Ketika Puisi Menjadi Senjata Politik

Ketika Puisi Menjadi Senjata Politik
                                                                                                                         Oleh : Jhon Miduk Sitorus
       
             Fenomena yang terakhir terjadi ketika akan memasuki pemillihan Calon Anggota Legistlatif dan Partai adalah berkampanye dengan menyerang pihak lawan secara langsung. Kampanye ini cukup unik, karena menggunakan sebuah cara baru untuk berorasi. Namanya Puisi. Entah mungkin sang politisi lebih cocok jadi seorang Penyair atau sastrawan dibanding dengan Politisi sendiri, tetapi inilah fenomena yang terjadi di kalangan Politik Masyarakat Indonesia. Strategi menyerang lawan secara tidak langsung memang efektif dengan menggunakan puisi. Lihat saja misalnya, ketika kampanye Pemilu 2014, Partai Gerindra menggunakan puisi untuk menyerang lawan Politiknya Partai PDI-Perjuangan secara tidak langsung. Puisi itu berjudul Boneka, beberapa isinya seakan menyindir Joko-Widodo yang dicapreskan oleh Ketua Umum Golkar, Megawati Soekarno Putri.
            Cara menyindir lawan lewat puisi memang halus, tidak menimbulkan kerugian material, tidak menimbulkan keresahan di mata masyarakat secara tidak langsung, bahkan tidak ada UU yang melanggar tentang menyindir orang lain melalui karya sastra termasuk puisi. Tetapi jika kita melihat dampak secara tidak langsung, ada penambahan fungsi dari suatu karya sastra. Ya, itulah fungsi membunuh lawan sesuai dengan keadaan kampanye politik 2014 bulan Maret kebelakang. Sejatinya Puisi itu merupakan karya sastra untuk mendidik bukan untuk melemahkan pihak manusia.
            Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi iniadalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa.Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut. Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
            Jika kita melihat berdasarkan defenisi diatas, maka unsur-unsur keindahan sastra itu memang tidak ada pada puisi di aksi kampanye pemilu 2014.  Puisi hanya ditujukan untuk menghancurkan lawan.keberadaan ini juga didukung oleh beberapa budayawan seperti Ridwan Saidi yang mendukung puisi Boneka yang diciptakan oleh Partai Gerindra. Tentu aneh bukan? Budayawan saja sudah ikut mengalihfungsikan fungsi Puisi yang seharusnya.  Budayawan seharusnya memberikan perbaikan-perbaikan kepada para pengguna puisi yang bertujuan untuk membunuh lawan, bukan mendukung seperti.
            Bahaya laten yang akan terjadi dikemudian hari adalah para generasi bangsa akan menggunakan puisi untuk menyerang lawan, menggunakan puisi sebagai alat membenarkan kejahatan, menggunakan puisi untuk membuktikan diri sebagai orang yang tidak bersalah. Yang lebih ditakutkan adalah budaya demokrasi ketika berkampanye adalah budaya saling serang, bukan budaya mengorasikan Visi dan Misi partai masing-masing. Pemilu 2014 telah memberikan banyak perubahan yang secara tidak langsung mungkin berpengaruh kepada anda sendiri. Saya harap para budayawan seperti Ridwa Saidi juga perlu dipertanyakan, Para Politisi Gerindra Fadli Zon, Prabowo Subianto, kader PDI-P yang menciptakan puisi juga perlu dididik tentang penggunaan karya sastra lebih lanjut agar nantinya budaya kampanye politik bangsa kita ini bukan budaya membunuh lawan, tetapi budaya mengemban Visi dan Misi bersama-sama karena Pemilu diadakan untuk bekerja sama bukan untuk berpecah Belah. Untuk generasi Muda, tetap gunakan budaya demokrasi yang Adil, Jujur, Bersih, dan Rahasia,, agar Negara kita ini nantinya tidak menciptakan para pembunuh berbasis sastra.



0 Response to "Ketika Puisi Menjadi Senjata Politik"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)