), hal 21
[2] Ibid, hal 31
[3] Ibid, hal 32
[4] Ibid, hal 62

0 Response to "KASUS BANK PEMBANGUNAN INDONESIA (BAPINDO)"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)