Makalah Dualisme Kepemimpinan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Dalam kurun waktu 1966-1967 terjadi dualisme dalam kepemimpinan nasional. Di satu pihak Presiden Soekarno yang masih aktif, dan di pihak lain adanya tokoh Jenderal Soeharto yang memimpin pemerintahan. Hal ini dikarenakan munculnya suatu dokumen yang hingga saat ini masih kontroversial keberadaannya juga keasliannya. Dengan mengambil kata kiasan semar, dewa badut yang paling tangguh dalam wayang jawa, dokumen ini disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).[1]
Kelanjutan dari munculnya dokumen in, maka dunia perpolitikan Indonesia memasuki era baru yang mana kita sebut sekarang sebagai Orde Baru (Orba). suatu pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto. Mantan Pangkokostrad yang dapat berkuasa hingga 32 tahun.
Sehubungan kondisi dualisme kepemimpinan ini sangat penting, karena merupakan suatu transisi kekuasaan, maka makalah ini akan menjelaskan mengenai awal terjadinya dulisme ini. Berawal dari pembentukan kopkamtib sebagai langkah awal Soeharto menuju ke panggung keeksistensiannya dan diakhiri dengan kebijakan-kebijakan awal ketika Soeharto dissahkan sebagai Presiden.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
a.       Apa latar belakang terbentuknya kopkamtib?
b.      Apa latar belakang lahirnya Supersemar?
c.       Bagaimana restrukturisasi cabinet dan anggota DPRGR/MPRS?
d.      Apa saja isi sidang umum MPRS yang berkenaan pada masa dualisme?
e.       Bagaimana penyelesaian krisis politik dan kebijakan yang dikeluarkan masa dualism?

1.3.Tujuan Penulisan
Sesuai masalah di atas, penulisan makalah ini untuk menjelaskan mengenai masa dualism kepemimpinan sebagai transisi orde lama menuju orde baru. Selain itu juga untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah sejarah Indonesia Masa Orba - Reformasi

BAB II
ISI

2.1.Pembentukan Kopkamtib, Penyingkiran Kelompok Pro Soekarno dan Lahirnya Supersemar

