Makalah Emotional Quotient
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Organisasi
merupakan suatu wadah perkumpulan beberapa orang yang memiliki tujuan yang
sama. Selain memiliki tujuan yang sama, mereka juga memiliki persamaan persepsi
tentang bagaimana cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama, sehingga
dengan demikian tujuan organisasi dapat dengan lebih mudah untuk dicapai.
Sama
halnya dengan organisasi, perusahaan juga memiliki tujuan yang telah ditetapkan
dari awal pembangunan perusahaan tersebut. Perusahaan dipimpin oleh seorang
manager yang membantu untuk menggerakan karyawannya agar dapat mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Apabila tujuan tersebut dapat tercapai dengan bantuan dr
karyawan yang telah dipekerjakan, maka akan ada timbal baliknya seperti yang
telah dijanjikan pada awal masa kerja karyawan tersebut.
Dalam
suatu perusahaan, kita pastinya akan berkomunikasi dengan banyak orang, baik
orang dari perusahaan yang sama atau bahkan yang berasal dari perusahaan lain.
Komunikasi inilah yang menjadi suatu kunci keberhasilan suatu perusahaan. Komunikasi
yang baik akan membawa suatu perusahaan kepada kesuksesan yang besar, begitu pula
sebaliknya komunikasi yang buruk akan membawa perusahaan tersebut kepada
kehancuran.
Dalam
berkomunikasi, setidaknya kita memiliki kecerdasan intelektual yang dapat kita
gunakan untuk modal berkomunikasi dengan baik dan mampu mengimbangi lawan
bicara kita. Apabila kita tidak memiliki kecerdasan intelektual, maka kita
tidak akan bisa berkomunikasi dengan baik dengan lawan bicara kita. Maka dari
itu kecerdasan intelektual disini sangat diperlukan agar kita bisa melakukan
komunikasi yang mencapai tujuan dari komunikasi itu sendiri.
Selain
kecerdasan intelektual, diperlukan juga kecerdasan emosional. Kita tidak pernah
tau seperti apa lawan bicara yang akan kita hadapi, maka dari itu paling tidak
kita menyiasatinya dengan kecerdasan emosional yang kita miliki. Apabila kita
dihadapkan dengan lawan bicara yang kebetulan mengasyikan dan mau menerima
pendapat orang lain, itu bukanlah suatu masalah bahkan komunikasi yang
dilakukan dapat berjalan dengan baik. Namun apabila kita dihadapkan dengan
lawan bicara yang agak keras kepala, tidak mau mengalah dan tidak mau menerima
pendapat atau masukan dari orang lain, disitulah kecerdasan emosional kita
diperlukan.
Dengan
berbekal kecerdasan emosional yang kita miliki, komunikasi akan berjalan dengan
lancar. Setidaknya kita bisa menghadapi lawan bicara seperti yang telah
disebutkan diatas dengan baik karena kita mampu untuk mengontrol emosi kita.
Dengan demikian komunikasi dapat berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya.
Model-model
kecerdasan yang kini dikembangkan dalam dunia psikologi mendasarkan
argumen-argumennya pada temuan-temuan ilmiah mulai dari model kecerdasan
konvensional (IQ), kecerdasan emosional (EQ), hingga yang mengklaim diri
sebagai model kecerdasan ultimat: kecerdasan spiritual (SQ), seluruhnya masih menjelaskan
kesadaran manusia dengan segenap aspek-aspeknya sebagai proses-proses yang
secara esensial berlangsung pada jaringan syaraf. Meski jaringan syaraf pusat
menampakkan gejala-gejala aktivitas kesadaran manusia secara dominan, namun
sekedar mereduksi entitas kesadaran ke dalam proses-proses syaraf tersebut,
hanya akan memastikan hilangnya peluang untuk menjelaskan struktur kesadaran
manusia secara utuh dan fundamental.
Studi
dan penelitian tentang kecerdasan dalam psikologi modern pada dasarnya termotivasi
untuk memenuhi keperluan-keperluan praktis yang terkait dengan dunia
pendidikan/pekerjaan/kehidupan sehari-hari; yakni untuk memahami, mengukur,
mengklasifikasi, mengelola serta memanfaatkan aspek-aspek kecerdasan individu
dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam konteks ini, kecerdasan dimaknai–sama
seperti maknanya dalam bahasa sehari-hari–sebagai kemampuan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan praktis (problem-solving capacity).
Jika
kita melihat dunia kerja, maka kita bisa menyaksikan bahwa seseorang tidak
cukup hanya pintar di bidangnya. Dunia pekerjaan penuh dengan interaksi sosial
di mana orang harus cakap dalam menangani diri sendiri maupun orang lain. Orang
yang cerdas secara intelektual di bidangnya akan mampu bekerja dengan baik.
