Makalah Sosial Ekonomi Banten
BAB
I
Pendahuluan
Sosial
Ekonomi dan Perdagangan di Kesultanan Banten
Kesultanan Banten merupakan kerajaan islam Indonesia
yang terletak di barat pulau Jawa. Pada mulanya Kesultanan Banten dikuasai oleh
Kerajaan Pajajaran. Raja di Kerajaan Pajajaran bersekutu dengan bangsa Portugis
untuk membendung Kerajaan Demak untuk memperluas wilayahnya. Oleh karena itu
raja Demak yaitu Sultan Trenggana memerintah Fatahilah untuk merebut Kesultanan
Banten dari tangan Kerajaan Pajajaran. Ternyata usaha tersebut berhasil dengan
gemilang. Pasukan Kesultanan Banten dibawah pemimpin fatahilah berhasil
menaklukan Kesultanan Banten yang sedang berusaha menghalangi Demak dalam
memperluas wilayahnya.
Pada
awalnya pusat kota Banten tidak berada di pesisir, akan tetapi terletak di
suatu tempat yang dinamakan Banten Girang, walaupun Banten pesisir pada saat
itu sudah merupakan pelabuhan dagang. Banten yang kemudian bergeser ke daerah
pesisir adalah kota pelabuhan Banten setelah berkembangnya agama dan
pemerintahan Islam[1]
Pada
tahun 1526, pasukan Demak, dibantu Sunan Gunung Jati dan putranya, Hasanuddin
menduduki pelabuhan sunda. Pasukan Demak mendirikan Kesultanan Banten yang
tunduk pada Demak, dengan Hasanuddin sebagai raja pertama. Menurut sumber
Portugis, saat itu Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Pajajaran,
disamping Pontang, Cigede, Tanggara (Tangerang), Kalapa (kini Jakarta) dan
Cimangu. Awal pekembangan Kesultanan Banten semula Banten menjadi daerah
kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Negara
dan bangsa lain yang memasuki wilayah Banten dan melakukan perdagangan akan
dikenakan pajak masuk yang mendirikan keuntungan bagi Kesultanan Banten. Dengan
demikian Kesultanan Banten mengalami
kemajuan yang sangat cepat dengan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Kesultanan
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai karena
menghasilkan lada dan pala yang banyak. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya, antara lain kerajaan Banten terletak di teluk Banten dan
pelabuhannya memiliki syarat menjadi pelabuhan yang baik. Dengan pelabuhan yang
memadai itu, Kesultanan Banten dapat didatangi oleh pedagang-pedagang dari
luar, seperti pedagang dari Cina, India, Gujarat, Persia dan Arab yang setelah
berlabuh di Aceh, banyak yang melanjutkan pelayaran melalui pantai barat
Sumatera menuju Banten, selain pedagang dari luar, ada juga pedagang yang
datang dari kerajaan-kerajaan tetangga, seperti dari Kalimantan, Makassar, Nusa
Tenggara dan Maluku[2].
Kedudukan Kesultanan Banten yang sangat strategis di tepi selat sunda, karena
aktivitas pelayaran perdagangan dari pedagang islam makin ramai sejak bangsa
portugis berkuasa di Malaka[3].
Kedua faktor ini merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan
perdagangan dan pelayaran, sehingga pada saat itu Kesultanan Banten sangat
cepat mengalami perkembangan yang sangat pesat.