Akibat dari peristiwa suatu gerakan yang menamai diri sebagai G 30 S. Maka ketika Presiden Soekarno masih berada di Halim Perdanakusuma tanggal 1 Oktober 1965 ia mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada seluruh Angkatan bersenjata untuk mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masing-masing dan hanya bergerak atas perintah.
Diumumkan pula bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu berada langsung dalam tangan Presiden / Panglima Tertinggi ABRI, dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari ditunjuk untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra. Perintah ini tidak segera diketahui oleh anggota-anggota ABRI yang berada di luar daerah Halim karena pada hari itu juga, sesuai dengan tata cara yang berlaku,
Mayor Jenderal Soeharto menyatakan bahwa untuk sementara ia memegang pimpinan Angkatan Darat.
Untuk menyelesaikan kebingungan dua komando ini, maka Presiden Soekarno pada tanggal 2 Oktober 1965 memanggil semua panglima angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan itu, ia memutuskan bahwa pimpinan AD langsung berada dibawahnya, aspek militer administratif diserahkan kepada Mayor Jenderal Pranoto. Dan kepada Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan peristiwa 30 September.
Keputusan ini diumumkan melalui RRI Pusat pukul 01.30 tanggal 3 Oktober 1965. Ini adalah awal eksistensi Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). [2]
Setelahnya pada sidang paripurna tanggal 6 oktober presiden soekarno mengeluarkan pernyataan yang berisi mengutuk G 30 S dan semakin tersingkap fakta bahwa PKI mendalangi kudeta G 30 S. Bantahan PKI atas keterlibatannya dalam pembunuhan itu sama semakin tak dihiraukan. Para pemuda antikomunis kini menguasai jalan-jalan, membakar markas besar PKI di Jakarta pada 8 Oktober.
Menjelang akhir tahun 1965 operasi penumpasan  terhadap pemberontakan G 30 S dapat dikatakan berakhir. Namun penyelesaian maslah politik terhadap peristiwa tersebut belum terlihat adanya tanda-tanda akan dilaksanakan oleh Presiden Soekarno sesuai dengan janjinya. Akibatnya terjadi erosi kepercayaan rakyat kepada Presiden Soekarno.
Sukarno tetap berusaha memegang panggung pusat, tetapi magis lamanya tidak mampu berfungsi lagi. Pada bulan Januari 1966, dia berpidato di radio, menyerukan semua rakyat untuk mengikutinya, sementara Subandrio menyerukan pembentukan Barisan Sukarno. Soeharto mengimbangi seruan Subandrio dengan berikrar bahwa dia tetap setia kepada Soekarno dan meminta kepada semua pendukung setia Presiden untuk mendukung tentara. Walaupun Soeharto mungkin lebih suka melihat Soekarno berfungsi sebagai tokoh yang memberi legitimasi bagi dominasi tentara, jelas sudah bahwa presiden tua itu harus disingkirkan.
Pada bulan Februari 1966, Sukarno melakukan usaha terakhirnya untuk menyelamatkan demokrasi terpimpin. Pada 21 Februari, dia merombak kabinetnya. Dia memberhentikan Nasution sebagai Menteri Pertahanan dan menghapus jabatan kepala staf angkatan bersenjata; Nasution tentu menolak pemecatannya. Omar Dhani dan Subandrio-dua orang yang diincar tentara-dipertahankan sebagai menteri. Sukarno menunjuk Letkol Imam Sjafei sebagai Menteri Negara Urusan Keamanan, bos para preman Jakarta. Preman-preman anti-KAMI pun segera diorganisir.