Namun jika ingin melejit lebih jauh dia membutuhkan dukungan rekan kerja,
bawahan maupun atasannya. Di sinilah kecerdasan emosional membantu seseorang
untuk mencapai keberhasilan yang lebih jauh.
Dalam
proses rekrutmen karyawan, seseorang dengan nilai IPK yang tinggi sekalipun dan
datang dari Universitas favorit tidak selalu menjadi pilihan yang terbaik untuk
direkrut. Ada kalanya orang yang pintar secara intelektual kurang memiliki
kematangan secara sosial. Orang seperti ini bisa jadi sangat cerdas, memiliki
kemampuan analisa yang kuat, serta kecepatan belajar yang tinggi. Namun jika
harus bekerja sama dengan orang lain dia kesulitan. Atau jika dia harus
memimpin maka akan cenderung memaksakan pendapatnya serta jika harus menjadi
bawahan punya kecenderungan sulit diatur.
Orang
seperti ini mungkin akan melejit jika bekerja pada bidang yang menuntut
keahlian tinggi tanpa banyak ketergantungan dengan orang lain. Namun
kemungkinan besar dia akan sulit bertahan pada organisasi yang membutuhkan
kerja sama, saling mendukung dan menjadi sebuah “super team”, bukan “super man”.
Tentunya
tidak semua orang yang cerdas secara intelektual seperti itu. Dan bukan berarti
kecerdasan intelektual tidak penting. Dalam dunia kerja kecerdasan intelektual
menjadi sebuah prasyarat awal yang menentukan level kemampuan minimal tertentu
yang dibutuhkan. Sebagai contoh beberapa perusahaan mempersyaratkan IPK
mahasiswa minimal 3.0 atau 2.75 sebagai syarat awal pendaftaran. Hal ini kurang
lebih memberikan indikasi bahwa setidaknya kandidat tersebut telah belajar
dengan baik di masa kuliahnya dulu.
Setelah
syarat minimal tersebut terpenuhi, selanjutnya kecerdasan emosional akan lebih
berperan dan dilihat lebih jauh dalam proses seleksi. Apakah dia punya
pengalaman yang cukup dalam berorganisasi? Apakah calon tersebut pernah
memimpin atau dipimpin? Apa yang dia lakukan ketika menghadapi situasi sulit?
Bagaimana dia mengelola motivasi dan semangat ketika dalam kondisi tertekan?
Dan banyak hal lagi yang akan diuji.
Dalam
dunia kerja yang semakin kompetitif, kemampuan seseorang menangani beban kerja,
stres, interaksi sosial, pengendalian diri, menjadi kunci penting dalam
keberhasilan. Seseorang yang sukses dalam pekerjaan biasanya adalah orang yang
mampu mengelola dirinya sendiri, memotivasi diri sendiri dan orang lain, dan
secara sosial memiliki kemampuan dalam berinteraksi secara positif dan saling
membangun satu sama lain. Dengan cara ini orang tersebut akan mampu berprestasi
baik sebagai seorang individu maupun tim.
Goleman
seorang peneliti ilmu-ilmu perilaku dan otak, Doktor dari Harvard
University,menyatakan bahwa IQ atau kecerdasan intelektual hanya berpengaruh
5-10 % terhadap keberhasilan, sisanya adalah faktor kecerdasan lain. Lebih
lanjut Goleman menyatakan faktor kecerdasan penting yang lain tersebut adalah
Emotional Quotient (EQ). EQ berorientasi kepada kecerdasan mengelola emosi
manusia. Di dalamnya terdapat unsur kemampuan akan kepercayaan diri sendiri,
ketabahan, ketekunan, menjalin hubungan sosial. Jika pekerja memiliki
kecerdasan rata-rata, sebenarnya ia dapat meraih prestasi kerja yang tinggi
jika adanya kepercayaan terhadap diri sendiri, tidak terlalu tergantung kepada
orang lain, ketabahan menghadapi beban kerja, ketekunan dalam bekerja, melakukan
kontak-kontak sosial dalam kerja, akan merubah posisi seorang yang semula berprestasi
rata-rata menuju tingkat prestasi yang lebih baik.
Sebuah
penelitian pada hampir 42.000 orang di 36 negara dan mengungkapkan hubungan
positif antara kecerdasan emosional dan kesuksesan dalam kehidupan pribadi dan
pekerjaan (Stein dan Book, 2002). Ini menunjukkan bahwa seorang karyawan juga
akan berhasil jika di dalam diri mereka terbentuk nilai-nilai EQ yang tinggi.
Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa IQ dapat digunakan untuk
memperkirakan sekitar 1-20 % keberhasilan dalam pekerjaan, EQ di sisi lain
berperan 27-45 % berperan langsung dalam keberhasilan pekerjaan. Jan Derksen
dan Theodore Bogels di Belanda dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa ada
hubungan yang signifikan yakni orang-orang yang ber-EQ tinggi dengan kemampuan
menghasilkan banyak uang (Stein dan Book,2002).
Penciptaan
kesadaran akan EQ ini seperti merupakan penciptaan akan aspek afeksi karyawan
untuk siap terjun dalam dunia kerja yang penuh dengan tantangan dan kompetisi tinggi,
stress, sehingga memerlukan pengelolaan emosional yang baik. Seorang pakar
sekaligus pengamat sumber daya manusia, Parlindungan Marpaung memberikan solusi
untuk mengelola emosional dalam bekerja (Marpaung, 2002). Ketika tuntutan EQ
menjadi fokus utama dalam pemberdayaan karyawan dalam rangka jenjang karier
seseorang maupun pengembangan pribadinya, tentu menjadi satu hal yang
menakutkan bagi seseorang setelah dia menyadari bahwa EQ-nya tidak terlalu
menonjol. Satu hal yang paling berbahaya adalah ketika seseorang tidak
menyadari bahwa EQ-nya sangat dangkal dan bangga dengan gelar/pengetahuan yang
dimilikinya (IQ). Oleh karena itu, perlu beberapa langkah praktis untuk
membangkitkan kesadaran ini dan meningkatkan kecerdasan emosi menuju kecakapan
emosi yang maksimal ditempat kerja.
Dalam
menghadapi persaingan yang semakin ketat dewasa ini, sangat diperlukan sumber
daya manusia yang berkualitas sehingga mampu menghadapi persaingan dan
perubahan. Lingkungan yang dihadapi oleh manajemen sumber daya manusia sangat
menantang karena perubahan muncul sangat cepat dan memiliki masalah yang luas
(Mathis dan Jackson, 2001:4). Untuk mampu bersaing pada era global sebuah
organisasi atau perusahaan harus memiliki sumber daya yang baik, khususnya
sumber daya manusia yang berkualitas.
B.
Perumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian dari Emotional Quotient (EQ)?
2. Apa
sajakah dimensi Emotional Quotient (EQ) di tempat kerja?
3. Seberapa
penting Emotional Quotient (EQ) di tempat kerja?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari Emotional Quotient (EQ).
2. Untuk
mengetahui dimensi Emotional Quotient (EQ) di tempat kerja.
3. Untuk
mengetahui pentingnya Emotional Quotient (EQ) di tempat kerja.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian
Kecerdasan Emosional (Emotional Question)
Istilah Kecerdasan Emosional (Emotional
Intelligence) mulai populer sejak diperkenalkan secara massal pada tahun 1995
oleh Daniel Goleman lewat bukunya berjudul Emotional Intelligence – Why
It Can Matter More Than IQ.Sebenarnya istilah ini sudah muncul sebelumnya
dan sebagai terminologi dipakai dalam tesis doktoral Wayne Payne di tahun 1985.
Ada banyak perbedaan
pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional. Secara relatif
bidang ini dianggap masih baru dalam Psikologi dan masih mencari bentuknya yang
lebih mantap. Secara sederhana kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai:
·
kemampuan mengenali
emosi diri sendiri
·
kemampuan mengendalikan
emosi dan mengambil tindakan yang tepat
·
kemampuan mengenali
emosi orang lain
·
kemampuan bertindak dan
berinteraksi dengan orang lain
Dengan demikian orang
yang cerdas secara emosional adalah orang yang memahami kondisi dirinya,
emosi-emosi yang terjadi, serta mengambil tindakan yang tepat. Orang tersebut
juga secara sosial mampu mengenali dan berempati terhadap apa yang terjadi pada
orang lain dan menanggapinya secara proporsional.
Kecerdasan intelektual
(IQ) dapat di ukur dan dikategorikan menurut tingkat IQ itu sendiri.
Banyak instansi yang menyaring calon pegawainya melalui tes IQ. Tapi seiring
dengan perkembangan zaman, ternyata muncul pandagan bahwa IQ saja tidaklah
cukup untuk menentukan kecerdasan dan menjamin kesukseksan seseorang. IQ harus
dibarengi dengan kecerdasan lainnya yang disebut EQ (Emotional Quotient)
atau kecerdasan emosional.