BAB
II
Pembahasan
Kehidupan
Sosial di Kesultanan Banten
Tahun 1670-an
merupakan periode yang paling cemerlang dalam sejarah
Kesultanan Banten. Banten memiliki tempat berlabuh yang cukup besar. Kehidupan
masyarakat Banten yang memiliki latar belakang dalam dunia pelayaran,
perdagangan dan pertanian mengakibatkan masyarakat Banten, memiliki jiwa bebas
dan lebih bersifat terbuka, dengan demikian mereka dapat bergaul dengan
pedagang-pedagang dari berbagai bangsa lain. Para pedagang tersebut banyak
menetap dan mendirikan serta membangun pertanggungan di Banten seperti
perkampungan keling, perkampungan pekayon (Arab), perkampungan pecinaan (Cina)
dan sebagainya. Selain perkampungan, ada pula perkampungan yang dibentuk
berdasarkan pekerjaan seperti kampung pande (para pandai besi), kampung
panjunan (pembuat pecah belah), dan kampung kauman (para ulama). Kehidupan
sosial masyarakat Banten memiliki landasan yang mengacu pada ajaran-ajaran yang
berlangsung dan sesuai dengan agama islam, sehingga kehidupan masyarakat hidup
secara teratur.
Selama Maulana Hasanuddin berkuasa,
Banten mengalami perkembangan yang pesat. Banten menjadi salah satu pusat
penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Pada masa inilah
Banten melepaskan diri dari Demak, menjadi kerajaan merdeka. Maka dari itu
Maulana Hasanuddin lalu dianggap sebagai pendiri dan raja pertama Banten.
Maulana Hasanuddin juga mempelopori pembangunan istana Surosowan. Letak ibu
kota Surosowan di teluk Banten sangat strategis untuk pertumbuhan dan
perkembangan bahkan memuncaknya kesultanan. Pusat kerajaan yang mula-mula ada
di Banten Girang tersebut kemudian dipindahkan ke kota Surosowan, Banten Lama.
Gambaran mengenai kota Banten pada awal abad ke- 16 terletak dipertengahan
pesisir sebuah teluk yang lebarnya 3 mil[4].
Penduduk-penduduk asli Kesultanan Banten
mendiami rumah-rumah penduduk yang tertutup dan tertata rapi serta mengelilingi
istana. Sedangkan bagi masyarakat Banten yang bermata pencaharian sebagai
nelayan dan pembuat kapal, mereka mendiami rumah di tepi sungai Cibanten. Bagi
kaum pendatang dan pedagang asing, Sultan Hasanuddin menyediakan lokasi
disebelah barat dan timur dari batas sebelah utara kota itu sendiri.
transportasi perdagangan menggunakan rakit dalam kanal-kanal buatan. Maulana
Yusuf disamping melanjutkan penyebaran islam, juga melaksanakan pembangunan
kota, membuat perbentengan yang dibuat dari batu-bata, membangun keraton dan
lain-lain. Tak lupa pula ia berusaha untuk mendatangkan kemakmuran bagi rakyat
dengan jalan menyempurnakan penanaman padi, sawah dengan sistem irigasi. Mesjid
dan pesantren pun menjadi perhatian besar dari pemerintahan Maulana Yusuf. Pada
babad atau sejarah Banten, diceritakan bahwa pada masa Maulana Yusuf,
Kesultanan Banten mengalami kemajuan bukan saja dalam bidang pembangunan, namun
juga pembangunan desa dan pembuatan persawahan serta perladangan.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa, kehidupan sosial masyarakat Banten semakin meningkat pesat karena
pada saat itu Sultan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Usaha yang ditempuh
Sultan Ageng Tirtayasa dalam mensejahterakan rakyatnya salah satunya adalah
menerapkan sistem perdagangan bebas yang mampu mengusir VOC dari Batavia.
Meskipun agama Islam mempengaruhi sebagian besar
kehidupan kesultanan Banten, namun penduduk Banten telah menjalankan dan
menunjukkan praktek toleransi keberadaan pemeluk agama lain. Hal ini dibuktikan
dengan dibangunnya sebuah klenteng di pelabuhan Banten pada tahun 1673. Hal
tersebut membuktikan bahwa ketika itu telah terjalin toleransi antara orang
Banten dengan etnis Cina.
