Prabowo, Negarawan atau Pecundang?



                                                                                                                 Oleh : Jhon Miduk Sitorus  

            Pukul 15.30 tanggal 22 Juli 2014, ketika KPU belum selesai merekapitulasi hasil pilpres seluruh provinsi, tiba-tiba Prabowo membuka konferensi pers dan membuat statemen yang membuat seluruh masyarakat Indonesia terkejut. Bukan soal yang sering disebut-sebut pendukungnnya “kewibawaannya, ketegasannya, kegagahannya” dalam menghadapi masalah. Bukan soal apresiasi terhadap kinerja KPU, POLRI, dan apresiasi terhadap seluruh masyarakat Indonesia yang telah berpartisipasi terhadap pemilu. Tetapi pernyataanya yang mengatakan “menarik diri dari kontestan Pilpres yang sedang berjalan” dengan alasan KPU tidak fair dan banyak kecurangan terhadap pihak Prabowo. Memang, sejak awal rekapitulasi bahkan hasil quick qount menyatakan bahwa pasangan Jokowi-JK unggul dari pasangan Prabowo-Hatta. Tidak percaya terhadap hasil quick-qount, Prabowo sempat dengan tegas dan tegap mengatakan “saya menghargai keputusan KPU!”. Kelihatannya Prabowo memang sudah tahu bahwa dia bersama Hatta Rajasa akan kalah dalam Pilpres kali ini. Selama ini masyarakat pendukung Prabowo menganggap Prabowo adalah seorang yang negarawan, patriotic, Nasionalisme, berjiwa Gentlemen, menghargai pendapat orang lain. tetapi anggapan itu sirna ketika keputusan kontroversialnya saat akhir rekapitulasi nasional oleh KPU di Gedung KPU Nasional , Jakarta.
            Berdasarkan penelitian dari berbagai media, banyak lebih dari 60% pendukung Prabowo Hatta mengaku kecewa bahkan menulis bentuk kekecewaan  kepada Prabowo di status Facebook resmi Prabowo. Ada yang mengatakan “ saya menyesal mendukung anda pak”, “ anda tidak lebih dari seorang anak SD”, “saya kecewa dengan Prabowo”, begitulah ungkapan yang dilontarkan oleh pendukung dan simpatisan Prabowo-Hatta kepada Prabowo Subianto. Bahkan #Prabowokokgitu menjadi trending topic di Twitter dalam beberapa hari. Kekecewaan ini jelas sangat wajar terjadi karena sikap Prabowo yang sangat tidak “dewasa” dalam menghadapi masalah. Padahal ada prosedur untuk mengatasi masalah Pilpres dengan mengadukannya kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Sikap pengunduran diri tersebut jelas merupakan sikap individual, bukan sikap secara koalisi, karena banyak anggota koalisi yang juga menyayangkan tindakan sepihak ini. Sikap ini dituangkan kedalam sebuah surat mirip “deklarasi” yang dibacakan didepan media dan pers yang ditandatangani sendiri oleh Prabowo Subianto tanpa tanda tangan wakilnya Hatta Rajasa dan Timses pemenangan Mafud M D. Pendeklarasian pernyataan ini juga tidak dihadiri oleh Hatta Rajasa, bahkan ditempat lain secara terbuka Hatta menyatakan “ saya menerima keputusan KPU”. Beberapa saat kemudian, Mahfud M. D secara terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia melalui media menyatakan mundur sebagai Tim Sukses pemenangan Prabowo Hatta dengan alasan “ tidak berhasil memenangkan Prabowo-Hatta, dan memang kewajibannya hanya sampai tanggal 22 Juli dan setelah itu sudah selesai dalam arti tidak ada kegiatan lain lagi”.