Goleman mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai kapasitas dalam mengenali perasaaan-perasaan diri
sendiri dan orang lain, dalam memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi-emosi
dengan baik dalam diri kita sendiri maupun dalam hubungan-hubungan kita.
Berbeda dengan pendapat Cooper dan Sawaf mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai kemampuan merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan daya dan
kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.
Lebih lanjut diungkapkan
oleh Sternberg dan Salovey yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali
perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul dan ia mampu
mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas
perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan mengambil
keputusan-keputusan secara mantap. Sejalan dengan pendapat Stenberg dan
Salovey, menurut Mayer bahwa kecerdasan emosional adalah sebagai sekelompok
kemampuan mental yang membantu mengenali dan memahami perasaan-perasaan sendiri
dan perasaan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur
perasaan-perasaan sendiri.
Berbeda dengan Mayer,
Purba mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan di bidang emosi,
yaitu kemampuan menghadapi frustasi, kemampuan mengendalikan emosi, semangat
optimisme, dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain (empati).
Berdasarkan pendapat
para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengendalikan emosinya untuk
mengambil keputusan tertentu dalam hubungan interpersonal.
B.
Dimensi
Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja
Goleman menjelaskan
bahwa kecerdasan emosi dapat didefinisikan dalam empat dimensi yaitu:
1.
Self-awareness
Self awareness
yaitu kemampuan manusia untuk secara akurat memahami diri sendiri dan tetap
sadar terhadap emosi diri ketika emosi muncul, termasuk tetap mempertahankan
cara manusia dapat merespons situasi tertentu dan orang-orang tertentu di
dalamnya terdapat kesadaran emosi (emotional
awareness), penilaian diri yang akurat (accurate
self-assessment), dan kepercayaan diri (self
confidence).
2.
Social
Awareness
Social awereness
adalah kemampuan manusia untuk secara tepat menangkap emosi orang lain dan
mengerti apa yang benar-benar terjadi, dapat diartikan memahami apa yang orang
lain pikirkan dan rasakan walaupun tidak merasakan yang sama, di dalamnya
terdapat: empati, orientasi pelayanan (service
orientation), kesadaran berorganisasi (organizational
awareness).
3.
Self
Management
Self management
adalah kemampuan untuk menggunakan kesadaran emosi manusia untuk tetap
fleksibel dan secara positif mengarahkan perilaku diri manusia itu sendiri,
yang berarti mengelola reaksi emosi manusia itu sendiri kepada semua orang dan
situasi, di dalamnya terdapat: kontrol emosi diri (emotional self-control), dapat dipercaya (trustworthiness), teliti (conscientiousness),
kemampuan beradaptasi (adaptability),
dorongan berprestasi (achievement drive),
inisiatif.
4. Relationship Management
Relationship management
merupakan kemampuan untuk menggunakan kesadaran emosi manusia dan emosi orang
lain untuk mengelola interaksi yang berhasil, termasuk berkomunikasi dengan
jelas dan efektif untuk mengatasi konflik, yang didalamnya terdapat memajukan
orang lain (developing others), dapat
mempengaruhi (influence), komunikasi
(communication), manajemen konflik (conflict management), dapat memimpin (visionary leadership), catalyzing change, membangun ikatan (building bonds), kerjasama dan berkolaborasi
(teamwork and collaboration).
Selain
Goleman, Titimaea mengungkapkan lima dimensi dari kecerdasan emosional yaitu: self awareness, self regulation, self
motivation, social awareness, dan social
skills sebagai berikut:
1. Self awareness
Kemampuan seseorang
untuk memahami berbagai potensi dalam dirinya menyangkut kelebihan yang
dimiliki maupun kelemahannya.
a. Seseorang
dengan kesadaran diri tinggi akan mampu memahami kekuatan, kelemahan, nilai dan
motif diri (Having high self-awareness
allows people to know their strengths, weaknesses , values, and motives).
b. Seseorang
dengan kesadaran diri tinggi akan mampu mengukur suasana hatinya dan memahami
secara intuitif bagaimana suasana hatinya mempengaruhi orang lain (People with high self awareness can
accurately measure their own moods and intuitively understand how their moods
affect others)
c. Seseorang
dengan kesadaran diri tinggi akan mampu menerima umpan balik dari orang lain
tentang bagaimana memperbaiki secara berkelanjutan (are open to feedback from others on how to continuously improve)
d. Mampu
membuat keputusan meskipun di bawah ketidakpastian maupun di bawah tekanan (are able to make sound decisions despite
uncertainties and pressures).
e. Seseorang
dengan kesadaran diri tinggi akan mampu menunjukkan rasa humor (They are able to show a sense of humor).
f. Seorang
pemimpin dengan kesadaran diri tinggi akan mampu memahami berbagai faktor yang
membuat dirinya disukai (A leader with
good self-awareness would recognize factors such as whether he or she was liked).
g. Seseorang
dengan kesadaran diri tinggi akan mampu memanfaatkan tekanan daripada anggota
organisasi (was exerting the right amount
of pressure on organization members).
