Latar Belakang Ekonomi Syariah
Pendahuluan
Dewasa ini kehidupan ekonomi telah menjadi
standar kehidupan individu dan kolektif suatu negara-bangsa. Keunggulan suatu
negara diukur berdasarkan tingkat kemajuan ekonominya. Ukuran derajat
keberhasilan menjadi sangat materialistik. Oleh karena itu, ilmu ekonomi menjadi
amat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Namun demikian, pakar ilmu ekonomi
sekaliber Marshal menyatakan bahwa kehdiupan dunia ini dikendalikan oleh dua
kekuatan besar; ekonomi dan keimanan (agama), hanya saja kekuatan ekonomi lebih
kuat pengaruhnya daripada agama.[1]
Demikian juta peradaban Islam yang gemilang di
masa silam tidak mungkin terwujud tanpa dukungan kekuatan ekonomi dan
ilmu ekonominya. Kini kita perlu menggabungkan dua kekuatan kehidupan hidup
manusia sebagaimana dinyatakan Marshall untuk disatukan dalam apa yang kita
sebut membangun pemikiran dan disiplin ekonomi Islam dalam kerangka kerja
pembangunan sosial budaya dan politik.
Pentingnya membangun pemikiran ekonomi syariah
didasarkan, selain argumentasi di atas, masih ada dua argumentasi utama:[2],
Pertama, argumentasi teologis yang menyatakan bahwa Islam adalah agama samawi
yang berdasarkan wahyu (Al-Quran) yang berfungsi untuk: membimbing kehidupan
umat manusia, baik sosial, politik, maupun ekonomi. [Q.S.2 al-Baqarah: 2, 185][3];
“criterion” (al-furqan) pembeda antara yang hak dari yang batil [Q.S.25
al-Furqan:1][4];
menjelaskan aturan hukum yang terinci [Q.S. 11 Hud:1][5];
Islam adalah agama sempurna yang merupakan karunia Tuhan [Q.S.5 al-Ma’idah: 3];[6]
Kedua, argumentasi filosofis empiris dan faktual. Pertama, ada kesenjangan dan
kelangkaan literatur di bidang ilmu ekonomi yang dapat menjelaskan filsafat,
kelembagaan, prinsip, nilai, norma dan hukum ekonomi Islam; kedua, kenyataan
menunjukan diperlukanya perkembangan ekonomi bagi negara-negara Islam. Dewasa
ini kebanyakan dunia Islam masih tergolong negara berkembang bahkan terbelakang
dilihat dari ukuran dan kriteria kekayaan, lapangan kerja, pendidikan dan
kesehatan. Suatu kenyataan yang bertolak belakang dengan doktrin, nilai serta
norma Islam itu sendiri.
Membangun pemikiran ekonomi syariah hendaklah moderat.
Tidak ke Barat dan tidak pula ke Timur. Perlu membuat sintesa dari dua kekuatan
aliran ekonomi yang positifnya dengan semangat dan api akidah dan syariah
Islam.
Nabi Muhamad: Perumus Pertama Ekonom Syariah
Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad saw
adalah pemikir dan aktivis pertama ekonomi syariah[7],
bahkan sebelum ia diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Pada zamanya telah
dikenal pula transaksi jual beli serta perikatan atau kontrak (al-buyu’ wa
al-‘uqu`d). Di samping, samp[ai batas-batas tertentu, telah dikenal pula
bagaimana mengelola harta kekayaan negara dan hak rakyat di dalamnya. Berbagai
bentuk jual beli dan kontrak termaksud telah diatur sedemikian rupa dengan cara
menyerap tradisi dagang dan perikatan serta berbagai bentuk kontrak yang telah
ada sebelumnya yang mendapat penyesuaian dengan wahyu, baik Alquran maupun
Sunnah. Bahkan lebih jauh lagi, Sunnah Rasul telah mengatur berbagai alat
transaksi dan teori pertukaran dan percampuran yang melahirkan berbagai istilah
teknis ekonomi syariah serta hukumnya, seperti al-buyu’, al-uqud,
al-musyarakah, al-mudlarabah, al-musaqah, dll.[8]
Sementara para aktivis awal di bidang ini adalah para Sahabat Rasul itu
sendiri.