·
Perdagangan Ekspor di Kesultanan Banten
Secara geografis, Kesultanan Banten
kondisi perdagangannya dibagi menjadi tiga macam. Ada lokal, regional, dan
internasional. Sebagian besar penghasilannya di Kesultanan Banten bertumpu pada
perdagangan. Kegiatan perdagangan terwujud karena ada pihak produsen,
distributor maupun konsumen. Barang-barang ini ditukar melalui sistem ekspor
dan impor. Perdagangan ekspor adalah penjualan barang-barang ke luar wilayah
Kesultanan banten, baik berupa hasil pertanian maupun non pertanian. Ekspor
dan impor merupakan mekanisme pemenuhan kebutuhan barang dan jasa lintas
wilayah, yang mengkaitkan wilayah produksi dan konsumen melalui pola-pola
distribusi tertentu. Barang yang
diekspor berupa budidaya tanaman dan hasil peternakan yaitu lada, beras, asam,
buah-buahan dan sayur-sayuran dan Kesultanan Banten juga mengekspor tuak,
kambing dan sapi.
Perdagangan impor diartikan sebagai
penjualan barang-barang yang didatangkan dari luar wilayah Kesultanan banten,
baik berupa bahan makanan maupun peralatan atau perkakas sehari-hari.
Ø
Hasil Pertanian
Salah satu upaya
masyarakat Kesultanan banten meningkatkan hasil produksi pertaniannya, antara
lain dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman, baik untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri maupun dijual ke luar kesultanan. Petani, sebagai
produsen yang mengupayakan lahan untuk bercocok tanam berperan penting sebagai
penghasil komoditas yang diperjualbelikan. Dalam hal ini, produsen dianggap
menguasai alat produksi, termasuk tenaga kerja, dan menukarkan tenaga kerjanya
sendiri serta hasil produksinya dengan barang-barang dan jasa-jasa orang lain.
a.
Lada
Kesultanan Banten telah
mampu menghasilkan lada dan mendistribusikannya sebagai komoditi dunia (world
commodity). Kesultanan Banten juga mendatangkan data dari Lampung, Pelmbang, Bengkulu dan Jambi yang
saat itu berada dibawah pengawasan pemerintah banten. Keadaan ini
menggambarkan bahwa kesultanan Banten telah mempu menghasilkan lada dan
mendistribusikannya sebagai komoditi dunia.
Pada masa penjualan
lada mengalamai pasang surut sesuai dengan banyak sedikitnya permintaan akan
komoditas tersebut. Kondisi ini mendorong pula petani lada untuk mengendalikan
harga, bila permintaan dan persediaan banyak, maka harga lada menjadi turun
sebaliknya kalau permintaan banyak namun persediaan sedikit maka harga menjadi
mahal. Akibat
dari perubahan ini maka perdagangan menjadi meningkan, baik secara ekonomi
maupun politik dan mendatangkan kemakmuran.
Ada
ciri yang menarik dari system perdagangan di pelabuhan Banten ini, yaitu
penggunaan ukuran dan sauna berat timbangan yang dignakan untuk menimbang lada.
Diketahui bahwa satu gantang berisi
kira-kira 3 pon menurut timbngan Belanda, seain itu satu bahar sama dengan 375 pon (Chijs. 1881). Sedangkan pada zaman
sekarang sat upon sama dengan ½
kilogram[5].
b.
Beras
Salah satu komoditas
ekspor kesultanan Banten selain lada ialah padi meski tidak berlangsung lama.
Dalam sejarah Banten disebutkan Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun
lumbung besar di alun-alun.
c.
Cengkeh
Bahan
rempah lain yang banyak dijual keluar Banten adalah cengkeh sebagaimana
tercatat oleh arsip VOC, tahun 1629 diperkiraakan cengkeh yang dibeli oleh
Inggris sebanyak 120.000 pon. Jumlah ini meningkat ditahun 1636 hingga mencapai
300.000 pon, dan menurun di tahun 1638 hanya 118.000 bahkan ditahun 1641 hanya
mencapai 46.000 pon. Besarnya jumlah cengkeh yang berhasil di ekspor Banten
memperlihatkan bahwa perdagangan rempah dari kawasan luar Banten berlangsung
dengan baik.
d.