Ketika
seseorang memiliki kesadaran diri yang tinggi lebih peka analisanya untuk
memahami perasaan orang lain.
2.
Self
regulation
Kemampuan
seseorang untuk mengontrol atau mengendalikan emosi dalam dirinya.
a. Seseorang
dengan kesadaran diri tinggi akan mampu mengontrol atau mengarahkan kembali
luapan dan suasana hati (The ability to
control or redirect disruptive impulses and moods)
b. Seseorang
dengan kesadaran diri tinggi akan mampu berpikir jernih sebelum bertindak (the propensity to suspend judgment and to think
before acting).
Kemampuan untuk
mengontrol diri sendiri berarti memiliki kecerdasan emosional yang tinggi
karena untuk mengontrol diri sendiri diperlukan pengetahuan dan kemampuan.
3. Self motivation
Kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri yang dilihat dari beberapa indikator sebagai
berikut:
a. Seseorang
dengan self motivation tinggi selalu memiliki alasan-alasan sehingga memberikan
dorongan untuk selalu memperbaiki kinerja (seek
ways to improve their performance).
b. Seseorang
dengan self motivation tinggi memiliki kesiapan mental untuk berkorban demi
tercapainya tujuan organisasi (readily
make personal sacrifices to meet the organization`s goals).
c. Seseorang
dengan self motivation tinggi mampu mengendalikan emosi diri sendiri dan
memanfaatkannya untuk memperbaiki peluang agar bisa sukses (they harness their emotions and employ them
to improve their chances ofbeing successful).
d. Seseorang
dengan self motivation tinggi dalam melakukan kegiatan lebih terdorong untuk
bisa sukses dibandingkan ketakutan akan kegagalan (they operate from hope of success rather than fear of failure).
4.
Social
awareness
Kesadaran
sosial adalah pemahaman dan sensitivitas terhadap perasaan, pemikiran, dan
situasi orang lain (Social awareness
refers to having understanding and sensitivity to the feelings, thoughts, and
situations of others).
Indikator untuk mengukur
social awareness adalah sebagai
berikut:
a. Memahami
situasi yang dihadapi oleh orang lain (understanding
another person`s situation).
b. Mengalami
emosi orang lain (experiencing the other
person`s emotions).
c. Memahami
kebutuhan orang lain dengan menunjukkan kepedulian (knowing their needs by showing that they care).
5.
Social
Skill
Kemampuan
untuk menjalin hubungan sosial yang didasarkan pada indikator:
a. Kemampuan
untuk mengelola hubungan dengan orang lain (proficiency
in managing relationships).
b. Kemampuan
untuk membangun jaringan dengan orang lain (proficiency
in building networks).
Dimensi-dimensi dari
kecerdasan emosional tersebut bisa digunakan untuk mengukur seberapa tinggi
kecerdasan emosional seseorang.
C.
Pentingnya
Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja
Jika kita melihat orang
yang sukses dalam pekerjaan, ada beberapa karakteristik umum yang mirip satu
sama lain:
·
Bekerja dengan sepenuh
hati dan riang
·
Memiliki prestasi dalam
pekerjaan sebagai individu dan tim
·
Mampu mengelola konflik
·
Mampu menghadapi dan
menjalankan perubahan
·
Memiliki empati terhadap
atasan, bawahan dan rekan kerja
·
Mampu membaca dan
mengenali emosi diri sendiri maupun orang lain serta mengambil tindakan yang
tepat dalam menanganinya
Jika kita perhatikan,
maka hampir semua daftar di atas akan dimiliki oleh orang yang cerdas secara
emosional. Khusus untuk item nomor dua diperlukan kecerdasan intelektual yaitu
bagaimana seseorang bisa menjadi ahli di bidangnya. Memiliki pengetahuan dan
skill yang mumpuni agar bisa berprestasi secara individu. Selanjutnya
kecerdasan emosional akan membantunya berprestasi pula sebagai tim bersama
rekan kerja, bawahan maupun atasannya.
Cherniss & Goleman
(2001) menjelaskan pengaruh kecerdasan emosi dalam keefektivitasan suatu
organisasi di beberapa area yaitu:
1.
Employee
recruitment and retention
Kecerdasan
emosi seseorang yang melakukan perekrutan merupakan hal yang krusial dalam
membuat keputusan yang tepat.
