Makalah Ekonomi Kerakyatan

I. Pendahuluan

            Ekonomi adalah ilmu yang mengelola segala sumberdaya baik manusia maupun alam dengan kategori langka untuk tujuan efisiensi dan efektivitas (Samuelson, 2005). Rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragam ekonomi yang relatif sama (Fredrik Benu, 2002). Sedangkan kerakyatan adalah   
segala sesuatu hal yang melibatkan rakyat/publik/orang banyak (Prof. Mubyarto, 2000).

            Ekonomi rakyat adalah suatu usaha yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Menurut ahli ekonomi kerakyatan di Indonesia, yaitu Prof. Mubyarto dari UGM dan Bapak Adi Sasono, mantan Mentri UMKM jaman Habibie, disepakati bahwa istilah ekonomi kerakyatan berarti upaya memberdayakan (kelompok/satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha yang dikelola oleh dan untuk sekelompok masyarakat banyak (rakyat). Terjemahan bebas mengenai ekonomi kerakyatan di Indonesia ini adalah kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha yang sederhana, manajemen usaha yang belum bersistem dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Landasan hukum untuk ekonomi kerakyatan ini ada pada Program Pembangunan Nasional (Propenas) UU No. 25 Tahun 2000.

II. Implementasi Ekonomi Kerakyatan

            Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi di sekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumber daya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Namun pada saat perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter mulai pada pertengahan tahun 1997 lalu, terbukti ekonomi rakyat yang tidak mengandalkan sistem moneter terutama terhadap US $, sebagian besar usaha rakyat tersebut mampu bertahan dan melanjutkan usahanya hingga saat ini.
Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:
Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)
Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang artinya tidak lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
   Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
           