Pemikiran ekonomi mendasar yang dikemudian hari
disebut teori pertukaran atau percampuran (the theory of exchange) telah
digariskan oleh Rasulullah. Landasan pertukaan barang dan jasa yang merupakan
salah satu inti kegiatan ekonomi terdiri dari dua pilar: Pertama, obyek
pertukaran yang dalam fiqh dibedakan jenisnya, yakni: ‘ayn (real assets)
berupa barang dan jasa; dan dayn (financial assets) berupa uang dan,
sekarang dalam bentuk, surat berharga. Kedua, waktu pertukaran, yakni dalam
bentuk naqdan (immediate delivery) yakni penyerahan pada saat itu juga
atau ghayru naqdan (penyerahan kemudian). Ada tiga jenis pertukaran jika
dilihat dari segi obyeknya, yakni: ayn bi ‘ayn; ‘ayn bidayn; dan, dayn
bidyan seperti pada gambar di bawah ini[9]:
Gambar 1
Teori
Petukaran/Percampuran Barang dan Jasa
Pertukaran
|
Obyek pertukaran
|
Kasat/tidak kasat mata
|
Waktu penyerahan obyek petukaran
|
‘Ayn dengan ‘ayn
|
Lain jenis
Sejenis:
-sawa’an bisawa’in (sama jumlahnya)
-mistlan bimitslin (sama mutunya)
- yadan biyadin (sama waktu penyerahanya)
|
Kasat mata, mutu beda
Kasat mata mutu sama
|
|
‘ayn dengan dayn
|
Barang (al-bay’)
Jasa (al-ijarah)
|
|
Now for now
Deferred payment (mu’ajjal)
Deferred delivery (salam)
Ijarah
Ju’alah
|
dayn dengan dayn
|
Uang
Surat berharga
|
Represent ‘ayn
Represent ‘ayn
|
|
Pengagas dan Aktivis Ekonomi Syariah
Suatu survey pemikiran ekonomi syariah[10]
berhasil menyusun penggagas, pemikir dan aktivis ekonomi Islam secara
kronologis, walaupun belum begitu memadai. Berikut di bawah ini disajikan
beberapa penggagas dasar ilmu ekonomi syariah yang melambangkan perkembangan
pemikiran ekonomi syariah sekaligus.
Zaid bin Ali (80-120H./699-738M)
Zaid adalah pengagas awal penjualan suatu
komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[11]
Abu Hanifah (80-150H/699-767M)
Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab
hukum yang sangat rasionlistis dan dikenal puga sebagai penjahit pakaian atau
taylor dan pedagang dari Kufah, Iraq. Ia menggagas keabsahan dan kesahihan
hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’
al-sala`m dan al-mura`bahah.[12]
Al-Awza’i (88-157H./707-774M.)
Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang
berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah
pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain,
kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah
dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.[13]
Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.)
Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama
kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki
pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia menganggap raja atau penguasa
bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para pengusaha harus peduli
terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu
hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility
dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan
dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui
hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan bersama.[14]
Abu Yusuf (112-182H./731-798H.)
Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu
Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (al-Qadli=hakim) Abu Yusuf
Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya
pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian.[15]
Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab
al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian.
Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan
dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk
menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan
bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat
al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[16]
Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak
terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan
amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka.
Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada
tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar
prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli
ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya
ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir,
yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara
lebih rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah
sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia
mempertegas, kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan
tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.[17]
Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam
(157-224H/774-738M)
Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu
‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq
al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah
atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat
digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena
sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Alquran dan hadis di
bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang
menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-d`in al-nshi`hat; disusul
hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah “penggembala” yang
bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang
pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung jawab atasnya; seorang
suami bertanggung jawab atas gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri
adalah penggembala dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya;
seorang pekerja penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab atasnya.
Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang pemimpin yang adil dan fajir.
Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan amanat kepemimpinannya, taat kepada
hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga ia berhak mendapat ketaatan dari
rakyatnya; akhirnya ia pun mengutip atsar Sahabat yang mengingatkan
kepada kaum Muslimin agar selalu berdzikir kepada Allah manakala dalam keadaan
ragu, ketika bersumpah, dan ketika mengadili atau menetapkan dan memutuskan
hukum.[18]
Abu ‘Ubayd seolah-olah ingin menyatakan bahwa masalah ekonomi tak terpisahkan
dari tanggung jawab pemerintah atau penguasa. Dengan kata lain, ilmu ekonomi
syariah adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu hukum ketata-negaraan.
Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia menjelaskan aneka jenis harta yang
dikuasai negara dan hak rakyat atas harta termaksud dengan cara yang lebih
terurai dan selalu berdasarkan rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika
dilihat dari tehnis penulisanya dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan
ayat-ayat Alquran, mirip dengan kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya Imam
Malik, al-Muwatha’, yang isinya adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk
dan petunjuk hukum Islam.
Abu Hamid al-Ghazali (1059-1111)
Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan
filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa uang bukanlah
komoditi, melainkan alat tukar
Tusi (1201-1274)
Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq
–i-Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap
menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak
akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk
jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainya dan setiap
orang melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga menghasilkan
konsumsi yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Keadilan hukum pun
mengendalikan pertukaran produk barang-barang yang menjamin ketersediannya
untuk semua orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya,
membedakan aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka
mungkin melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu.
Perbedaan-perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem
ekonomi umat manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah berbagai
bentuk kontrak sosial.
Ibnu Taymiyyah (1262-1328)
Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasa`t
al-Syar’iyyah fi` Ishla`h al-Ra`’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi
dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang
ia sebut ada` al-ama`na`t ila` hliha`. Pengelolaan negara serta
sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siya`sa`t
l-syar’iyyah) pengertian al-siyasah al-dustu`riyyah maupun al-siya`sa`t
al-ma`liyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam
karya lainya, al-Hisbah fi` al-Isla`m, lebih menekankan intervensi
pemerintah dalam mekanisme pasar; pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat
kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian,
seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah mempunyai kerangka pikir
yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syariah, baik sistem
maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan
ketatanegaran.[19]
Ibn Khaldun (1332-1406)
Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal
sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya
dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah,[20]
tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara
berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas
daripada definisi Tusi. Ia dapat melihat dengan jelas hubungan antara
ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk
kepada “ketentuan akal dan etika” telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa
ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif dan sekaligus positif. Terminologi jumhur
yang berarti massa yang digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan individu. Individu adalah
bagian dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku pada massa, bukan
pada individu yang terkucil. Ia melihat hubungan timbal balik antara
faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial, etika dan pendidikan. Ia pun
mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang mendasar, yakni; pentingnya pembagian
kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai
pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga dsb.
Pemikiranya kiranya dapat disejajarkan dengn penulis klasik sekaliber
Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo klasik sekaliber Keynes.
al-Mawardi (w.450H.)
Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah,[21]
adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan
pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan
spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika
kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan
segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di
atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya,
baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual
(privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu
saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan
kepemilikan atas harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta
konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
Pergeseran Pemikiran ke Pergerakan Ekonomi Syariah
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa
dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian
Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi
dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi
Khilafah tahun 1924[22] dan upaya menghidupkanya kembali yang
gagal hingga terbentuknya Organisasi Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah
satu produk penting yang menyertai kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran
ekonomi Islam menjadi gerakan perekonomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan
diselengarakan Konfrensi Ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati
negara-negara anggota OKI untuk mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing
tumbuh setelah Konferensi Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di
Islamabad Pakistan bulan Maret 1983.[23] Hasilnya, sejumlah
pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi Islam di
universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-Islamkan lembaga
pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah suatu upaya membentuk Sistem
Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan
oleh Umer Chapra dalam, The Future of Economics. Namun demikian, dewasa
ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang sistem
keuangan dan perbankan Islam.[24] Kecenderungan
ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut: Pertama, perhatian utama dan
menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi nonribawi sesuai
petunjuk AlQuran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979 dan
keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk melakukan
embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan
Palestina. Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat
menyadari kekuatan dunia Islam yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat;
kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam secara nyata telah melahirkan
kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara
dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar yang
menimbulkan pemikiran untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga keuangan
syariah.