Kebijakan Soeharto konon menyulut kekerasan di Jakarta, yang pada akhirnya mendesak Sukarno menyerahkan kekuasaannya pada Soeharto untuk memulihkan ketertiban. Para pemuda pro-Soekarno dan anti-Soekarno berkelahi di jalan-jalan ibukota. Kedutaan Amerika diserang oleh pendukung Sukarno pada 23 Februari. Sukarno lalu melarang KAMI, tetapi para mahasiswa dan penasihat mereka dari kalangan tentara tidak menghiraukannnya. Sukarno memerintahkan Universitas Indonesia ditutup pada 3 Maret, tetapi mahasiswa anti-sukarno menduduki kampus, sementara tentara sekutu mereka menjaga garis luarnya. [3]
Tentara mendorong mahasiswa untuk berdemonstrasi menuntut pelarangan PKI, membentuk kabinet baru dan reformasi ekonomi. Ekonomi masih berjalan tak menentu, indeks biaya hidup pada bulan Desember 1965-Januari 1966 meningkat 50%. Pada 5 Maret, Soeharto mengajukan kepada Sukarno daftar menteri yang harus diberhentikan, yang kemudian ditolak Sukarno.
Pada 11 Maret 1966, permainan manuver halus antara Sukarno dan Soeharto- yang menghasilkan kekerasan berdarah di ibukota berakhir dengan meyakinkan kemenangan Soeharto. Soekarno mengadakan pertemuan kabinet di Jakarta, sementara para mahasiswa-demonstran memadati jalan-jalan. Sukarno mendapat informasi bahwa pasukan tak dikenal tengah mengepung istana. Maka, dia segera naik helikopter menuju Bogor, ditemani Subandrio dan Chaerul Saleh. Malam itu, tiga jenderal yang bertindak sebagai utusan Soeharto pergi ke Bogor dan membujuk Sukarno untuk menandatangani sebuah dokumen yang memberi Soeharto kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban, menjalankan pemerintahan, dan melindungi Presiden atas nama Revolusi. Dengan mengambil kata kiasan Semar, dewa badut yang paling tangguh dalam wayang Jawa, dokumen ini disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Dengan kekuasaan Supersemar yang diperolehnya, Soeharto dan para pendukungnya kini menghancurkan sisa-sisa demokrasi terpimpin di hadapan Sukarno yang marah tapi tak mampu berbuat apa-apa. Pada 12 Maret, PKI dan semua organisasi masanya dilarang. Pada 18 Maret, Subandrio, Chaerul Saleh, Imam Syafei, dan sebelas menteri kabinet lainnya ditahan; salah satu anggota kabinet yang menjadi sasaran tentara, Surachman, lolos tetapi akhirnya terbunuh di Blitar Selatan pada tahun 1968. Chaerul Saleh mati di penjara pada tahun 1967. Orang-orang yang beraliran Sukarno moderat tidak ditahan; orang-orang seperti Idham Chalid, Leimena, dan Roeslan Abdulgani tetap berada di kabinet baru yang dilantik pada 27 Maret. Kabinet ini dipimpin oleh tiga serangkai, yaitu Soeharto, Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik muncul sebagai kalangan sipil paling terkemuka yang mendukung Orde Baru.
Pembersihan tentara dan birokrasi kini dimulai. Sekitar 2.600 pasukan Divisi Diponegoro dibebastugaskan, diskors, dipecat, atau ditertibkan, dan banyak yang lainnya ditahan. Sebagian perwira tentara anti-PKI tetapi pro-Soekarno dipindahkan dari komando strategis pada bulan Mei.[4]