2.
Development
of talent
Individu
dapat mengembangkan kompetensi sosial dengan adanya interaksi sosial di tempat
kerja. Aktivitas interaksi sosial tersebut merupakan aktivitas pembelajaran dua
arah, kedua belah pihak berinteraksi dan mengharapkan adanya expert dan learner, untuk menerima dan member informasi/pengetahuan, di dalam
interaksi sosial tersebut dibutuhkan juga kecerdasan emosi.
3.
Teamwork
Adanya
interaksi dan negosiasi antar anggota kelompok secara aktif pada suatu teamwork
menciptakan harapan tentang bagaimana mereka sebaiknya berpikir dan bertindak
dalam kelompok tersebut. Di samping itu kecerdasan emosi juga berdampak pada
komitmen, inovasi, produktivitas,
efisiensi, penjualan, pendapatan, kualitas Jasa, dan kesetiaan
pelanggan.
Kecerdasan emosional (EQ) sangat
penting karena kecerdasan emosional sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dan
kebahagiaan hidup. Kecerdasan emosional (EQ) membantu kita menciptakan hubungan
yang lebih kuat, sukses ditempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi.
Bagi orang yang mengetahui
pentingnya kecerdasan emosional (EQ) mereka akan berusaha lebih meningkatkan
kecerdasan emosionalnya dari pada kecerdasan intelektual (IQ). Hal ini
dikarenakan keberhasilan seseorang sangat bergantung pada kemampuan untuk
membaca sinyal atau situasi orang lain dan kemampuan dalam menempatkan diri
yang semuanya itu terletak pada kecerdasan emosional (EQ) seseorang.
Oleh karena pentingnya kecerdasan
emosional (EQ), meningkatkan kecerdasan emosional (EQ) mutlak kita perlukan
karena kecerdasan emosional (EQ) yang matang akan membuat kita menjadi
orang yang lebih memahami, berempati, dan mampu bernegosiasi dengan orang lain.
Jika tidak kesuksesan akan menghindari kita baik dalam karir maupun dalam
kehidupan pribadi.
Sebuah study yang dilakukan pada
lulusan Harvard University baik dari lulusan bisnis, hukum, kedokteran maupun
pengajaran menunjukkan korelasi nol atau genatif antara indikator IQ (skor
ujian masuk) dengan keberhasilan karir berikutnya. Ini menunjukkan pentingnya
kecerdasan emosional (EQ) karena kecerdasan intelektual (IQ) saja tidak bisa
menjamin kesuksesan seseorang dimasa yang akan datang. Justru orang yang
memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang tinggilah yang dapat mencapai
kesuksesan dimasa yang akan datang.
Kecerdasan emosional (EQ) sangat
penting bagi masa depan. Pentingnya kecerdasan emosional (EQ) antara lain
mempengaruhi:
a. Kinerja Anda ditempat kerja
Memiliki kecerdasan
emosional (EQ) yang tinggi dapat membantu mengatasi kompleksitas sosial
ditempat kerja, memimpin dan memotivasi orang lain dan unggul dalam karir.
Bahkan sekarang dalam penerimaan calon karyawan, beberapa perusahaan lebih
mengutamakan kecerdasan emosional (EQ) calon karyawan selain kecerdasan
intelektualnya (IQ).
b. Kesehatan fisik
Jika kita tidak dapat
mengontrol dan mengelola emosi dapat mengakibatkan rasa tertekan dan stres.
Jika kita tidak dapat mengelola stres tersebut, dapat menyebabkan masalah yang
serius. Stres yang tidak terkontrol dapat meningkatkan tekanan darah, menekan
sistem kekebalan tubuh, meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke, serta
berkontribusi terhadap infertilitas dan mempercepat proses penuaan.
c. Kesehatan mental
Stres yang tidak
terkendali juga dapat mempengaruhi kesehatan mental, membuat rentan terhadap
depresi dan kecemasan. Jika kita tidak dapat memahami dan mengelola emosi, akan
sering merasakan perubahan suasana hati dan ketika kita tidak memiliki
kemampuan yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maka dapat membuat
diri kita merasa kesepian dan terisolasi.
d. Hubungan Anda
Dengan memahami dan
mengendalikan emosi, akan lebih mudah memahami kondisi orang lain sehingga
dapat membuat kita lebih mudah untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang
lain serta menjadi pribadi yang menyenangkan.
EQ tidak ada yang permanen, dalam
arti kata dapat diubah atau ditingkatkan dengan cara sebagai berikut:
1.
Pertama, mengenal
kekuatan dan kelemahan diri terutama dalam berhubungan dengan orang lain.