            Sebelum keputusan resmi KPU tanggal 22 Juli dan sesudah pemilihan Presiden tanggal 9 Juli 2014, tim koalisi Prabowo Hatta (Koalisi Merah Putih) sempat mendeklarasikan nama koalisi merah putih sebagai “koalisi permanen” dimana koalisi ini diharapkan akan permanen hingga selama mungkin tanpa dipengaruhi oleh koalisi dari partai yang lain. Koalisi permanen direncanakan akan menjadi koalisi yang kuat dan kokok dan tidak pernah bubar dengan pemimpinnya tentu Prabowo Subianto ibarat pepatah, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.
Lantas bagiamana dengan sekarang? KPU telah memutuskan bahwa Jokowi-JK resmi menjadi presiden Indonesia yang ketujuh. Harapa terakhir memang masih ada, yaitu dengan mengadu ke Mahkamah Konstitusi. Kecurangan-kecurangan yang mereka ajukan dan mereka tuduhkan telah dilakukan oleh banyak pihak kepada pihak Prabowo-Hatta menjadi topic perbincangan dan permasalahan mereka kepada MK nantinya. Kubu merah putih seperti “mencari air di gurun sahara”. Mereka berusaha mengungkap bukti-bukti dan masalah yang terjadi selama proses Pilpres dan bahkan menuduh KPU bersikap pilih kasih dan tidak fair. Mereka mengadukan ada lebih dari 5.000 KPU bermasalah sehingga Prabowo Subianto sebenarnya telah mengatakan ini pada tanggal 21 Juli. Apakah usaha mereka akan berhasil? Sejauh mana mereka mampu menang dalam perkaran ini? Jika mereka ingin mengharapkan kemenangan bagi Prabowo-Hatta sebagai presiden membalikkan Jokowi, sepertinya mustahil karena selisih suara ada sebanyak 8 juta lebih. Yang berikutnya tentu menjadi boomerang bagi tim Prabowo-Hatta sendiri, kecurangan yang mereka tuduhkan kepada pihak Jokowi-JK dan KPU bisa menjadi pisau bermata dua bagi kubu mereka. Suatu sisi mereka bisa menemukan kecurangan yang dilakukan oleh kubu Jokowi-JK dan KPU jika ada, sisi yang lain mereka bisa terjerat sebagai pelaku kecurangan, karena “diatas kertas” mereka secara kasat mata dan konkret terbukti paling banyak melakukan kecurangan dalam pilpres 2014 ini.  Menurut survey tentang kampanye hitam, kubu Prabowo Hatta melakukan tindakan kampanye hitam secara tidak terorganisir sebesar 83% , jelas sasarannya adalah pasangan Jokowi-JK dengan isu SARA, permasalahan nama, latar belakang, dan lain-lain. Mahfu M. D bahkan secara tegas mengatakan, “ tidak ada gunanya untuk menggugat itu ke MK, saya sebagai mantan ketua MK dulu membutikan masalah dari 100.000 suara saja sangat sulitm, apalagi ini 8 juta lebih?”.
Mau tidak mau, kenyataan memang harus diterima. Kemenagan Jokowi-JK beriringan dengan makin retaknya koalisi Permanen yang baru dideklarasikan oleh Prabowo sendiri. Berbagai tokoh partai koalisi mulai menyatakan mundur dan menyimpang mendukung ke kubu Jokowi-JK. Koalisi Permanen sepertinya akan berubah menjadi koalisi “satu jam saja” mengingat situasi yang mulai pudar seiring kekalah telak dari Jokowi-JK. Kekalahan ini semakin mengukuhkan jika seorang Prabowo bukanlah negarawan atau kesatria sejati. Pernyataan kontroversial , umpatan tidak senonoh saat debat capres, kata “brengsek” kepada media yang tidak mendukung Prabowo, kata “mempidanakan” KPU dan mengulang kembali pilpres tanggal 21 Juli, menarik diri dari KPU sesaat setelah tahu bahwa dirinya akan kalah dalam pilpres kali ini, serta menginstruksikan kepada para timses agar meninggalkan sidang KPU, tidak hadir dalam pengumuman pemenang Pilpres di gedung KPU, serta mengatakan hasil tidak sah, semakin mempertegas jika Prabowo adalah seorang pemimpin yang ambisius.