2.2.Restrukturisasi Kabinet dan Anggota DPRGR/MPRS
Pada akhir Maret 1966 kabinet baru terbentuk yang dipimpin oleh tiga serangkai Soeharto, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang memegang bidang ekonomi, dan Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri , terdapat masalah yang harus diawasi dengan hati-hati, yaitu dalam hal memperoleh persetujuan dari  presiden Soekarno, yang masih diperlukan karena ia sebagai presiden, sedangkan Soeharto ingin menghindari sengketa. Maka tiga serangkai itu menyerahkan daftar nama anggota kabinet kepada Dewi (Istri ketiga Soekarno) dan mendesaknya agar Soekarno menandatangani.[5]  
Pasca berakhirnya tahun 1965 operasi militer penumpasan terhadap G-30-S dapat dikatakan sudah berakhir. akan tetapi, penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum terlihat adanya tanda-tanda akan dilaksanakan oleh Presiden Soekarno sesuai dengan janjinya. dengan demikian krisis politik semakin mendalam.[6] Bukan hanya itu, Pemerintah tidak terbukti mampu memulihkan turunnya ekspor komoditas pertanian dengan semacam kapitalisme industry nasional. Sebab utama ialah kegagalan dalam membangun modal yang diperlukan bagi investasi dalam produksi industry serta penyediaan infrastruktur. Bersamaan dengan pengeluaran pemerintah untuk mendanai BUMN, terbatasnya kapasitas pemungutan pajak, pemerintah dipaksa menghadapinya dengan kebijakan inflasi guna membiayai proyek-proyek pengemmbangan serta kebutuhan di bidang militer.[7]
pada tanggal 21 Februari, Presiden melakukan reshuffle cabinet yang disebut sebagai Dwikora yang disempurnakan, ternyata sangat mengecewakan harapan rakyat. Hal ini dikarenakan disingkirkannya tokoh-tokoh yang menentang G-30-S, seperti A. H. Nasution, sedangkan SOekarno mengangkat sejumlah orang yang diindikasikan terlibat dalam G-30-S, seperti Surachman dan Oei Tjoe Tat yang mengakibatkan saat pelantikan cabinet baru 24 Februari 1966 para demonstran melakukan aksi serentak yang mengakibatkan salah satu demonstran yang terlibat bentrokan didepan Istana tertembak. insiden berdarah itu menyebabkan krisis kepemimpinan nasional.[8]
setelah penandatangan Surat perintah sebelas Maret 1966 yang ditandatangani oleh presiden Soekarno melahirkan langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar[9]
1. Membubarkan PKI dan ormasnya pada 12 Maret 1966.
2. Mengamankan menteri-menteri dalam Kabinet Dwikora yang terlibat dalam G-30-S yaitu, (1) Soebandrio, (2) Dr. Chaerul Shaleh, (3) Ir. Setiadi Reksoprojo, (4) Sumarjo, (5) Oei Tju Tat,SH, (6) Ir.Surachman, (7) Yusuf Muda Dalam, (8) Armunanto, (9) Sutomo Marto Pradata, (10) A.Sastra Winata, SH., (11) Mayjen Achmadi, (12) Drs. Mochammad Achadi, (13) Letkol. Syafei, (14) J.K. Tumakaka, (15) Mayjen Dr. Soemarno.
3. Pengemban Supersemar, pada 18 Maret 1966 menunjuk beberapa menteri ad interim guna mengisi pos-pos menteri yang kosong.
Langkah yang dilakukan Soeharto adalah mengadakan pembersihan ditubuh Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yaitu dengan mengadakan sidang DPR-GR yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang membacakan nota politiknya. Pada 17 Mei 1966 DPR-GR berhasil menyusun kepengurusan DPR-GR dan berhasil membersihkan anggotanya dengan memecat 65 anggota yang mewakili Partai Komunis Indonesia.
Sejak tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status keanggotaan DPR-GR yang mendukung G-30-S dibekukan. Kabinet Dwikora mengalami beberapa kali perombakan untuk menghilangkan pengaruh menteri yang diduga terlibat G-30-S. Namun tuntutan terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung, seperti aksi mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai reaksi tekanan berbagai pihak, Presiden Soekamo secara sukarela menyampaikan pidato pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966, pada saat pelantikan pimpinan MPRS. Namun pidato pertanggungjawaban yang berjudul "Nawaksara" itu tidak diterima MPRS.[10]
Sejak pertengahan tahun 1966, perkembangan politik nasional semakin kompleks. Makalah ini diciptakan oleh Jhon Miduk Sitorus. Melalui Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya dualisme kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet Ampera dibentuk melalui Keppres No. 163 tanggal 25 Juli 1966 yang ditandatangani Presiden Soekamo.[11]
Selanjutnya MPRS mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno melaksanakan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet Dwikora. Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu
(1) Pimpinan kabinet: Presiden Soekamo;
(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan suatu presedium;
(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok kabinet Ampera disebut "Dwi Dharma" yaitu :
(1) mewujudkan stabilitas politik
(2) menciptakan stabilitas ekonomi.
Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap Soekarno. Namun, Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Melalui Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara berhasil merumuskan ketetapan Nomor : XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal sebagai berikut:
(1)      Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno; (2) Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945;(3) Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang supersemar itu sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum. Pada akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS Jenderal TNI Abdul Haris Nasution.
(2)      Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik, organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara kompak membentuk kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung G-30-S yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara dengan menuntut agar ada penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan pemberontakan tersebut. Kesatuan aksi ini kemudian terkenal dengan sebutan angkatan 66 antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan lain-lain.