Beberapa cara dapat dilakukan, di antaranya dengan meminta feedback (umpan balik) dari orang lain (terutama rekan terdekat)
tentang tingkah lakunya selama ini. Tingkah laku yang sudah proporsional
dipertahankan dan ditingkatkan, sementara yang dirasa kurang dan tidak
profesional sebagai seorang karyawan/pimpinan harus diubah (transformasi diri).
2.
Kedua, bergaul dan
berelasi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan karakter.
Seringkali kita terjebak dalam relasi yang menyenangkan, hanya bergaul dengan
orang-orang sepaham, bebas konflik, dan alergi dengan perbedaan pendapat.
3.
Ketiga, belajar setia
dan komit terhadap tugas-tugas yang sudah disepakati bersama serta dilakukan
dengan konsisten. Bahkan, tidak hanya itu, dengan mencoba "menantang"
diri sebenarnya kita sedang berusaha mengatur diri dengan optimal. Misalnya,
jika kesepakatan untuk sales target bulan ini 250 juta, buat
"kesepakatan" diri sales target-nya
sebesar 300 juta. Jangan cepat puas dengan pencapaian yang sesuai dengan apa
yang sudah disepakati. Berilah diri lebih (go
the extramiles), kita pun akan memperoleh nilai diri lebih dalam performance appraisal.
4.
Keempat, kurangi waktu
untuk sibuk mengurusi orang lain, apalagi memiliki kegemaranmenyebar gosip dan
rumor di kantor. Kegemaran ini justru akan menyerap energi kita yang semestinya
dapat dipergunakan untuk mengembangkan kecerdasan emosi tersebut. Hanna (1997)
mengatakan bahwa aktivitas demikian justru akan menurunkan rekening bank harga
diri kita.
5.
Kelima, bertingkah laku
asertif, nyatakan benar kalau benar dan salah jika salah. Hal itu dilakukan
tentu berdasarkan koridor-koridor dan track etika perusahaan yang profesional.
Karyawan/pimpinan yang safety player
demi menyelamatkan kedudukan/fasilitas yang dimilikinya dan membiarkan kondisi
yang merusak tatanan perusahaan tetap berlangsung menunjukkan kekerdilan
kecerdasan emosinya.
6.
Keenam, keep learning, terus belajar baik
melalui pengalaman pekerjaan sehari-hari, membaca buku pengembangan diri,
mengikuti pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan yang sifatnya soft skill. Tidak ada kata tamat untuk
belajar karena melalui media inilah kita dapat memosisikan diri dalam self continous improvement.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kasus
1. Kasus
Pertama
Kasus pertama
menggambarkan tentang dua karyawan yang salah satu dari karyawan tersebut
menelepon karyawan sebelahnya dengan tujuan mengalihkan perhatian rekan
kerjanya agar bisa menggeser pembatas antara dirinya dengan temannya sehingga
ruang geraknya bias sedikit lebih luas. Namun, temannya menyadari bahwa
penelepon rahasia yang berkali-kali menelepon adalah teman sebelahnya. Dan
akhirnya teman sebelahnya merubuhkan pembatas antara dirinya dengan teman
sebelahnya sehingga pembatas tersebut jatuh dan menibani teman sebelahnya.
2. Kasus
Kedua
Kasus kedua digambarkan
dengan kondisi lingkungan kerja dalam sebuah kantor yang terdiri dari beberapa
karyawan. Namun terjadi keganjalan yang terjadi pada salah satu karyawan.
Seperti layaknya karyawan biasa, mereka sibuk mengerjakan tugas masing-masing.
Ternyata salah satu karyawan ingin mencetak dokumen, namun ada kendala yang
terjadi pada printer. Karyawan
tersebut mencoba untuk memperbaiki printer
tersebut. Namun, setelah beberapa kali mencoba diperbaiki ternyata printer tersebut tidak bisa digunakan.
Tiba-tiba karyawan tersebut memukul-mukul printer
tersebut dan membuangnya keluar jendela tanpa memikirkan apa yang akan
terjadi akibat perilakunya. Dengan perilaku yang dilakukannya tersebut membuat
karyawan lain merasa ketakutan karenanya. Dan pastinya karyawan lain merasa
terganggu lalu karyawan tersebut memilih untuk meninggalkan ruangannya.
B.
Pembahasan
1. Pembahasan
Kasus 1
Jika dikaitkan dengan
teori, berdasarkan dimensi menurut Goleman
·
Self awareness
Self awareness merupakan kemampuan
memahami diri sendiri dan merespon situasi dari orang lain secara kesadaran
emosi. Hal ini tercermin dengan respon dari masing-masing karyawan yang
mencerminkan respon yang tidak baik.
