Tidak Ada Manusia yang 100% Ateis
Seperti
yang kita ketahui, Ateis merupakan sebuah pandangan filosofi yang tidak
mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap theism.[1] Banyak
orang yang mengaku memiliki agama memiliki pandangan yang negative terhadap
atheis. Hal tersebut memang wajar terjadi karena atheis sangat bertentangan
dengan agama manapun. Bahkan orang yang misalnya jarang beribadah di depan mata
orang, sudah banyak orang yang langsung memberikan cap ateis kepada orang
tersebut.
Orang-orang
yang dicap sebagai ateis didominasi oleh orang-orang yang sudah berpendidikan
tinggi dan kebanyakan hidupnya dikelilingi oleh tekhnologi. Sedangkan orang-orang
yang beragama seakan-akan berlomba-lomba untuk menghindari sebutan ateis
terhadap dirinya dari orang lain terutama lingkungannya. Orang-orang yang
beragama berusaha memperkuat keyakinan masing-masing tanpa memperdulikan apa
sebenarnya makna dari ateis itu. Meski dinegara Indonesia golongan ateis masih
sangat sulit ditemui, tetapi lambat laun, pengaruh tersebut sudah mulai
menyebar ke republic kita ini juga karena kehidupan hedonism dan materialistis
yang sangat berlimpah dan persaingan untuk mendapatkannya.
Lantas,
bagaimana sebenarnya seseorang bisa disebut ateis? Jika kita berpikir secara logika, orang-orang
yang telah dicap sebagai ateis mengakui secara terang-terangan bahwa ada sebuah
kekuatan yang lebih besar dari kekuatan mereka dan alam, tetapi mereka tidak
mau menyebutkannya sebagai Tuhan. Ibarat, mereka hanya mengatakan ini adalah
kekuatan pencipta-Nya. Mereka mungkin tahu secara sekedar, siapakah Tuhan itu? Tetapi
hal yang mendasar bagi mereka untuk tidak mengakuinya adalah banyaknya agama di
dunia yang menyebabkan perbedaan keTuhanan. Misalnya, Agama Kristen mengakui
ada Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, agama Islam mengakui mengakui Allah saja,
agama Budha mengakui sang Budha, dan lain-lain.
Banyak
mereka yang dicap ateis tidak ingin memilih satu agamapun dari agama yang ada
dimuka bumi ini, karena sama-sama mengatakan ada ke tidak validan maupun
keanehan yang kurang masuk akal. Bukan soal isi kitab masing-masing, tetapi
soal ajarannya dan praktek yang dilakukan oleh para pengikut agama tersebut
tidak sesuai dan banyak yang menyimpang dari yang seharusnya.
Bagaimanakah ateis hidup? Ini adalah sebuah pertanyaan yang sangat
menantang karena manusia yang lazimnya beragama hidup berdasarkan aturan agama
mereka masing-masing. Berdasarkan pendapat dari seorang Filsuf Susan Neiman dan
Julian Baggini “perilaku etis yang
dilakukan hanya kerena mandate yang diatas bukalah perilaku etis yang
sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta”. Baginni berargumen bahwa ”ateisme merupakan dasar etika yang lebih
superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah
diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri, sebagai contoh,
anda haruslah mencuri, adalah amoal bahkan jika suatu agama memerintahkannya,
sehinggga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi
tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.[2]
Kaum ateis tau aturan yang baik dan
buruk, mereka tau apa yang paling baik untuk kehidupan mereka, hanya untuk
kebebasan, mereka kurang dibatasi bahkan tidak ada batas dalam melakukan
sesuatu hal yang bisa memuaskan kebutuhan jasmani, rohani, dan psikis. Mereka tahu
bahwa Tuhan itu ada, tetapi tidak menyebutnya sebagai Tuhan Allah sebagai mana
kita mengakui-Nya.
Dalam
sebuah ilmu empiris dan rasionalis mengatakan, tidak ada yang abadi dalam dunia
ini, jelas merupakan sebuah pernyataan yang harus kita akui juga karena memang
halnya demikian. Semua pandangan ilmu memang berbeda-beda, tidak akan sama
dalam hal filosofisnya tentang ateis, terutama ilmu agama yang jelas-jelas
menentang keadaan dan kehidupan ateis.
Agama
dan ateis, merupakan sebuah karunia bagi umat manusia agar mampu
mempertimbangkan pilihan terbaiknya dalam kehidupannya. Hidup adalah pilihan,
tetapi hidup yang kekal adalah suatu keharusan. Kita sebenarnya tidak memiliki
bukti konkret soal hidup yang kekal selamanya karena kematian hanya 1 kali. Kita
bahkan tidak tahu bahwa roh kita itu ada dan bisa bangkit ketika kita sudah
meninggal. Kita hanya mengimani ajaran agama kita sebagaimana yang telah
diajarkan oleh pendahulu kita. Begitu juga dengan yang kita sebut ateis, mereka
hidup dengan ajaran kebenaran mereka dan yakin bahwa mereka akan memiliki hidup
yang lebih baik dengan cara mereka.
Penulis
: Jhon Miduk Sitorus.
0 Response to "Tidak Ada Manusia yang 100% Ateis"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)