Sampah ditabur, Banjir dituai
Saya
pernah mendengar pepatah “Apa yang anda tabur, Itu juga yang akan anda tuai”. Anda
menabur padi, maka yang tuai juga adalah padi. Pepatah ini sepenuhnya benar
dalam berbagai aspek kehidupan apapun, termasuk bencana yang terjadi sekarang
ini Banjir yang sedang melanda Ibukota Negara Republik Indonesia yang kita
cintai ini. Kita tentu tidak ingin kebanjiran, sama seperti saya merasakan
begitu susahnya untuk beraktivitas ketika hujan sudah turun lebih dari 1 jam di
Jakarta ini. Banjir Tahunan ini sepertinya bukan menjadi sebuah bencana lagi,
tetapi sudah merupakan hal yang biasa karena musiman (pasti akan datang sekali
setahun). Bagi orang-orang yang berdomisili di Jakarta hal ini merupakan sebuah
keharusan, “bersedia menanggung banjir jika ingin tinggal di Jakarta”. Tetapi bagi
orang yang berada di luar pulau Jawa, ini benar-benar sebuah bencana yang
mengerikan.
Sayangnya,
tidak semua mampu menyikapi dilema ini dengan bijak. Bagi mereka yang tinggal
di pinggiran/bantaran kali, mereka terkadang tidak terima jika harus di
relokasi padahal tujuannya adalah untuk kegiatan normalisasi kali. Sungguh tidak
terbayangkan jika pemukiman penduduk di sepanjang kali Ciliwung tidak
direlokasi hingga kini, korban nyawa sudah menjadi sebuah kepastian. Separuh kampung
Melayu sudah dipastikan tenggelam. Tetapi pemerintah Provinsi DKI Jakarta
memilih untuk memindahkan mereka yang berada di bantaran kali, melakukan
negosiasi dengan baik-baik, memberikan santunan, hingga menyediakan rumah susun
(rusun) bagi mereka yang bersedia
tinggal di Rusun.
Bagi
mereka yang memiliki pandangan politik berbeda dengan pemerintahan yang ada
sekarang ini, mereka biasanya menghujat dan mengkritik kinerja pemerintah yang
sedang berjalan. Serangan protes sana sini seakan-akan membabi buta tanpa kenal
ampun. Beruntung, pemerintah menyikapinya dengan lunak.
Saya
sering melewati beberapa kali besar yang ada di daerah Jakarta, bukan air yang
saya lihat mengalir dengan tenang, tetapi “timbunan sampah” yang menggunung dan
bahkan menutupi sepanjang daerah aliran sungai. Tak pelak, aliran sungai
berhenti, air menjadi hitam, bau busuk yang tak sedap, dan air tersebut sangat
tidak layak untuk dimanfaatkan kembali.
Saya
bahkan sudah ratusan kali melihat ibu-ibu rumah tangga dengan sengaja membuang
limbah rumah tangga setumpuk keranjang sampah ke kali ciliwung. Mungkin jika
yang melakukan hanya satu orang dan satu kali saja, sampah tersebut masih bisa
di netralisir oleh aliran kali. Tetapi, bukan hanya satu yang membuang sampah
disana, 1 orang yang membuang sampah disana hanyalah awal dari ribuan orang
yang memuntahkan tumpukan sampah rumah tangga yang menggunung di kali tersebut.
Saya
pernah menegur mereka dengan sopan, sembari memberikan apa efek/dampak dari tindakan seperti itu, tetapi mereka
justru bertindak sinis dan mengganggap “siapa
loe?”. Saya berpaling dan menadah kepada yang lain, semuanya merespon sama.
Mungkin kebiasaan seperti ini telah menjadi membudaya “membuang sampah dikali”.
Secara
langsung, mereka memang tidak merasakan efeknya, tetapi disaat tahun baru mulai
menyambut, mereka mulai merintih dan menjerit. Tak sedikit dari jeritan mereka
bernada kasar dan tidak manusiawi untuk ukuran manusia yang seharusnya. Mereka menyalahkan
pemerintah yang tidak bisa menghapuskan banjir dari Ibu Kota. Mereka berkoar-koar
menagih janji sang Presiden dan Gubernur, apalagi dibantu oleh media yang kotra
pemerintahan yang berlansung.
Saya
menganggap ini wajar saja, tetapi ada suatu hal yang mereka lupakan, ada satu
hal yang mereka tidak sadari, mereka lupa apa yang mereka tanam dihari kemarin
telah berbuah dan buahnya itu begitu besar. Mereka lupa buah yang mereka tanam
itu adalah buah keangkuhan. Saking besar buahnya tidak mampu dimakan oleh
masyarakat Jakarta. Buahnya bahkan memakan mereka-mereka yang telah mengabaikan
keindahan badan kota Jakarta yang dikaruniakan oleh sang Pencipta. Mereka lupa
memupuk pohon yang telah dititipkan oleh Tuhan kepada rakyat Jakarta. Ibarat
memerah sapi tanpa memberi makan dan minum.
Semoga
kita menjadi sadar bahwa begitu besar anugerah Tuhan yang kita dapatkan, dan
memang seharusnya kita lestarikan bersama. Alam itu akan marah kepada kita jika
kita tidak tahu berterimakasih kepada alam itu sendiri. Mungkin alam itu tidak
akan marah setiap hari, dia hanya marah sekali-sekali, tetapi percayalah anda
tidak akan bisa lari dari murkanya. Semoga menjadi pelajaran kepada kita semua,
Jakarta semakin bebas dari sampah. 1 sampah yang anda buang ditempatnya sama
dengan membuang air banjir dari Jakarta. Mari lakukan langkah kecil dengan turut
menjadi pelopor membuah sampah ditempatnya dimanapun dan kapanpun anda berada. Biarkan
bumi kita kembali tersenyum, cukuplah dia menangis 1 kali ini saja.
Penulis
adalah seorang Mahasiswa yang merupakan penulis dan blogger
Ikuti
akun fb saya di : Jhon Miduk
Twitter
: @JhonMiduk
0 Response to "Sampah ditabur, Banjir dituai"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)