            Hasil penelitian Laica Marzuki (Unhas, 1999), menjelaskan bahwa ekonomi kerakyatan saat ini adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat, dimana ekonomi rakyat sendiri adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan yang secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan yang selanjutnya disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Menurut Mardi Yatmo Hutomo[1] (2003), ada 4 (empat) alasan mengapa ekonomi
kerakyatan perlu dijadikan paradigma baru dan strategi batu pembangunan ekonomi Indonesia. Keempat alasan, dimaksud adalah:
1. Karakteristik Indonesia
Pengalaman keberhasilan Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Brazil, meniru konsep pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika, ternyata bagi negara-negara berkembang lainnya, yang menerapkan konsep yang memberikan hasil yang berbeda. Dengan mengandalkan dana pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan, mengandalkan investasi dari luar negeri, memperkuat industri substitusi ekspor, selama dua sampai tiga dasawarsa memang berhasil mendorong pertumbuhan output nasional yang cukup tinggi dan memberikan lapangan kerja cukup luas bagi rakyat. Walaupun Indonesia pernah dijuluki sebagai salah satu dari delapan negara di Asia sebagai Asian Miracle atau negara Asia yang ajaib, karena tingkat pertumbuhan ekonominya yang cukup mantap selama tiga dasa warsa, tetapi ternyata sangat rentan dengan terjadinya supply shock. Krisis mata uang Bath di Thailand, ternyata dengan cepat membawa Indonesia dalam krisis ekonomi yang serius dan dalam waktu yang amat singkat, ekonomi Indonesia runtuh.
Fakta ini menunjukkan kepada kepada kita, bahwa  konsep dan strategi pembangunan ekonomi yang berhasil diterapkan di suatu negara, belum tentu akan berhasil bila diterapkan di negara lain. Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori pertumbuhan Rostow, teori pertumbuhan David Romer, teori pertumbuhan Solow, dibangun dari struktur masyarakat pelaku ekonomi yang berbeda dengan struktur ekonomi masyarakat Indonesia. Setiap teori selalu dibangun  dengan asumsi-asumsi tertentu, yang tidak semua negara memiliki syarat-syarat yang diasumsikan. Itulah sebabnya, untuk membangun ekonomi Indonesia yang kuat, stabil dan berkeadilan, tidak dapat menggunakan teori generik yang ada. Kita harus merumuskan konsep pembangunan ekonomi sendiri yang cocok dengan tuntutan politik rakyat, tuntutan konstitusi kita, dan cocok dengan kondisi obyektif dan situasi subyektif kita.
2. Tuntutan Konstitusi
Walaupun rumusan konstitusi kita yang menyangkut tata ekonomi yang seharusnya dibangun, belum cukup jelas sehingga tidak mudah untuk dijabarkan bahkan dapat diinterpretasikan bermacam-macam (semacam ekonomi bandul jam, tergantung siapa keyakinan ideologi pengusanya); tetapi dari analisis historis sebenarnya makna atau ruhnya cukup jelas[2]. Ruh tata ekonomi usaha bersama uang berasas kekeluargaan adalah tata ekonomi yang memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk berpartisipasi sebagai pelaku ekonomi. Tata ekonomi yang seharusnya dibangun adalah bukan tata ekonomi yang monopoli atau monopsoni atau oligopoli. Tata ekonomi yang dituntut konstitusi adalah tata ekonomi yang memberi peluang kepada seluruh rakyat atau warga negara untuk memiliki aset dalam ekonomi nasional. Tata ekonomi nasional adalah tata ekonomi yang membedakan secara tegas barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh pemerintah dan barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh sektor private atau sektor non pemerintah. Mengenai bentuk kelembagaan ekonomi, walaupun dalam penjelasan pasal 33 dinterpretasikan sebagai bentuk koperasi, tetapi  tentu harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan.
3. Fakta Empirik
Dari krisis moneter yang berlanjut ke krisis ekonomi dan kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata tidak sampai melumpuhkan perekonomian nasional.  Bahwa akibat krisis ekonomi, harga kebutuhan pokok melonjak, inflasi hampir tidak dapat dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor produk manufaktur), impor barang modal menurun, produksi barang manufaktur menurun, pengangguran meningkat, adalah benar. Tetapi itu semua ternyata tidak berdampak serius terhadap perekonomian rakyat yang sumber penghasilannya bukan dari menjual tenaga kerja.
Usaha-usaha yang digeluti atau dimiliki oleh rakyat banyak yang produknya tidak menggunakan bahan impor, hampir tidak mengalami goncangan yang berarti. Fakta yang lain, ketika investasi nol persen, bahkan ternjadi penyusutan kapital, ternyata ekonomi Indonesia mampu tumbuh 3,4 persen pada tahun 1999. Ini semua membuktikan bahwa ekonomi Indonesia akan kokoh kalau pelaku ekonomi dilakukan oleh sebanyak-banyaknya warga negara.
4. Kegagalan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi yang telah kita laksanakan selama 32 tahun lebih, dilihat dari satu aspek memang menunjukkan hasil-hasil yang cukup baik. Walaupun dalam periode tersebut, kita menghadapi 2 kali krisis ekonomi (yaitu krisis hutang Pertamina dan krisis karena anjloknya harga minyak), tetapi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas 7 persen pertahun. Pendapatan perkapitan atau GDP perkapita  juga meningkat tajam dari 60 US dolar pada tahun 1970 menjadi 1400 US dolar pada tahun 1995. Volume dan nilai eksport minyak dan non migas juga meningkat tajam. Tetapi pada aspek lain, kita juga harus mengakui, bahwa jumlah penduduk miskin makin meningkat[3], kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk dan atar daerah makin lebar, jumlah dan ratio hutang dengan GDP juga meningkat tajam[4], dan pemindahan pemilikan aset ekonomi dari rakyat ke sekelompok kecil warga negara juga meningkat.
Walaupun berbagai program penanggulangan kemiskinan telah kita dilaksanakan, program 8 jalur pemerataan telah kita canangkan, tetapi ternyata semuanya tidak mampu memecahkan masalah-masalah dimaksud. Oleh sebab itu, yang kita butuhkan saat ini sebenarnya bukan program penanggulangan kemiskinan, tetapi merumuskan kembali strategi pembangunan yang cocok untuk Indonesia. Kalau strategi pembangunan ekonomi yang kita tempuh benar, maka sebenarnya semua program pembangunan adalah sekaligus menjadi program penanggulangan kemiskinan.
            Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan ekonomi kerakyatan ini adalah :
1.      Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
2.      Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
3.      Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
4.      Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional
Untuk kondisi Provinsi Jawa Barat, Gubernur Terpilih Periode 2008 – 2013, memiliki misi untuk meningkatkan perekonomian rakyat yang tertuang dalam misi Gubernur ke 2,4 dan 5 pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat, yaitu :
§  Memfokuskan pada pembangunan nyata perekonomian masyarakat berbasis agroindustri dan bahari yang berwawasan lingkungan,
§  Menumbuhakan investasi dalam negeri yang mampu secara langsung mengangkat perekonomian dan kesejahteraan rakyat,
§  Memperkuat pemberdayaan perempuan dalam pembangunan ekonomi, sosial, politik dan perlindungan terhadap anak.

III. Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)

Ekonomi kerakyatan yang dianggap paling sesuai untuk kondisi dan karakteristik negara Indonesia, khususnya Provinsi Jawa Barat adalah Koperasi dan UMKM. Koperasi adalah bentuk aplikasi secara nyata untuk ekonomi kerakyatan. Menurut Suryadarma Ali (Menteri Koperasi Sekarang), koperasi merupakan instrumen pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sedangkan menurut Agung Bharata (Bupati Gianyar, Bali), koperasi merupakan usaha yang diyakini mampu menjawab kendala pembangunan, yaitu kemiskinan.

Menurut Prof. Yuyun Wirasasmita, MSc., dalam buku “Analisis Ekonomi Jawa Barat”, Penerbit UNPAD Press, Bandung, 2003.
“Kewirausahaan dan wirausaha merupakan faktor produksi aktif yang dapat menggerakkan dan memanfaatkan sumberdaya lainnya seperti sumberdaya alam, modal dan teknologi, sehingga dapat menciptakan kekayaan dan kemakmuran, yaitu melalui penciptaan lapangan kerja,penghasilan dan produk yang diperlukan masyarakat, karena itu pengembangan kewirausahaan merupakan suatu keharusan di dalam pembangunan.”

Menurut Dr.Nunuy Nur Afiah,dkk.,dalam buku “Analisis Ekonomi Jawa Barat”, Penerbit UNPAD Press, Bandung, 2003.
”Definisi UKM berdasarkan UU No. 1 Tahun 1995, usaha kecil menengah memiliki kriteria sebagai berikut :
         Kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
         Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1 milyar
         Milik Warga Negara Indonesia (WNI)
         Berdiri sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusaan yang dimiliki atau dikuasai oleh perusahaan besar
         Bentuk  usaha orang per orang, badan usaha berbadan hokum atau tidak, termasuk koperasi.
         Untuk sektor industri, memiliki total asset maksimal Rp. 5 milyar
         Untuk sektor non industri memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 600 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp. 3 milyar pada usaha yang dibiayai.

Kelebihan UMKM adalah UMKM pada kenyataannya mampu bertahan dan mengantisipasi kelesuan perekonomian yang disebabkan inflasi atau berbagai faktor penyebab lainnya. Tanpa subsidi maupun proteksi, UMKM mampu menambah devisa negara khususnya industri kecil di sektor non-formal dan mampu berperan sebagai penyangga dalam perekonomian masyarakat kecil lapisan bawah. Sedangkan Kelemahan UMKM dan hambatannya terutama dalam pengelolaan usaha kecil umumnya berkaitan dengan faktor internal seperti, manajemen perusahaan, keterbatasan modal, pembagian kerja yang tidak proporsional serta strategi pemasaran yang kurang mampu bersaing. UMKM juga seringkali harus menghadapi mekanisme pasar yang tidak seimbang serta struktur pasar yang berlapis.
Namun, dengan penangan yang terpadu dan terarah untuk mengembangkan potensi usaha bagi Koperasi dan UMKM ini, diperkirakan menjadi asset ekonomi bangsa yang sangat besar dan memicu laju pertumbuhan ekonomi di masa depan serta mampu mnegurangi kesenjangan distribusi pendapatan.