·
Social awareness
Social awareness merupakan kemampuan
menangkap emosi orang lain dan memahami apa yang dipikirkan. Salah satunya
adalah kesadaran berorganisasi. Pada dasarnya mereka ada pada sebuah organisasi
yang menaunginya, namun mereka tidak memiliki kesadaran akan berorganisasi.
Mereka tidak peduli dengan sekitarnya untuk melakukan hal tersebut.
·
Self management.
Masing-masing karyawan tersebut tidak
memiliki self management yang baik terbukti dengan masing-masing karyawan tidak
memiliki kontrol emosi yang baik, mulai dari menelepon tanpa tujuan yang jelas
sampai merubuhkan pembatas ruangan hingga menibani temannya tersebut.
·
Relationship management
Relationship management merupakan
kemampuan untuk kesadaran emosi manusia dan emosi orang lain untuk mengelola
interaksi. Dalam kasus ini, relationship management antara karyawan tersebut
tidak terjalin dengan baik karena tidak ada komunikasi yang baik sehingga terjadi
konflik diantara mereka. Selain itu, mereka berdua tidak menjalin kerja sama
yang baik.
2. Pembahasan
Kasus 2
Dalam kasus kedua ini,
jika dilihat dari segi dimensi menurut Titimaea dapat dijabarkan sebagai
berikut:
·
Self awareness
Pada kasus ini, karyawan tersebut tidak
memiliki kesadaran akan dirinya sendiri dan tidak memikirkan bagaimana akibat
dari yang dilakukannya.
·
Self regulation
Self regulation merupakan kemampuan
seseorang untuk mengontrol atau mengendalikan emosi, disini jelas terlihat bahwa
karyawan tersebut tidak memiliki control emosi terhadap dirinya sendiri
sehingga mengalami luapan amarah yang dapat merugikan orang lain.
·
Self motivation
Dalam kasus ini, karyawan tersebut tidak
memiliki motivasi diri yang baik. Seperti yang tercantum dalam teori bahwa
“seseorang dengan self motivation tinggi mampu mengendalikan emosi diri sendiri
dan memanfaatkannya untuk memperbaiki peluang agar bisa sukses”. Dapat dilihat
bahwa karyawan tersebut tidak dapat mengendalikan emosi serta tidak mampu memperbaiki
peluang, setelah tahu bahwa printer tidak
dapat digunakan, ia tidak mencari printer
lain yang dapat melainkan ia memukulnya dan membuangnya keluar tanpa memikirkan
bagaimana selanjutnya nanti.
·
Social awareness
Selain teori di atas, ternyata karyawan lain
pun tidak memiliki social awareness yang baik. Terbukti pada saat rekan
kerjanya membutuhkan printer untuk mencetak, tidak ada seorangpun yang
menawarkan bantuan untuknya.
·
Social skill
Berkaitan dengan social
skill, sepertinya tidak terjalin hubungan social yang baik diantara para
karyawan yang ada pada kantor tersebut khususnya yang ada di ruangan.
Selaras dengan teori di
atas, kecerdasan emosi memiliki pengaruh dalam kefektivan organisasi seperti:
·
Development of talent
Dimana individu dapat mengembangkan
kompetensi social dengan interaksi social di tempat kerja. Namun, hal itu tidak
tercermin dalam kasus di atas.
·
Teamwork
Dengan adanya interaksi
dalam teamwork dapat menciptakan harapan tentang bagaimana mereka sebaiknya
berpikir dan bertindak dalam kelompok. Dalam kasus ini tidak tercermin teamwork
yang baik, sehingga karyawan tersebut tidak memikirkan apa yang harusnya ia
lakukan, melainkan hanya mengandalkan amarah saja.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kecerdasan
emosional merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengendalikan
emosinya untuk mengambil keputusan tertentu dalam hubungan interpersonal.
2. Terdapat
4 dimensi kecerdasan emosional yaitu self
awereness, social awareness, self management, dan relationship management.
3. Penitngnya
kecerdasan emosional dapat mempengaruhi keefektifan suatu organisasi atau
perusahaan dibeberapa area seperti employee
recruitment and retention, development of talent, dan teamwork.
B.
Saran
Kecerdasan
emosional setiap mahasiswa perlu ditingkatkan agar dapat menjadi bekal ketika
nanti memasuki dunia kerja atau untuk memperbaiki hubungan kerja dan kinerja
seseorang. Dengan ada kecerdasan emosional yang dimiliki mahasiswa diharapkan
mereka dapat diterima dengan baik ditempat kerja nantinya.
0 Response to "Makalah Emotional Quotient"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)