Buah-buahan
Menurut
catatan Belanda yang termuat didalam Dagh Register tahun 1676 tertulis
bahwa Banteng menghasilkan berbagai buah-buahan dan sayur mayor dijual ke
Batavia. Termasuk diantaranya ialah kelapa, pinang, tembakau, asam, bahkan
disebutkan adanya pengiriman telur asin serta gula. Berita tertulis lain
mengutarakan bahwa Banten menghasilkan pula ketimun, buncis, dan semangka.
e.
Gula
Konsumen gula ini
agaknya tidak terbatas pada golongan masyarakat tertentu saja, orang Inggris
lebih suka pada gula yang terbuat dari bahan tebu sehingga banyak petani Banten
yang memanfaatkan peluang ini untuk memasok kebutuhan bangsa asing tersebut. Pedagang yang
terlibatpun agaknya sangat terbatas, seperti pedagang Cina yang membawa
langsung komoditas ini untuk dijadikan barang dagangan ke Cina.
Pada saat harga lada
menurun dan sewaktu kesultanan ini diblokade Belanda maka sultan memerintahkan
para petani untuk menanam tebu dan padi. Tebu selanjutnya diolah menjadi gula
pbanyak dibutuhkan oleh orang-orang Inggris yang tinggal di Banten. Pengolahan
gula tebu juga banyak diusahakan pula oleh orang Cina yang bertempat tinggal di
Banten , bahkan ketika hasil lada berkurang gula tebu ini dijualnya sebagai
barang ekspor ke cina.
f.
Jahe
Pada
tahun 1664, menurut catatan pedagang Inggris, mereka diharuskan oleh penguasa
untuk membeli 1000 guci jahe. Karena tampaknya
penguasa yang terlibat dalam penjualan jahe ini menggunakan kekuasaan yang
dimilikinya guna megalihkan produk yang dihasilkannya. Sementara pihak
konsumen, dalam hal ini pedagang Inggris seakan terpaksa membeli dagangan ini,
meski barangkali bukan merupakan kebutuhannya.
Peristiwa
diatas terlihat bahwa penguasa melakukan jual beli yang bersifat yang ahrus
dibeli konsumen dan tidak mustahil bila harga ditentukan oleh
penguasa.monopoli, dimana produsen menentukan sendiri siapa dan berapa banyak
barang
Ø
Hasil Non Pertanian
a.
Kapur
Sumber tertulis yang
sama menyebutkan pula bahwa kapal dari Banten membawa kapur dalam pot ke
Batavia. Jenis kapur apa yang dimaksud tidak dijelaskan, hanya diperkirakan
kapur tersebut adalah kapur yang buasa dipakai sebagai pelengkap makan sirih.
Kebiasaan menguyah sirih di Banten telah dibuktikan dengan ditemukannya sebuah
wadah dari keramik yang berisi kapur di situs Pamarican juga sendok sirih yang
pernah ditemukan dalam kotak penggalian situs Sukadiri.
Kapur disini adalah kapur sirih, karena sangat
mustahil bila kapur untuk bangunan disimpan dalam wadah. Karena disebutkan
bahwa kapur ini ditaruh didalam pot, atau mungkin semacam tempat penyimpann
makanan.
b.
Ikan
Adanya bukti ikan
disitus Banten Lama serta pernyataan dari sumber tertulis tentang penjualan
ikan ke Batavia. Ditambah lagi
lingkungan daerah
Banten yang terdiri dari laut, sungai dan rawa sangat memungkinkan berbagai
jenis ikan berkembang biak di habitat tersebut. Dengan demikian tidak mustahil
pemanfaatan ikan di Kesultanan Banten bukan saja berasal dari air asiin,
melainkan juga dari air tawar dan payau. Berlimpahnya ikan diperairan teluk
Banten pernah digambarkan oleh orang Belanda yang berkunjung tahu n 1596.
c.