IV. Perempuan, Koperasi dan UMKM

Di era globalisasi ini, perempuan Indonesia mempunyai peluang dan kesempatan yang sangat besar untuk berkembang. Peluang dan kesempatan itu ditunjang pula oleh kondisi perubahan pandangan tentang citra perempuan dan pengakuan oleh lingkungan sosial terhadap keberadaan perempuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal tersebut di atas sejalan dan atau disertai pula dengan tuntutan pembangunan  nasional yang memerlukan peran serta seluruh warga Negara Indonesia dalam berbagai bidang kegiatan pembangunan. Sebagai bagian integral dari warga Negara Indonesia, kaum perempuan juga dituntut untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional.

Menurut APCTT (APCTT = ASIAN AND PACIFIC CENTRE FOR TRANSFER OF TECHNOLOGY (WED, 2007), pada Abad ke-21 ini adalah abad dimana “Lingkungan dunia sangat ramah terhadap Pengusaha Perempuan” atau diistilahkan sebagai “Womenomics Century”. Hal itu disebabkan karena :
1.      Proses globalisasi secara progresif mengurangi kendala pada kewirausahaan perempuan,
2.      Dengan berkembangnya ICT memungkinkan perempuan bekerja dari rumah tanpa meninggalkan keluarga,
3.      Perempuan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam ruang pasar global untuk berkembang menjadi entrepreneur, manager and investor.

Pemberdayaan perempuan dalam ekonomi sebagaimana misi Gubernur Jawa Barat saat ini bisa dilakan dengan Transformasi Ekonomi pada kewirausahaan Perempuan. Perempuan dari semua latar belakang sosial-ekonomi banyak yang bergerak pada kewirausahaan. Pada mayoritas sektor industri jasa,  perempuan perlu didukung untuk bergerak di bisnis ventura. Saat ini terjadi pergeseran dari sektor tradisional ke sektor modern termasuk untuk pengembangan manajemen dan teknis, perempuan memiliki kesempatan besar untuk bergerak pada perubahan teknologi yang digunakan. Pada era glabalisasi saat ini, penggunaan ICT untuk perdagangan internasional sangat menguntungkan kewirausahaan perempuan.

Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang dimulai dari sektor rumah tangga telah mampu menggali berbagai potensi ekonomi daerah yang sebelumnya tidak terungkap, melalui kreativitas dan inovasi. Ibu rumah tangga atau perempuan pada umumnya berperan besar dalam keberhasilan Koperasi dan terutama untuk UMKM. Keuntungan Kperasi dan UMKM ini adalah antara lain, dapat dilakukan dengan lebih bebas dan pada tempat yang mungkin saja disekitar tempat tinggal, sehingga tidak terlalu lama meninggalkan keluarga atau sewaktu-waktu dapat saja kembali menengok anak-anaknya/ keluarga. Pada beberapa kasus UMKM, upaya ini pun menjadi perekat keluarga karena suami ikut bersama-sama membangun usaha bisnis keluarga.
Kekuatan ekonomi perempuan yaitu :
         Perempuan sama dengan laki-laki dalam hal tanggung-jawab dalam menjalankan bisnis/usaha, tetapi perempuan lebih disiplin dalam mencicil utang/pinjaman modal (contoh kasus : Grameen Bank di Pakistan, 90% nasabahnya adalah perempuan)
         Perempuan juga pada saat memiliki kewirausahaan harus tetap mengerjakan pekerjaan rumah dan mengawasi anak-anak.
         Perempuan sebagai manajer lebih komprehensif dalam mengelola kewirausahaan
         Perempuan juga lebih cermat dalam melihat potensi pasar dan mengelola keuangan
         Perempuan lebih sabar dalam menghadapi tantangan dalam bisnis
         Mengembangkan kewirausahaan perempuan sangat berarti bagi pengembangan sumber daya manusia yang potensial