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan
pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI
semakin terpacu dan tumbuh disertai factor-faktor lain yang mendahuluinya,
yaitu:
Pertama, telah terumuskanya konsep teoritis
tentang Bank Islam pada tahun 1940-an; Kedua, lahirnya ide dan gagasan
mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan Konfrensi Negera-negara Islam se-Dunia
bulan April 1968 di Kuala Lumpur; ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang
melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat
dilaksanakan tahun 1975.[25]
Gerakan Ekonomi melalui Pendirian Bank Syariah
Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan
Sahabat telah terjadi karena telah ada lembag-lembaga yang melaksanakan
fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni: 1. menerima simpanan uang; 2.
meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah,
muzara’ah dan musaqah; 3. memberikan jasa pengiriman atau transfer uang.
Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada
istilah tehnis perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti
pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq
jamaknya suquq yang daam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser
menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan
menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini
dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga
Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan
fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di
zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi
saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan
oleh satu individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis
mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan
keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka
mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz[26]
yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money
changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer
pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908-932)[27].
Sementara itu, saq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran.
Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama
yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo
(Spanyol).[28]
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan
sistem perbankan untuk menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya
dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba
membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan
mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji
coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local
Saving Bank tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan
masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah politik,
yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr
diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru
pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan
dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI
hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975.[29]
Kini IDB memiliki lebih dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah
menjadi kantor pusatnya.
Pemikiran dan Aktivitas Ekonomi Syariah di Indonesia
Jika kita lacak akar sejarah pemikiran dan
aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya
Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak
terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa
bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah
bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di
kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang identik
dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari
bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam
kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak
dalambentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu
sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus
tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang
meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita
adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam
kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan
gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan syariat
Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di
Indonesia akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan
dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang
dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu,
gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok
pesantren.[30]
Gerakan koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang
relatif sukses.[31]
Walaupun lahirnya kedahuluan oleh Philipina[32], Denmark[33],
Luxemburgdan AS[34],
akhirnya Bank Islam pertama di Indonesia lahir dengan nama Bank Mu’amalat
(1992). Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena
beberapa factor: 1. adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya; 2.
tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan
syariah; 3. dukungan politik atau political will dari pemerintah. Akan
tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian
lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen
Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan
IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag
RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan
ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan
Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat
dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak
diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah
di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para
pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika
transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank
konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah
bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya
mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil
dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di
lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di banak
syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank
konvensional milik pemerintah[35]. Terleps dari
kekurangan dankelebihan perbankan syariah, yang pasti dan factual adalah bahwa
ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi
pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
Penutup
Uraian-uraian yang telah disampaikan mengarah
pada kesimpulan pokok, yaitu bahwa Seminar ini bertugas dan harus berfungsi
untuk: mempertegas dan memperjelas kerangka akademik sistim ekonomi syariah
dengan segala ikutanya dan memberikan konstribusi bagi perkembangan institusi
ekonomi syariah di Indonesia khusunya dan dunia pada umumnya. Maka menjadi
kewajiban institusional perguruan tinggi Islam untuk mempersiapkan sumber daya
manusia yang siap mengerakan roda perekonomian Islamik serta ikutanya yang
meliputi berkembangnya institusi perbankan, perasuransian, sistm akuntansi dsb.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, diskusi-diskusi diharapkan
dapat menyelesaikan masalah akademik-teoritik dan praktis perekonomian
Islam.
Masalah-masalah akademik yang meliputi:
1.