Rotan
Dahg Register tahun
1676 yang menyebut bahwa Banten mengirimka rotan ke Batavia. Rotan yang
merupakan salah satu hasil hutan dan pada umumnya tidak dibudidayakan manusia,
merupakan barang daganagan yang bersifat ekspor saat itu. kawasan hutan yang
berada disebelah selatan kota Banten agaknya berpotensi dalam menghasilkan
rotan yang cukup banyak.
d.
Cangkang Kura-kura
Barang ini sangat
diminati oleh pedagang Cina untuk dibawa ke negerinya. Besar kemungkinan
cangkak kura-kura ini digunakan sebagai bahan
baku berbagai ragam perhiasan maupun alat. Berdasarkan pengamatan saat
ini, tidak sedikit perhiasan seperti bros, tusuk konde dan anting-anting.
Cangkang kura-kura
mengalami proses pengerjaan terlebih dahulu sebelum dijadikan barang dagangan
untuk dijual, sedangkan barang dagangan berupa ikan tidak mengalami hal yang
serupa. Distribusi cangkang kura-kura dari produsen sampai ke konsumen
mengalami jalan panjang sementarapengalihan ikan mengalami jalan pendek, meski
keduanya dijual sebagai barang ekspor Kesultanan Banten.
e.
Gading Gajah
Barang ekspor lain yang
dituliskan sebagai mata dagangan dari Banten, dan banyak dijual ke negeri Cina
adalah gading gajah. Keberadaan gading gajah di Banten diperkirakan tidak
betalian dengan habitat binatang tersebut, karena kawasan Banten bukan
merupakan daerah hunian gajah. Besar kemungkinan gading gajah diperoleh dari
Lampung, karena habitat gajah sampai saat sekarang masih ditemukan diarea
lampung.
f.
Opium
Barang dagangan ini
tergolong narkotika, oleh karenanya dalam hal keagamaan dalam hal ini agama
islam, Sultan Ageng melarang dan menguhkum keras pemakaian Opium dan minuman
keras alcohol diseluruh kesultanan Banten. Walaupun dmeikian penualan barang
ini ke Jawa Timur dan ke Batavia tetap berlangsung.
·
Perdagangan Impor di
Kesultanan Banten
Bahan Pangan
Banyaknya penduduk yang
bertempat tinggal baik secara menetap maupun tidak menetap di Banten,
membutuhkan jumlah makanan yang tidak sedikit. Beras merupakan komoditi yang
penting pada masa itu, karena merupakan makanan pokok di banyak tempat. Selain diperuntukkan
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, beras juga menjadi komoditi ekspor
kesultanan Banten.
Kesultanan Banten
berusaha untuk tidak hanya bergantung pembelian beras hanya kepada satu tempat
saja, dalam hal ini Mataram (Jepara). Bila Banten sangat bergantung pada beras
Mataram maka secara politis hal ini tentunya meurpakan kesempatan bagi Mataram
untuk menguasai Banten dalam hal pangan.
Jika beras didatangkan
ke Banten selain untuk diperjual belikan kembali keluar Banten juga untuk
memenuhi kebutuhan pangan rakyat Banten. Berbeda halnya dengan cengkeh. Di
Banten, cengkeh merupakan barang dagangan yang diperjual belikan dengan tujuan
dapat mengantongi laba besar.
Bahan
makanan lain yang banyak didatangkan dari luar Banten adalah garam. Meskipun
lokasi kesultanan Banten yang berada di lingkungan pantai, namun agaknya kurang
mendukung produsen garam, sehingga garam perlu didatangkan dari Gresik, Juana,
dan Pati. Pembuatan garam membutuhkan air laut yang jernih sehingga mengandung
ultra haline yang tinggi.