2.3.Sidang MPRS
Selama masa dualism kepemimpinan muncul sidang-sidang MPRS yang berkaitan dengan perubahan-perubahan kebijakan yang berkenaan mengenai presiden. selain itu juga muncul suatu sidang istimewa yang membahas mengenai pertanggungjawaban Presiden Soekarno. lebih detailnya inilah beberapa sidang umum tersebut:

Sidang umum MPRS III / 1965
Sidang Umum Ketiga MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 11 - 16 April 1965 . Sidang Umum Ketiga MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu:
1.        Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di atas Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan "Berdikari" sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalamBidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia;
2.        Ketetapan MPRS Nomor VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan;
3.        Ketetapan MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang "Gesuri", "TAVIP" (Tahun Vivere Pericoloso), "The Fifth Freedom is Our Weapon" dan "The Era of Confrontation" sebagai Pedoman-pedoman pelaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia;
4.        Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsp-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.

Sidang umum MPRS IV / 1966
Sidang umum Keempat MPRS berlangsung di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 21 Juni sampai dengan 5 Juli 1966 . Pada Sidang Umum Keempat ini, MPRS menghasilkan 24 ketetapan, yaitu:
1.        Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi /Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
2.        Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang kedudukan Semua Lembaga-lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi Yang di Atur dalam Undang-undang Dasar 1945;
3.        Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum;
4.        Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia;
5.        Ketetapan MPR Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera;
6.        Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad Hoc MPRS yang bertugas melakukan penelitian Lembaga-lembaga Negara, Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan diantara Lembaga-lembaga Negara menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945 dan Penyusunan Perincian Hak-hak Asasi Manusia;
7.        Ketetapan MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/ Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden;
8.        Ketetapan MPRS Nomor XVI/MPRS/1966 tentang pengertian Mandataris MPRS;
9.        Ketetapan MPRS Nomor XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi;
10.    Ketetapan MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966 tetang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS Nomor III/
11.    Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
12.    Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peratutan Perundangan Republik Indonesia;
13.    Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas luasnya Kepala Daerah;
14.    Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan.
15.    Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan;
16.    Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijakan dalam Bidang Pertahanan Keamanan;
17.    Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme;
18.    Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
19.    Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan;
20.    Ketetapan MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat;
21.    Ketetapan MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera;
22.    Ketetapan MPRS Nomor XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan Bintang "Maha Putera" Kelas III dari D.N. Aidit;
23.    Ketetapan MPRS Nomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan "Paduka Yang Mulia" (P.Y.M) dengan sebutan "Bapak/Ibu" atau "Saudara/Saudari";
24.    Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers.

Sidang istimewa MPRS / 1968.
Pada saat Presiden RI/Mandataris MPRS Soekarno menyampaikan pidato pertangungjawaban di depan Sidang Umum keempat MPRS Tahun 1966, rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Namun pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang diberi judul " Nawaksara " ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 Januari 1967 yang diberi nama "Pelengkap Nawaksara", tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah lalai dalam memenuhi kewajiban Konstitusional.Sementara itu DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai "Nawaksara" beserta pelengkapnya berpendapat bahwa "Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila" .
Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum. Berdasarkan permintaan dari DPR-GR, MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 7 hingga 12 Maret 1967 .
Pada Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu:
1.        Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno;
2.        Ketetapan MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara;
3.        Ketetapan MPRS Nomor XXXV/MPRS/1967 tentang Pancabutan Ketetapan MPRS Nomor XVII/1966;
4.        Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966.