Struktur dan disiplin ilmu ekonomi syariah di antara ilmu-ilmu agama Islam.
2.
Posisi dan struktur hukum institusi-institusi syariah di Indonesia sehingga
terjamin kepastian hukumnya
3.
Pemetaan kurikulum, jenjang pendidikan serta kepakaran dan keterampilan yang
diperlukan dan disiapkan bagi terlaksananya sistim ekonomi syariah di
Indonesia.
4.
Perluasan wilayah kajian sistim ekonomi syariah yang meliputi ilmu akuntansi
syariah, asuransi, sistim jaminan keamanan sosial, dsb.
Masalah-masalah praktek perekonomian syariah
meliputi:
1.
Bagaimana cara dan materi (kurikulum) sosialisasi doktrin, nilai, norma, hukum
dan kebiasaan-kebiasaan dalam dunia ekonomi dan perbakan Islam kepada
masyarakat luas.
2.
Bagaimana membuat peta dan kerangka penggalian sumber-sumber daya dan sumber
dana penunjang sistim ekonomi Islam Indonesia, baik dari zakat, infak, sadaqah,
wakaf, hibah dsb.
3.
Bagaimana membuat proyek-proyek percontohan atau miniatur (labolatorium)
lembaga-lembaga ekonomi, keuangan syariah di pedesaan yang kecil tetapi kuat.
Daftar Bacaan
‘Abdullah ‘Alwi Haji Hasan, Sales and Contracts in Early Islamic
Commercial Law, Islamic Research Institute, International Islamic
University, Islamabad, 1986.
Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan
Keuangan, The International Institute for Islamic
Though, Indonesia, Jakarta, 2003.
________ , Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, IIIT
Indonesia, Jakarta, 2003.
Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam (157-224H/774-738M) dalam
kitabnya, al-Amwa’l, Mu’assassat al-Nashir, Beirut, Libanon, cet.i,
1981.
Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy
al-Bagdady al-Mawardy, al-Ahka`m al-Sultha`niyyah, Dar al-Fikr, Beirut
[nd].
Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang
Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan,
IIIT Indonesia, Jakarta, 2003.
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, [nd]
Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd]
________ , al-Siyasat al-Syar’iyyah fi`
Isla`h al-Ra`’iy wa al-Ra’iyyah
Irfan al-Haq, Economic Doctrine of Islam, The
International Institute of Islamic Thought (IIIT), Herndon, Virginia, 1996.
Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan
Strukturalis: Laporan
dari Islamabad dalam Islamisasi
Ekonomi: suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam,
(Amrullah dkk., e.,) PLP2M, Yogyakarta, 1985.
Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai
Bentuk Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam
Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakata dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel
Radison Yogyakarta, November, 1999.
Mahmud Abu Su’ud, Khuthut
ra’isiyyah fi` al-Iqtisha`d al-Isla`miyy, Maktabat al-mana`r
al-isla`miyyah, Kuwait,1968.
Muhammad Abu Zahrah, al-Imam Zaid, Cairo,
Dar al-Fikr al-‘Araby, [nd].
________ , Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr
al-‘Araby [nd].
________ , Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby,
1952
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan
Praktek, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1993.
Shobhi Mahmashani, al-Awza’i:
Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-a`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli
al-Mala’in, 1978.
al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab
al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib, [nd.].
Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya
dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999.
Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and Regulations, Pelanduk
Publications, Petaling Jaya, 1997.
Sami Hassan Hamoud, Progress of Islamic Bankin: the
Aspirations and the Realities, Islamic Economic Studies, vol 2 No.1.
December 1994.
[1]
Marshal sebagaimana dikutip oleh Mahmud Abu Su’ud, Khuthut ra’isiyyah fi`
al-Iqtisha`d al-Isla`miyy, Maktabat al-mana`r al-isla`miyyah, Kuwait,1968,
h. 56 Kitab ini mengutip definisi ilmu ekonomi menurut Marshal, yaitu: ilmu
yang mengajarkan manusia tentang kehidupanya sehari-hari; membahas aktivitas
individu dan kolektif untuk memenuhi kebutuhan materialnya dan cara-cara
memanfaatkanya untuk mencapai kesejahteraan hidupnya.