Keadaan
lingkungan laut yang demikian tidak memungkinkan pembuatan garam dapat
terlaksana. Peredaran garam mulai dari produsen yang berasal dari luar Banten
hingga sampai ke konsumen di kesultanan Banten, diperhitungkan mengalami
beberapa kali kepemilikan. Garam yang didatangkan ke Banten didistribusikan
secara tidak langsung, yaitu melalui pedagang perantara, agen, dan pedagang
eceran. Ikan asin juga merupakan bahan pangan yang di impor kesultanan Banten
dari Banjarmasin.
Beraneka ragam bahan
pangan yang diperjual belikan di dalam kesultanan Banten, melibatkan
distributor dan konsumen dari berbagai bangsa, seperti, Gujarat, Cina, Turki, dll. Bahan
pangan lain yang di impor adalah gula merah dari Jepara dan Batavia, bahan
pembuat manisan dari Cina, Cabai dari Amerika Selatan, opium yang dibawa oleh
pedagang dari Gujarat, tembakau dan
sebagainya.
Bahan Sandang
Bahan sandang yang
diperdagangkan di Banten terdiri dari berbagai jenis, yakni berupa kain yang
belum dibentuk menjadi pakaian dan kain yang sudah diubah menjadi baju.
Pedagang Cina banyak membawa bahan pakaian berupa satin, beludru, dan sutera.
Sedangkan pedagang India membawa bahan pakaian dari kapas. Besar kemungkinan
pedagang perantara ini menjual kembali barang dagangannya kepada pedagang lain
yang akan membawanya sebagai komoditas negeri itu keluar wilayahnya.
Selanjutnya distributor akan menyalurkannya kepada pedagang eceran di Banten.
Tukar menukar yang terjadi antara penjual dan pembeli dilaksanakan dengan
motivasi penjual memperoleh laba secara langsung sedangkan konsumen untuk
memenuhi kebutuhan sandangnya.
Selain pangan dan
sandang, Banten juga mengimpor beraneka peralatan dan bahan baku. Di Kesultanan
Banten banyak terdapat keramik yang bersal dari Cina, Jepang, Thailand,Eropa, dan lain sebagainya.
Selain untuk diperjual belikan, keramik juga bisa didapatkan kesultanan Banten
melalui hadiah yang bersifat politis.
Banten juga mengimpor
alat-alat pertahanan seperti meriam, senjata, serta mesiu yang didatangkan dari
negara-negara di Eropa. Perdagangan
akan komoditas ini lebih bersifat resmi karena merupakan hubungan antar negara,
sehingga produsen dan konsumen yang terlibat adalah penguasa tertinggi. Banten
juga mengimpor kapal baik untuk kebutuhan ekonomi maupun politik, serta besi
yang di impor dari Karimata.
Budak
Salah satu komoditas
penting yang banyak diperdagangkan pada masa lalu adalah budak. Besar
kemungkinan penyebab utama munculnya perdagangan budak di Kesultanan Banten
dikarenakan sebagian dari masyarakatnya membutuhkan banyak tenaga kerja
terutama tenaga kasar. Sultan, sebagai penguasa tertinggi memiliki jumlah budak
yang banyak.
Keadaan ini dapat
terjadi akibat kalah perang, upeti, warisan orang tua, orang hukuman, dan sebagainya. Budak-budak
yang di perdagangkan di Banten berasal dari Bali, Maluku, Lombok, dan Sulawesi
Selatan. Budak selain sebagai komoditas dapat pula merangkap sebagai “alat”
produksi bagi pemiliknya, yang dapat diperjual belikan bagi pemenuhan kebutuhan
orang lain.
Layaknya
sebuah pusat pemerintahan yang merangkap sebagai pusat perdagangan, Kesultanan
Banten membangun lingkungannya dengan berbagai macam fasilitas sebagai sarana
pendukung. Sebagai contoh, kita lihat pembangunan istana Surosowan. Ketika
Surosowan didirikan, letak istana sesuai dengan tata letak masa pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Jawa, dengan arah hadap ke utara, alun-alun terletak di
Selatan dan di sebelah barat terdapat mesjid Agung. Dengan demikian peran
Sultan Maulana Hasanudin sangat besar dalam menentukan faktor tersebut, namun tentunya
beliau dibantu pula oleh para penasehat terutama kaum ulama ahli agama. Ketergantungan akan
jasa penasehat sangat dibutuhkan oleh penggagas, sebagai landasan bagi
pendirian istana agar tidak menyalahi aturan yang bersifat non teknis tersebut.