2.4.Penyelesaian Krisi Politik dan Kebijakan Awal
Kecaman dan sindiran Soekarno jelas mempersulit tiga serangkai Soekarno jelas mempersulit tiga serangkai Soeharto, Sultan Yogyakarta, dan Adam Malik, yang hampir saja dalam suatu kesempatan berniat mundur. namun cara Soeharto memperlakukan Soekarno memang jitu, tidak berniat membawanya ke pengadilan atau tidak membuatnya menjadi martir dengan cara mencelanya. Sebaliknya ia membiarkan Soekarno mencela dirinya sendiri dengan sikap dan banyaknya petunjuk mengenai apa yang diketahuinya sebelum PKI melancarkan kup serta keterlibatan di dalamnya.[12]
Dengan surat perintah 11 Maret 1966 Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak menentu dan sulit terkendali sebagai dampak peristiwa G-30-S negara dilanda instabilitas politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan atas peristiwa tersebut. Sementara partai-partai politik terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan, antara penentang dan pendukung kebijakan Presiden Soekarno. Akan tetapi, setidaknya dengan bekal Supersemar, Soeharto membubarkan PKI untuk mengisolasi Presiden Soekarno.[13]
Sukarno tidak dapat menahan arus perkembangan yang terus menerus meningkat. PKI sudah lumpuh dan tentara bertekad menjalankan caranya sendiri. Soekarno menyadari bahwa ucapan-ucapannya tentang PKI dan lain-lain sudah tidak dipedulikan. Ia masih dapat mempertahankan kepemimpinannya dalam penampilan, tetapi kekuasaan telah lolos dari tangannya. Ia tidak dapat lagi menekankan pengaruh pribadinya kepada orang lain. Jalan Soeharto ke kursi presiden terbentang lebar ketika MPRS melalui Sidang Umum MPRS 20 Juni-5 Juli 1966, dalam sidang yang dipimpin oleh ketua MPRS A. H. Nasution, serta wakil ketua MPRS Osa Maliki, HM Subchan ZE, dan Mashudi, MPRS menyetujui dan memperkuat Surat Perintah Sebelas Maret 1966 menjadi ketetapan MPRS nomor IX/MPRS/1966.[14]
Saran-saran untuk perbaikan politik dalam negeri juga diajukan oleh UI dalam kerjasama dengan KAMI dan KASI pada symposium kebangkitan semangat’ 66 Menjelajah Trace Baru yang diselenggarakan pada tanggal 6 – 9 Mei 1966. Khusus mengenai bidang politik dalam negeri dengan tema “Indonesia Negara Hukum”, antara lain diingatkan bahwa pada waktu yang lampau banyak sekali terjadi penyimpangan dari asas-asas serta norma-norma yang berlaku dalam suatu negara hokum. Peraturan hokum dan pelaksanaannya tidak mencerminkan jiwa Pancasila.[15]
Kondisi politik negara sudah mulai kondusif namun demikian kristalisasi Orde Baru belum selesai maka diperlukan penataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Orde Baru. Dengan demikian langkah awal diperlukan stabilitas nasional yang dinamis untuk mendukung kehidupan politik yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian dibuatlah suatu pengertian bahwa Orde Baru adalah tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 atau sebagai koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dimasa lampau.[16]
Usaha merintis jalan menuju kepada iklim politik yang stabil berlangsung setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menghasilkan 24 ketetapan MPRS dan satu keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.[17]
Perjuangan rakyat seperti yang dikemukan para pelajar dan mahasiswa dalam demonstrasi pada 8 Januari 1966 menuju gedung sekretariat negara dan dilajutkan pada 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila berdemonstrasoi di depan gedung DPR-GR yang menuntut penyelesaian stabilitas negara pasca peristiwa G-30-S yang dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu: (1) pembubaran PKI beserta organisasi massanya (2) pembersihan Kabinet Dwi Kora (3) Penurunan harga-harga barang.[18]
Pada hakekatnya tuntutan rakyat tersebut merupakan keinginan rakyat yang mendalam untuk melaksanakan kehidupan bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan dalam situasi yang kongret. Kemudian direspon oleh MPRS dengan membuat keputusan sebagai berikut: (1) Pengukuhan tindakan pengemban surat perintah sebelas maret yang membubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, dengan ketetapan nomor IV/MPRS/1966 dan nomor IX/MPRS/1966 (2) pelarangan faham dan ajaran Komunisme, Marxisme, Leninsme di Indonesia, dengan ketetapan nomor XXV/MPRS/1966; (3) pelurusan kembali tertib konstitusional berdasarkan Pancasila dan tertib hukum dengan ketetapan nomor XX/MPRS/1966. [19]
            Pada 20 Pebruari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto yang kemudian dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS dalam ketetapan nomor XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Adanya ketetapan ini maka situasi konflik yang merupakan sumber instabilitas politik nasional telah berakhir secara konstitusional.
Pada awal Maret 1967, sidang istimewa MPRS selama lima hari, yang dipimpin Jenderal Nasution, menerima laporan resmi dari komite bentukan MPRS mengenai peranan Soekarno dalam peristiwa Gestapu. Dengan Suara bulat, Sukarno dilepaskan dari semua kekuasaannya, dan Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden. Dengan demikian berakhirlah masa delapan belas bulan dualism dalam pemerintahan.  Kemudian, ketika keterlibatan Sukarno dalam peristiwa Gestapu kelihatan melalui kesaksian (para terpidana) di depan Mahmilub (Makhamah Militer Luar Biasa), ia diperbolehkan tinggal di Bogor di dalam tahanan rumah. Selanjutnya sampai meninggalnya di tahun 1970 pada usia 69 tahun, hidupnya ditempat penyucian (purgatory) tidak dapat diketahui  secara jelas, kecuali bahwa ia tinggal bersama seorang istri, Hartini, yang dulu berkumpul bersamanya pada akhir minggu.[20]