[2]
Irfan al-Haq, Economic Doctrine of Islam, The International Institute of
Islamic Thought (IIIT), Herndon, Virginia, 1996 h.5-6 dengan modifikasi dari penulis
[3] dzalik
al-Kitab la rayba fi’h hudan li al-muttaqi`n. Terjemahnya: AlQuran adalah
tidak diragukan lagi adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa (Q.S.2
al-Baqarah, 2), syahr Ramadha`n a-lladzi unzil fi’h al-Qur’an hudan li
al-nas wa bayyina’t min al-huda` wa al-furqa’n. Terjemahnya: AlQuran
diturunkan pada bulan Ramadhan. Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia dan
berbagai penjelasan dari petunjuk tersebut serta menjadi “pembeda” (S.S.2
al-Baqarah, 185)
[4] Taba`rak
al-ladzi` nazzal al-furqa’n ‘ala` abdihi` liyaku`n ‘ala` al-‘alami`n nadzi`ra’.
Terjemahnya: Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqa`n, yakni AlQuran
kepada hamba-Nya (Muhammad) agar ia memberikan peringatan kepada seluruh alam.
[5] Alif
la`m ra`, kita`bun uhkimat a`ya`tuhu` tsumma fusshilat min ladun haki`min
khabi`rin. Terjemahnya: Alif La`m Ra`, Inilah Kitab yang ayat-ayatnya
tersusun dengan rapih yang kemudian diberikan penjelasan rinci dari Tuhan Yang
Maha Bijaksana.
[6] … al-yawm
akmaltu lakum di`nakum wa atmamtu ‘alaykum ni’mati` wa radli`tu lakum al-Isla`m
di`na` … Terjemahnya: Pada hari ini (Haji Wada’) Aku sempurnakan bagi kamu
agamamu, dan Aku meridoi Islam menjadi agamamu …
[7]
Perlu dicatat bahwa yang dimaksud term syariah dalam ilmu ekonomi syariah itu
berbeda dengan syari’ah dalam pengertian umum, yaknni sumber ajaran Islam.
Tentu saja, syari’ah dalam term ini adalah interpretasi atas doktrin, nilai,
norma dan hukum syariah atau hukum Islam. Oleh karena itu, istilah yang tepat
adalah Islamic economic, yakni ekonomi yang bersifat dan sesuai, dan
tidak bertentangn dengan doktrin, nilai, norma dan hukum Islam.
[8]
‘Abdullah ‘Alwi Haji Hasan, Sales
and contracts in Early Islamic Commercial Law, Islamic Research Institute,
International Islamic University, Islamabad, 1986; Adiwarman Karim, Bank
Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, The International Institute for Islamic
Though, Indonesia, Jakarta, 2003.
[9]
Dikutip dari Adiwarman Karim Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, IIIT
Indonesia, Jakarta, 2003, h. 59 dimodifikasi oleh penulis
[10]
Survey dilakukan berdasarkan pemikiran ekonomi yang tersebar dalam kitab-kitab
tafsir dan hadis serta sejumlah literatur berbahasa Arab, Inggris, dan Urdu..
Mohammad Nejatullah Shiddiq adalah professor yang mengkhususkan diri dalam bidang
studi sejarah ekonomi Islam sebagaimana dijelaskan oleh Adiwarman Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, IIIT Indonesia, cetakan ke-2, 2002
[11]
Ibid., hal. 5-7, Cf. Muhammad Abu Zahrah, al-Imam Zaid, Cairo,
Dar al-Fikr al-‘Araby, [nd]., hal. 539
[12]
Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby [nd].,
hal. 404-410, 432-442, 539
[13]
Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah,
Beirut, Dar al- ‘Ilmli al-Mala’in, 1978, hal. 426, 314-318, 447
[14]
Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1952, hal.
73-74, 335-383, 432.