Kelemahan/kendala pada kewirausahaan perempuan
1.      Kendala secara umum :
         Keterbatasan akses terhadap pemodalan
         Kekurangan SDM (Perempuan) yang terampil
         Keterbatasan infrastruktur dasar, seperti :jalan, komunikasi, listrik, dan air
         Keterbatasan kemampuan manajerial dan kecakapan teknis produksi untuk meningkatkan daya saing di pasaran
         Keterbatasan fasilitas terhadap informasi dan teknis pemasaran
         Keterbatasan kemampuan untuk menangkap peluang pasar
         Keterbatasan biaya untuk penelitian terhadap pengembangan teknologi untuk bahan hasil bumi
         Kelangkaan bahan baku
         Ketergantungan terhadap jasa perantara

2.      Kendala secara pribadi :
         Mobilitas rendah
         Kurang Percaya Diri
         Rendahnya pendidikan Formal dan Informal yang mendukung kewirausahaan
         Pengaruh kultur lingkungan sosial dan  keluarga
         Kemampuan mengorganisasi yang rendah

Jika kekuatan kewirausahaan pada perempuan ini bisa dikembangkan dan kelemahannya mampu dieliminasi, maka potensi ekonomi pada perempuan di masa depan mampu menjadi aset ekonomi potensial terbesar bagi negara Indonesia.

V. Kesimpulan

            Ekonomi kerakyatan yang paling sesuai dengan karakteristik Indonesia, tuntutan Konstsitusi bangsa, fakta empirik dan akibat dari kegagalan pembangunan ekonomi periode sebelumnya, yaitu ekonomi yang melibatkan rakyat banyak terkait dengan potensi sumber daya alam dan sumberdaya manusianya. Implementasi ekonomi kerakyatan tersebut dalam bentuk Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang diperkirakan mampu mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan distribusi pendapatan sekaligus mengurangi kesenjangan. Pemberdayaan perempuan Indonesia dalam bidang ekonomi saat ini dianggap cukup berhasil. Perempuan dewasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya diperkirakan mengelola lebih dari separuh jumlah Koperasi dan UMKM di Indonesia saat ini. Sebagi contoh, Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia ( IWAPI) yang mayoritas bergerak di sektor UMKM, sudah memiliki anggota 30.000  orang yang tersebar di 20 Provinsi dan 256 Kabupaten/Kota se Indonesia. Walaupun kewirausahaan peempuan ini memiliki kelebihan dan banyak sekali kelemahannya, jika kekuatan kewirausahaan pada perempuan ini bisa dikembangkan dan kelemahannya mampu dieliminasi, maka potensi ekonomi pada perempuan di masa depan mampu menjadi aset ekonomi potensial terbesar bagi negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Adi Sasono. 1999. Ekonomi Jaringan : Menuju Demokratisasi Ekonomi di Indonesia. Konferensi Internasional Demokrasi Ekonomi. Jakarta.
Amelia Hayati. 2008. Pemberdayaan Kekuatan Ekonomi Perempuan Indonesia. Orientasi Pembauran Bangsa, BKBPMD Prov. Jawa Barat.
Arixs. 2007. Atasi Kemiskinan Bangun Ekonomi Kerakyatan.Dnas Koperasi dan UKM Prov. Bali. Denpasar.
Fedrik Benu. 2002. Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : Suatu Kajian Konseptual. Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Univ. Nusa Cendana. Kupang.
Laica Marzuki. 1999.  Penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan Dalam Kerangka Paradigma Pembangunan Kemandirian Lokal. Univ.Hasanuddin. Makasar.
Mardi Yatmo Hutomo. 2003. Konsep Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta.
Mubyarto. 2007. Ekonomi Kerakyatan dalam Era Glabalisasi. UGM. Yogyakarta.
Mubyarto. 2004. Capres/Cawapres dan Ekonomi Rakyat. UGM. Yogyakarta.
Rina Fahmi Idris. 2008. Mengawal Demokrasi Ekonomi. IWAPI. Jakarta.
Samuelson-Nordhaus. 2005. Economics. 16th Edition. Mc Graw Hill.