Biasanya seorang kontestan yang kalah dalam sebuah kompetisi dengan sikap kesatria dan berbesar hati akan mengucapkan selamat kepada pihak pemenang dalam kondisi apapun. Lihat saja ketika Argentina kalah melawan Jerman di Final Piala Dunia Brasil 2014, Lionel Messi sang mega bintang mengucapkan selamat kepada Jerman dengan berbesar hati. Tapi hal ini sepertinya tidak berlaku dengan Prabowo. Mantan militer hanyalah sebuah status belaka, sebuah simbol unjuk gigi kepada masyarakat banyak bahwa dirinya seakan-akan layak menjadi pemimpin Indonesia. Nafsu yang terlalu tinggi akan kekuasaan membuat dirinya lupa diri dan tidak tahu diri, siapa sebenarnya yang melakukan tindakan kecurangan terbesar dalam proses pemilu 2014. Ibarat kata, “orang jahat pasti akan kena batunya”. Sejak berkoalisi saja, banyak yang meragukan kebijaknnya karena dibelakangnya para koruptor macam Suryadarma Ali, Anis Mata, kasus lumpur lapindo Aburizal Bakrie dll menggantungkan tali harapan padanya agar bisa berpartisipasi di konstitusi Republik Indonesia jika terpilih nantinya.
Syukurlah, Tuhan lebih memberikan kesempatan kepada pemimpin kurus dari Solo, Joko Widodo. Pemimpin yang berjiwa besar, pemimpin yang menghormati segala keputusan, pemimpin yang menjawab masalah, tuduhan, dan tantangan dengan kerja keras yang memiliki hasil nyata dan bermanfaat untuk masyarakat banyak. Hingga saat ini, belum ada ucapan resmi Prabowo Subianto kepada Jokowi-JK yang telah diputuskan oleh KPU sebagai presiden RI yang ke-7. Dia bahkan kalah jauh dari para pemimpin dunia macam Barak Obama, Ban Ki Moon, presiden komiter Eropa, dan hamper seluruh pemimpin dunia telah mengucapkan selamat kepada Joko Widodo. Entah sampai kapan Prabowo akan sibuk mengurusi krisis kepemimpinannya di koalisinya sendiri. Rasa frustasi dan kebingungan jelas menghinggapi pikirannya. Dana yang dihambur-hamburkan selama ini untuk biaya kampanye dan berbagai biaya lainnya telah  ditelan oleh kepentingan politik selama setengah tahun ini. Janji “kursi menteri utama” yang sempat dijanjikan oleh Prabowo secara terbuka kepada Aburizal Bakrie dan Mahfud M. D seakan tinggal puing-puing kenangan janji manis belaka.
Nasib koalisi permanen sudah diujung tanduk menyusul tidak adanya kejelasan dari sang pemimpin Prabowo Subianto. Koalisi boleh gemuk, tetapi komitmen tidak lebih hebat dari komintem anak-anak yang ingin membuat mainan. Koalisi permanen hanya tinggal menunggu waktu lagi untuk menemui ajalnya. Hasil ini semakin mempertegas bahwa Prabowo Subianto tidak mampu memimpin koalisinya, dan semakin diragukan oleh publik untuk memimpin bangsa ini. Bagi yang memilihnya di Pilpres kemarin, mereka akan banyak yang menyesal karena telah mencoblos Perwira yang dipecat ini. Dan bagi yang tidak memilihnya, mereka akan bersyukur dan merasa beruntung karena tidak memilih pemimpin yang tidak jelas pemikirannya. Bangsa ini perlu pemimpin yang berkomitmen untuk perubahan kedepan. Bangsa ini tidak membutuhkan pemimpin yang masa lalunya tidak jelas, yang tidak mampu memimpin arah komitmen koalisnya dengan jelas, yang berasal dari militer, yang bersuara keras dan lantang, tetapi bangsa ini butuh pemimpin yang memiliki komitmen untuk membangun kemajuan bangsa secara nyata dan untuh diatas kepentingan rakyat Indonesia. Pemimpin yang tegas dengan karya-karya nyata, pemimpin yang dekat dihati rakyat, pemimpin yang mengerti kata hati rakyat, pemimpin yang bisa menyentuh dan merangkul seluruh rakyatnya. Itulah pemimpin yang sebenarnya, bukan “Pecundang”.

0 Response to "Prabowo, Negarawan atau Pecundang?"

Posting Komentar

Termimakasih buat partisipasinya ya :)