[15]
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, h.. 24
[16]
al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib
al-Din al-Khatib, [nd.]
[17] Ibn
Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.]
Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk Intervensi
Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional
yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakata dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta,
November, 1999
[18] Abu
‘Ubayd al-Qasim bn Sallam (157-224H/774-738M) dalam kitabnya, al-Amwa’l,
Mu’assassat al-Nashir, Beirut, Libanon, cet.i, 1981
[19] Ibn
Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam,
[20] Cf. The
Muqaddimah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dri bhasaArab oleh
Franz Rosenthal (3 jilid) diterbitkan oleh Bollingen Foundation Inc., New York
[21] Abu
al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, al-Ahka`m
al-Sultha`niyyah, Dar al-Fikr, Beirut [nd]
[22]
Pasca Perang Dunia II berakahir banyak pemuda mahasiswa Muslim belajar ekonomi
di Barat sehingga mereka mendapat wawasan ekonomi yang luas. Menyadari hal itu
mereka berupaya menghidupkan kembali prinsip, nilai, norma dan hukum ekonomi
Islami untuk kemudian merekaberusaha untuk mengaplikasikanya di tanah air
mereka.
[23]
Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan dari
Islamabad dalam Islamisasi Ekonomi: suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek
Gerakan Perekonomian Islam, (Amrullh dkk., e.,) PLP2M, Yogyakarta,
1985, h. 100-111
[24]
Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam
Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia,
Jakarta, 2003
[25]
Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 199, hal. 4-5 dengan mengutip
berbagai sumber.
[26]
Istilah jihbiz mulai dikenal pada masa Muawiyah (661-680M). Istilah ini
dipinjam dari bahasa Persia kahbad atau kihbud. Pada masa
pemerintahan Sasanid, istilah jihbiz digunakan untuk orang yang
melaksanakan fungsi dan tugas mengumpulkan pajak tanah.
[27] Pada
masa ini setiap wazir (menteri) mempunyai bankirnya masing-masing. Misalnya:
Ibnu Furat menunjuk Harun Ibnu Imran dan Josep Ibnu Wahab sebagai bankirnya.
[28]
Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and Regulations, Pelanduk
Publications, Petaling Jaya, 1997, h. 2. Sami Hassan Hamoud, Progress
of Islamic Bankin: the Aspirations and the Realities, Islamic Economic
Studies, vol 2 No.1. December 1994, h. 71-80
[29] Bank
ini menyediakan bantuan finansial bagi negera-negara anggotanya; membantu
mereka untuk mendirikan bank Islam di negara masing-masing; memainkan pernan
penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan Islam.
[30]
Fakta penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok
Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat,
DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kopontren semakin
menjamur setelahdigulirkanya proyek P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
(baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
[31]
Ketika terjadi krisis moneter di tnah air, sejumlah Bank Perkreditan Rakyat
milik PEMDA Jabar banyak yang mati (70-80%). Akan tetapi, BPRS yang beroperasi
di Jawa Barat, walaupun ada yang mati, tingkat kematianya jauh lebih rendah
dari BPR konvensional, yakni kurang dari 50%. Iniberarti BPRS lebih dapat
bertahan dan berkompetisi dari dan dengan BPR konvensional
[32] Bank
amanah berdiri di Pilipina 1987 di negeri sekuler yang penduduk Muslimnya
minoritas.
[33] Bank
Islam pertama yang berdiri di Eropa, yakni Denmark (1983) dan di negeri
sekuler adalah The Islamic Bank International of Denmark. Kini bak-bank besar
dari Negara-negara Barat seperti Citibank, ANZ Bank, Chase Manahathan Bank dan
Jardine Fleming telah membuka Islamic Windo dalam rangka melayani perbankan
sesuai dengan syariat Islam.
[34]
Muslim Saving and Investment berdiri tahun 1987 di Los Angelos , California
[35] Data
diperoleh dari nasabah dan investigasi penulis terhadap Bank Syariah Lembur
Kuring (nama samaran)
oleh
: Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, MA.
0 Response to "Latar Belakang Ekonomi Syariah"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)