[1]     Staf Ahli pada Proyek Pengembangan Prasarana Perdesaan di Bappenas, dan staf pengajar Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.
[2]     Pasal 27 UUD 1945: bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pasal 33 1945: bahwa ekonomi nasional disusun dalam bentuk usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan.
[3]    Menurut data statistik, pada tahun 1970 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai sekitar 60 juta orang. Tahun 1990 jumlah penduduk miskin turun menjadi 27,2 juta jiwa dan pada tahun 1993 jumlah penduduk miskin turun 25,5 juta jiwa. Pada awal krisis ekonomi yaitu tahun 1996 jumlah penduduk miskin tinggal 15,5 juta jiwa. Perhitungan sesitivitas dari data Sesenas menunjukkan bahwa bila batas garis kemiskinan dinaikkan dari pendapatan Rp 930 perhari untuk kota dan Rp 608 hari untuk desa, menjadi Rp 1.000,- per hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia akan meningkat dari 25,5 juta menjadi 77 juta. Dari 77 juta ini 67 juta adalah orang yang tinggal di perdesaan dan 10 juta tingal di perkotaan. Bila analisis sensitivitas ini dilanjutkan dengan melihat jumlah penduduk Indonesia yang mengkonsumsi di bawah Rp 2.000 per hari atau Rp 60.000,- per bulan, maka dari data Susenas tahun 1993, jumlah orang yang hidup dengan konsumsi di bawah Rp 2.000,- per hari mencapai 82persen penduduk Indonesia. Fakta empirik ini setidaknya dapat digunakan sebagai acuan untuk mempertanyakan relevansi dan  efektivitas program-program khusus penganggulangan kemiskinan. Hasil SUSENAS tahun 1996 yang dilakukan oleh BPS, dari 26 propinsi, hanya ada satu propinsi, yaitu propinsi Kalimantan Tengah,  yang jumlah penduduknya miskinnya tidak bertambah bila dibandingkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1993 dengan tahun 1996. Sedang di 25 propinsi lainnya jumlah penduduk miskinnya meningkat. Kemudian kalau dilihat sebaran kabupaten yang penduduk miskinnya meningkat, maka persentasenya mencapai 36,08persen dari total kabupaten yang ada. Artinya, dari total kabupaten yang ada, ada 36,08persen kabupaten yang jumlah penduduk miskinnya bertambah, bila dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 1993 dengan jumlah penduduk miskin tahun 1996. Perubahan  kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk, dari data SUSENAS tahun 1996, ternyata persentase kabupaten yang kesenjangan pendapatan masyarakatnya makin buruk mencapai 50,52persen dari total kabupaten. Dari 26 propinsi (Tabel 1), hanya propinsi DKI Jakarta yang kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk mengalami perbaikan di semua kota. Sedang di 25 propinsi lainnya, kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk justru makin buruk di beberapa kabupaten/kota. Di Propinsi Jawa Timur misalnya, 44,44persen kabupaten, kesenjangan pendepatan antar golongan penduduk  justru makin memburuk dari tahun 1993 hingga tahun 1996.

[4]     Pada tahun 2001, resio hutang terhadap PDB telah mencapai 90persen.

0 Response to "Makalah Ekonomi Kerakyatan"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)