Politik
Usaha penataan kembali kehidupan politik pada awal 1968 dengan penyegaran anggota DPR-Gotong Royong yang bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat.[21] Komposisi anggota DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Kemudian dilanjutkan pada tahap penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan dengan cara pengelompokan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai politik. Hasil konsultasi itu maka muncullah tiga kelompok di DPR yaitu: (1) Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari partai politik PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba; (2) Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai politik Partai NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Perti; (3) Kelompok organisasi profesi seperti organisasi buruh, organisasi pemuda, organisasi petani dan nelayan, organisasi seniman, dan lain-lain yang tergabung dalam kelompok Golongan Karya.
Ada tiga masalah nasional selama tahun terakhir masa transisi (1 Januari – 26 Maret 1968)[22];
1.      memperkuat sistem konstitusional, menegakkan hokum, dan menumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat sebagai syarat mewujudkan stabilisasi politik
2.      melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama sebagai usaha untuk member isi kepada kemerdekaan
3.      tetap waspada dan sekaligus memberantas sisa-sisas kekuatan laten PKI.
bidang hokum sebagai jaminan objektif untuk normalisasi keadaan mendapat perhatian. kekuasaan kehakiman serta badan-bdan pengadilan mulai leluasa bergerak sebagai kekuasaan yang bebas. masih dalam rangka usaha pemurnian dan penertiban hokum yang berlaku sesuai dengan ketetapan MPRS, telah berhasil dibentuk undang-undang yang menghapuskan semua produk. demokrasi Terpimpin yang tidak sesuai dengan Pancsila dan UUD 1945, baik yang berbentuk penetapan presdien maupun perturan presdien. sebagian dicabut dan sebagian lagi yang materi hukumnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 diperlukan sebagai UU atau bahan guna membuat UU baru atau peraturan perundang-undangan yang lain. [23]
            Memasuki tahun 1971, suasana politik lebih banyak dicurahkan kepada kegiatan kampanye menghadapi pemilihan umum yang kedua dalam sejarah RI yang berarti pemilihan umum pertama pada zaman Orba. pemilihan umum kedua yng dialngsungkan pada taggal 3 Juli 1971 menghasilkan perhitungan kursi di DPR RI dengan urutan sebagai berikut, Golkar sebagai pemenang pertama memperoleh 227 kursi, NU 56 kursi, dan PNI 20 kursi.[24]