Pendirian
keraton juga mencakup pula perancang bangunan yang mempunyai pengetahuan tentang hal
yang bersifat teknis, seperti penggunaan bahan baku dan masalah konstruksi.
Selain menggunakan penjual jasa lokal, kesultanan Banten juga menggunakan
tenaga kerja asing. Hal ini bisa terlihat dari pembangunan tembok istana yang
mempunyai dua bangunan dengan atap bergaya Cina. Kesultanan Banten juga
mempekerjakan orang asing dalam urusan administrasi, keterangan pada tahun 1604
menyebutkan bahwa banyak orang India yang diangkat sebagai syahbandar maupun
laksamana. Ada juga orang-orang Cina yang bekerja sebagai juru tulis,
penimbang, ahli bangunan, serta penerjemah. Berdasarkan aturan yang dibuat,
pekerja asing yang bekerja pada kesultanan diwajibkan beragam Islam. Selain
untuk kepentingan ekonomi, keterbukaan kesultanan Banten dalam menerima tenaga
asing ini juga dapat dilihat sebagai upaya penyebaran agama Islam.
Kesultanan Banten banyak melakukan upaya
guna menunjang perdagangan yang berlangsung didalam negerinya. Upaya yang
dimaksud berbentuk pembangunan fisik maupun non fisik. Termasuk kategori fisik
adalah pasar, pelabuhan, transportasi sedangkan moneter serta peraturan yang
terkait dengan perdagangan termasuk non fisik. Sebagai kesultanan yang
bertumpu pada perdagangan, maka diperkirakan sumber penghasilan terbesar yang
di peroleh kesultanan Banten adalah melalui bea masuk dan pajak penjualan.
Besarnya bea yang dikenakan berdasarkan kuantitas dan kualitas komoditas yang
diperdagangkan.
BAB III
Penutup
Kesultanan Banten menjadi kekuatan
ekonomi yang penting di wilayah Nusantara. Dalam kegiatan ekonomi baik ekspor
dan impor, Banten mampu mendatangkan banyak keuntungan dan menggunakannya untuk
kepentingan mereka. Seperti membangun pelabuhan yang untuk keluar masuknya
kapal-kapal dagang yang beratnya berton-ton. Hasil perdagangan Banten juga
banyak dan tersedia bagi Banten sendiri maupun untuk diekspor keluar Banten.
Hubungan dengan luar negeri juga semakin baik karena kegiatan impor juga sangat
pesat. Kehidupan ekonomi yang baik itu
juga membuat kehidupan sosial mereka semakin pesat karena kesejahteraan rakyat
yang sangat diperhatikan oleh sultan-sultan Banten.
Namun kita bisa melihat kesenjangan sosial yang jelas, antara pemilik
tanah dengan budak-budak atau juga dengan petani Banten. Ini mungkin menjadi
cikal-bakal pemberontakan Banten yang terjadi pada tahun 1888.
[1] A. M. Djuliati Suroyo, Sejarah Maritim I(Semarang: Jeda, 2007),
hlm: 113.
[2] Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia Jilid III(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm: 20
[3] Adrian B. Lapian,Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan
17(Depok: Komunitas Bambu, 2008), hlm: 49
[4] Sri Sutjianingsih, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra,(Jakarta: Dwi
Jaya Karya, 1995), hlm : 92
[5] Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi:
Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten(Kadinda Serang:Serang,1993),hal:33.
0 Response to "Makalah Sosial Ekonomi Banten"
Posting Komentar
Termimakasih buat partisipasinya ya :)