Ekonomi
Stabilisasi berarti pengendalian inflasi, supaya harga-harga tidak melonjak terus secara cepat, sedangkan rehabilitasi meliputi rehabilitasi secara fisik prasarana, rehabilitasi ekspor, srta rehabilitasi alat-alat produksi yang banyak mengalami kerusakan. dengan melaksanakan rehabilitasi bukan berarti pemerintah membuat jalan-jalan baru, melainkan perbaikan jalan-jalan yang sudah ada dan bukan pula berarti membuat pabrik baru sebelum pabrik yang ada dimanfaatkan sepenuhnya. [25]
Demkian pula rehabilitasi dib dang ekspor. dalam tahun 1950 ekspor di luar minyak umi adalah sekitar 500 juta dollar sampai 1 miliar dolar. ekspor tahun 1966 adalah kurang dari 500 juta dolar tanpa minyak bumi. adanya kemersotan ekspor terus menerus memerlukan rehabilitasi mengingat bertambahnya penduduk dan kebutuhan impor. [26]
Program di bidang keuangan / moneter adalah menekan inflasi dan peningkatan nilai rupiah. di bidang produksi ditetapkan prioritas peningkatan produksi sandang pangan terutama Sembilan bahan kebutuhan pokok dan produksi ekspor serta perbaikan prasarana produksi. di bidang distribusi ditetapkan program untuk memperlancar distribusi dengan jalan menertibkan pengawasan dan penguasaan Sembilan bahan kebutuhan pokok, peningkatan keampuan angkatan darat, laut, dan udara, serta memperlancar komunkasi baik dalam nehgeri maupun luar negeri. [27]
Guna membulatkan usaha stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta mempersiap landasan pembangunan, pemerintah mengesahkan Rencana Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU AAPBN 1968) menjadi UU No. 13 Tahun 1967. UU APBN ini disahkan sebelum tahun anggaran dimulai. hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumny. perbedaan lainnya pada tahun-tahun yang lalu digunakan sistem deicit spending dalam penerimaan dan pengeluaran negara, sedangkan dalam APBN 1967digunakan prinsip anggaran berimbang atau balanced budget. prinsip ini berarti bahwa besarnya belanja negara berimbang dengan besarnya pendapatan negara. [28]



Sosial Budaya
            Persoalan lain yang muncul selama fase ini adalah soal pribumi dan nonpribumi. masalah ini sebenrnya merupakan warisan masa lampau dan pemerintahan mencoba memecahkannya secara bertahap dengan menjauhkan kemungkinan timbulnya emosi dan kecenderungan rasial. tantangan lain yang dihadapi pemerintah memasuki tahap pembangunan ini ialah masalah terbatasnya lapangan pekerjaan. meskipun penanaman modal asing mulai direalisasi dengan berdirinya pabrik-pabrik yang telah menyerap tenaga kerja, masalah kesempatan kerja masih merupakan masalah nasional yang dominan. [29]

Ideologi
Bidang lain yang mendapat perhatian MPRS ialah masalah pembinaan kesatuan bangsa. melalui resolusi MPRS No. III/ Res/MPRS/1966 ditetapkan dalam pasal-pasalnya mengenai penerapan sistem pendidikan pancasila dengan cara-cra:
1.      Mengintensifkan pendidikan agama sebagai unsure mutlak untuk nasional dan character building di semua sekolah dan lembga pendidikan dengan memberikan kesempatan yang seimbang
2.      Melaeang usaha penumbuhan dan pengembangan doktrin-dotrin yang bertentangan dengan Pancasila, antara lain Marxisme – Leninisme (Komunisme)[30]






[1] M. C. Rickles, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 568
[2] SNI 489
[3] Ricklef 567
[4] Ricklef 569
[5] Marshal Green, Dari Soekarno ke Soeharto, (Jakarta: Grafiti, 1990), 87-88
[6] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), 543
[7] Richard Robinson, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), 60
[8] Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid VI, 546-547
[9] Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid VI, 551
[10] Marwati Djoened Poesponegoro, SNI JIlid VI, 554
[11] Ginanjar Kartasasmita dkk, 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid III, (Jakarta: PT Tira Pustaka, 1981)
[12] Green, Dari Soekarno ke Soeharto, 99
[13] Peter Kasenda, Hari-hari terakhir Soekarno, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), 16
[14] Kasenda, Soekarno, 17
[15] Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid VI, 552
[16] Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid VI, 553
[17] Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid VI, 554
[18] Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid VI, 545
[19] Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid VI, 556
[20] Green, Dari Soekarno ke Soeharto, 99-100
[21] Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid VI, 556
[22] Marwati Djoened Poesponegoro, SNI Jilid VI, 558
[23] 562-563
[24] 564
[25] ibid 565
[26] 566
[27] 567-568
[28] 569
[29] 564
[30] 556

0 Response to "Makalah Dualisme Kepemimpinan"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)